Share

#3 - MELARIKAN DIRI

Author: Muthi Mozla
last update Last Updated: 2023-09-27 03:58:48

Sesuai intruksi Rahma, selesai berkemas Rossa sudah bersiap untuk minggat dari rumah terkutuk itu. Tidak perlu menunggu waktu subuh. Kebetulan barang-barangnya pun tidak banyak. Hanya beberapa pasang pakaian.

Syukurlah sang ayah sudah kembali aktif ponselnya. Rossa meminta ayah tirinya itu untuk menjemput di ujung gang. Dengan mengendap, Rossa berjalan menuju pintu depan yang sengaja tidak dikunci oleh Rahma. Sementara Rahma ikut mengawasi sambil berpura-pura masih berzikir. Ia sengaja salat di ruang tengah, tidak di musala. Perempuan itu sudah memastikan bila suami dan ibu mertuanya masih terlelap tidur. Rahma pun memberi kode sebagai pertanda aman.

Cepat-cepat Rossa keluar dari rumah itu. Melewati pekarangan yang pintu pagarnya sudah terbuka lebar. Rahma benar-benar sudah mempersiapkan pelarian dirinya. Perempuan itu juga mengawasi di ambang pintu depan. Memastikan bila tidak ada penghuni rumah yang menyadari kepergian Rossa. Setelah Rossa tak terlihat punggungnya, ia segera mengunci pagar dan pintu depan. Lalu kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidur. Seolah-olah tidak tahu sesuatu yang terjadi malam itu.

Rossa menyusuri jalanan yang sepi dengan degup jantung berdebar kencang. Syukurlah di kejauhan sang ayah terlihat menunggunya dengan motor butut kesayangannya. Ayah tiri yang sudah membantu mengurusnya sejak bayi itu sudah menganggap Rossa seperti anak kandungnya sendiri. Apalagi memang hingga kini hanya Rossa satu-satunya anak yang mereka miliki. Setelah sang istri keguguran, sejak itu ia kesulitan untuk hamil.

“Aman, Neng?” tanya Kasimin melihat bias ketakutan di wajah putrinya. Rossa hanya mengangguk pelan.

“Teh Rahma yang bantu aku, Pak. Cepat, yuk, Pak. Rossa khawatir orang rumah keburu bangun dan sadar bila Rossa takada di rumah mereka.”

Kasimin dengan cepat menyalakan mesin motornya. Saat berangkat tadi sempat mogok, syukurnya kali ini motor butut itu tidak mengadat seolah tahu dan ingin membantu pelarian Rossa dengan lancar. “Pinter kamu, Tong,” puji Kasimin pada motor bututnya. Mereka pun melaju membelah jalanan yang sepi.

“Ini kita mau ke mana, Pak? Kok jalannya bukan ke arah rumah?” tanya Rossa ketika menyadari jalur yang mereka tempuh bukanlah jalan menuju gubuk mereka.

“Kamu akan bapak ungsikan ke rumah saudara bapak di luar kecamatan. Sementara waktu, bersembunyilah di sana. Tenang saja, saudara bapak ini orangnya baik. Dia adik sepupu bapak. Kamu pernah ketemu beberapa kali waktu kecil dulu.”

“Bi Inah, ya?” tebak Rossa. Kedua matanya berbinar.

“Kamu masih ingat, Neng?”

“Gimana Rossa bisa lupa. Bi Inah memang baik banget, Pak.”

“Alhamdulillah kalau begitu. Semoga kamu aman dan selamat selama bersembunyi di sana. Bi Inah seorang janda dengan tiga anak yang masih sekolah. Kamu bisa bantu-bantu Bi Inah urus rumah, ya, Neng. Jangan merepotkan di sana,” pesan Kasimin.

“Iya, Pak.”

Motor terus melaju melewati beberapa desa hingga akhirnya keluar dari kecamatan dan memasuki wilayah kecamatan lain.

***

[Untuk sementara waktu, jangan menghubungiku. Usahakan ganti nomormu, Rossa.]

Sebuah pesan masuk dari Rahma. Rossa membacanya sekilas.

Bi Inah menghidangkan teh manis dan uli goreng. Raut wajahnya masih seramah dan sehangat saat Rossa kecil dulu. Hanya saja dulu Bi Inah masih gadis. Kini Bi Inah sudah menjadi janda ditinggal mati dan memiliki dua putra dan seorang putri yang masih sekolah. Anak yang paling besar yaitu perempuan, duduk di bangku SMP. Rossa memerhatikan foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tamu sederhana ini.

“Nah, akang titip Rossa di rumahmu, ya. Tolong jaga dan perlakukan ia seperti putrimu sendiri, Nah,” pesan Kasimin.

“Iya, Kang. Pasti Inah jaga dan merawat Rossa seperti anak Inah sendiri. Apalagi anak-anak bakal senang dengan kehadiran Rossa di rumah ini. Inah merasa punya teman di rumah, Kang.”

Kasimin lalu berpamitan untuk pulang. Rossa juga sudah memberitahukan rencananya untuk mengganti nomor. Kebetulan Inah membuka konter pulsa dan menjual nomor baru sehingga Rossa tak perlu bersusah payah mencari. Semua pelarian ini seolah dipermudah jalannya oleh Tuhan.

Bunyi motor butut Kasimin membuat ketiga anak Inah terbangun. Kasimin pun meninggalkan mereka dengan laju motornya yang mengeluarkan asap lumayan tebal dari knalpotnya.

Inah pun memperkenalkan Rossa pada ketiga anaknya. Benar katanya, anak-anak itu terlihat begitu senang dengan kehadiran Rossa. Apalagi melihat rupa Rossa yang serupa bidadari. Seolah-olah mereka melihat artis sinetron. Mereka memandangi Rossa dengan perasaan takjub.

“Bu, aku bisa secantik teh Rossa nggak ya saat besar nanti?” celetuk Rani, putri pertama Inah.

“Kamu sudah terlihat cantik, Rani,” puji Rossa.

“Bapak kandung teh Rossa ini orang Arab loh, Rani. Kalau bapak kandungmu orang sini. Made in Indonesia. Mana bisa wajahmu kearaban seperti teh Rossa,” ujar Inah sambil menahan tawa mendengar ucapannya sendiri.

“Ih, ibu mah suka begitu,” Rani merajuk. Ia pasang wajah cemberut.

“Kamu sudah terlihat cantik kok, Rani. Apalagi kalau semakin dewasa nanti.” Rossa mengusap kepala Rani penuh kasih sayang.

“Nah, seharusnya ibu tuh kayak teh Rossa.” Rani memeluk pinggang Rossa.

“Ah, kamu ini. Pengennya dipuji terus,” ledek Inah, membuat Rani semakin cemberut.

“Yaaah ... cantik-cantik kok wajahnya cemberut,” kedua adik Rani juga ikut meledek. Keduanya sudah bersiap dengan koko, sarung dan peci. Mereka hendak ikut berjamaah salat Subuh. Sebentar lagi azan akan berkumandang.

“Awas, ya, kalian berdua,” Rani mengancam kedua adiknya. Sementara Rendi dan Rafa, kedua adiknya, berlalu menjauh sambil menjulurkan lidah ke arahnya. Sesekali Rafa terlihat membetulkan posisi sarung yang disampirkan menyilang di bahu. Sementara Rendi membetulkan letak pecinya yang kebesaran. Peci peninggalan mendiang sang ayah yang terpaksa dipakainya karena peci miliknya sendiri sudah rusak.

Melihat kehangatan keluarga ini, Rossa merasa damai. Potret kesederhanaan yang membuat tentram hati Rossa setelah beberapa hari merasa seperti berada di neraka.

***

Mendapati kamar Rossa kosong melompong, Mak Nani mencak-mencak dan kalang kabut. Rahma bergegas menghampiri dan bertanya, “ada apa, Mak?”

“Perempuan jalang itu rupanya sudah kabur, Rahma. Duh, bagaimana ini?”

“Bagaimana apanya, Mak? Bukannya bagus jika Rossa sudah tidak di rumah ini. Sumber masalah jadi hilang,” ujar Rahma seolah tidak tahu apa-apa.

“Duuuh ... pekerjaan rumah semakin menumpuk, Rahma. Siapa yang akan mengerjakannya? Emak nggak mungkin menyuruh kamu, menantu kesayangan emak satu-satunya.” Mak Nani mondar-mandir dengan panik.

“Kan emak bisa sewa asisten,” usul Rahma.

“Duh, pemborosan itu namanya Rahma.” Mak Nani berkilah. Wanita itu memang terkenal pelit.

“Ya sudah, biar Rahma yang bayar ya, Mak. Mak tenang aja,” usul Rahma. Kedua mata Mak Nani berbinar karena senang. Ia tak perlu repot mengeluarkan uang. Akhirnya korban termakan umpan, ujar Rahma dalam hati. Ia memang sengaja memberikan usulan. Ada maksud dan tujuan tertentu yang masih dirahasiakannya dari siapa pun.

“Nanti biar Rahma yang urus dan carikan asisten ya, Mak.” Rahma tersenyum semringah.

“Terserah kamu aja, Rahma. Mak mau beli nasi uduk Mbok Inem dulu. Kamu tolong bangunkan Ilyas. Dia tak boleh terlambat ke kantor kelurahan untuk apel hari ini,” pesan Mak Nani. Rahma menganggukkan kepala sambil mengulum senyum penuh misteri.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Demi Cuan, Aku Jadi Pelakor Bayaran   #30 - KEDATANGAN ANDRA DI RUMAH JUBAEDAH

    Urusan perpindahan sekolah Rani dan adik-adiknya sudah beres. Tinggal membantu bibinya melunasi utang-utangnya kepada rentenir. Rossa banyak menggelontorkan sejumlah uang demi membantu adik sepupu bapaknya itu. Di dapur, ibu dan Bi Sari sibuk mengadon kue. Ibu sudah dibekali Rossa usaha bakery. Sementara ini berproduksi skala rumahan karena baru merintis. Bila sudah berjalan lancar, barulah Rossa mencarikan tempat untuk disewa atau dibeli.Sementara bapak sudah dimodali mobil dan motor second untuk usaha angkot dan ojeknya. Masing-masing satu buah kendaraan. Bila usaha bapaknya lancar, barulah menambah jumlah kendaraannya. Tapi bukan bapak yang menyupiri. Bapak hanya tinggal menerima setoran dari supir angkot dan pengemudi ojeknya nanti. Rossa tidak ingin kedua orang tuanya di masa tua masih kerepotan mencari uang sana sini. Apalagi jika teringat masa-masa sulit dulu. Sekadar mencari pinjaman untuk sarapan saja sulit. Tidak jarang kedua orang tuanya harus menjadi kuli dulu agar m

  • Demi Cuan, Aku Jadi Pelakor Bayaran   #29 - Terlilit Utang

    Rossa dan kedua orang tuanya telah sampai di lobby apartemen yang ditempati Rossa. Tampak Bi Inah dan ketiga anaknya sudah menunggu di sofa ruang tunggu. Mereka membawa tas berukuran besar yang tergeletak di atas lantai.Begitu melihat Rossa, mereka langsung menghambur dan memeluk gadis itu. Bi Inah mengisakkan tangis.“Mari kita ke apartemen Rossa dulu, yuk,” ajak Rossa sambil merangkul bahu Bi Inah yang masih terguncang dan mengisakkan tangisnya. Sementara Jubaedah menuntun Rani dan kedua adiknya. Mereka memasuki lift dan meluncur ke lantai tiga.Sesampainya di apartemen, Rossa menyediakan minum untuk para tamu kesayangannya ini. Bi Inah langsung meneguk hingga tandas minuman berwarna oranye dengan rasa jeruk. Lalu Rani dan kedua adiknya juga ikut meneguk minuman yang terlihat menyegarkan dahaga itu. Mereka terlihat sangat kehausan.“Maaf, minumnya jadi habis, Rossa. Kami kehausan. Mau beli minum tidak punya uang sepeser pun,” jelas Bi Inah dengan raut wajah yang sendu dan membu

  • Demi Cuan, Aku Jadi Pelakor Bayaran   #28 - Bi Inah

    “Rossa lagi sibuk ngga?” tanya Rusydi dari seberang telepon.“Ngga, Bang. Ini habis ngobrol sama ibu soal keadaan Razan,” jawab Rossa sambil melepas jarum pentul yang mengunci hijab pashminanya. Gadis itu belum terbiasa mengenakan hijab. Tampak wajah cantik khas Timur Tengah miliknya sedikit berkeringat.“Abang lupa bilang. Tadi abang simpan box hadiah di minibar. Mudah-mudahan masih ada. Itu sengaja abang kirim buat Rossa. Karena tadi Rossa sibuk mengobrol dengan Razan, jadi abang kelupaan ngasih ke Rossa. Mohon diterima, ya.”“I-iya, Bang. Sebentar Rossa cek dulu, ya.”Rossa lalu berjalan menghampiri minibar. Benar, box berwarna merah muda itu masih tersimpan dengan baik.“Merah muda warnanya, Bang?” tanya Rossa memastikan.“Iya. Warna kesukaan Rossa, kan?” Rossa mengulum senyum dan tersipu malu. Ternyata pemuda itu masih ingat dan hafal apa warna kesukaannya. Rossa menyukai dua warna, merah muda dan ungu. Bahkan dekorasi kamarnya ini pun bernuansa pink dan ungu.Pelan-pela

  • Demi Cuan, Aku Jadi Pelakor Bayaran   #27 - API CEMBURU

    Pandangan mata Rusydi mengawasi gerak-gerik pemuda yang sedang mengobrol dengan Rossa. Setelah acara tasyakuran, pria yang tidak dikenal Rusydi itu tidak langsung pulang. Dia sengaja menunggu Rossa.Sikap Rossa yang terlihat hangat dan ramah membuat hati Rusydi dibakar api cemburu. Namun ia harus bisa menahannya. Bagaimana pun mereka berdua tidak memiliki hubungan apa pun meskipun Rusydi sudah mengutarakan perasaannya. Rossa hingga kini belum memberi jawaban.“Baiklah, Rossa. Kapan-kapan aku mampir ke apartemenmu, ya. Jangan lupa simpan nomorku,” pesan Razan. Pemuda itu meninggalkan rumah ibu Rossa dan berjalan menghampiri mobilnya yang terparkir agak jauh dari rumah itu. Rossa berbalik hendak memasuki rumah.Namun tiba-tiba beberapa warga berteriak histeris. Terdengar suara rintihan kesakitan yang Rossa kenal. Bergegas Rossa menghampiri asal suara. Disusul Rusydi di belakangnya.Di luar rumah para warga berkerumun mengelilingi seseorang yang terluka akibat luka tusuk di perutnya.

  • Demi Cuan, Aku Jadi Pelakor Bayaran   #26 - IDENTITAS INISIAL R TERUNGKAP

    Ponsel pintar Rossa berdering beberapa kali dan bersumber dari telepon nomor tidak dikenal. Bi Sari sampai kebingungan mengapa majikannya tidak mau mengangkat telepon itu. Padahal sejak tadi aktivitasnya menonton TV terganggu karena suara bisingnya.“Non, kenapa ngga diangkat dulu?” tanya Bi Sari dengan sopan. Wanita itu tengah membersihkan laci-laci menggunakan kemoceng dan lap basah.“Biarin aja, Bi. Nomornya ngga dikenal. Paling juga orang iseng,” jawab Rossa sambil terus mengunyah keripik singkong buatan ibunya. Jubaedah sudah tidak tinggal di apartemen ini. Ibu Rossa itu sudah menempati rumahnya sendiri. Malam ini akan diadakan tasyakuran. Pagi ini Rossa akan berkemas untuk menginap di rumah baru ibunya selama beberapa hari. “Bi, nanti tolong kemasi barang-barang keperluan saya, ya. Jangan lupa skincare yang saya pakai jangan sampai ketinggalan. Sekalian pakaian bibi juga dikemas. Kita akan menginap sekitar tiga hari di rumah ibu,” pinta Rossa.“Baik, Non. Siap, laksanakan!” sah

  • Demi Cuan, Aku Jadi Pelakor Bayaran   #25 - KEDATANGAN MAK NANI

    “Rossa ... keluarlah! Pangeranmu sudah datang!” Dengan begitu percaya diri Ilyas memanggil nama Rossa. Wanita yang sedang mengintip dari balik gorden itu tampak kesal dan tak menghiraukan. Rossa menoleh ke arah Rusydi yang tampak keheranan. Pemuda itu penasaran dan akhirnya ikut mengintip. Ia menertawakan tingkah kakak ipar Rossa yang begitu aneh itu.Bagaimana tidak? Lelaki itu datang dengan gaya berpakaian ala A Rafiq, penyanyi dangdut legendaris yang sering mengenakan celana jeans model cutbrai. Lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di batang hidungnya dan rambut klimis. Belum lagi, wanita yang selalu menempel di lengannya seperti prangko, si ‘janda herang’ Kartika. Perempuan itu seperti tidak punya harga diri, dengan beraninya menggaet suami orang.“Kakak iparmu itu lucu sekali, Rossa. Sifatnya tidak berubah sejak kecil, ya. Jauh berbeda dengan Saleh,” ujar Rusydi berkomentar. Rossa pun tersenyum sinis.“Iya, tuh. Entah kenapa Bang Saleh harus bersaudara dengan lelaki t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status