Share

#3 - MELARIKAN DIRI

Sesuai intruksi Rahma, selesai berkemas Rossa sudah bersiap untuk minggat dari rumah terkutuk itu. Tidak perlu menunggu waktu subuh. Kebetulan barang-barangnya pun tidak banyak. Hanya beberapa pasang pakaian.

Syukurlah sang ayah sudah kembali aktif ponselnya. Rossa meminta ayah tirinya itu untuk menjemput di ujung gang. Dengan mengendap, Rossa berjalan menuju pintu depan yang sengaja tidak dikunci oleh Rahma. Sementara Rahma ikut mengawasi sambil berpura-pura masih berzikir. Ia sengaja salat di ruang tengah, tidak di musala. Perempuan itu sudah memastikan bila suami dan ibu mertuanya masih terlelap tidur. Rahma pun memberi kode sebagai pertanda aman.

Cepat-cepat Rossa keluar dari rumah itu. Melewati pekarangan yang pintu pagarnya sudah terbuka lebar. Rahma benar-benar sudah mempersiapkan pelarian dirinya. Perempuan itu juga mengawasi di ambang pintu depan. Memastikan bila tidak ada penghuni rumah yang menyadari kepergian Rossa. Setelah Rossa tak terlihat punggungnya, ia segera mengunci pagar dan pintu depan. Lalu kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidur. Seolah-olah tidak tahu sesuatu yang terjadi malam itu.

Rossa menyusuri jalanan yang sepi dengan degup jantung berdebar kencang. Syukurlah di kejauhan sang ayah terlihat menunggunya dengan motor butut kesayangannya. Ayah tiri yang sudah membantu mengurusnya sejak bayi itu sudah menganggap Rossa seperti anak kandungnya sendiri. Apalagi memang hingga kini hanya Rossa satu-satunya anak yang mereka miliki. Setelah sang istri keguguran, sejak itu ia kesulitan untuk hamil.

“Aman, Neng?” tanya Kasimin melihat bias ketakutan di wajah putrinya. Rossa hanya mengangguk pelan.

“Teh Rahma yang bantu aku, Pak. Cepat, yuk, Pak. Rossa khawatir orang rumah keburu bangun dan sadar bila Rossa takada di rumah mereka.”

Kasimin dengan cepat menyalakan mesin motornya. Saat berangkat tadi sempat mogok, syukurnya kali ini motor butut itu tidak mengadat seolah tahu dan ingin membantu pelarian Rossa dengan lancar. “Pinter kamu, Tong,” puji Kasimin pada motor bututnya. Mereka pun melaju membelah jalanan yang sepi.

“Ini kita mau ke mana, Pak? Kok jalannya bukan ke arah rumah?” tanya Rossa ketika menyadari jalur yang mereka tempuh bukanlah jalan menuju gubuk mereka.

“Kamu akan bapak ungsikan ke rumah saudara bapak di luar kecamatan. Sementara waktu, bersembunyilah di sana. Tenang saja, saudara bapak ini orangnya baik. Dia adik sepupu bapak. Kamu pernah ketemu beberapa kali waktu kecil dulu.”

“Bi Inah, ya?” tebak Rossa. Kedua matanya berbinar.

“Kamu masih ingat, Neng?”

“Gimana Rossa bisa lupa. Bi Inah memang baik banget, Pak.”

“Alhamdulillah kalau begitu. Semoga kamu aman dan selamat selama bersembunyi di sana. Bi Inah seorang janda dengan tiga anak yang masih sekolah. Kamu bisa bantu-bantu Bi Inah urus rumah, ya, Neng. Jangan merepotkan di sana,” pesan Kasimin.

“Iya, Pak.”

Motor terus melaju melewati beberapa desa hingga akhirnya keluar dari kecamatan dan memasuki wilayah kecamatan lain.

***

[Untuk sementara waktu, jangan menghubungiku. Usahakan ganti nomormu, Rossa.]

Sebuah pesan masuk dari Rahma. Rossa membacanya sekilas.

Bi Inah menghidangkan teh manis dan uli goreng. Raut wajahnya masih seramah dan sehangat saat Rossa kecil dulu. Hanya saja dulu Bi Inah masih gadis. Kini Bi Inah sudah menjadi janda ditinggal mati dan memiliki dua putra dan seorang putri yang masih sekolah. Anak yang paling besar yaitu perempuan, duduk di bangku SMP. Rossa memerhatikan foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tamu sederhana ini.

“Nah, akang titip Rossa di rumahmu, ya. Tolong jaga dan perlakukan ia seperti putrimu sendiri, Nah,” pesan Kasimin.

“Iya, Kang. Pasti Inah jaga dan merawat Rossa seperti anak Inah sendiri. Apalagi anak-anak bakal senang dengan kehadiran Rossa di rumah ini. Inah merasa punya teman di rumah, Kang.”

Kasimin lalu berpamitan untuk pulang. Rossa juga sudah memberitahukan rencananya untuk mengganti nomor. Kebetulan Inah membuka konter pulsa dan menjual nomor baru sehingga Rossa tak perlu bersusah payah mencari. Semua pelarian ini seolah dipermudah jalannya oleh Tuhan.

Bunyi motor butut Kasimin membuat ketiga anak Inah terbangun. Kasimin pun meninggalkan mereka dengan laju motornya yang mengeluarkan asap lumayan tebal dari knalpotnya.

Inah pun memperkenalkan Rossa pada ketiga anaknya. Benar katanya, anak-anak itu terlihat begitu senang dengan kehadiran Rossa. Apalagi melihat rupa Rossa yang serupa bidadari. Seolah-olah mereka melihat artis sinetron. Mereka memandangi Rossa dengan perasaan takjub.

“Bu, aku bisa secantik teh Rossa nggak ya saat besar nanti?” celetuk Rani, putri pertama Inah.

“Kamu sudah terlihat cantik, Rani,” puji Rossa.

“Bapak kandung teh Rossa ini orang Arab loh, Rani. Kalau bapak kandungmu orang sini. Made in Indonesia. Mana bisa wajahmu kearaban seperti teh Rossa,” ujar Inah sambil menahan tawa mendengar ucapannya sendiri.

“Ih, ibu mah suka begitu,” Rani merajuk. Ia pasang wajah cemberut.

“Kamu sudah terlihat cantik kok, Rani. Apalagi kalau semakin dewasa nanti.” Rossa mengusap kepala Rani penuh kasih sayang.

“Nah, seharusnya ibu tuh kayak teh Rossa.” Rani memeluk pinggang Rossa.

“Ah, kamu ini. Pengennya dipuji terus,” ledek Inah, membuat Rani semakin cemberut.

“Yaaah ... cantik-cantik kok wajahnya cemberut,” kedua adik Rani juga ikut meledek. Keduanya sudah bersiap dengan koko, sarung dan peci. Mereka hendak ikut berjamaah salat Subuh. Sebentar lagi azan akan berkumandang.

“Awas, ya, kalian berdua,” Rani mengancam kedua adiknya. Sementara Rendi dan Rafa, kedua adiknya, berlalu menjauh sambil menjulurkan lidah ke arahnya. Sesekali Rafa terlihat membetulkan posisi sarung yang disampirkan menyilang di bahu. Sementara Rendi membetulkan letak pecinya yang kebesaran. Peci peninggalan mendiang sang ayah yang terpaksa dipakainya karena peci miliknya sendiri sudah rusak.

Melihat kehangatan keluarga ini, Rossa merasa damai. Potret kesederhanaan yang membuat tentram hati Rossa setelah beberapa hari merasa seperti berada di neraka.

***

Mendapati kamar Rossa kosong melompong, Mak Nani mencak-mencak dan kalang kabut. Rahma bergegas menghampiri dan bertanya, “ada apa, Mak?”

“Perempuan jalang itu rupanya sudah kabur, Rahma. Duh, bagaimana ini?”

“Bagaimana apanya, Mak? Bukannya bagus jika Rossa sudah tidak di rumah ini. Sumber masalah jadi hilang,” ujar Rahma seolah tidak tahu apa-apa.

“Duuuh ... pekerjaan rumah semakin menumpuk, Rahma. Siapa yang akan mengerjakannya? Emak nggak mungkin menyuruh kamu, menantu kesayangan emak satu-satunya.” Mak Nani mondar-mandir dengan panik.

“Kan emak bisa sewa asisten,” usul Rahma.

“Duh, pemborosan itu namanya Rahma.” Mak Nani berkilah. Wanita itu memang terkenal pelit.

“Ya sudah, biar Rahma yang bayar ya, Mak. Mak tenang aja,” usul Rahma. Kedua mata Mak Nani berbinar karena senang. Ia tak perlu repot mengeluarkan uang. Akhirnya korban termakan umpan, ujar Rahma dalam hati. Ia memang sengaja memberikan usulan. Ada maksud dan tujuan tertentu yang masih dirahasiakannya dari siapa pun.

“Nanti biar Rahma yang urus dan carikan asisten ya, Mak.” Rahma tersenyum semringah.

“Terserah kamu aja, Rahma. Mak mau beli nasi uduk Mbok Inem dulu. Kamu tolong bangunkan Ilyas. Dia tak boleh terlambat ke kantor kelurahan untuk apel hari ini,” pesan Mak Nani. Rahma menganggukkan kepala sambil mengulum senyum penuh misteri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status