Sesuai intruksi Rahma, selesai berkemas Rossa sudah bersiap untuk minggat dari rumah terkutuk itu. Tidak perlu menunggu waktu subuh. Kebetulan barang-barangnya pun tidak banyak. Hanya beberapa pasang pakaian.
Syukurlah sang ayah sudah kembali aktif ponselnya. Rossa meminta ayah tirinya itu untuk menjemput di ujung gang. Dengan mengendap, Rossa berjalan menuju pintu depan yang sengaja tidak dikunci oleh Rahma. Sementara Rahma ikut mengawasi sambil berpura-pura masih berzikir. Ia sengaja salat di ruang tengah, tidak di musala. Perempuan itu sudah memastikan bila suami dan ibu mertuanya masih terlelap tidur. Rahma pun memberi kode sebagai pertanda aman.Cepat-cepat Rossa keluar dari rumah itu. Melewati pekarangan yang pintu pagarnya sudah terbuka lebar. Rahma benar-benar sudah mempersiapkan pelarian dirinya. Perempuan itu juga mengawasi di ambang pintu depan. Memastikan bila tidak ada penghuni rumah yang menyadari kepergian Rossa. Setelah Rossa tak terlihat punggungnya, ia segera mengunci pagar dan pintu depan. Lalu kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidur. Seolah-olah tidak tahu sesuatu yang terjadi malam itu.Rossa menyusuri jalanan yang sepi dengan degup jantung berdebar kencang. Syukurlah di kejauhan sang ayah terlihat menunggunya dengan motor butut kesayangannya. Ayah tiri yang sudah membantu mengurusnya sejak bayi itu sudah menganggap Rossa seperti anak kandungnya sendiri. Apalagi memang hingga kini hanya Rossa satu-satunya anak yang mereka miliki. Setelah sang istri keguguran, sejak itu ia kesulitan untuk hamil.“Aman, Neng?” tanya Kasimin melihat bias ketakutan di wajah putrinya. Rossa hanya mengangguk pelan.“Teh Rahma yang bantu aku, Pak. Cepat, yuk, Pak. Rossa khawatir orang rumah keburu bangun dan sadar bila Rossa takada di rumah mereka.”Kasimin dengan cepat menyalakan mesin motornya. Saat berangkat tadi sempat mogok, syukurnya kali ini motor butut itu tidak mengadat seolah tahu dan ingin membantu pelarian Rossa dengan lancar. “Pinter kamu, Tong,” puji Kasimin pada motor bututnya. Mereka pun melaju membelah jalanan yang sepi.“Ini kita mau ke mana, Pak? Kok jalannya bukan ke arah rumah?” tanya Rossa ketika menyadari jalur yang mereka tempuh bukanlah jalan menuju gubuk mereka.“Kamu akan bapak ungsikan ke rumah saudara bapak di luar kecamatan. Sementara waktu, bersembunyilah di sana. Tenang saja, saudara bapak ini orangnya baik. Dia adik sepupu bapak. Kamu pernah ketemu beberapa kali waktu kecil dulu.”“Bi Inah, ya?” tebak Rossa. Kedua matanya berbinar.“Kamu masih ingat, Neng?”“Gimana Rossa bisa lupa. Bi Inah memang baik banget, Pak.”“Alhamdulillah kalau begitu. Semoga kamu aman dan selamat selama bersembunyi di sana. Bi Inah seorang janda dengan tiga anak yang masih sekolah. Kamu bisa bantu-bantu Bi Inah urus rumah, ya, Neng. Jangan merepotkan di sana,” pesan Kasimin.“Iya, Pak.”Motor terus melaju melewati beberapa desa hingga akhirnya keluar dari kecamatan dan memasuki wilayah kecamatan lain.***[Untuk sementara waktu, jangan menghubungiku. Usahakan ganti nomormu, Rossa.]Sebuah pesan masuk dari Rahma. Rossa membacanya sekilas.Bi Inah menghidangkan teh manis dan uli goreng. Raut wajahnya masih seramah dan sehangat saat Rossa kecil dulu. Hanya saja dulu Bi Inah masih gadis. Kini Bi Inah sudah menjadi janda ditinggal mati dan memiliki dua putra dan seorang putri yang masih sekolah. Anak yang paling besar yaitu perempuan, duduk di bangku SMP. Rossa memerhatikan foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tamu sederhana ini.“Nah, akang titip Rossa di rumahmu, ya. Tolong jaga dan perlakukan ia seperti putrimu sendiri, Nah,” pesan Kasimin.“Iya, Kang. Pasti Inah jaga dan merawat Rossa seperti anak Inah sendiri. Apalagi anak-anak bakal senang dengan kehadiran Rossa di rumah ini. Inah merasa punya teman di rumah, Kang.”Kasimin lalu berpamitan untuk pulang. Rossa juga sudah memberitahukan rencananya untuk mengganti nomor. Kebetulan Inah membuka konter pulsa dan menjual nomor baru sehingga Rossa tak perlu bersusah payah mencari. Semua pelarian ini seolah dipermudah jalannya oleh Tuhan.Bunyi motor butut Kasimin membuat ketiga anak Inah terbangun. Kasimin pun meninggalkan mereka dengan laju motornya yang mengeluarkan asap lumayan tebal dari knalpotnya.Inah pun memperkenalkan Rossa pada ketiga anaknya. Benar katanya, anak-anak itu terlihat begitu senang dengan kehadiran Rossa. Apalagi melihat rupa Rossa yang serupa bidadari. Seolah-olah mereka melihat artis sinetron. Mereka memandangi Rossa dengan perasaan takjub.“Bu, aku bisa secantik teh Rossa nggak ya saat besar nanti?” celetuk Rani, putri pertama Inah.“Kamu sudah terlihat cantik, Rani,” puji Rossa.“Bapak kandung teh Rossa ini orang Arab loh, Rani. Kalau bapak kandungmu orang sini. Made in Indonesia. Mana bisa wajahmu kearaban seperti teh Rossa,” ujar Inah sambil menahan tawa mendengar ucapannya sendiri.“Ih, ibu mah suka begitu,” Rani merajuk. Ia pasang wajah cemberut.“Kamu sudah terlihat cantik kok, Rani. Apalagi kalau semakin dewasa nanti.” Rossa mengusap kepala Rani penuh kasih sayang.“Nah, seharusnya ibu tuh kayak teh Rossa.” Rani memeluk pinggang Rossa.“Ah, kamu ini. Pengennya dipuji terus,” ledek Inah, membuat Rani semakin cemberut.“Yaaah ... cantik-cantik kok wajahnya cemberut,” kedua adik Rani juga ikut meledek. Keduanya sudah bersiap dengan koko, sarung dan peci. Mereka hendak ikut berjamaah salat Subuh. Sebentar lagi azan akan berkumandang.“Awas, ya, kalian berdua,” Rani mengancam kedua adiknya. Sementara Rendi dan Rafa, kedua adiknya, berlalu menjauh sambil menjulurkan lidah ke arahnya. Sesekali Rafa terlihat membetulkan posisi sarung yang disampirkan menyilang di bahu. Sementara Rendi membetulkan letak pecinya yang kebesaran. Peci peninggalan mendiang sang ayah yang terpaksa dipakainya karena peci miliknya sendiri sudah rusak.Melihat kehangatan keluarga ini, Rossa merasa damai. Potret kesederhanaan yang membuat tentram hati Rossa setelah beberapa hari merasa seperti berada di neraka.***Mendapati kamar Rossa kosong melompong, Mak Nani mencak-mencak dan kalang kabut. Rahma bergegas menghampiri dan bertanya, “ada apa, Mak?”“Perempuan jalang itu rupanya sudah kabur, Rahma. Duh, bagaimana ini?”“Bagaimana apanya, Mak? Bukannya bagus jika Rossa sudah tidak di rumah ini. Sumber masalah jadi hilang,” ujar Rahma seolah tidak tahu apa-apa.“Duuuh ... pekerjaan rumah semakin menumpuk, Rahma. Siapa yang akan mengerjakannya? Emak nggak mungkin menyuruh kamu, menantu kesayangan emak satu-satunya.” Mak Nani mondar-mandir dengan panik.“Kan emak bisa sewa asisten,” usul Rahma.“Duh, pemborosan itu namanya Rahma.” Mak Nani berkilah. Wanita itu memang terkenal pelit.“Ya sudah, biar Rahma yang bayar ya, Mak. Mak tenang aja,” usul Rahma. Kedua mata Mak Nani berbinar karena senang. Ia tak perlu repot mengeluarkan uang. Akhirnya korban termakan umpan, ujar Rahma dalam hati. Ia memang sengaja memberikan usulan. Ada maksud dan tujuan tertentu yang masih dirahasiakannya dari siapa pun.“Nanti biar Rahma yang urus dan carikan asisten ya, Mak.” Rahma tersenyum semringah.“Terserah kamu aja, Rahma. Mak mau beli nasi uduk Mbok Inem dulu. Kamu tolong bangunkan Ilyas. Dia tak boleh terlambat ke kantor kelurahan untuk apel hari ini,” pesan Mak Nani. Rahma menganggukkan kepala sambil mengulum senyum penuh misteri.***Rossa membantu Inah menyiapkan perlengkapan jualan sarapan. Bila pagi, Inah menjual menu sarapan dan kue-kue basah titipan tetangga. Ada nasi uduk, kupat sayur dan aneka gorengan. Kue-kue basah titipan tetangga ada papais pisang, kue cantik manis, kue lumpur dan aneka macam lainnya. Sejak fajar mulai menyingsing pembeli sudah ramai.Ada satu pembeli berpakaian necis yang sepertinya sudah berlangganan. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Ia terlihat akrab dengan Inah. Begitu melihat Rossa yang melayaninya, pria itu tampak sangat tertarik. “Siapa ini, Bi Inah?” tanya lelaki yang diketahui bernama Basir itu setengah berbisik.“Keponakan saya, Pak Basir. Awas, ya, jangan macam-macam. Ingat loh, di rumah sudah ada empat istri. Yang kelima haram,” ujar Inah tegas. Basir terkekeh mendengar sindiran dan kode keras dari Inah.“Kan bisa dicerai salah satunya, biar tetap empat,” kilah lelaki hidung belang itu.“Jangan gitu loh, Pak Basir. Hati-hati karma. Apalagi anak Pak Basir kan perempuan
Lampu indikator ponsel pertanda pesan masuk menyala. Rossa mengecek ponselnya dan membuka aplikasi WhatsApp. Kasimin mengirimkan pesan.[Mak Nani dan Ilyas datang ke rumah mencarimu, Nak. Mereka menuntut ganti rugi atas mahar yang Soleh berikan sebesar 30 juta. Bapak bingung, bagaimana mencari uang sebanyak itu. Tapi bapak akan mencari bantuan. Kamu di sana jaga-jaga dan lebih waspada, ya, Nak. Salam dari ibunu. Doa kami selalu menyertai.]Wajah Rossa berubah mendung setelah membaca pesan yang masuk. Membuat Inah mencurigainya. Inah khawatir keponakannya mendapat masalah besar.“Ada apa, Rossa?’ tanya Inah sambil menutup buku rincian penjualan pulsa.“Nggak apa-apa, Bi. Rossa hanya khawatir terhadap kedua orang tua di rumah. Mak Nani dan Ilyas pasti akan mencari keberadaan Rossa.” Mendengar penuturan Rossa, Inah turut prihatin. Wanita itu tahu betapa perihnya kehidupan gadis itu sejak kecil. Dari dalam kandungan, ayah kandungnya yang asli Arab dikabarkan wafat. Rossa hanya mampu melih
Rossa memasuki pekarangan rumah bergaya Eropa yang begitu luas. Taman tertata dengan apik dan cantik. Setelah berjalan beberapa langkah dari gerbang, kakinya menapak di atas lantai berlapis marmer. Pilar-pilar besar berdiri kokoh di beranda teras yang dipijaknya ini. Rossa begitu takjub dengan kemegahan rumah yang baginya seperti istana ini. Dengan diantar satpam, Rossa dipertemukan dengan pemilik rumah.Anwar dan istrinya yang sangat cantik membukakan pintu utama dan menyambut Rossa dengan kehangatan. Begitu melangkah masuk, sorot mata Rossa berbinar karena takjub. Interior rumah bergaya klasik ini begitu mewah dan elegan. Ada sofa besar berjajar membentuk oval di ruang tamu yang megah ini. Anwar mempersilakan Rossa untuk duduk. Kemudian datang asisten rumah tangga berusia paruh baya membawa nampan berisi suguhan minuman dan makanan ringan.“Silakan dicicipi,” tawar istri Anwar dengan senyum dikulum. Nona muda di hadapan Rossa ini memindai penampilan Rossa dari ujung rambut hingga u
Di sebuah rumah di tengah kota ....Sudah sekitar seminggu Rossa menjalankan misi yang diberikan Anwar dan Jelita padanya. Andra bisa beberapa kali menghubungi gadis berparas cantik khas Timur Tengah itu dalam sehari. Dosisnya bahkan bisa melebihi minum obat. Seolah kecantikan Rossa membuatnya candu. Bahkan di tengah kesibukan pria itu bekerja, ia menyempatkan untuk melakukan video call dengan gadis itu.Tidak hanya di kantor, saat di rumah setelah menunggu istrinya tidur, Andra akan menyempatkan diri menelepon Rossa. Suara gadis itu terasa menggoda di pendengarannya. Tak ayal Andra terkadang membayangkan paras cantik rupawan itu tengah bercinta dengannya.Awalnya Devina tidak menyadari keanehan tingkah suaminya. Namun beberapa hari belakangan pria itu bersikap sangat romantis. Devina yang sudah hafal di luar kepala gelagat suaminya akhirnya menaruh curiga. Ia teringat gadis cantik yang dilihatnya beberapa waktu lalu di sebuah kafe. Saat itu pandangan Andra seolah tak ingin terlepas
Rossa tidak dapat berlama-lama di rumah orang tuanya. Ia hanya menjenguk ibunya lalu memberi sejumlah uang. Rossa meminta supaya rumah mereka direnovasi segera karena begitu iba melihat ibunya berbaring lemah di lantai. Di hari itu juga ia mengirimkan kasur busa dengan tebal 30 senti supaya kedua orang tuanya bisa tidur dengan nyaman.Sebelum keluar dari desa, mobil Jazz yang ditumpangi Rossa dihadang beberapa pria bertopeng dan bersenjata tajam. Pak Rudi mengerem mendadak hingga membuat Rossa yang sedang melayani chat dari Andra terlonjak kaget. Pria itu gemetaran. Rossa pun terlihat panik saat melihat dua pemuda memaksa Pak Rudi membuka kunci pintu dengan mengetuk-ketuk kaca. Sementara dua lainnya masih menghadang di depan.Dua orang tadi segera membuka pintu belakang dan menarik tubuh Rossa keluar. Sementara Pak Rudi dibekap hingga pingsan. Rossa menjerit meminta tolong. Tapi suasana jalanan begitu sepi.Gadis itu diseret menuju kebun di pinggir jalan. Rossa memberontak. Akhirnya s
Saat di klinik kemarin Rossa meminta izin Kasimin agar ibunya untuk sementara waktu ikut tinggal bersamanya. Sambil menunggu renovasi rumah sederhana mereka selesai. Hari ini hari pertama rumah bilik penuh kenangan itu akan dibongkar dan menjelma menjadi bangunan permanen, seperti rumah lainnya di desa itu.Melihat interior kamar apartemen yang ditempati Rossa, kedua bola mata Jubaedah membulat sempurna. Ia teringat kemegahan rumah majikannya di Tanah Arab dulu. Jubaedah duduk di atas sofa dengan bantalan yang sangat empuk. Jauh berbeda dengan kasur lantai berbusa tipis yang menjadi alasnya tidur.Meskipun apartemen ini bukan milik putrinya, tapi ia begitu bersyukur Rossa bekerja pada orang yang dianggapnya tepat. Walaupun hingga saat itu dirinya belum tahu pekerjaan apa yang dijalani gadis keturunan Arab itu.“Bosmu pasti orang yang sangat baik, Ros. Sepertinya ibu akan nyaman tinggal bersamamu di sini.” Jubaedah mengelus lembut kulit sofa yang didudukinya. Orang kaya di desanya pun
Beberapa panggilan masuk dari Andra tidak sempat Rossa angkat karena sibuk mengantarkan dan menemani Jubaedah check up di salah satu rumah sakit. Ternyata ibunya memiliki flek di paru-parunya sehingga harus mendapatkan pengobatan selama beberapa bulan ke depan.Setelah check up, Rossa membawa ibunya pulang ke apartemen. Ia sudah memesan menu masakan untuk santapan makan siang ibunya. Rossa juga baru saja menyewa asisten untuk mengurus keperluan ibunya bila dirinya sedang keluar menjalankan tugas.Setelah memastikan segala keperluan ibunya tersedia, gadis itu berpamitan. Segera Rossa menemui Pak Rudi yang sudah menunggunya di lobby. Mereka pun segera meluncur dengan Jazz merah dan menuju sebuah kafe. Di sana ia akan menemui Andra. Pria itu sudah tidak tahan ingin segera bertemu dengan Rossa yang beberapa hari belakangan ini sulit dihubungi.“Halo, Beb. Aku rindu berat padamu,” ujar Andra gombal ketika Rossa menghampirinya. Pria itu mengecup punggung telapak tangan Rossa yang lembut. M
Rossa sudah tiba di lobby apartemen. Resepsionis memberitahukan bila ada seorang perempuan telah menunggunya sejak tadi. Rossa menoleh ke arah sofa di mana seorang perempuan yang wajahnya sudah dikenalinya tengah menatap ke arahnya tajam. Rossa tersenyum simpul. Jelita sudah mengajarinya bagaimana cara menghadapi situasi saat istri sah lelaki yang akan direbutnya itu datang melabrak.“Oh, rupanya benar kamu. Kamu perempuan di kafe waktu itu kan?” tanya Devina angkuh. Rossa melipat kedua tangannya di dada.“Jika memang itu aku, kenapa? Kamu takut suamimu akan kurebut?” Rossa menghampiri perempuan itu dengan langkah anggun namun tegas. Tak sedikit pun gadis itu gentar. Apalagi semua ia lakukan demi uang, demi keluarga dan demi masa depannya yang lebih baik.“Huh! Aku tidak akan pernah takut menghadapi pelakor apalagi picisan sepertimu,” cibir Devina. “Oh, pastinya kamu tidak akan pernah takut. Karena kamu sangat tahu bagaimana cara menghadapi pelakor. Bukankah, sebelum menjadi istri An