Share

Part 4. Penolakan Alpha

"Dav! Dav! Sadarlah!"

Sayup kudengar suara Paman memanggilku. Bagiamana ini? Mengapa semua terasa gelap dan aku tak bisa menggerakkan badanku? Ada rasa menyakitkan di ulu hati, dan setiap kali kucoba menggerakkan tangan, terasa begitu sulit.

"Paman?" tanyaku lirih. Kubuka kelopak mataku dengan perlahan, dengan maksud agar cahaya tidak terlalu banyak masuk. Pertama kali yang tertangkap mataku adalah langit yang biru, lalu kepala Paman dan tak ada apa-apa lagi. Terasa seperti aku sedang berbaring dan paman yang memangku kepalaku. Secara tak sadar, aku telah memanggil Paman, bukan Ayah seperti biasanya.

"Kau tak apa? Apa yang kau rasakan saat ini?" tanyanya. Bisa kulihat raut kekhawatiran dengan keringat yang sudah mengalir dari pelipisnya. Ah, ada juga beberapa luka kecil. Dan begitu kuedarkan pandanganku ke badannya, aku terkejut. Astaga! Badan Paman bersimbah darah.

"Pa ... man, kena ... pa?" Aku terheran melihat kepanikan Paman yang kentara. Memangnya ada apa? Seingatku, aku mencoba berubah sesuai persetujuan Paman. Kemudian, aku 'terdampar' di tempat yang tak kutahu, dan bertemu dengan pria yang mengaku mate ibuku. Kini, ketika aku kembali membuka mata, Paman bermandikan darah dan seolah ... panik?

"Kau, Anak Nakal! Membuatku khawatir saja!"

Aku tersenyum mendengar Paman memarahiku. Seumur-umur, Paman sama sekali belum pernah memarahiku seperti ini. Sejak kecil, aku selalu menjadi anak yang penurut. Selalu kuturuti apa yang Paman perintahkan atau larang. Jadi, aku sama sekali tak pernah mendapat bentakan darinya. Bahkan ketika aku membuat kesalahan pun, Paman tak pernah memarahiku hingga sebegitu hebat.

"Me ... mang, apa ... yang ... ter ... ja ... jadi, Paman?" tanyaku. Panggilan Ayah tak lagi kuucap, tak peduli entah beliau tersinggung atau tidak. Duh! Aku merutuki ucapan gagapku, karena hal itu sungguh tak menyenangkan.

"Kau kehilangan kendali, mengamuk dan membuat Alpha turun untuk menanganimu secara langsung. Kau tahu? Alpha marah. Beliau sampai mengoyak rusukmu untuk menghentikan amukanmu. Lalu kau, kuakui sungguh berani karena melukai Alpha!" Paman mngembus napas kasar. Sepertinya, beliau sedang mencari kata yang tepat untuk menjelaskan padaku. "Sebenarnya kau ini kenapa?"

Aku menatap mata Paman secara langsung. Ada embun yang terlihat samar. Seperti seolah beliau tengah menahan tangisnya. Apa aku yang berlebihan, ya? Paman itu he-wolf, pantang bagi he-wolf dewasa untuk menangis di depan orang lain.

Bagi mereka, menangis di hadapan orang lain berarti menunjukkan kelemahannya. Hingga saat ini, aku sama sekali tak mengerti maksudnya. Mungkin aku sendiri jarang menangis-aku akui itu, tetapi bukan berarti aku menyetujuinya, kan?

"Aku ... ber ... temu dengan ... seseorang, Pa ... man. Di ... a, bernama ... sa ... ma ... aku. Aku ... tak ingat, tak tahu ... ikatanku," ucapku. Ingin rasanya menjelaskan lebih detail, tetapi kesulitanku untuk berbicara ini terasa membatasiku.

Hanya bisa kutahan, meski semua hal itu terasa begitu mengganggu. Padahal, aku ingin tahu dengan pasti, apakah hal yang kualami itu memang benar adanya, atau hanya mimpi? Kali ini, sejujurnya aku menanyakan kewarasanku sendiri. Apakah aku masih normal dan waras, atau sedikit ... linglung? Mengingat kemustahilan apa yang kualami. Maksudku ... ah, aku masih belum percaya bahwa yang kutemui tadi adalah orang yang sudah meninggal. Bukankah yang sudah meninggal tidak menyisakan apa pun?

Melihat Paman yang terdiam, aku tak bisa menyimpulkan apa pun. Dia sepertinya sedang berpikir atau mencoba mengerti ucapanku. Ah, andai aku bisa bekata dengan lebih baik, ingin rasanya mengatakan semuanya. Karena mengucapkan semua hal dengan terbata itu, rasanya tak enak.

"Itu tak penting, untuk saat ini kau harus segera diberi pengobatan." Mungkin Paman benar, tetapi aku masi penasaran tentang apa yang terjadi padaku.

"Dia tak akan mendapat perawatan dari healer pack, Sean! Biarkan dia."

Aku mencoba menoleh ke suara berat itu, tetapi, leherku terbatas dan tidak menemukan siapa pun di jarak pandangku.

"Tapi, Alpha. Dia sedang terluka parah," sergah Paman. Oh, jadi yang barusan berkata itu Alpha, ya?

"Itu hukuman untuknya!"

"Tapi ...."

"Tidak ada tapi-tapian, Sean! Atau kau mau menemaninya terasing dari pack ini?"

Kulihat wajah Paman yang terdiam mendengar perkataan dari Alpha. Aku mengerti, kami hanya sekadar menumpang di sini. Sama sekali tak memiliki hal untuk membuat keputusan. Dilihat dari bawah, wajah Paman begitu tak bisa kujabarkan. Kulitnya yang semula putih perlahan memerah, dengan urat tipis yang perlahan menonjol. Apa Paman marah dengan keputusan Alpha?

Sementara Paman berusaha menyembunyikan emosinya, aku terdiam. Kami sudah terbiasa mendapat perlakuan tidak adil di pack ini sejak lama. Namun, tak kusangka jika hal ini terjadi langsung di depanku. Rasanya menyakitkan, aku sampai mengepalkan tangan karenanya. Memang, apa salah kami? Apa selama ini Paman lebih sering mendapatkannya?

"Dav, kita pulang, ya? Ayah memiliki beberapa tanaman obat untukmu." Paman Sean tersenyum teduh padaku. Dia seolah berusaha menenangkanku dan tak merisaukan ucapan Alpha. Hanya anggukan dariku yang menjawabnya.

Entah di mana Alpha itu sekarang. Aku sudah tak peduli lagi. Biar saja beliau pergi, atau memandang kepergian kami dari tempatnya berdiri. Bukan urusanku, karena setelah ini dia berada di jajaran orang yang harus kuhindari.

Perjalanan kami ke rumah hanya diisi kesunyian. Tak ada yang bersuara dengan posisi aku yang berada di gendongan Paman. Di saat biasa, aku pasti akan menolak posisi ini. Terlalu kekanakan, menurutku. Akan tetapi, hal itu bukan masalah untuk saat ini. Aku harus menerimanya suka atau tidak suka, karena tubuhku yang terasa sakit. Seperti remuk saja, rasanya.

Begitu sampai, Paman meletakkanku dengan hati-hati, seolah aku ini barang yang mudah pecah. Bagiku, perlakuannya ini sudah cukup mengobati rasa rinduku pada mereka. Setelah itu, Paman mulai mengambil air, lap, dan obat. Dengan telaten beliau mengobati luka-lukaku. Meski beberapa ringisan kukeluarkan ketika rasa nyerinya begitu terasa.

"Maaf, Dav. Seharusnya lukamu akan lebih cepat sembuh dengan bantuan Healer," ucap Paman. Kepalanya menunduk seperti orang yang menyesal. Healer adalah orang yang bertugas sebagai penyembuh di pack. Biasanya, Healer berasal dari bangsa manusia dan terikat pada pack. Secara khusus, Healer adalah kemampuan yang diturunkan. Bangsa werewolf bisa saja mempelajarinya. Namun, tak akan bisa seahli dan sebagus keturunan langsung. Di pack ini, hanya terdapat satu Healer tanpa keturunan. Entah bagaimana nanti kelanjutan pack jika Healer itu tak ada.

"Ta ... pa, Paman." Bukan maksudku hanya menenangkan, tetapi tentu aku sudah merasa cukup hanya diobati Paman dengan alat seadanya. Aku werewolf, bukan berarti aku bisa mati hanya karena luka seperti ini.

"Paman ingin membawamu pergi dari sini. Tapi, Paman memiliki ketakutan. Oh, ya. Apakah benar kau bertemu dengan Davian? Maksudku, yang mengatakan namanya sama denganmu?"

Aku mengangguk. Memang benar begitu adanya, kan? "A ... pa, yang ter ... jadi, Paman?" tanyaku. Mencoba memastikan siapa dia versi pandangan Paman. Sebenarnya, penjelasannya tadi pasaku terasa sudah cukup. Namun, tetap saja aku ingin mendengar dari pandangan orang lain.

"Kau tahu, Dav. Paman dulu mengenalnya. Dan dia, adalah orang yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status