แชร์

5. Ternyata Masih Segel

ผู้เขียน: MessiAjh 02
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-12 22:01:36

Di dalam kamar mandi, Malika masih berdiri di bawah shower. Air sudah mulai mendingin, tapi ia tak peduli. Tubuhnya basah kuyup, rambut panjangnya menempel di pipi dan punggung.

Ia mengusap air matanya, meski air tetap mengalir. Nafasnya berat, dada sesak.

“Setidaknya… Ibu bisa selamat. Lika nggak apa-apa rusak kayak gini, asalkan Ibu tetap hidup” Bisiknya, suaranya pecah.

Beberapa menit kemudian, Malika keluar dari kamar mandi. Tangannya masih gemetar. Ia menggigit bibir menahan perih di tubuhnya.

Ia melirik ke arah pakaiannya yang tergeletak di kursi. Tapi saat hendak memakainya kembali, suara berat Alex menghentikannya.

“Jangan pakai itu! Ucap Alex, berdiri di dekat meja, mengenakan celana panjang hitam dan kemeja separuh dikancing.

Malika membeku. “T-tapi… aku…”

Alex meraih kaos hitam oversize miliknya dan melempar ke arahnya. “Pakai ini. Dan lepaskan dalamanmu. Aku nggak suka kau memakai pakaian tadi. Semuanya sudah kotor. Dan aku nggak suka kau memakai sesuatu yang disentuh pria lain sebelumnya.”

Perintahnya tegas, datar, tak memberi ruang untuk protes.

Malika hanya bisa menunduk. Tangannya menggenggam kaos itu, tubuhnya gemetar. Perlahan, ia melucuti handuk, melepas dalaman, dan mengenakan kaos hitam Alex. Kaos itu kebesaran, panjangnya nyaris menutup paha.

Wangi parfum Alex langsung memenuhi inderanya. Ada rasa aneh di dadanya, perih bercampur hangat.

Alex hanya menatapnya sekilas, matanya dingin. “Tidurlah. Besok kau akan diantar pulang oleh anak buahku.”

Malika mengangguk pelan. “B-baik…” suaranya lirih.

Setelah itu, Alex berjalan keluar dari kamar. Pintu menutup. Suara langkah kakinya perlahan hilang.

Hening.

Malika terduduk di sisi ranjang. Nafasnya berat. Perlahan ia merebahkan tubuhnya, punggungnya menyentuh sprei dingin. Ia menatap langit-langit kamar.

Air matanya kembali mengalir, tanpa ia sadari.

“Ternyata bener… dia akan membuang aku setelah mengambil kesucianku…” Gumamnya, suara parau nyaris tak terdengar.

Tubuhnya menggigil. “Maaf Bu… maaf…” Bisiknya.

**********

Sementara itu, di ruangan kerjanya, Alex berdiri di depan jendela besar. Pemandangan kota dengan lampu gedung yang berkelip di kejauhan.

Tangan kirinya memegang ro-kok yang belum sepenuhnya habis, asap tipis mengepul naik ke langit-langit.

Nafasnya berat. Sesekali matanya terpejam, tapi yang terbayang hanya wajah Malika. Tatapan takut gadis itu, jeritan kesakitan, bibirnya yang memanggil nama Alex dengan suara bergetar, dan juga de-sa-han-nya.

Dan untuk pertama kali, Alex merasa dadanya menghangat. Ada sesuatu yang aneh.

Ia membuka mata, menatap refleksi dirinya di kaca. “Dia benar-benar masih pe-ra-wan.” Gumamnya. “Dan… untuk pertama kalinya aku membuat seorang gadis itu ikut menikmatinya.”

Ia menghembuskan asap cerutunya perlahan. “Apa bener, dia berbeda dari gadis lain?”

Tapi keraguan muncul di benaknya. “Tapi… apa ibunya benar-benar sakit? Atau hanya cerita yang sama seperti gadis-gadis lainnya?”

Matanya menajam. “Mereka semua juga pernah bilang begitu. Demi biaya rumah sakit, demi keluarga, dan demi menyambung hidup, nyatanya hanya untuk membeli tas mahal, pesta, atau foya-foya.”

Alex mengusap wajahnya. “Tapi dia terlihat tulus. Air mata bisa dibuat-buat, tapi tatapan mata nggak bisa dibuat. Gadis itu jelas terlihat rapuh.

Hening sesaat.

“Haruskah aku suruh anak buah memantaunya?” Gumamnya. Lalu cepat-cepat ia menggeleng. “Sudahlah… itu nggak penting. Aku nggak peduli. Aku nggak boleh peduli.”

Ia menghela nafas panjang. “Prinsipku tetap sama. Tidak boleh jatuh cinta. Karena cinta hanya akan membuatku lemah.”

Matanya memanas, wajahnya mengeras. “Aku nggak mau mengulang hal yang sama. Ditikam wanita yang dia cintai. Hancur dan ditinggalkan. Cukup Papa aja yang buta akan cinta.”

Alex menatap ke atas, seolah menembus langit gelap di luar sana.

“Apa kabar, Pah? Apa Papa bisa melihatku dari sana? Tunggu sebentar lagi ya, Pa. Aku akan menghancurkan wanita iblis itu. Demi Papa…” Bisiknya.

Suaranya berat, nyaris patah, namun matanya tetap dingin.

Alex mematikan rokoknya di asbak kristal di meja kerja. Asap terakhir melayang di udara sebelum menghilang, meninggalkan aroma tajam yang bercampur dengan udara malam. Ia berjalan menuju meja, duduk, dan membuka laptop. Namun layar yang menyala hanya menjadi cahaya tak bermakna. Tangan Alex tidak bergerak.

Pikirannya kembali pada suara lirih Malika, panggilan penuh rasa sakit itu.

Ia mengetukkan jarinya ke meja, ritmenya tak beraturan, tanda pikirannya sedang kacau.

Telepon di meja berdering.

Alex melirik layar. Nama Rama, salah satu orang kepercayaannya, tertera di sana.

Dengan nada datar, ia mengangkat.

“Ya?”

“Bos, ada laporan dari anak-anak. Soal pengiriman barang dari Pelabuhan Tanjung. Semua aman. Tapi…” Suara di seberang terdengar ragu.

Alex menyipitkan mata. “Tapi apa?”

“Ada yang nyari info soal Bos. Kayaknya wartawan. Katanya mau liputan bisnis pelayaran…”

Alex menyandarkan punggung. “Buang mereka sebelum mereka kebanyakan tanya. Jangan sampai nyentuh orang-orang kita.”

“Siap, Bos.”

Telepon ditutup.

Alex menatap kosong ke luar jendela lagi. Pikirannya beralih cepat dari masalah pelabuhan kembali ke wajah Malika. Ia tak suka itu. Ia tak suka pikirannya dikendalikan oleh seorang gadis. Ia harus fokus.

Sementara itu, di kamar Alex, Malika masih terjaga. Ia berbalik ke kanan, lalu ke kiri, namun rasa nyeri di tubuhnya membuatnya sulit tidur.

Kaos hitam Alex masih menempel di tubuhnya, sedikit longgar, membuat bahunya terasa kecil. Bau parfum yang tadinya asing, sekarang seperti menempel di kulitnya.

Matanya menatap pintu. Ada rasa takut kalau sewaktu-waktu pintu itu terbuka lagi dan Alex muncul. Tapi ada juga rasa… entah apa, yang membuat dadanya terasa aneh setiap mengingat tatapan dingin pria itu.

Tangannya meraih bantal, memeluknya erat. “Ibu… semoga besok saat Lika pulang, ibu udah sadar…” Bisiknya, matanya kembali basah.

*******

Di sisi lain, di ruang kerjanya, Alex menyalakan rokok kedua. Kali ini tarikan nafasnya lebih panjang.

“Kau bukan siapa-siapa, Malika.” Gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun otaknya berkhianat, mengulang suara gadis itu yang memanggil namanya.

Ia menghela nafas keras, lalu meraih ponsel. Jempolnya bergerak cepat, mengetik pesan singkat:

"Siapkan mobil. Besok pagi antar dia pulang. Jangan tanya apa-apa."

Pesan terkirim. Alex menaruh ponsel di meja, mematikan lampu kerja, lalu berjalan keluar dari ruangan. Namun langkahnya melambat saat melewati lorong menuju kamar lain. Dia berhenti di depan pintu kamarnya. Pikiran berkelana, ingin tahu apa yang dilakukan Malika di kamar itu. Namun buru-buru ia menggelengkan kepalanya.

Kemudian, tanpa suara, ia kembali melangkah, meninggalkan lorong yang hening itu. Bukan karena ia tak sudi tidur dikamar yang sama dengan Malika, tapi ia punya prinsip. Ia tidak akan mau mengenal lebih dalam gadis yang ia tiduri.

Alex masuk ke dalam kamar lain, ia duduk di tepi ranjang sebentar, lalu membaringkan tubuhnya, dan mencoba menghapus bayangan Malika.

“Ingat, Alex. Hanya satu kali, lalu buang layaknya sampah!” Ucapnya menyakinkan dirinya sendiri.

**********

Pagi harinya….

Saat anak buah Alex menjemput Malika, suasana apartemen itu terasa sunyi. Hanya suara AC yang terdengar samar. Alex sudah tak ada di sana, dia berangkat lebih pagi menuju perusahaannya. Bukan karena ada urusan mendesak, tapi semata-mata karena ingin menghindari Malika.

Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana kain, melangkah masuk. Wajahnya terlihat garang, rahangnya tegas, dan sorot matanya tajam. Saat pandangannya jatuh pada Malika yang sedang duduk di tepi sofa, gadis itu sontak merapatkan kedua lututnya dan memeluk diri sendiri. Jantungnya berdebar tak karuan, seperti sedang menghadapi ancaman.

Namun, pria itu buru-buru berbicara dengan suara berat namun terkendali.

“Tenang, Nona. Saya diutus oleh Tuan Alex.”

Nada suaranya sedikit melunak, seolah mengerti ketakutan yang terpancar dari tatapan Malika. Ia kemudian mengulurkan sebuah paper bag hitam dengan logo butik mahal di bagian depannya.

“Tuan menyuruh saya memberikan ini. Katanya, Nona harus mengganti pakaian dulu sebelum keluar.”

Malika memandang tas itu dengan ragu, lalu menatap wajah pria itu. Ada sedikit ketidakpercayaan, tapi ia tahu tak punya pilihan. Perlahan, ia menerima tas itu.

“Baik…” Gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

Tanpa banyak bicara, Malika berdiri dan berjalan cepat menuju kamar. Sesampainya di dalam, ia langsung mengunci pintu. Tangannya sedikit bergetar saat membuka paper bag tersebut. Di dalamnya, ada atasan putih simpel namun mahal, celana panjang berpotongan rapi, dan sepasang sepatu kets baru. Semuanya terlihat bersih dan wangi, seolah baru saja keluar dari toko.

Malika bergumam pelan pada dirinya sendiri. “Dia benar-benar… menyuruhku pulang.”

Entah harus lega atau justru khawatir, perasaan itu bercampur.

Ia buru-buru mengganti pakaian, menyisir rambutnya dengan jari, lalu menghela nafas panjang sebelum keluar kamar.

Pria itu masih berdiri di dekat pintu apartemen, menunggu. Saat Malika keluar, ia menatap sebentar, lalu mengangguk tipis.

“Ayo. Saya antar pulang.”

Malika menunduk sopan, tapi kemudian memberanikan diri berbicara.

“Baik… tapi bisakah Om mengantar aku ke rumah sakit? Ibuku menunggu di sana. Ibuku baru operasi semalam.”

Ada jeda singkat sebelum pria itu menjawab.

“Baiklah.”

Nada bicaranya tegas, tapi bukan tak ramah. Ia membuka pintu apartemen, mempersilakan Malika keluar lebih dulu.

Mereka berjalan menyusuri koridor menuju lift. Langkah Malika agak cepat, seolah ingin segera meninggalkan tempat itu. Begitu pintu lift terbuka, keduanya masuk. Lift bergerak turun, dan selama perjalanan itu hanya terdengar suara mekanis mesin lift. Malika menunduk, memeluk paper bag yang kini kosong namun tetap ia genggam erat, seperti tameng tipis untuk melindungi dirinya.

Sampai di basement, aroma khas parkiran bawah tanah menyambut. Di samping sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap, seorang pria lain, supir Alex sudah berdiri menunggu. Anak buah Alex yang pertama segera membukakan pintu mobil.

“Terima kasih, Om.” Ucap Malika pelan sambil masuk ke kursi penumpang belakang.

Pria itu hanya mengangguk singkat, lalu menutup pintu. Ia sendiri masuk ke kursi penumpang depan, sementara supir segera menyalakan mesin. Mobil melaju keluar basement, meninggalkan gedung apartemen yang semakin mengecil di kaca belakang.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Malika duduk diam. Kepalanya menunduk, jemarinya terus memilin ujung kaos putih yang kini ia kenakan. Ada banyak hal yang berkecamuk di pikirannya tentang kejadian semalam, tentang ibunya yang sakit, tentang bagaimana jika ibunya tau apa yang sudah dia perbuat, dan tentang Alex, pria yang anehnya membuatnya takut sekaligus penasaran.

Sesekali, dua pria di depan saling bertukar pandang lewat kaca spion. Mereka jarang melihat gadis yang di pakai Alex dan mereka antar berperilaku seperti ini. Biasanya, para gadis itu keluar dengan senyum puas atau wajah penuh riasan mencolok, bukan seperti Malika yang pucat, sederhana, dan jelas-jelas masih gugup.

Entah kenapa, ada sedikit rasa iba dalam hati mereka. Sama seperti Alex, mereka pun bisa merasakan bahwa Malika ini berbeda.

Mobil melaju melewati jalanan kota yang mulai ramai. Di luar, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing, sementara Malika hanya bisa memandangi pemandangan itu dengan tatapan kosong, mencoba menenangkan pikirannya sebelum tiba di rumah sakit. Dan mencari alasan apa saat ibunya bertanya kenapa dia baru pulang.

Tak terasa, mobil yang membawa Malika kini sudah tiba di depan rumah sakit.

“Kita sudah sampai Nona.”

DEG….

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    43. Layani Aku, Malika

    Roda mobil Alex berhenti perlahan di depan sebuah gerbang besi tinggi yang menjulang angkuh. Lampu-lampu pilar di sisi gerbang menyala terang, memantulkan kilau ke bodi mobil hitam yang mereka tumpangi. Malika menatap ke luar jendela dengan napas tercekat. Di balik pagar, terlihat sebuah bangunan megah bergaya klasik modern, dengan pilar-pilar besar dan taman yang tertata rapi. Lampu-lampu taman berwarna keemasan memantul di permukaan air mancur yang berdiri di tengah halaman depan.Mobil perlahan masuk setelah pintu gerbang otomatis terbuka. Deru mesin terdengar berat saat melintasi jalan berbatu halus menuju depan mansion. Malika menelan ludah, jemarinya yang tadi menggenggam ujung kaos kini berpindah ke pangkuan, saling meremas. Ini pertama kalinya ia melihat tempat sebesar ini. Sebelumnya, Alex membawanya ke apartemen pria itu, bukan ke rumah sebesar ini.Begitu mobil berhenti di depan tangga utama, beberapa pria berbadan besar berseragam hitam berbaris rapi di sisi kanan dan kir

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    42. Aku Gak Bisa Pulang, Bu

    Alex dan Malika kini sudah sampai di parkiran mobil. Udara malam terasa lembap, aroma aspal bercampur bensin menusuk hidung. Lampu-lampu jalanan berwarna kuning pucat menyorot kendaraan-kendaraan yang terparkir di sekitarnya. Malika menunduk, nafasnya tersengal-sengal karena kejadian barusan. Tangannya gemetar, keringat dingin masih menempel di pelipisnya.“Masuk,” ucap Alex pendek, nadanya datar tapi mengandung tekanan.Malika langsung menuruti perintah itu tanpa menjawab apa pun. Ia hanya ingin segera pergi dari tempat itu, menjauh dari semua pandangan mata. Tangannya meremas ujung kaosnya sendiri, mencoba mengendalikan guncangan di dada. Dengan langkah terburu-buru ia masuk ke mobil, aroma kulit jok yang khas langsung menyergapnya.Begitu Malika masuk ke dalam mobil, Alex yang sejak tadi menunggu langsung menutup pintu mobil rapat. Bunyi klik kunci pintu terdengar tegas di telinga Malika, membuatnya sedikit terlonjak. Alex kemudian mengitari kap mobil, membuka pintu bagian depan ke

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    41. Maaf, Malika

    BUGH…Suara pukulan itu menggema keras di ruangan besar itu. Pedro terhuyung ke belakang, punggungnya menabrak sudut meja. Nafasnya langsung berat, terdengar suara ringisan yang ia tahan-tahan. Tangan kirinya terangkat menutupi rahang yang kini memerah akibat hantaman Alex.Malika tersentak, matanya membelalak melihat ayahnya terhantam keras. Namun bibirnya menutup rapat, tak ada sedikit pun niat untuk menghentikan Alex. Jemarinya justru menggenggam kain sofa lebih erat, menahan seluruh emosi yang meledak di dadanya.Alex melangkah maju, nafasnya stabil namun sorot matanya tak lagi manusiawi. Suara gesekan sepatu mahalnya di lantai marmer terdengar jelas, setiap langkahnya seperti ancaman. Pedro yang tadi masih berlagak berani kini memandang Alex dengan tatapan ngeri, tubuhnya sedikit membungkuk menahan sakit.“Rasakan ini,” ulang Alex dengan nada lebih rendah, namun lebih mematikan dari sebelumnya. Tangannya kembali terangkat.Pedro mengangkat kedua tangannya di depan dada, mencoba m

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    40. Habisi Dia, Alex

    Seketika Alex tersenyum penuh kemenangan. Sementara Pedro dan yang lain menganga mendengar itu. Mereka baru tahu ternyata Malika mengenai Alex. Alex memandangi Malika lama. Sorot matanya dingin, tapi di balik itu ada sesuatu yang menyala. Rahangnya mengeras, tangan yang menggenggam lengan Malika terasa semakin kuat. Abas dan Mark yang berdiri di belakangnya sudah tahu betul, ini tanda Alex mulai tidak bisa menahan diri.Pria yang membeli Malika itu terkekeh pelan, masih berusaha menunjukkan dirinya berkuasa. “Tuan Alex… jangan ikut campur. Dia sudah jadi milikku. Anda punya banyak perempuan, bukan? Ambil saja yang lain.” Ucapnya penuh percaya diri.Alex tidak menoleh sedikitpun. Matanya tetap menatap Malika. “Sekali lagi,” suaranya pelan tapi menusuk. “ucapkan padaku.”Malika menelan ludah, tubuhnya gemetar. “Aku mohon… selamatkan aku, Alex. Aku nggak mau disentuh pria itu. Aku… aku akan melakukan apapun yang kamu mau.”Suara gadis itu pecah. Air matanya jatuh satu-satu di lantai mar

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    39. Alex, Tolong Aku

    Suasana di ruangan VIP itu hening seketika. Udara terasa pekat. Lampu kristal di atas ruangan berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer. Semua orang di dalam ruangan seolah membeku, hanya detak jam dinding yang terdengar. Semua kaget saat tiba-tiba benda itu jatuh nyaring ke lantai. Suara pecahan gelas memantul, memecah keheningan.“MALIKA!” Teriak Pedro. Wajahnya langsung merah padam penuh amarah saat Malika melemparkan gelas yang didekatkan pria yang membelinya ke wajahnya. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.“APA? HAH!” Balas Malika berteriak, suaranya pecah oleh amarah dan ketakutan. Bahunya naik turun, matanya memandang semua orang dengan pandangan penuh tantangan.“Jangan jadi pembangkang kamu!” Sentak Pedro lagi. Dia melangkah cepat mendekati Malika, nafasnya memburu, aroma alkohol tercium dari mulutnya. Tangannya langsung memegang kuat lengan Malika yang terus memberontak, berusaha melepaskan diri.“Lepasin! Anda gak berhak atas diriku. Anda bukan siap

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    38. Dipaksa Dan Dijual

    “Lepaskan!” Teriak Malika sekuat tenaga, suara seraknya memantul di dinding lorong gelap. Tubuhnya meronta keras, kedua tangannya berusaha menarik diri dari cengkeraman Pedro. Nafasnya terengah-engah, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajahnya. “Tidak akan pernah.” Sahut Pedro dingin. Rahangnya mengeras. Dia semakin kuat menekan tangan Malika sampai pergelangan gadis itu terasa perih. Tatapan matanya kosong, penuh nafsu kekuasaan, seolah tak ada lagi darah keluarga di tubuhnya. Pria yang berada di dalam mobil itu langsung membukakan pintu lebar-lebar. Aroma asap rokok dan parfum tajam menyeruak keluar. “Cepat bawa dia masuk ke dalam.” Ucap pria itu datar, suaranya dalam dan serak seperti orang yang terbiasa berteriak memberi perintah. “Siap, Juragan.” Sahut Pedro tanpa menoleh, suaranya terdengar tergesa. Dia menarik lengan Malika makin keras. Pria yang berada dalam mobil itu memang Juragan Opi. Pria tu

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status