Alex kini menggiring Malika masuk lebih dalam ke apartemen. Langkah kakinya pelan, tapi penuh wibawa.
Setiap sudut ruangan tampak mahal, bergaya minimalis monokrom, jendela kaca besar menghadap gemerlap lampu kota.
Mereka berhenti di depan sebuah pintu kamar. Alex membuka pintu itu perlahan, menyingkap kamar tidur utama yang luas. Tempat tidur king size dengan seprai hitam kelam, lampu gantung modern, dan aroma kayu mahal bercampur parfum maskulin yang membuat kepala Malika sedikit pusing.
Malika berdiri kaku di ambang pintu, telapak tangannya basah oleh keringat dingin.
“Masuk.” Ucap Alex pelan, nyaris berbisik, tapi justru membuatnya terdengar semakin mengancam.
Malika menurut, langkahnya berat. Setiap sentimeter terasa menambah berat beban napasnya.
Pintu kamar tertutup di belakang mereka. Kini hanya ada mereka berdua dan sunyi yang menekan dada Malika.
Alex melepaskan dasi perlahan, matanya tak pernah lepas dari wajah Malika. Gerakannya santai, seperti harimau yang tahu mangsanya takkan ke mana-mana.
“Kau gemetar.” Suaranya datar, menahan tawa tipis.
“Tak perlu pura-pura polos. Kau sudah memilih jalan ini sendiri.” Lanjutnya
Malika menunduk, suaranya serak, nyaris tak terdengar, “Aku… aku melakukannya demi Ibu saya, Tuan.”
Alex menyipitkan mata, lalu melangkah mendekat hingga gadis itu bisa merasakan panas napasnya.
“Jangan pernah sebut alasanmu di depanku.” Bisiknya pelan tapi tajam.
“Aku tidak peduli. Yang kubayar hanya tubuhmu. Bukan ceritamu.”
Malika menahan isak. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan air mata itu. Tangannya mengepal di sisi tubuh.
Alex mengangkat tangannya, ujung jarinya menyusuri garis rahang Malika hingga dagu, mengangkat wajah gadis itu agar menatapnya.
“Aku suka matamu. Bahkan saat takut, masih berani menatapku.” Gumam Alex pelan, suaranya berat.
Tangan besarnya kemudian meraih pundak Malika, mendorongnya perlahan ke arah tempat tidur. Gadis itu melangkah mundur, tubuhnya nyaris goyah, hingga lututnya menyentuh sisi ranjang.
“Duduk.” Perintah Alex.
Malika menurut, duduk di tepi ranjang, kepalanya sedikit tertunduk.
Alex berdiri di hadapannya, melepas jas sepenuhnya dan melemparkannya ke kursi. Lalu mulai membuka kancing kemeja, dua teratas. Gerakannya pelan, tapi tegas, dan setiap kancing yang lepas membuat dada Malika semakin sesak.
“Aku akan bertanya satu kali.” Suara Alex terdengar dingin.
“Kau benar-benar masih pe-ra-wan?”
Malika terkejut, bahunya menegang. Tapi ia mengangguk cepat, suara seraknya pecah, “I-iya, Tuan… Saya… belum pernah melakukan.”
Alex menunduk sedikit, menatapnya lekat. Nafasnya terasa di kulit wajah Malika.
“Bagus.” Gumamnya rendah. “Karena aku takkan segan menghancurkanmu kalau kau berbohong.”
Tangannya terulur, mengusap pipi Malika dengan kasar, lalu turun ke dagu, memaksa gadis itu menengadah.
“Kau tahu, Baby,” Bisiknya, suara rendah, nyaris serak. “Aku ingin melihat ketakutanmu. Aku ingin setiap luka pertamamu mengingatku. Karena kau kubeli. Dan malam ini, tubuhmu hanya milikku.”
Mata Malika memanas, air mata akhirnya tumpah. Tapi ia tetap tak menjauh.
Alex mengelus bibir bawah Malika dengan ibu jarinya, menahan senyum tipis.
“Kau bahkan menangis sebelum kusentuh lebih jauh. Manis sekali.” Bisiknya, nafasnya panas di wajah gadis itu.
Kemudian, tangan Alex bergerak ke pundak Malika, menarik resleting gaun perlahan. Suara resleting yang turun terdengar begitu keras di antara kesunyian.
Malika meremang, tubuhnya gemetar. Rasa malu, takut, dan rasa bersalah pada ibunya bercampur menjadi satu.
Alex menatapnya lama, menahan napas. Dadanya terasa aneh, berat, seolah ada sesuatu yang bergetar di balik dinding baja hatinya. Tapi ia mengabaikannya.
“Berdiri!” Perintahnya, lebih rendah, lebih serak.
Malika berdiri perlahan, gaunnya melorot ke lantai, menampakkan kulit putih mulus dan pakaian dalam sederhana.
Alex menarik napas panjang. Tatapannya tajam, panas, dan ada sesuatu di matanya yang tak bisa Malika baca, antara kagum dan haus.
“Jangan menangis.” Bisiknya, mendekat. “Karena semakin kau menangis, maka aku semakin ingin menghancurkanmu.”
Tangan dingin itu kemudian melingkari pinggang Malika, menarik gadis itu mendekat, hingga da-da mereka nyaris bersentuhan.
“Aku ingin mendengar tangismu, era-ngan-mu… semuanya. Tapi satu hal, kau tak boleh berpaling dariku. Malam ini, fukusmu hanya aku.”
Malika menggigit bibir, air mata jatuh tak tertahan. Tapi ia mengangguk.
Alex menyeringai tipis. Tangannya naik, mengusap sudut mata Malika.
“Bagus, Baby.” Bisiknya, suaranya terdengar seperti dosa yang dibungkus sutra.
Alex kemudian mendudukkan dirinya di sofa panjang berlapis kulit hitam, tubuhnya santai bersandar. Satu kakinya sedikit tertekuk, memberi kesan arogan dan superior. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik tangan Malika yang gemetar, memaksa gadis itu berdiri tepat di depannya, hanya dengan pakaian dalam tipis yang nyaris tak mampu menutupi apapun.
Nafas Malika terputus-putus. Kulitnya meremang seolah disayat udara dingin, apalagi saat menyadari sorot mata Alex yang tak berkedip, menguliti tiap lekuk tubuhnya.
Mata pria itu gelap, dalam, menyapu dari pundak ramping, dada yang naik turun cepat karena panik, perut rata, hingga ke pa-ha putih yang tegang karena takut.
Senyum tipis Alex muncul, namun bukan senyum hangat, melainkan senyum puas milik pemilik yang baru saja membeli barang paling langka.
“Tubuhmu sangat perfect.” Ucapnya rendah, suaranya berat bagaikan geraman halus. “Aku suka.”
Malika menggigit bibir, kepalanya menunduk, rambut panjangnya jatuh menutupi pipi yang memerah.
“Tapi,” Lanjut Alex, suaranya mendadak dingin, “bukan berarti aku tertarik padamu.”
Ucapan itu menampar hati Malika. Ia tahu sejak awal, ia bukan apa-apa di mata pria ini, hanya barang dagangan. Tapi tetap saja, ada semburat perih yang menyesakkan.
Tubuhnya bergetar makin hebat. Malika menunduk lebih dalam, tak berani menatap matanya.
“Tatap aku!” Perintah Alex, suaranya terangkat sedikit.
Tubuh Malika refleks menegang. Ia buru-buru mengangkat wajah, menatap pria itu dengan mata sendu yang masih basah oleh sisa air mata.
Alex menyeringai tipis. Tangannya yang besar terulur, mencengkram pergelangan tangan Malika dan menariknya kasar. Tubuh gadis itu terhuyung, lalu jatuh terduduk di pangkuan Alex, persis seperti yang dia inginkannya.
Malika kaget, tubuhnya kaku, lututnya menyentuh sisi pa-ha pria itu. Dadanya naik turun cepat. Detak jantungnya berdegup terlalu kencang hingga terasa di telinganya.
Alex menaikkan satu tangannya, meraih dagu Malika. Dengan gerakan ringan namun memaksa, ia mendongakkan wajah gadis itu agar mata mereka bertemu.
“Kau tahu?” Bisiknya, suara itu terlalu dekat, napasnya hangat di pipi Malika. “Selama ini, saat tidur dengan gadis pe-ra-wan lainnya, aku tidak pernah banyak bicara.”
Jari Alex mengusap lembut pipi Malika, kontras dengan sorot matanya yang keras.
“Aku bahkan tak pernah melakukan pemanasan.” Ia melanjutkan, nada bicaranya seperti seorang penguasa yang tengah membacakan vonis. “Aku tak pernah repot membuka pakaian mereka, bahkan pakaianku sendiri. Semuanya hanya formalitas singkat. Satu jam. Hanya untuk melampiaskan has-rat-ku.”
Mata Malika membulat sedikit. Tubuhnya kaku, tapi di sudut hatinya muncul secercah harap. Hanya satu jam… ia bisa bertahan demi Ibunya. Hanya satu jam, pikirnya.
Alex menambahkan, “Aku juga tidak pernah mau capek, Baby. Karena mereka kubeli untuk me-muas-kan-ku, bukan aku yang me-muas-kan mereka.”
Gemetar, Malika mencuri pandang ke arah jam dinding di atas pintu. Jarum jam terus berdetak, namun rasanya seperti menggantungkan nyawa.
Alex memperhatikan gerakan itu. Bibirnya melengkung, lalu ia tertawa. Bukan tawa mengejek, melainkan tawa rendah, serak, yang entah kenapa justru menambah wibawa dinginnya.
Tawa yang jarang muncul, bahkan bagi dirinya sendiri.
Sekilas, Malika terpaku. Di balik tawa itu, wajah Alex berubah. Bukan hanya dingin, melainkan nyaris menawan. Senyum itu seolah menghapus kilasan kebuasannya, meski hanya sesaat.
Detik berikutnya, Malika sadar diri. Ia menunduk lagi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar tak karuan.
“Jangan pernah melihat jam.” Suara Alex mendadak datar, tapi nadanya seperti cambuk.
Malika menahan napas.
Alex mencondongkan tubuhnya sedikit, wajah mereka kini sangat dekat. Tatapan matanya tajam, menusuk.
“Karena kau akan disini sampai pagi.”
Deg.
Bagai disambar petir, tubuh Malika membeku. Pupus sudah harapannya hanya akan “dipakai” satu jam. Hatinya terasa hancur, tenggorokannya kering, dan kepalanya berputar.
Alex menatapnya lama. Senyum tipis itu muncul lagi, “Aku sudah bilang, kau berbeda dari gadis lainnya.”
Suara itu begitu yakin, dingin, namun ada sedikit kekaguman yang tak ia sadari sendiri.
“Dan… bayaranmu berkali-kali lipat dari mereka.” Lanjutnya. “Kau seharusnya bangga, Baby. Kau mahal.”
Malika menelan ludah susah payah. Ia sadar… tubuhnya, malam ini, bukan lagi miliknya.
Alex perlahan menyandarkan punggung ke sofa. Satu tangan masih menahan pinggang Malika di pangkuannya.
“Sekarang…” Bisiknya, suaranya turun menjadi lebih rendah, hampir seperti geraman. “Layani aku.”
Mata Malika berkaca-kaca. Napasnya terputus-putus. Lututnya nyaris goyah.
Tapi ia ingat Ibunya. Ingat seratus juta yang sudah ia terima di awal. Dan ingat tanggung jawab.
Dengan jemari yang bergetar, ia menoleh sedikit, menatap wajah pria itu yang separuh tertutup bayangan lampu temaram. Dan dengan napas tercekat, Malika hanya bisa mengangguk pelan. Hatinya seperti diremas, takut, tapi juga pasrah.
Jemarinya yang dingin dan bergetar perlahan terulur, menyentuh dada Alex yang tertutup kemeja hitam pas badan. Ia tidak tahu harus mulai dari mana, tak pernah membayangkan harus melakukan ini, apalagi di depan mata pria asing yang membelinya.
Alex mengamati setiap gerakan Malika. Senyum tipis, penuh rasa menang, tersungging di bibirnya.
“Gemetarmu… manis sekali.” Gumamnya rendah, seperti memuji, namun terdengar seperti ejekan yang pedih.
Malika menggigit bibirnya, menahan rasa malu. Tangan kirinya bergerak kikuk, membuka satu demi satu kancing kemeja Alex. Setiap kancing terbuka, setiap helai kulit keras dan hangat yang terkuak, membuat napas Malika semakin berat. Jari-jarinya nyaris tak terkoordinasi, terlalu gemetar untuk bekerja cepat.
Alex mengamati wajah Malika dengan kepala sedikit miring. “Lambat sekali.” Bisiknya. Tangannya terulur, mendarat di pinggang Malika, menarik tubuh gadis itu lebih dekat, hingga dadanya menempel ke da-da Alex.
“Kau seperti anak rusa yang kutangkap di hutan. Takut, tapi tak punya pilihan selain tunduk.”
Kata-kata itu menusuk dada Malika. Air mata panas menggenang lagi di pelupuk matanya. Tapi ia tidak boleh menyerah. Demi Ibu. Demi satu-satunya keluarga yang ia punya.
Malika menarik napas dalam, membuka kancing terakhir. Ia menatap dada Alex yang keras, bidang, dengan garis otot yang terukir tegas. Sesaat ia tercenung, dan Alex melihat itu.
“Kau suka?” Tanya Alex, setengah mengejek.
DEG…
“A-aku…,” Malika menunduk, suaranya patah. “M-maaf…”
Alex mengangkat dagu Malika lagi, memaksa matanya terkunci di matanya sendiri.
“Jangan pernah minta maaf. Aku membelimu untuk ini. Kau milikku malam ini.”
Tangannya yang besar kemudian menelusup ke belakang, membuka kait bra Malika dengan mudah, membuat gadis itu terlonjak kaget.
Kain tipis itu jatuh ke lantai, mengekspos da-da Malika yang bergetar hebat.
Wajah Malika memerah. Lututnya lemas. Ia refleks menutup dada dengan tangannya sendiri, tubuhnya memutar sedikit, seperti ingin lari.
“Jangan tutupi.” Suara Alex lebih rendah, tapi menggigit. “Aku membayar mahal untuk melihat semuanya.”
Perlahan, dengan tangan gemetar, Malika menurunkan lengannya.
Mata Alex menelusuri lekuk itu tanpa rasa bersalah, tatapannya membuat darah Malika serasa mendidih, bercampur rasa malu dan takut.
“Indah.” Gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Lalu ia menatap tepat ke mata Malika. “Tapi sekali lagi, bukan berarti aku menyukaimu, Baby.”
Kalimat itu lagi-lagi menohok, tapi anehnya Malika malah lebih lega. Ia tidak perlu membuat pria ini jatuh cinta, ia hanya harus bertahan malam ini.
Tangan Alex naik, menggenggam tengkuk Malika. Ia menarik gadis itu, hingga bibir mereka hanya terpisah beberapa senti.
“Aku tak suka gadis yang kaku seperti batang kayu. Bergeraklah.”
Malika menelan ludah. Jemarinya ragu-ragu naik ke bahu Alex, lalu turun menyentuh dadanya, menggambar garis-garis ototnya. Tubuhnya sendiri gemetar seperti demam.
“Lebih, Baby.” Desak Alex, napasnya berat, suara rendahnya bagai membelai kulit Malika.
Perlahan, Malika membiarkan dirinya mendekat, hampir menyentuh hidung mereka.
Alex tiba-tiba mencium pipinya. Lembut, tapi hanya sebentar, seolah untuk menguji reaksi.
Tubuh Malika seketika tegang, napasnya tertahan.
“Gerak lembek.” Desis Alex. “Kau gadis paling polos yang pernah kudapatkan, tapi juga, paling membuatku kesal.”
Malika tak mengerti harus menjawab apa.
Tangannya mengusap dada Alex, turun ke perutnya. Pria itu masih duduk, membiarkan Malika memegang kendali semu yang tetap diatur olehnya.
“Cukup.” Suara Alex menghentikan gerakan Malika.
Dengan satu gerakan, Alex mengangkat tubuh Malika, membawanya duduk mengangkang di pangkuannya. Posisi itu membuat da-da mereka menempel erat, panas tubuhnya membuat Malika hampir kehilangan kesadaran.
Tangan Alex menelusup ke rambut panjang Malika, menariknya ke belakang. Leher putih itu kini terekspos, rentan, tak berdaya.
“Kau tahu, Baby?” Bisiknya di telinga Malika, suaranya serak dan rendah. “Aku biasanya tidak peduli gadis pe-ra-wan menangis kesakitan. Mereka kubayar, mereka harus rela.”
Malika menahan napas, tubuhnya gemetar hebat.
“Tapi denganmu… entah kenapa,” Alex mendekatkan bibirnya, “aku ingin jadi luka pertamamu, dan yang tak akan kau sembuhkan seumur hidup.”
DEG…