“Aku ingin menjadi luka pertamamu.”
Jantung Malika seolah berhenti berdetak. Alex kemudian menggeser wajahnya, mengecup bi-bir Malika sekali. Hanya sekejap. Tapi cukup untuk membakar napasnya, cukup untuk meruntuhkan sisa pertahanan Malika. “Baiklah.” Suara Alex terdengar rendah, nyaris seperti geraman binatang lapar. “Karena kau lambat dan tidak tahu cara menyenangkanku, maka kali ini aku yang akan ambil kendali.” Nada suaranya begitu dingin, tanpa ampun, membuat tengkuk Malika meremang. Ia hanya mampu mengangguk, bibirnya menggigit dirinya sendiri, tubuhnya gemetar hebat. Tanpa memberi waktu untuk berpikir, Alex menarik keras pinggang Malika, menyeretnya lebih dekat, lalu melumat bi-birnya. Ciu-ma-nnya kasar, lapar, mendesak, tidak ada ruang untuk bernapas, tidak ada ruang untuk menolak. Malika nyaris terjatuh jika saja tangan Alex tak menahan punggungnya. Napasnya tercekat, jantungnya nyaris meledak. “Bi-bir-mu, lehermu. Ini hanya untukku, Baby.” Bisik Alex, suaranya parau penuh gejolak. “Aku tidak pernah melakukan ini pada gadis lainnya. Hanya bi-bir dan tubuhmu yang pernah aku ci-um.” Detak jantung Malika seolah berhenti. Ada kehangatan aneh yang menjalar, rasa entah seperti apa, dia pun tak tah. Namun cepat-cepat ia tepis. Apa gunanya? Dia bukan gadis pertama Alex. Alex mencengkeram dagu Malika, menatap matanya yang basah. “Harusnya kamu bangga, Baby. Respon aku. Imbangi permainanku. Gunakan tanganmu. Be-lai-lah aku.” Tangan Malika terulur, gemetar, menyentuh punggung lebar Alex. Sentuhan lembutnya seperti percikan listrik di kulit pria itu. Sekejap, Alex menahan napas. Matanya yang gelap berkedip, seperti terkejut. Tak pernah ada gadis yang menyentuhnya seperti ini. Pelan, tulus, dan tidak agresif. Ada kehangatan aneh yang menohok dadanya. Senyum miringnya kembali muncul. “Bagus, Baby. Sangat bagus.” Napas Alex semakin berat. Tangannya meremas pinggang Malika, lalu turun, menelusuri lekuk tubuhnya. Bi-birnya melata, menyusuri le-her jenjang, bahu halus, hingga da-da yang bergetar hebat. “Indah…” Desisnya, sebelum bi-birnya menutup gundukan lembut itu. Tubuh Malika melengkung, napasnya terputus. “Ahh…” Jeritan kecil itu memecah udara, menambah kobaran api di mata Alex. Ia berganti sisi, mulutnya melahap, me-ngi-sap, meng-gi-git pelan hingga meninggalkan jejak merah. Satu tangannya me-re-mas yang lain, menambah sensasi panas di tubuh Malika. Setiap tarikan napas Malika disertai isakan lirih. Matanya berembun, kepalanya terlempar ke belakang. “Suaramu indah, Baby. Jangan pernah ditahan.” Gumam Alex serak, lidahnya terus bermain. Tangan Malika tak sengaja mencengkeram rambut Alex. Tubuhnya bergetar, dadanya naik turun cepat. Alex tersenyum puas, tatapannya li-ar. “Kau ternyata menikmatinya.” Tangan besar Alex turun, mengusap lembut perut rata Malika, melintasi garis pinggang, hingga ke pa-ha yang mengejang. Kepala Alex kini ada di antara kedua pa-ha Malika yang gemetar hebat. “Sekarang… aku akan mencicipinya.” Bisiknya. “Aku belum pernah melakukan ini pada siapapun. Hanya kau.” Malika menahan napas, bibirnya terbuka, wajahnya pucat ketakutan. Alex mendongak, menatapnya sambil menyeringai. “Kau harusnya merasa terhormat, Baby.” Dan saat berikutnya, Malika terlonjak. Sentuhan hangat dan basah Alex di inti dirinya membuat tubuhnya menegang, napasnya memburu. “A-aaa… ahhh…” Jeritnya lirih. Tangan Alex mencengkeram pa-ha Malika agar tak menutup, lidahnya mengeksplorasi, sesekali meng-gi-git pelan, memaksa Malika merasakan gelombang panas aneh yang belum pernah ia kenal. Alex bergumam parau, “Nik-mat.. dan sempit…” Satu jarinya menyusup, perlahan keluar-masuk, memancing jeritan lain dari Malika. Tubuh Malika menggeliat, kepalanya bergerak tak teratur. Rasa panas menjalar dari perut ke seluruh tubuhnya. Alex semakin cepat, senyumnya semakin kejam. “Jangan tahan, Baby… lepaskan.” Saat Malika hampir mencapai puncaknya, Alex justru berhenti. Malika terengah, tubuhnya basah keringat, pandangannya buram oleh air mata dan gejolak yang terputus. Alex berdiri, menanggalkan celana panjangnya. Mata Malika membulat saat melihat pria itu sepenuhnya. Rasa takut membanjiri tubuhnya. “T-tidak… itu terlalu besar…” Gumamnya. Alex tertawa pelan, tapi tatapannya gelap. Ia menggenggam tangan Malika, menuntunnya menyentuh bagian paling keras dan menakutkan itu. “Manjakan dia, Baby.” Bisiknya. Tangan Malika gemetar, hampir tak berani menyentuh. Tapi ia melakukannya. Sentuhannya gugup, dingin, namun justru membuat Alex mendesis pelan. “Bagus. Sekarang, seperti kau menikmati es krim.” Wajah Malika memucat. “T-tidak… aku…” Belum sempat menolak, Alex menekan lembut belakang kepalanya, dan saat berikutnya, ia merasakan bagian pria itu menyentuh bi-birnya. Malika menutup mata, air matanya jatuh. Napasnya memburu, tubuhnya bergidik ngeri. Namun ia menurut, perlahan, hingga Alex menggeram puas. “Bagus… Baby. Mulutmu juga nik-mat. ” Bisiknya serak, napasnya berat. Setelah cukup, Alex menarik tubuh Malika berdiri, lalu dengan satu gerakan mendorongnya hingga rebah di ranjang. Tubuh Malika terhempas di atas seprai mahal. Alex menindihnya, menatap dalam matanya. Nafas mereka sama-sama berat, penuh sengatan listrik yang menegangkan udara. “Sekarang, giliranku sepenuhnya.” Bisik Alex. Tangannya mencengkeram pinggang Malika, posisinya mantap. Tatapannya li-ar, pupilnya melebar. Perih pun langsung menjalar tajam saat Alex berhasil masuk setelah beberapa kali gagal saat mencoba masuk. Malika memekik keras, tubuhnya menegang, air mata deras mengalir. “S-sakit… ahhh…” Jeritnya. Alex mencengkeram lebih erat. “Jangan tahan suaramu, Baby. Aku ingin dengar jeritanmu… panggil namaku…” Malika menggigit bi-bir, tapi rasa perih terlalu hebat. Napasnya putus-putus. “A-Alex… sakit…” Lirihnya lirih, nyaris patah. Lebih keras!” Desis Alex, gerakannya semakin dalam, semakin cepat. “Kau sangat nik-mat, Baby. Ini terlalu sempit.” Racau Alex “Lebih keras!” Racaunya “Alex… pelan!” Tangis Malika, jeritannya tercampur sakit dan rasa tak terjelaskan. Ranjang bergoyang, suara napas dan era-ngan mereka memenuhi ruangan. Malika mencoba mendorong dada Alex, tapi tubuhnya lemah, tak ada tenaga. Perihnya membakar, seperti terbelah. Tapi Alex tak peduli, justru semakin keras, semakin li-ar. Tubuh Malika berkali-kali terhentak. Suaranya pecah, memohon, “P-please… pelan… Alex.” Namun Alex hanya menyeringai. “Jangan berhenti. Panggil terus namaku, Baby…” “A-Alex…! Ahhh…” Perih bercampur panas aneh. Malika menjerit lebih keras, hingga suaranya serak. Air matanya membasahi pipi, tapi Alex tampak makin terpuaskan. Setiap tangis dan jerit Malika justru membuat Alex semakin gila, gerakannya semakin menghukum, semakin menuntut. Hingga akhirnya, tubuh mereka sama-sama tegang, napas terputus. Malika terjatuh di ranjang, tubuhnya lemas, berkeringat, jantungnya berpacu tak terkendali. Alex menunduk, napasnya kasar. Ia menatap wajah Malika yang masih berlinang air mata, tubuhnya yang gemetar tak berdaya. “Aku sudah bilang…” Bisiknya, suaranya lebih pelan namun tetap tajam. “Kau berbeda, Baby. Dan sekarang… kau sudah sepenuhnya milikku. Dan kau tau? Ini pertama kalinya aku tidak memakai pengaman.” Malika hanya terisak, napasnya berat. Tubuhnya remuk, hatinya pun begitu. Malam baru saja dimulai, dan ia tahu, luka itu tak akan pernah sembuh. Sekitar lima menit, tubuh Alex masih menindih tubuh Malika. Nafasnya yang tadi berat dan panas, kini mulai teratur. Hanya ada suara detak jantung keduanya, bercampur aroma keringat dan jejak gairah yang masih melayang di udara. Alex perlahan menarik tubuhnya, duduk di sisi ranjang. Ia menghela napas panjang, kepalanya sedikit menunduk. Dari sudut matanya, ia sempat melirik Malika yang masih gemetar dengan rambut acak-acakan dan pipi basah. Tanpa bicara, Alex bangkit. Tubuhnya yang kokoh berjalan ke arah kamar mandi, langkahnya santai namun penuh wibawa. Sebelum melangkah masuk, tangannya meraih handuk putih di gantungan. Begitu pintu kamar mandi menutup, Malika memejamkan mata. Air matanya kembali pecah, tangannya menutup mulut agar tangisnya tak terdengar. “Maaf Bu… maafin Lika…” Gumamnya di sela sesenggukan. Suaranya parau, lelah, penuh rasa bersalah yang menyesakkan dada. Tubuhnya masih nyeri, rasa perih di bagian terdalam begitu nyata, bukti kesucian yang ia gadaikan demi nyawa ibunya. Sekitar sepuluh menit, Alex keluar lagi dari kamar mandi. Tubuhnya basah, hanya dililit handuk putih di pinggang. Tetesan air menuruni dada bidangnya, membasahi garis otot perut yang kencang. Melihat itu, Malika buru-buru mengusap air matanya dengan punggung tangan. Ia tak ingin pria itu tahu ia menangis. Alex melemparkan pandangan dingin padanya. “Bersihkan tubuhmu.” Ucapnya singkat, suaranya dalam, datar. Malika mengangguk cepat. Tangannya meraih selimut, menutup tubuh polosnya yang gemetar. Tanpa banyak bicara, Alex mengambil handuk lain dari lemari dan melemparkannya ke arah Malika. “Pakai itu.” Malika menangkapnya dengan tangan gemetar. Ia melilitkan handuk itu ke tubuhnya, berusaha menutupi rasa malu yang membakar kulitnya. Perlahan, ia berdiri dari ranjang. Saat telapak kakinya menyentuh lantai dingin, rasa nyeri menjalar tiba-tiba. Terutama di bagian intimnya yang baru saja dihancurkan Alex. “Awww…” Ringisnya lirih. Alex yang hendak berjalan ke walk-in closet menoleh sekilas. Senyum miring muncul di sudut bibirnya. Senyum yang membuat Malika bergidik. Langkahnya berat, seperti robot, jalannya agak mengangkang karena perih menusuk setiap kali ia bergerak. Ia berusaha menahan isak dan masuk ke kamar mandi. Begitu pintu kamar mandi tertutup, Malika berjalan cepat ke arah shower. Tangannya memutar keran, dan air hangat langsung membasahi tubuhnya. Dan saat itu juga, ia tak sanggup lagi menahan segalanya. Tangisnya pecah. “Maaf Bu… maaf… Lika nggak punya pilihan. Lika cuma ingin Ibu selamat…” Suaranya parau, putus, nyaris tak terdengar. Air mata bercampur air shower yang menetes di wajahnya. Tubuhnya gemetar hebat, memeluk dirinya sendiri. Ia merasa kotor dan rusak. Sementara itu, Alex berdiri di walk-in closet. Tangannya menyentuh gantungan kaos hitam. Nafasnya masih belum teratur sepenuhnya. Ia menyenderkan bahu ke lemari kayu mahal itu. Kepalanya sedikit mendongak, menatap pantulan wajahnya sendiri di kaca besar di depannya. “Kau sangat nik-mat. Aku menyukai semua yang ada pada tubuhmu.” Gumamnya, nyaris tak terdengar. Senyumnya samar, namun cepat lenyap. Tatapannya mengeras. “Aku nggak pernah kayak gini sebelumnya. Ada apa ini? Nggak mungkin aku… menyukainya, kan?” Gumamnya lagi, napasnya berat. Ia buru-buru menggeleng keras, menepis pikirannya sendiri. “Nggak! Aku nggak boleh jatuh cinta. Semua wanita sama. Mereka hanya mengincar harta pria. Setelah pria itu nggak punya apa-apa, mereka akan pergi tanpa menoleh.” Hening sesaat. Kenangan lama muncul. Wajah ayahnya, lelaki yang dulu Alex kagumi, akhirnya hancur hanya karena satu perempuan. “Nggak. Aku nggak mau bernasib sama dengan Papa.” Bisiknya parau. Matanya berkaca-kaca, tapi cepat ia usap dengan punggung tangan. Ia menunduk, menghela napas panjang. Tangannya gemetar saat meraih kaos hitam. “Sudahlah… wanita hanya untuk dimiliki satu malam, lalu dibuang.”Roda mobil Alex berhenti perlahan di depan sebuah gerbang besi tinggi yang menjulang angkuh. Lampu-lampu pilar di sisi gerbang menyala terang, memantulkan kilau ke bodi mobil hitam yang mereka tumpangi. Malika menatap ke luar jendela dengan napas tercekat. Di balik pagar, terlihat sebuah bangunan megah bergaya klasik modern, dengan pilar-pilar besar dan taman yang tertata rapi. Lampu-lampu taman berwarna keemasan memantul di permukaan air mancur yang berdiri di tengah halaman depan.Mobil perlahan masuk setelah pintu gerbang otomatis terbuka. Deru mesin terdengar berat saat melintasi jalan berbatu halus menuju depan mansion. Malika menelan ludah, jemarinya yang tadi menggenggam ujung kaos kini berpindah ke pangkuan, saling meremas. Ini pertama kalinya ia melihat tempat sebesar ini. Sebelumnya, Alex membawanya ke apartemen pria itu, bukan ke rumah sebesar ini.Begitu mobil berhenti di depan tangga utama, beberapa pria berbadan besar berseragam hitam berbaris rapi di sisi kanan dan kir
Alex dan Malika kini sudah sampai di parkiran mobil. Udara malam terasa lembap, aroma aspal bercampur bensin menusuk hidung. Lampu-lampu jalanan berwarna kuning pucat menyorot kendaraan-kendaraan yang terparkir di sekitarnya. Malika menunduk, nafasnya tersengal-sengal karena kejadian barusan. Tangannya gemetar, keringat dingin masih menempel di pelipisnya.“Masuk,” ucap Alex pendek, nadanya datar tapi mengandung tekanan.Malika langsung menuruti perintah itu tanpa menjawab apa pun. Ia hanya ingin segera pergi dari tempat itu, menjauh dari semua pandangan mata. Tangannya meremas ujung kaosnya sendiri, mencoba mengendalikan guncangan di dada. Dengan langkah terburu-buru ia masuk ke mobil, aroma kulit jok yang khas langsung menyergapnya.Begitu Malika masuk ke dalam mobil, Alex yang sejak tadi menunggu langsung menutup pintu mobil rapat. Bunyi klik kunci pintu terdengar tegas di telinga Malika, membuatnya sedikit terlonjak. Alex kemudian mengitari kap mobil, membuka pintu bagian depan ke
BUGH…Suara pukulan itu menggema keras di ruangan besar itu. Pedro terhuyung ke belakang, punggungnya menabrak sudut meja. Nafasnya langsung berat, terdengar suara ringisan yang ia tahan-tahan. Tangan kirinya terangkat menutupi rahang yang kini memerah akibat hantaman Alex.Malika tersentak, matanya membelalak melihat ayahnya terhantam keras. Namun bibirnya menutup rapat, tak ada sedikit pun niat untuk menghentikan Alex. Jemarinya justru menggenggam kain sofa lebih erat, menahan seluruh emosi yang meledak di dadanya.Alex melangkah maju, nafasnya stabil namun sorot matanya tak lagi manusiawi. Suara gesekan sepatu mahalnya di lantai marmer terdengar jelas, setiap langkahnya seperti ancaman. Pedro yang tadi masih berlagak berani kini memandang Alex dengan tatapan ngeri, tubuhnya sedikit membungkuk menahan sakit.“Rasakan ini,” ulang Alex dengan nada lebih rendah, namun lebih mematikan dari sebelumnya. Tangannya kembali terangkat.Pedro mengangkat kedua tangannya di depan dada, mencoba m
Seketika Alex tersenyum penuh kemenangan. Sementara Pedro dan yang lain menganga mendengar itu. Mereka baru tahu ternyata Malika mengenai Alex. Alex memandangi Malika lama. Sorot matanya dingin, tapi di balik itu ada sesuatu yang menyala. Rahangnya mengeras, tangan yang menggenggam lengan Malika terasa semakin kuat. Abas dan Mark yang berdiri di belakangnya sudah tahu betul, ini tanda Alex mulai tidak bisa menahan diri.Pria yang membeli Malika itu terkekeh pelan, masih berusaha menunjukkan dirinya berkuasa. “Tuan Alex… jangan ikut campur. Dia sudah jadi milikku. Anda punya banyak perempuan, bukan? Ambil saja yang lain.” Ucapnya penuh percaya diri.Alex tidak menoleh sedikitpun. Matanya tetap menatap Malika. “Sekali lagi,” suaranya pelan tapi menusuk. “ucapkan padaku.”Malika menelan ludah, tubuhnya gemetar. “Aku mohon… selamatkan aku, Alex. Aku nggak mau disentuh pria itu. Aku… aku akan melakukan apapun yang kamu mau.”Suara gadis itu pecah. Air matanya jatuh satu-satu di lantai mar
Suasana di ruangan VIP itu hening seketika. Udara terasa pekat. Lampu kristal di atas ruangan berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer. Semua orang di dalam ruangan seolah membeku, hanya detak jam dinding yang terdengar. Semua kaget saat tiba-tiba benda itu jatuh nyaring ke lantai. Suara pecahan gelas memantul, memecah keheningan.“MALIKA!” Teriak Pedro. Wajahnya langsung merah padam penuh amarah saat Malika melemparkan gelas yang didekatkan pria yang membelinya ke wajahnya. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.“APA? HAH!” Balas Malika berteriak, suaranya pecah oleh amarah dan ketakutan. Bahunya naik turun, matanya memandang semua orang dengan pandangan penuh tantangan.“Jangan jadi pembangkang kamu!” Sentak Pedro lagi. Dia melangkah cepat mendekati Malika, nafasnya memburu, aroma alkohol tercium dari mulutnya. Tangannya langsung memegang kuat lengan Malika yang terus memberontak, berusaha melepaskan diri.“Lepasin! Anda gak berhak atas diriku. Anda bukan siap
“Lepaskan!” Teriak Malika sekuat tenaga, suara seraknya memantul di dinding lorong gelap. Tubuhnya meronta keras, kedua tangannya berusaha menarik diri dari cengkeraman Pedro. Nafasnya terengah-engah, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajahnya. “Tidak akan pernah.” Sahut Pedro dingin. Rahangnya mengeras. Dia semakin kuat menekan tangan Malika sampai pergelangan gadis itu terasa perih. Tatapan matanya kosong, penuh nafsu kekuasaan, seolah tak ada lagi darah keluarga di tubuhnya. Pria yang berada di dalam mobil itu langsung membukakan pintu lebar-lebar. Aroma asap rokok dan parfum tajam menyeruak keluar. “Cepat bawa dia masuk ke dalam.” Ucap pria itu datar, suaranya dalam dan serak seperti orang yang terbiasa berteriak memberi perintah. “Siap, Juragan.” Sahut Pedro tanpa menoleh, suaranya terdengar tergesa. Dia menarik lengan Malika makin keras. Pria yang berada dalam mobil itu memang Juragan Opi. Pria tu