Share

Part 4. Penolakan Alpha

Author: Rizuki
last update Last Updated: 2022-02-22 10:22:06

"Dav! Dav! Sadarlah!"

Sayup kudengar suara Paman memanggilku. Bagiamana ini? Mengapa semua terasa gelap dan aku tak bisa menggerakkan badanku? Ada rasa menyakitkan di ulu hati, dan setiap kali kucoba menggerakkan tangan, terasa begitu sulit.

"Paman?" tanyaku lirih. Kubuka kelopak mataku dengan perlahan, dengan maksud agar cahaya tidak terlalu banyak masuk. Pertama kali yang tertangkap mataku adalah langit yang biru, lalu kepala Paman dan tak ada apa-apa lagi. Terasa seperti aku sedang berbaring dan paman yang memangku kepalaku. Secara tak sadar, aku telah memanggil Paman, bukan Ayah seperti biasanya.

"Kau tak apa? Apa yang kau rasakan saat ini?" tanyanya. Bisa kulihat raut kekhawatiran dengan keringat yang sudah mengalir dari pelipisnya. Ah, ada juga beberapa luka kecil. Dan begitu kuedarkan pandanganku ke badannya, aku terkejut. Astaga! Badan Paman bersimbah darah.

"Pa ... man, kena ... pa?" Aku terheran melihat kepanikan Paman yang kentara. Memangnya ada apa? Seingatku, aku mencoba berubah sesuai persetujuan Paman. Kemudian, aku 'terdampar' di tempat yang tak kutahu, dan bertemu dengan pria yang mengaku mate ibuku. Kini, ketika aku kembali membuka mata, Paman bermandikan darah dan seolah ... panik?

"Kau, Anak Nakal! Membuatku khawatir saja!"

Aku tersenyum mendengar Paman memarahiku. Seumur-umur, Paman sama sekali belum pernah memarahiku seperti ini. Sejak kecil, aku selalu menjadi anak yang penurut. Selalu kuturuti apa yang Paman perintahkan atau larang. Jadi, aku sama sekali tak pernah mendapat bentakan darinya. Bahkan ketika aku membuat kesalahan pun, Paman tak pernah memarahiku hingga sebegitu hebat.

"Me ... mang, apa ... yang ... ter ... ja ... jadi, Paman?" tanyaku. Panggilan Ayah tak lagi kuucap, tak peduli entah beliau tersinggung atau tidak. Duh! Aku merutuki ucapan gagapku, karena hal itu sungguh tak menyenangkan.

"Kau kehilangan kendali, mengamuk dan membuat Alpha turun untuk menanganimu secara langsung. Kau tahu? Alpha marah. Beliau sampai mengoyak rusukmu untuk menghentikan amukanmu. Lalu kau, kuakui sungguh berani karena melukai Alpha!" Paman mngembus napas kasar. Sepertinya, beliau sedang mencari kata yang tepat untuk menjelaskan padaku. "Sebenarnya kau ini kenapa?"

Aku menatap mata Paman secara langsung. Ada embun yang terlihat samar. Seperti seolah beliau tengah menahan tangisnya. Apa aku yang berlebihan, ya? Paman itu he-wolf, pantang bagi he-wolf dewasa untuk menangis di depan orang lain.

Bagi mereka, menangis di hadapan orang lain berarti menunjukkan kelemahannya. Hingga saat ini, aku sama sekali tak mengerti maksudnya. Mungkin aku sendiri jarang menangis-aku akui itu, tetapi bukan berarti aku menyetujuinya, kan?

"Aku ... ber ... temu dengan ... seseorang, Pa ... man. Di ... a, bernama ... sa ... ma ... aku. Aku ... tak ingat, tak tahu ... ikatanku," ucapku. Ingin rasanya menjelaskan lebih detail, tetapi kesulitanku untuk berbicara ini terasa membatasiku.

Hanya bisa kutahan, meski semua hal itu terasa begitu mengganggu. Padahal, aku ingin tahu dengan pasti, apakah hal yang kualami itu memang benar adanya, atau hanya mimpi? Kali ini, sejujurnya aku menanyakan kewarasanku sendiri. Apakah aku masih normal dan waras, atau sedikit ... linglung? Mengingat kemustahilan apa yang kualami. Maksudku ... ah, aku masih belum percaya bahwa yang kutemui tadi adalah orang yang sudah meninggal. Bukankah yang sudah meninggal tidak menyisakan apa pun?

Melihat Paman yang terdiam, aku tak bisa menyimpulkan apa pun. Dia sepertinya sedang berpikir atau mencoba mengerti ucapanku. Ah, andai aku bisa bekata dengan lebih baik, ingin rasanya mengatakan semuanya. Karena mengucapkan semua hal dengan terbata itu, rasanya tak enak.

"Itu tak penting, untuk saat ini kau harus segera diberi pengobatan." Mungkin Paman benar, tetapi aku masi penasaran tentang apa yang terjadi padaku.

"Dia tak akan mendapat perawatan dari healer pack, Sean! Biarkan dia."

Aku mencoba menoleh ke suara berat itu, tetapi, leherku terbatas dan tidak menemukan siapa pun di jarak pandangku.

"Tapi, Alpha. Dia sedang terluka parah," sergah Paman. Oh, jadi yang barusan berkata itu Alpha, ya?

"Itu hukuman untuknya!"

"Tapi ...."

"Tidak ada tapi-tapian, Sean! Atau kau mau menemaninya terasing dari pack ini?"

Kulihat wajah Paman yang terdiam mendengar perkataan dari Alpha. Aku mengerti, kami hanya sekadar menumpang di sini. Sama sekali tak memiliki hal untuk membuat keputusan. Dilihat dari bawah, wajah Paman begitu tak bisa kujabarkan. Kulitnya yang semula putih perlahan memerah, dengan urat tipis yang perlahan menonjol. Apa Paman marah dengan keputusan Alpha?

Sementara Paman berusaha menyembunyikan emosinya, aku terdiam. Kami sudah terbiasa mendapat perlakuan tidak adil di pack ini sejak lama. Namun, tak kusangka jika hal ini terjadi langsung di depanku. Rasanya menyakitkan, aku sampai mengepalkan tangan karenanya. Memang, apa salah kami? Apa selama ini Paman lebih sering mendapatkannya?

"Dav, kita pulang, ya? Ayah memiliki beberapa tanaman obat untukmu." Paman Sean tersenyum teduh padaku. Dia seolah berusaha menenangkanku dan tak merisaukan ucapan Alpha. Hanya anggukan dariku yang menjawabnya.

Entah di mana Alpha itu sekarang. Aku sudah tak peduli lagi. Biar saja beliau pergi, atau memandang kepergian kami dari tempatnya berdiri. Bukan urusanku, karena setelah ini dia berada di jajaran orang yang harus kuhindari.

Perjalanan kami ke rumah hanya diisi kesunyian. Tak ada yang bersuara dengan posisi aku yang berada di gendongan Paman. Di saat biasa, aku pasti akan menolak posisi ini. Terlalu kekanakan, menurutku. Akan tetapi, hal itu bukan masalah untuk saat ini. Aku harus menerimanya suka atau tidak suka, karena tubuhku yang terasa sakit. Seperti remuk saja, rasanya.

Begitu sampai, Paman meletakkanku dengan hati-hati, seolah aku ini barang yang mudah pecah. Bagiku, perlakuannya ini sudah cukup mengobati rasa rinduku pada mereka. Setelah itu, Paman mulai mengambil air, lap, dan obat. Dengan telaten beliau mengobati luka-lukaku. Meski beberapa ringisan kukeluarkan ketika rasa nyerinya begitu terasa.

"Maaf, Dav. Seharusnya lukamu akan lebih cepat sembuh dengan bantuan Healer," ucap Paman. Kepalanya menunduk seperti orang yang menyesal. Healer adalah orang yang bertugas sebagai penyembuh di pack. Biasanya, Healer berasal dari bangsa manusia dan terikat pada pack. Secara khusus, Healer adalah kemampuan yang diturunkan. Bangsa werewolf bisa saja mempelajarinya. Namun, tak akan bisa seahli dan sebagus keturunan langsung. Di pack ini, hanya terdapat satu Healer tanpa keturunan. Entah bagaimana nanti kelanjutan pack jika Healer itu tak ada.

"Ta ... pa, Paman." Bukan maksudku hanya menenangkan, tetapi tentu aku sudah merasa cukup hanya diobati Paman dengan alat seadanya. Aku werewolf, bukan berarti aku bisa mati hanya karena luka seperti ini.

"Paman ingin membawamu pergi dari sini. Tapi, Paman memiliki ketakutan. Oh, ya. Apakah benar kau bertemu dengan Davian? Maksudku, yang mengatakan namanya sama denganmu?"

Aku mengangguk. Memang benar begitu adanya, kan? "A ... pa, yang ter ... jadi, Paman?" tanyaku. Mencoba memastikan siapa dia versi pandangan Paman. Sebenarnya, penjelasannya tadi pasaku terasa sudah cukup. Namun, tetap saja aku ingin mendengar dari pandangan orang lain.

"Kau tahu, Dav. Paman dulu mengenalnya. Dan dia, adalah orang yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Delta yang Terpilih (She-wolf Sequel)   155. Akhir Segalanya

    “Kalau kau memilih, kau tidak bisa menarik kembali apa yang telah disepakati. Pertukaran yang telah terjadi, akan mengambil yang diserahkan. Kau tidak akan bisa mundur, Dav. Jadi pikirkan baik-baik apa yang akan kau korbankan,” ucapnya lagi. Paman Davian terdengar seperti menekankan dengan jelas apa yang harus kupilih.Aku memang belum lama menikmati hidup, tetapi kurasa semua itu sudah cukup. “Aku benar-benar akan menyerahkan nyawaku jika bisa memastikan Arthur menghilang selamanya. Kalau perlu, dia tak perlu reingkarnasi kembali,” putusku. Setidaknya itu setimpal.Orang tuaku sudah pernah berusaha untuk menyingkirkannya, tetapi tidak disangka dia seolah bangkit dari kematian dan menghancurkan semuanya. Jika dia benar-benar dimusnahkan, aku serius untuk memberikan nyawaku untuk itu. Bagaimanapun juga, aku sudah tidak memiliki siapa pun.“Pikirkan lagi, Dav. Kau tidak bisa memutuskannya dengan cepat. Ingat, kau hidup masih hanya belasan tahun. Kau bisa hidup lebih lama lagi. Kau bisa

  • Delta yang Terpilih (She-wolf Sequel)   154. Kuberikan Nyawaku

    “Aku harusnya berterima kasih kepada kalian sebelum mencabut nyawa kalian, kan?”Aku mendengar suara Arthur yang berat. Terdengar menyeramkan dan ….“Aku meminta maaf atas kesalahanku, Dav. Tidak seharusnya aku menyelamatkannya, dan membuat keadaan seperti ini,” ujar Aline dengan lirih. Dia terbaring di sampingku, dengan keadaan telentang dan tangan kaki yanga terikat. Sedangkan aku, langsung dengan posisi menyamping menghadapnya. Mungkin Arthur kesulitan membuat posisiku telentang dengan tubuh serigalaku.Suasana yang gelas, membuatku sedikit takut. Ada beberapa titik obor yang tidak berpindah. Mungkin tidak dipegang oleh makhluk, tetapi ditancapkan di tanah. Arthur yang masih bertubuh setengah serigalanya berdiri menantang seperti tidak mengalami perang sebelumnya. Berbeda dengan aku dan Aline yang sudah terlihat mengenaskan. Bulu serigala Devan sudah memiliki banyak bercak darah, dan luk

  • Delta yang Terpilih (She-wolf Sequel)   153. Persembahan

    “Kau hanya tikus kecil yang tidak tahu apa-apa, Bocah!” ucap Arthur. Dia menangkap pergerakan Aline dan mencekik lehernya. Setelah itu, pergerakan Aline benar-benar dilumpuhkan. Aku terkejut, tak menyangka jika Aline bisa dikalahkan semudah itu.Aku tidak bisa tinggal diam. Tangan kecil Aline berusaha untuk melepaskan cekikan Arthur padanya. Namun, pergerakan itu sama sekali tidak membuahkan apa pun. Aline justru terdengar merintih kecil. Mungkin, dia merasa sangat kepayahan akibat cekalan Arthur yang begitu kuat.Aku tahu, Aline telah melakukan hal yang tidak kusukai, atau malah lebih ke menghancurkan hidupku. Akan tetapi, jika kupikir lagi itu bukan muri kesalahannya. Dia tidak tahu siapa yang ditolong, dan apa yang telah diperbuat oleh orang yang terlihat menyedihkan. Aline, dia hanya memiliki sifat empati lebih banyak dari sebangsanya.Hanya saja aku tidak tahu, kenapa aku harus disandingkan dengn vampire sepertinya, dan bukan dengan sesame werewolf seperti yang lain.“Kau ingin m

  • Delta yang Terpilih (She-wolf Sequel)   152. Aline

    Ada sebuah hal yang membuatku ingin menerkam tubuh wanita itu. Selain menerkamnya, mencabik tentu adalah hal terbaik begitu hal itu dilakukan. Dorongan itu begitu kuat, seiring perubahan yang lebih banyak lagi di tubuhku. Aline, wanita yang baru kutemui tidak sampai sehari, begitu membuat hidupku jungkir balik dalam sekejap.Akan tetapi, andai semua dorongan itu kulaksanakan, bagaimana rasanya, ya?Aku berusaha menahannya. Bagaimanapun juga, Aline bukan seseorang yang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Singkatnya hubungan kami bukan sesuatu hal yang patut dijadikan alasan. Dia adalah pasanganku, dan tentu tidak akan mudah untuk mengabaikan hal besar seperti itu.“Percayalah, aku tidak melakukannya secara sengaja, Dav. Aku benar-benar tidak tahu kalau dia adalah semua akar permasalahan yang besar. Aku pun tidak menyangka jika dia akan memperburuk suasana hingga sampai sejauh ini.” Aline berucap lirih. Sia

  • Delta yang Terpilih (She-wolf Sequel)   151. Half Transformation

    Untuk sesaat, aku tertegun. Fakta yang terdengar sepele—mungkin untuk sebagian orang tentunya, tetapi tidak denganku. Arthur adalah sumber dari segala hal yang menyiksaku. Dia membuatku terpisah dengan ibu sejak keil, membuat ayah dibenci ibu, dan membuat keluargaku meregang nyawa. Kalau saja dia tidak ada, tentu aku tidak akan mengalami itu semua. Ah, aku lupa. Paman Davian juga tidak ada karena dia, kan? Kalau memang begitu kenyataannya, kenapa harus aku yang menjadi pasangan dari Aline? Bukankah secara tidak langsung dia yang menyebabkan aku berpisah dengan keluargaku? “Al ...,” ucapku lirih. Tubuhku terasa lemas, seolah semua tulang penyangganya kehilangan kekuatan. Tak hanya itu, napas juga semakin memburu dengan jantung berdebar kencang. “Dav ... maksudku bukan begitu. Aku ... aku hanya ... tidak tahu dia siapa ....” Aline membalasnya. Jika dia menjawab seperti itu, bukankah itu

  • Delta yang Terpilih (She-wolf Sequel)   150. Dia yang Menyelamatkannya

    Arthur tertawa sambil menghindari serangan-serangan yang Aline berikan padanya.“Aku tak akan membiarkanmu hidup dengan tenang, Art! Kau bedebah busuk yang hidup tidka lama lagi, sama sekali tidak berhak untuk mengatakan hal itu padanya!” maki Aline. Ada yang janggal dari setiap serangannya. Dia terlihat kacau dengan sekejap hanya dari beberapa kata yang diucapkan Arthur. Bukankah sebelumnya Aline masih baik-baik saja, tidak mengalami lonjakan emosi seperti itu?Untuk sekilas, mungkin tidak akan ada yang memahami pola serangan Aline. Terlihat biasa, dan sama sekali tidak akan kentara jika dia menyembunyikan banyak hal. Namun, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Tidak seharusnya Aline bertempur dengan cara seperti itu. Tidak! Aku harus menghentikannya sebelum terlambat.“Al, mundurlah untuk sejenak! Control dulu emosimu, lalu kita kembali menyerangnya seperti tadi,” ucapku. Ah, sebenarnya a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status