Rossa membantu Inah menyiapkan perlengkapan jualan sarapan. Bila pagi, Inah menjual menu sarapan dan kue-kue basah titipan tetangga. Ada nasi uduk, kupat sayur dan aneka gorengan. Kue-kue basah titipan tetangga ada papais pisang, kue cantik manis, kue lumpur dan aneka macam lainnya. Sejak fajar mulai menyingsing pembeli sudah ramai.
Ada satu pembeli berpakaian necis yang sepertinya sudah berlangganan. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Ia terlihat akrab dengan Inah. Begitu melihat Rossa yang melayaninya, pria itu tampak sangat tertarik.“Siapa ini, Bi Inah?” tanya lelaki yang diketahui bernama Basir itu setengah berbisik.“Keponakan saya, Pak Basir. Awas, ya, jangan macam-macam. Ingat loh, di rumah sudah ada empat istri. Yang kelima haram,” ujar Inah tegas. Basir terkekeh mendengar sindiran dan kode keras dari Inah.“Kan bisa dicerai salah satunya, biar tetap empat,” kilah lelaki hidung belang itu.“Jangan gitu loh, Pak Basir. Hati-hati karma. Apalagi anak Pak Basir kan perempuan semuanya.” Bi Inah berujar tanpa menoleh. Ia sibuk melayani pembeli yang silih berganti. Sementara Rossa terlihat kewalahan juga. Tumben pagi itu pembeli lebih membludak dari biasanya.Basir terlihat kikuk. Sedikit malu juga karena beberapa mata memandang ke arahnya. Lelaki itu memang sudah terkenal sebagai pria hidung belang. Tapi tak pernah kapok bergunta-ganti istri. Kawin-cerai sudah biasa.“Rapi amat, Pak Basir. Ada jobkah?” tanya seorang ibu pada Pak Basir.“Iya nih, Bu RT. Ada job manggung di desa sebelah.” Basir terlihat sedikit kikuk. Pandangan mata si ibu agak lain dari biasanya. Seolah tidak nyaman dengan kehadiran Rossa.Rupanya Bu RT yang menegur Basir. Keduanya pernah diisukan terlibat skandal meskipun tidak ada bukti dan saksi. Baru sekadar praduga masyarakat karena melihat keintiman hubungan keduanya.“Oh gitu. Nanti saya ke sana deh. Mau ikut nyawer,” timpal Bu RT yang hanya dibalas anggukan Basir. Lalu perempuan itu beranjak pergi dengan langkah gemulai dan pinggul yang sengaja digoyang. Jelas, mata jelalatan Basir tidak bisa lepas dari pemandangan ini. Bu RT dikenal sebagai perempuan berusia matang paling cantik di desa ini.“Ehem,” Inah berdeham membuat Basir gelagapan. Rossa yang melihat kelakuan pria itu jadi merasa risih.“Duh, pusing saya. Ada biduan yang nggak bisa datang hari ini karena keseleo. Mana bisa menggoyang panggung kalau kakinya keseleo.” Basir menepuk keningnya. Mencari biduan dangdut yang digemari penonton itu sulit. Apalagi timnya sudah terkenal dengan biduannya yang cantik dan aduhai.“Bapak butuh biduan? Kalau nggak keberatan, saya siap menggantikan, Pak. Sebelumnya saya juga biduan walau biduan kampung,” Rossa menawarkan diri. Bi Inah tersentak kaget mendengar pengajuan diri Rossa yang tanpa kompromi dengannya.“Wah, jelas saya sangat tidak keberatan, Neng Rossa.” Mata jelalatan lelaki buaya ini sibuk memindai tubuh Rossa dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Tapi, pakaiannya nggak boleh begini, ya.” Pria itu melirik daster yang dikenakan Rossa. “Minimal harus berpakaian ketat lah,” tambahnya.“Pakaian manggung saya tertinggal di rumah, Pak. Saya hanya membawa kemeja dan jeans.”“Tenang saja. Tim kami sudah menyiapkan wardrobe khusus untuk biduan kami.” Pria itu kembali memindai tubuh Rossa. Bi Inah menjadi risih. Ia lalu menarik Rossa ke dalam rumah.“Jangan buat bi Inah khawatir, Ros. Semua orang tahu siapa Basir,” cegah Inah.“Bi Inah tenang aja. Rossa bisa jaga diri kok.” Rossa menggenggam jemari Inah untuk menenangkannya. Lalu mengajak wanita itu kembali menemui Basir.“Saya siap, Pak Basir.”“Panggil saya kakang atau aa saja, Neng. Terlalu tua kalau dipanggil bapak,” ujar Basir dengan genit. Rossa hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.“Kamu saya tunggu di rumah sekitar jam 7 yah,” pesan Basir.***Acara hajatan di desa ini ternyata begitu besar. Tamu undangan selalu terlihat penuh. Kecantikan Rossa dengan wajah khas kearaban itu menjadi pusat perhatian siapa pun yang memandangnya. Apalagi dengan kostum yang dikenakannya saat itu. Mampu membuat mata setiap lelaki tak berkedip karena lekuk tubuhnya yang nyaris sempurna. Semua mata tersihir ke arahnya. Saweran saat Rossa menyanyi juga paling banyak nominalnya hingga membuat biduan lain menggunjing dirinya di belakang.Di antara para tamu undangan, ada satu wajah yang sangat familiar.Rusydi, ternyata menjadi salah satu tamu undangan empunya hajat. Beberapa kali tatap mata Rossa dan Rusydi hampir bertemu. Tapi Rusydi selalu memalingkan wajah saat Rossa menoleh ke arahnya. Rossa ingin menghampiri Rusydi, tapi tamu sangat ramai. Apalagi beberapa penonton ingin Rossa lebih sering tampil bernyanyi. Padahal Rossa menari dan bergoyang ala kadarnya, tidak selincah biduan lainnya. Benar-benar kehadiran Rossa membawa peruntungan besar bagi tim Basir.Selepas acara, rupanya Rusydi belum pulang. Lelaki itu sengaja menunggu Rossa. Begitu keadaan lengang, bergegas ia menghampiri Rossa yang sudah menuruni panggung.“Ros, pulang dengan siapa?” tanya Rusydi.“Mungkin dengan Pak Basir. Tadi kami berangkat bersama,” jawab Rossa. Basir yang masih berada di atas panggung menatap tak suka ke arah keduanya.“Abang antar pulang, ya. Biar aman. Abang khawatir dengan pakaian yang seketat ini kamu diganggu orang.” Rusydi menunggu jawaban Rossa sambil menundukkan pandangannya.“Nggak ngerepotin, Bang?”Rusydi menggeleng.Rossa pun berpamitan pada Basir. Lelaki hidung belang itu awalnya keberatan. Tapi setelah Rossa bilang bahwa Rusydi adalah kerabatnya, Basir akhirnya mengizinkan. Tapi tatapannya terus mengawasi.Selama perjalanan tak banyak obrolan antara Rossa dan Rusydi. Keduanya lebih memilih diam. Rusydi pun baru tahu soal pelarian Rossa pagi tadi. Kampung menjadi geger karena ulah Mak Nani yang menceritakan macam-macam soal Rossa.Sesampainya di rumah Inah, Rossa mempersilakan Rusydi mampir. Tapi pemuda itu menolak karena waktu sudah larut malam. Rusydi pun berpamitan. Sebelumnya, Rossa sempat menuliskan nomor barunya pada secarik kertas dan menyelipkannya di kantung jaket Rusydi.“Itu nomor Rossa, Bang. Tolong disimpan, ya,” pinta Rossa disertai senyuman termanisnya. Jujur, ia tak dapat memungkiri perasaannya saat dulu pada Rusydi kini kembali bersemi. Ia terlalu bahagia diantar Rusydi malam ini.Rusydi melajukan motornya. Berpamitan pada Rossa yang berdiri mematung hingga punggung lelaki itu tak terlihat lagi.***Lampu indikator ponsel pertanda pesan masuk menyala. Rossa mengecek ponselnya dan membuka aplikasi WhatsApp. Kasimin mengirimkan pesan.[Mak Nani dan Ilyas datang ke rumah mencarimu, Nak. Mereka menuntut ganti rugi atas mahar yang Soleh berikan sebesar 30 juta. Bapak bingung, bagaimana mencari uang sebanyak itu. Tapi bapak akan mencari bantuan. Kamu di sana jaga-jaga dan lebih waspada, ya, Nak. Salam dari ibunu. Doa kami selalu menyertai.]Wajah Rossa berubah mendung setelah membaca pesan yang masuk. Membuat Inah mencurigainya. Inah khawatir keponakannya mendapat masalah besar.“Ada apa, Rossa?’ tanya Inah sambil menutup buku rincian penjualan pulsa.“Nggak apa-apa, Bi. Rossa hanya khawatir terhadap kedua orang tua di rumah. Mak Nani dan Ilyas pasti akan mencari keberadaan Rossa.” Mendengar penuturan Rossa, Inah turut prihatin. Wanita itu tahu betapa perihnya kehidupan gadis itu sejak kecil. Dari dalam kandungan, ayah kandungnya yang asli Arab dikabarkan wafat. Rossa hanya mampu melih
Rossa memasuki pekarangan rumah bergaya Eropa yang begitu luas. Taman tertata dengan apik dan cantik. Setelah berjalan beberapa langkah dari gerbang, kakinya menapak di atas lantai berlapis marmer. Pilar-pilar besar berdiri kokoh di beranda teras yang dipijaknya ini. Rossa begitu takjub dengan kemegahan rumah yang baginya seperti istana ini. Dengan diantar satpam, Rossa dipertemukan dengan pemilik rumah.Anwar dan istrinya yang sangat cantik membukakan pintu utama dan menyambut Rossa dengan kehangatan. Begitu melangkah masuk, sorot mata Rossa berbinar karena takjub. Interior rumah bergaya klasik ini begitu mewah dan elegan. Ada sofa besar berjajar membentuk oval di ruang tamu yang megah ini. Anwar mempersilakan Rossa untuk duduk. Kemudian datang asisten rumah tangga berusia paruh baya membawa nampan berisi suguhan minuman dan makanan ringan.“Silakan dicicipi,” tawar istri Anwar dengan senyum dikulum. Nona muda di hadapan Rossa ini memindai penampilan Rossa dari ujung rambut hingga u
Di sebuah rumah di tengah kota ....Sudah sekitar seminggu Rossa menjalankan misi yang diberikan Anwar dan Jelita padanya. Andra bisa beberapa kali menghubungi gadis berparas cantik khas Timur Tengah itu dalam sehari. Dosisnya bahkan bisa melebihi minum obat. Seolah kecantikan Rossa membuatnya candu. Bahkan di tengah kesibukan pria itu bekerja, ia menyempatkan untuk melakukan video call dengan gadis itu.Tidak hanya di kantor, saat di rumah setelah menunggu istrinya tidur, Andra akan menyempatkan diri menelepon Rossa. Suara gadis itu terasa menggoda di pendengarannya. Tak ayal Andra terkadang membayangkan paras cantik rupawan itu tengah bercinta dengannya.Awalnya Devina tidak menyadari keanehan tingkah suaminya. Namun beberapa hari belakangan pria itu bersikap sangat romantis. Devina yang sudah hafal di luar kepala gelagat suaminya akhirnya menaruh curiga. Ia teringat gadis cantik yang dilihatnya beberapa waktu lalu di sebuah kafe. Saat itu pandangan Andra seolah tak ingin terlepas
Rossa tidak dapat berlama-lama di rumah orang tuanya. Ia hanya menjenguk ibunya lalu memberi sejumlah uang. Rossa meminta supaya rumah mereka direnovasi segera karena begitu iba melihat ibunya berbaring lemah di lantai. Di hari itu juga ia mengirimkan kasur busa dengan tebal 30 senti supaya kedua orang tuanya bisa tidur dengan nyaman.Sebelum keluar dari desa, mobil Jazz yang ditumpangi Rossa dihadang beberapa pria bertopeng dan bersenjata tajam. Pak Rudi mengerem mendadak hingga membuat Rossa yang sedang melayani chat dari Andra terlonjak kaget. Pria itu gemetaran. Rossa pun terlihat panik saat melihat dua pemuda memaksa Pak Rudi membuka kunci pintu dengan mengetuk-ketuk kaca. Sementara dua lainnya masih menghadang di depan.Dua orang tadi segera membuka pintu belakang dan menarik tubuh Rossa keluar. Sementara Pak Rudi dibekap hingga pingsan. Rossa menjerit meminta tolong. Tapi suasana jalanan begitu sepi.Gadis itu diseret menuju kebun di pinggir jalan. Rossa memberontak. Akhirnya s
Saat di klinik kemarin Rossa meminta izin Kasimin agar ibunya untuk sementara waktu ikut tinggal bersamanya. Sambil menunggu renovasi rumah sederhana mereka selesai. Hari ini hari pertama rumah bilik penuh kenangan itu akan dibongkar dan menjelma menjadi bangunan permanen, seperti rumah lainnya di desa itu.Melihat interior kamar apartemen yang ditempati Rossa, kedua bola mata Jubaedah membulat sempurna. Ia teringat kemegahan rumah majikannya di Tanah Arab dulu. Jubaedah duduk di atas sofa dengan bantalan yang sangat empuk. Jauh berbeda dengan kasur lantai berbusa tipis yang menjadi alasnya tidur.Meskipun apartemen ini bukan milik putrinya, tapi ia begitu bersyukur Rossa bekerja pada orang yang dianggapnya tepat. Walaupun hingga saat itu dirinya belum tahu pekerjaan apa yang dijalani gadis keturunan Arab itu.“Bosmu pasti orang yang sangat baik, Ros. Sepertinya ibu akan nyaman tinggal bersamamu di sini.” Jubaedah mengelus lembut kulit sofa yang didudukinya. Orang kaya di desanya pun
Beberapa panggilan masuk dari Andra tidak sempat Rossa angkat karena sibuk mengantarkan dan menemani Jubaedah check up di salah satu rumah sakit. Ternyata ibunya memiliki flek di paru-parunya sehingga harus mendapatkan pengobatan selama beberapa bulan ke depan.Setelah check up, Rossa membawa ibunya pulang ke apartemen. Ia sudah memesan menu masakan untuk santapan makan siang ibunya. Rossa juga baru saja menyewa asisten untuk mengurus keperluan ibunya bila dirinya sedang keluar menjalankan tugas.Setelah memastikan segala keperluan ibunya tersedia, gadis itu berpamitan. Segera Rossa menemui Pak Rudi yang sudah menunggunya di lobby. Mereka pun segera meluncur dengan Jazz merah dan menuju sebuah kafe. Di sana ia akan menemui Andra. Pria itu sudah tidak tahan ingin segera bertemu dengan Rossa yang beberapa hari belakangan ini sulit dihubungi.“Halo, Beb. Aku rindu berat padamu,” ujar Andra gombal ketika Rossa menghampirinya. Pria itu mengecup punggung telapak tangan Rossa yang lembut. M
Rossa sudah tiba di lobby apartemen. Resepsionis memberitahukan bila ada seorang perempuan telah menunggunya sejak tadi. Rossa menoleh ke arah sofa di mana seorang perempuan yang wajahnya sudah dikenalinya tengah menatap ke arahnya tajam. Rossa tersenyum simpul. Jelita sudah mengajarinya bagaimana cara menghadapi situasi saat istri sah lelaki yang akan direbutnya itu datang melabrak.“Oh, rupanya benar kamu. Kamu perempuan di kafe waktu itu kan?” tanya Devina angkuh. Rossa melipat kedua tangannya di dada.“Jika memang itu aku, kenapa? Kamu takut suamimu akan kurebut?” Rossa menghampiri perempuan itu dengan langkah anggun namun tegas. Tak sedikit pun gadis itu gentar. Apalagi semua ia lakukan demi uang, demi keluarga dan demi masa depannya yang lebih baik.“Huh! Aku tidak akan pernah takut menghadapi pelakor apalagi picisan sepertimu,” cibir Devina. “Oh, pastinya kamu tidak akan pernah takut. Karena kamu sangat tahu bagaimana cara menghadapi pelakor. Bukankah, sebelum menjadi istri An
Sebuah pesan masuk dari Andra melayang di layar ponsel Rossa. Segera ia mengklik pesan itu.[Istriku marah besar. Sementara waktu aku belum bisa menghubungimu, Honey. Sabar, ya. I’ll miss you]Rossa tersenyum sinis. Sama sekali ia tidak akan merindukan lelaki bajingan seperti Andra. Hari-hari wanita itu selalu dibayangi wajah Rusydi. Apalagi semenjak Rusydi menyelamatkannya yang hampir menjadi korban perkosaan Ilyas. Si lelaki biadab.Sayangnya, masa iddah yang dijalaninya belum genap 130 hari. Gadis itu masih berstatus menantu Mak Nani. Sungguh waktu yang sangat lama untuk bisa terlepas dari jeratan nenek sihir penuh kelicikan itu.[Miss you too]Rossa bergidik ketika membaca balasan pesannya sendiri. Kalau bukan karena ia masih butuh pekerjaan ini untuk mengumpulkan pundi-pundi uang, pria itu pasti sudah ditinggalkannya. Meskipun Rossa terkenal sebagai biduan dangdut, yang notabene sering dicap perempuan tidak baik, tapi sampai saat ini gadis itu berusaha menjaga kesuciannya. Ia ha