"Dav! Dav! Sadarlah!"
Sayup kudengar suara Paman memanggilku. Bagiamana ini? Mengapa semua terasa gelap dan aku tak bisa menggerakkan badanku? Ada rasa menyakitkan di ulu hati, dan setiap kali kucoba menggerakkan tangan, terasa begitu sulit.
"Paman?" tanyaku lirih. Kubuka kelopak mataku dengan perlahan, dengan maksud agar cahaya tidak terlalu banyak masuk. Pertama kali yang tertangkap mataku adalah langit yang biru, lalu kepala Paman dan tak ada apa-apa lagi. Terasa seperti aku sedang berbaring dan paman yang memangku kepalaku. Secara tak sadar, aku telah memanggil Paman, bukan Ayah seperti biasanya.
"Kau tak apa? Apa yang kau rasakan saat ini?" tanyanya. Bisa kulihat raut kekhawatiran dengan keringat yang sudah mengalir dari pelipisnya. Ah, ada juga beberapa luka kecil. Dan begitu kuedarkan pandanganku ke badannya, aku terkejut. Astaga! Badan Paman bersimbah darah.
"Pa ... man, kena ... pa?" Aku terheran melihat kepanikan Paman yang kentara. Memangnya ada apa? Seingatku, aku mencoba berubah sesuai persetujuan Paman. Kemudian, aku 'terdampar' di tempat yang tak kutahu, dan bertemu dengan pria yang mengaku mate ibuku. Kini, ketika aku kembali membuka mata, Paman bermandikan darah dan seolah ... panik?
"Kau, Anak Nakal! Membuatku khawatir saja!"
Aku tersenyum mendengar Paman memarahiku. Seumur-umur, Paman sama sekali belum pernah memarahiku seperti ini. Sejak kecil, aku selalu menjadi anak yang penurut. Selalu kuturuti apa yang Paman perintahkan atau larang. Jadi, aku sama sekali tak pernah mendapat bentakan darinya. Bahkan ketika aku membuat kesalahan pun, Paman tak pernah memarahiku hingga sebegitu hebat.
"Me ... mang, apa ... yang ... ter ... ja ... jadi, Paman?" tanyaku. Panggilan Ayah tak lagi kuucap, tak peduli entah beliau tersinggung atau tidak. Duh! Aku merutuki ucapan gagapku, karena hal itu sungguh tak menyenangkan.
"Kau kehilangan kendali, mengamuk dan membuat Alpha turun untuk menanganimu secara langsung. Kau tahu? Alpha marah. Beliau sampai mengoyak rusukmu untuk menghentikan amukanmu. Lalu kau, kuakui sungguh berani karena melukai Alpha!" Paman mngembus napas kasar. Sepertinya, beliau sedang mencari kata yang tepat untuk menjelaskan padaku. "Sebenarnya kau ini kenapa?"
Aku menatap mata Paman secara langsung. Ada embun yang terlihat samar. Seperti seolah beliau tengah menahan tangisnya. Apa aku yang berlebihan, ya? Paman itu he-wolf, pantang bagi he-wolf dewasa untuk menangis di depan orang lain.
Bagi mereka, menangis di hadapan orang lain berarti menunjukkan kelemahannya. Hingga saat ini, aku sama sekali tak mengerti maksudnya. Mungkin aku sendiri jarang menangis-aku akui itu, tetapi bukan berarti aku menyetujuinya, kan?
"Aku ... ber ... temu dengan ... seseorang, Pa ... man. Di ... a, bernama ... sa ... ma ... aku. Aku ... tak ingat, tak tahu ... ikatanku," ucapku. Ingin rasanya menjelaskan lebih detail, tetapi kesulitanku untuk berbicara ini terasa membatasiku.
Hanya bisa kutahan, meski semua hal itu terasa begitu mengganggu. Padahal, aku ingin tahu dengan pasti, apakah hal yang kualami itu memang benar adanya, atau hanya mimpi? Kali ini, sejujurnya aku menanyakan kewarasanku sendiri. Apakah aku masih normal dan waras, atau sedikit ... linglung? Mengingat kemustahilan apa yang kualami. Maksudku ... ah, aku masih belum percaya bahwa yang kutemui tadi adalah orang yang sudah meninggal. Bukankah yang sudah meninggal tidak menyisakan apa pun?
Melihat Paman yang terdiam, aku tak bisa menyimpulkan apa pun. Dia sepertinya sedang berpikir atau mencoba mengerti ucapanku. Ah, andai aku bisa bekata dengan lebih baik, ingin rasanya mengatakan semuanya. Karena mengucapkan semua hal dengan terbata itu, rasanya tak enak.
"Itu tak penting, untuk saat ini kau harus segera diberi pengobatan." Mungkin Paman benar, tetapi aku masi penasaran tentang apa yang terjadi padaku.
"Dia tak akan mendapat perawatan dari healer pack, Sean! Biarkan dia."
Aku mencoba menoleh ke suara berat itu, tetapi, leherku terbatas dan tidak menemukan siapa pun di jarak pandangku.
"Tapi, Alpha. Dia sedang terluka parah," sergah Paman. Oh, jadi yang barusan berkata itu Alpha, ya?
"Itu hukuman untuknya!"
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapian, Sean! Atau kau mau menemaninya terasing dari pack ini?"
Kulihat wajah Paman yang terdiam mendengar perkataan dari Alpha. Aku mengerti, kami hanya sekadar menumpang di sini. Sama sekali tak memiliki hal untuk membuat keputusan. Dilihat dari bawah, wajah Paman begitu tak bisa kujabarkan. Kulitnya yang semula putih perlahan memerah, dengan urat tipis yang perlahan menonjol. Apa Paman marah dengan keputusan Alpha?
Sementara Paman berusaha menyembunyikan emosinya, aku terdiam. Kami sudah terbiasa mendapat perlakuan tidak adil di pack ini sejak lama. Namun, tak kusangka jika hal ini terjadi langsung di depanku. Rasanya menyakitkan, aku sampai mengepalkan tangan karenanya. Memang, apa salah kami? Apa selama ini Paman lebih sering mendapatkannya?
"Dav, kita pulang, ya? Ayah memiliki beberapa tanaman obat untukmu." Paman Sean tersenyum teduh padaku. Dia seolah berusaha menenangkanku dan tak merisaukan ucapan Alpha. Hanya anggukan dariku yang menjawabnya.
Entah di mana Alpha itu sekarang. Aku sudah tak peduli lagi. Biar saja beliau pergi, atau memandang kepergian kami dari tempatnya berdiri. Bukan urusanku, karena setelah ini dia berada di jajaran orang yang harus kuhindari.
Perjalanan kami ke rumah hanya diisi kesunyian. Tak ada yang bersuara dengan posisi aku yang berada di gendongan Paman. Di saat biasa, aku pasti akan menolak posisi ini. Terlalu kekanakan, menurutku. Akan tetapi, hal itu bukan masalah untuk saat ini. Aku harus menerimanya suka atau tidak suka, karena tubuhku yang terasa sakit. Seperti remuk saja, rasanya.
Begitu sampai, Paman meletakkanku dengan hati-hati, seolah aku ini barang yang mudah pecah. Bagiku, perlakuannya ini sudah cukup mengobati rasa rinduku pada mereka. Setelah itu, Paman mulai mengambil air, lap, dan obat. Dengan telaten beliau mengobati luka-lukaku. Meski beberapa ringisan kukeluarkan ketika rasa nyerinya begitu terasa.
"Maaf, Dav. Seharusnya lukamu akan lebih cepat sembuh dengan bantuan Healer," ucap Paman. Kepalanya menunduk seperti orang yang menyesal. Healer adalah orang yang bertugas sebagai penyembuh di pack. Biasanya, Healer berasal dari bangsa manusia dan terikat pada pack. Secara khusus, Healer adalah kemampuan yang diturunkan. Bangsa werewolf bisa saja mempelajarinya. Namun, tak akan bisa seahli dan sebagus keturunan langsung. Di pack ini, hanya terdapat satu Healer tanpa keturunan. Entah bagaimana nanti kelanjutan pack jika Healer itu tak ada.
"Ta ... pa, Paman." Bukan maksudku hanya menenangkan, tetapi tentu aku sudah merasa cukup hanya diobati Paman dengan alat seadanya. Aku werewolf, bukan berarti aku bisa mati hanya karena luka seperti ini.
"Paman ingin membawamu pergi dari sini. Tapi, Paman memiliki ketakutan. Oh, ya. Apakah benar kau bertemu dengan Davian? Maksudku, yang mengatakan namanya sama denganmu?"
Aku mengangguk. Memang benar begitu adanya, kan? "A ... pa, yang ter ... jadi, Paman?" tanyaku. Mencoba memastikan siapa dia versi pandangan Paman. Sebenarnya, penjelasannya tadi pasaku terasa sudah cukup. Namun, tetap saja aku ingin mendengar dari pandangan orang lain.
"Kau tahu, Dav. Paman dulu mengenalnya. Dan dia, adalah orang yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu."
Aku tak lagi terkejut dengan fakta ini. Sebelumnya, aku sudah tahu karena pria itu sendiri yang mengatakannya. Awalnya aku tak mau peduli, tetapi saat mendengar langsung dari Paman, aku percaya dan yakin bahwa ucapannya benar. Lalu, untuk Davian yang sudah meninggal itu, mengapa dia bisa muncul di dalam mimpiku?“Bagai … mana, dia … mun … cul? Kami … bertemu.” Hanya itu yang bisa kikatakan ada Paman. Semoga saja beliau mengerti apa yang kuucapkan, karena aku tak bisa menjelaskan panjang lebar. Keterbatasnku ini, terkadang aku sangat membencinya.“Dav, kau pasti sudah tahu jika kau Delta, kan?” Paman menanyakan hal yang sudah kutahu ini? Apa tidak salah aku mendengar? Sebagai jawabannya, aku hanya bisa mengangguk saja.“Delta memiliki kesadaran yang berbeda dari manusia dan serigalanya. Saat serigala Delta mengambil alih, maka kesadaran manusianya berada di alam la
Aku semakin bingung saja dengan semua ini. Memang, mereka yang melakukan pembunuhan dari salah satu pasangan werewolf, akan menggantikan posisinya menjadi pasangan. Namun, semudah itu hati ibuku berpindah? Semudah itu ibuku menerima kembali orang yang baru di hidupnya? Gampangan sekali.“Apa … ibu … ben … ci aku?” Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini pada Paman. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Sudah tahu kan, aku ini werewolf cacat. Dengan nada bicara yang gagap, dan mata sebelah wolf-ku yang buta. Aku curiga, siapa tahu Paman membawaku karena ibu ak menginginkan aku di sisinya. Yah, karena malu, mungkin. Bisa saja, kan?“Dari mana pemikiran itu berasal, Dav?”“Aku … ca … cat.”Aku memalingkan muka. Benci dengan kata yang keluar dari mulutku, tapi di satu sisi aku juga penasaran. Apa memang benar dengan fakta ini? Ak
“Mereka menyayangi lebih dari yang kau tahu, Dav. Hanya saja, keadaan masih terlalu sulit untuk kita kembali bersama. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk kita. Dan yang terbaik dan bisa kita lakukan, adalah dengan bersembunyi seperti ini.”Aku masih berusaha untuk menghapus air mata ini. Ingin menghentikannya, tetapi terlalu sulit rasanya. “Aku …,” ucapku. Tak bisa melanjutkan karena tak tahu lagi harus berkata apa.“Aku tahu jika hidup kita di sini terlalu sulit. Paman janji, akan membawamu ke tempat lain jika itu memang pilihan yang bagus. Akan tetapi, apakah kau bersedia untuk pergi? Kau mau meninggalkan tempat ini bersama Paman?”Aku menggeleng. Meninggalkan tempat ini sama sekali bukan masalah untukku. Tidak ada teman yang bisa kurindukan, tempat penuh kenangan, atau harta benda berharga lainnya. Hanya Paman, serigalaku, dan kalung ini yang kupunya sejak dulu.&nb
“Pa … man.” Tenggorokanku terasa sakit, seperti ada yang mencekiknya dan membuat napasku terhenti. Namun, aku berusaha semampuku untuk mengeluarkan suara, berharap dengan panggilan ini aku bisa membuat Paman meresponku. Seingatku, rasa sakit yang menyerangku tadi sudah tak kurasakan. Entah sudah berapa lama rasanya menghilang, sepertinya aku harus bersyukur tentang ini.“Kau sudah sadar?” tanya Paman. Suaranya terdengar begitu serak. Terakhir kali aku mengingat, tentu tidak seserak ini.“A … ir,” ucapku. Hal kedua yang sangat kuinginkan setelah Paman, tentunya. Yah, sebenarnya aku ingin bertanya pada Paman apa yang terjadi. Namun, air adalah hal terpenting dan mendesak untuk saat ini.“Sebentar.”Aku masih berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Cahaya begitu terang, mungkin ini sekitar masuk waktu tengah hari. Dan ini ada
Karena tubuhku masih merasa lemah, aku hanya bisa mengangguk saja menanggapi keputusan Paman. Keputusan ini mendapatkan dukungan penuh dariku. Jadi, Paman tak akan mendapati aku yang menghalanginya.“Wah, tak kukira kau masih hidup ya, Dav.” Sebuah suara kudengar dari balik tubuh Paman. Dari berat dan nadanya, aku mengenali ini sebagai suara dari Alpha—orang yang sudah membuatku sekarat beberapa hari yang lalu.“Al … Alpha,” lirih Paman. Beliau berdiri dan langsung menunduk, begitu sosok yang kini kubenci itu masuk. Kalau saja dia tak berusaha untuk membunuhku, tentu aku masih memiliki rasa hormat padanya. Sayangnya, dia sendiri yang membuang rasa hormat dariku.“Ma .. af. Ti … dak … hormat,” ujarku terbata. Jika saja Paman tidak memberiku kode untuk memberi hormat, tentu aku tidak mau susah payah berkata. Mau bagaimana lagi, untuk berdiri saja aku masih lema
Gila! Dia mengatakan jika fisikku bagus, akan menjadikanku senjata untuk pack ini? Apa kepalanya terbentur sesuatu? Atau perlu kupukul agar kesadarannya kembali. Sungguh! Alpha gila ini tidak pernah membuatku merasa baik-baik saja. Akan tetapi, setidaknya pertama kalinya aku bersyukur memiliki tubuh yang cacat. Jika aku sempurna, tentu hal itu sudah menjadi kenyataan.Untuk kali ini, aku banyak bersyukur. Bersyukur karena tubuhku cacat—baik manusia atau serigala, dan memiliki status Delta—yang sebelum ini belum jelas. Cacat, karena tidak perlu dimanfaatkan. Dan berstatus Delta, karena sama dengan Paman. Tak bisa kubayangkan jika status kami berbeda. Mungkin akan ada banyak orang yang curiga nantinya.“Aku penasaran, Sean. Obat apa yang sudah kau berikan padanya?” tanya Alpha. Kenapa, sih, orang ini begitu banyak bertanya hal seperti itu? membuatku tak nyaman saja, dan kuyakin Paman pun begitu.Den
Selama tiga hari di rawat, aku sudah bisa berjalan sedikit-sedikit. Tentu dengan bantuan tongkat. Yah, mau bagaimana lagi? Kakiku masih sakit, karena Alpha menyakiti rusuk dan pinggangku. Kata Paman, aku akan cepat pulih jika meminum obat.Uh!Ingin muntah rasanya, saat mengingat obat yang Paman berikan untukku. Kata Paman, obat itu bagus dan langka. Beliau sampai pergi ke hutan untuk mencarinya. Dengan hidung serigala, aku merasa jika obat itu adalah darah.Cairan amis yang dihasilkan oleh makluk hidup bernyawa, yang selama ini kutahu sebagai minuman para makhluk dingin—vampire. Makhluk yang tidak memiliki cairan hangat di tubuhnya, dan bergantung pada cairan kehidupan makhluk lain. Aku ingin memandangnya jijik, tetapi begitu tahu ayahku merupakan bagian dari mereka, kuurungkan lagi rasa itu. Tak mungkin kan, aku jijik pada ayahku sendiri?Akan tetapi, tunggu!"Pa ... man, ayah ... vam ... pire?" tanyaku. Paman berada di sampingku dan memapah tubu
Selama ini, aku tak pernah mendengar Paman menjabarkan banya tentang beliau—orang yang melahirkanku itu. paman hanya berceria bahwa ibuku adalah sahabatnya. Selain itu, aku benar-benar tak tahu. Tentang mate-nya dan ayahku pun, baru kudengar akhir-akhir ini. Apakah Paman tidak ingin aku mengetahui banyak hal tentangnya? Atau memang sengaja menyembunyikan banyak hal untuk melindungiku?Melindungi.Begitulah yang selalu Paman katakan padaku. Berada di pack kecil, dan tidak terlalu menonjolkan keberadaanku juga merupakan bagian itu. aku heran, sebenarnya apa yang telah terjadi selama ini? Keberadaanku yang cacat ini seolah menjadi hal yang rahasia. Apakah karena kecacatanku? Memangnya jika karena kecacatanku, hal ini sudah diketahui sejak aku bayi?"Ibumu pernah mengatakan padaku, bahwa dirinya ingin dipanggil Mom oleh anaknya. Mungkin terdengar seperti mimpi, ya. Tapi, Dav, aku harap kau mau memanggilnya ibu saat bertemu nanti," jelas Paman.Jadi, ibuku ing