Share

#4 - BIDUAN DANGDUT

Rossa membantu Inah menyiapkan perlengkapan jualan sarapan. Bila pagi, Inah menjual menu sarapan dan kue-kue basah titipan tetangga. Ada nasi uduk, kupat sayur dan aneka gorengan. Kue-kue basah titipan tetangga ada papais pisang, kue cantik manis, kue lumpur dan aneka macam lainnya. Sejak fajar mulai menyingsing pembeli sudah ramai.

Ada satu pembeli berpakaian necis yang sepertinya sudah berlangganan. Usianya sekitar empat puluh tahunan. Ia terlihat akrab dengan Inah. Begitu melihat Rossa yang melayaninya, pria itu tampak sangat tertarik.

“Siapa ini, Bi Inah?” tanya lelaki yang diketahui bernama Basir itu setengah berbisik.

“Keponakan saya, Pak Basir. Awas, ya, jangan macam-macam. Ingat loh, di rumah sudah ada empat istri. Yang kelima haram,” ujar Inah tegas. Basir terkekeh mendengar sindiran dan kode keras dari Inah.

“Kan bisa dicerai salah satunya, biar tetap empat,” kilah lelaki hidung belang itu.

“Jangan gitu loh, Pak Basir. Hati-hati karma. Apalagi anak Pak Basir kan perempuan semuanya.” Bi Inah berujar tanpa menoleh. Ia sibuk melayani pembeli yang silih berganti. Sementara Rossa terlihat kewalahan juga. Tumben pagi itu pembeli lebih membludak dari biasanya.

Basir terlihat kikuk. Sedikit malu juga karena beberapa mata memandang ke arahnya. Lelaki itu memang sudah terkenal sebagai pria hidung belang. Tapi tak pernah kapok bergunta-ganti istri. Kawin-cerai sudah biasa.

“Rapi amat, Pak Basir. Ada jobkah?” tanya seorang ibu pada Pak Basir.

“Iya nih, Bu RT. Ada job manggung di desa sebelah.” Basir terlihat sedikit kikuk. Pandangan mata si ibu agak lain dari biasanya. Seolah tidak nyaman dengan kehadiran Rossa.

Rupanya Bu RT yang menegur Basir. Keduanya pernah diisukan terlibat skandal meskipun tidak ada bukti dan saksi. Baru sekadar praduga masyarakat karena melihat keintiman hubungan keduanya.

“Oh gitu. Nanti saya ke sana deh. Mau ikut nyawer,” timpal Bu RT yang hanya dibalas anggukan Basir. Lalu perempuan itu beranjak pergi dengan langkah gemulai dan pinggul yang sengaja digoyang. Jelas, mata jelalatan Basir tidak bisa lepas dari pemandangan ini. Bu RT dikenal sebagai perempuan berusia matang paling cantik di desa ini.

“Ehem,” Inah berdeham membuat Basir gelagapan. Rossa yang melihat kelakuan pria itu jadi merasa risih.

“Duh, pusing saya. Ada biduan yang nggak bisa datang hari ini karena keseleo. Mana bisa menggoyang panggung kalau kakinya keseleo.” Basir menepuk keningnya. Mencari biduan dangdut yang digemari penonton itu sulit. Apalagi timnya sudah terkenal dengan biduannya yang cantik dan aduhai.

“Bapak butuh biduan? Kalau nggak keberatan, saya siap menggantikan, Pak. Sebelumnya saya juga biduan walau biduan kampung,” Rossa menawarkan diri. Bi Inah tersentak kaget mendengar pengajuan diri Rossa yang tanpa kompromi dengannya.

“Wah, jelas saya sangat tidak keberatan, Neng Rossa.” Mata jelalatan lelaki buaya ini sibuk memindai tubuh Rossa dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Tapi, pakaiannya nggak boleh begini, ya.” Pria itu melirik daster yang dikenakan Rossa. “Minimal harus berpakaian ketat lah,” tambahnya.

“Pakaian manggung saya tertinggal di rumah, Pak. Saya hanya membawa kemeja dan jeans.”

“Tenang saja. Tim kami sudah menyiapkan wardrobe khusus untuk biduan kami.” Pria itu kembali memindai tubuh Rossa. Bi Inah menjadi risih. Ia lalu menarik Rossa ke dalam rumah.

“Jangan buat bi Inah khawatir, Ros. Semua orang tahu siapa Basir,” cegah Inah.

“Bi Inah tenang aja. Rossa bisa jaga diri kok.” Rossa menggenggam jemari Inah untuk menenangkannya. Lalu mengajak wanita itu kembali menemui Basir.

“Saya siap, Pak Basir.”

“Panggil saya kakang atau aa saja, Neng. Terlalu tua kalau dipanggil bapak,” ujar Basir dengan genit. Rossa hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

“Kamu saya tunggu di rumah sekitar jam 7 yah,” pesan Basir.

***

Acara hajatan di desa ini ternyata begitu besar. Tamu undangan selalu terlihat penuh. Kecantikan Rossa dengan wajah khas kearaban itu menjadi pusat perhatian siapa pun yang memandangnya. Apalagi dengan kostum yang dikenakannya saat itu. Mampu membuat mata setiap lelaki tak berkedip karena lekuk tubuhnya yang nyaris sempurna. Semua mata tersihir ke arahnya. Saweran saat Rossa menyanyi juga paling banyak nominalnya hingga membuat biduan lain menggunjing dirinya di belakang.

Di antara para tamu undangan, ada satu wajah yang sangat familiar.

Rusydi, ternyata menjadi salah satu tamu undangan empunya hajat. Beberapa kali tatap mata Rossa dan Rusydi hampir bertemu. Tapi Rusydi selalu memalingkan wajah saat Rossa menoleh ke arahnya. Rossa ingin menghampiri Rusydi, tapi tamu sangat ramai. Apalagi beberapa penonton ingin Rossa lebih sering tampil bernyanyi. Padahal Rossa menari dan bergoyang ala kadarnya, tidak selincah biduan lainnya. Benar-benar kehadiran Rossa membawa peruntungan besar bagi tim Basir.

Selepas acara, rupanya Rusydi belum pulang. Lelaki itu sengaja menunggu Rossa. Begitu keadaan lengang, bergegas ia menghampiri Rossa yang sudah menuruni panggung.

“Ros, pulang dengan siapa?” tanya Rusydi.

“Mungkin dengan Pak Basir. Tadi kami berangkat bersama,” jawab Rossa. Basir yang masih berada di atas panggung menatap tak suka ke arah keduanya.

“Abang antar pulang, ya. Biar aman. Abang khawatir dengan pakaian yang seketat ini kamu diganggu orang.” Rusydi menunggu jawaban Rossa sambil menundukkan pandangannya.

“Nggak ngerepotin, Bang?”

Rusydi menggeleng.

Rossa pun berpamitan pada Basir. Lelaki hidung belang itu awalnya keberatan. Tapi setelah Rossa bilang bahwa Rusydi adalah kerabatnya, Basir akhirnya mengizinkan. Tapi tatapannya terus mengawasi.

Selama perjalanan tak banyak obrolan antara Rossa dan Rusydi. Keduanya lebih memilih diam. Rusydi pun baru tahu soal pelarian Rossa pagi tadi. Kampung menjadi geger karena ulah Mak Nani yang menceritakan macam-macam soal Rossa.

Sesampainya di rumah Inah, Rossa mempersilakan Rusydi mampir. Tapi pemuda itu menolak karena waktu sudah larut malam. Rusydi pun berpamitan. Sebelumnya, Rossa sempat menuliskan nomor barunya pada secarik kertas dan menyelipkannya di kantung jaket Rusydi.

“Itu nomor Rossa, Bang. Tolong disimpan, ya,” pinta Rossa disertai senyuman termanisnya. Jujur, ia tak dapat memungkiri perasaannya saat dulu pada Rusydi kini kembali bersemi. Ia terlalu bahagia diantar Rusydi malam ini.

Rusydi melajukan motornya. Berpamitan pada Rossa yang berdiri mematung hingga punggung lelaki itu tak terlihat lagi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status