“Apa?” mata Dinar berkaca-kaca, mati-matian dia mencari kerja untuk mencukupi kehidupan dia dan anaknya kelak, tapi lihatlah sekarang, dia sudah kehilangan salah satu sumber penghasilan, ini semua pasti ulah Dirham. ‘Aku benci kau, setan!’ dalam hati, Dinar terus memaki-maki lelaki di sampingnya yang tersenyum puas.
“Maksud Pak Uda?”
“Kami sudah cukup tenaga untuk sementara ini nak Dinar, maaf ya.. kata nak Dirham, kamu juga butuh banyak istirahat.”
Dinar menatap tajam pada Dirham, sakit hati dengan tindakan Dirham yang seolah terus mengaturnya.
Dinar mengangguk lemah, dengan gontai dia meninggalkan tempat itu melangkah tanpa arah tuju.
Sementara Dirham mengucapkan terima kasih kepada Pak Uda dan segera menyusul langkah Dinar.
“Tunggu, Di.. ” Dinar menyapu air matanya dengan ujung jari. Tidak menyahut maupun menoleh pada Dirham.
“Tunggu Di, biar kuantar.” suara Dirham
Dinar terpana, permintaan Dirham sungguh di luar dugaan. Apa yang harus dia jawab, membolehkan? Nanti dia ambil kesempatan lagi, atau bilang saja tidak boleh, tapi ini anak dia, kadang Dinar juga sangat ingin disentuh oleh Dirham, entah itu perasaan jalangnya atau keinginan anaknya, yang jelas dia tidak pernah menghiraukan keinginannya. Dia akan pendam sebisa mungkin keinginan aneh itu dan akan terus menjadi rahasia hatinya. Dirham masih menunggu jawaban dari mulut gadis di depannya, Dinar masih diam tapi dia menguak pintu lebih lebar, lalu masuk agak ke dalam. Dirham mengikuti langkah Dinar dengan mata masih menatap tidak percaya. Dinar mengangguk memberi isyarat kalau dia mengijinkan lelaki itu untuk menyentuh perutnya. Dirham tersenyum haru lalu menutup pintu dengan kaki kirinya, ia mendekat ke arah Dinar. Lalu berdiri dengan melipat lututnya, perlahan tangannya menyentuh perut Dinar yang sudah terlihat sedikit menonjol.
Dinar berkaca-kaca, itu adalah sindiran dari ibunya. Dia tahu ibunya pasti masih marah sama dia. (Eng.. Kak.. ) terdengar suara Arfa serba salah.“Sudah Fa, nggak apa. Ibuk masih belum bisa maafin kakak, biar marahnya reda dulu.”(Maaf ya Kak, maafin Ibuk juga)“Iya, Kakak ngerti kok, aku pergi kerja dulu ya, Dek. Ada apapun tolong hubungi aku.”(Iya Kak, disana juga jaga diri ya) Setelah panggilan diakhiri, Dinar kembali bersiap-siap untuk pergi kerja. Roti yang sudah diisi selai segera dimasukkan ke dalam kotak makanan, sebotol air juga dibawa dan dimasukkan ke dalam tas kain lusuhnya.Dia segera mengunci pintu dan keluar menuju halaman depan. Dia melihat ada orang memakai jaket hijau sedang menunggunya, itu sepertinya jaket ojek online, benar saja, ada tulisan besar di belakang jaket hijau itu. “Maaf, Mas. Nunggu siapa, ya?”Orang itu menoleh kebelakang dan tersenyum, rupanya seorang perempuan.“Maaf, Mbaknya nunggu siapa,
Dinar terpaku mendengar ucapan dari Dirham, ‘Menemui Ibuk? dia belum tahu Ibuk bisa saja membunuhnya.’ dalam hati gadis itu berbicara sendiri. “Untuk apa? Tidak perlu karena aku tidak mau menikah denganmu.” Dinar melipat tangannya di depan dada. Dia tidak memandang wajah Dirham sama sekali. “Pikirkan masa depan anak ini, Di. Entah kenapa setelah menyentuhnya tadi malam, aku ingin memilikinya secara utuh. Dia darah dagingku.” Wajah Dinar merah padam menahan marah. Dia tersenyum sinis. “Enak aja, dia milikku! tidak mungkin kuserahkan padamu, dia anak ku!” “Dia juga anakku! aku berhak atas dia, Di. Kau tidak mau menikah denganku tidak jadi soal, asal anak ini harus tinggal bersamaku nanti.” Plakk Dinar menampar pipi lelaki yang sekali lagi menyakiti hatinya. Dirham mengusap bekas tamparan itu, panas. Matanya dipejamkan tidak mau tersulut emosi, Sekarang Dinar t
Air mata Dinar semakin deras, tapi sebisa mungkin dia menahan dirinya untuk panik, ibunya perlu ditenangkan. “Buk, tenang dulu. Sekarang dimana Arfa?” (Ibuk sekarang di rumah sakit, Nduk. Adikmu ada di IGD sedang ditangani, dia tadi tidak sadar Nduk, Ibuk takut, Ibuk takut adikmu tidak bisa diselamatkan, ini salah Ibuk, tadi Ibuk suruh adikmu antar pesanan, dan pulangnya adikmu kecelakaan, ini salah Ibuk, Ibuk ini bukan Ibuk yang baik buat kalian, Ibuk ndak bisa jaga kalian) Tangisan ibunya di seberang sana membuat Dinar semakin sedih, air matanya semakin deras mendengar penyesalan ibunya, dan mendengar keadaan adiknya yang sedang kritis membuatnya takut. “Ibuk yang sabar, istighfar Buk, Ibuk tidak bersalah, ini kecelakaan, Buk, ujian untuk kita, mari doakan Arfa akan baik-baik saja. Dinar belum bisa pulang Buk, sekarang Ibuk sama siapa?” airmata Dinar makin deras mengalir, membayangkan ibunya sendiri menjaga sang adik, membayangkan Arfa s
(Aku kesana sekarang, jelaskan semuanya padaku, kenapa tiba-tiba.. )“Tidak perlu kesini sekarang, sudah malam, besok saja kesini, aku ingin bicara dan jelaskan semuanya. Sebelum aku pergi kerja. Datang jam 7 pagi.”(Di, kenapa suaramu seperti kena flu gini, kamu sakit? sudah makan? Vitamin dan susu sudah di minum?)“Aku tidak apa-apa, aku mau istirahat.” Klik Tanpa pamit panggilan itu diakhiri oleh Dinar.‘Ya Allah, sudah benarkah keputusanku ini?’ Dinar menyapu air matanya dengan ujung jari. Pikirannya buntu, hatinya tidak karuan. Dan yang paling membuat dia takut, apa ini tidak menimbulkan sebuah penyesalan baginya nanti? Dinar kembali masuk ke kamar mandi, air wudhu diambil, dia butuh ketenangan sekarang, dia butuh tempat untuk mengadu dari masalah yang menghimpit dadanya. Sajadah dibentang. Mukenah dipakai. Allahuakbar. Dinar hanyut dalam khusyuk sholat Sunnah untuk menghadap Rabbnya.&
Dinar melongo setelah mendengar ucapan Dirham barusan, waktu satu minggu terlalu singkat baginya, untuk menyiapkan semuanya tidak mungkin bisa semudah itu, daftar di KUA tempatnya juga. Tidak mungkin bisa selesai dalam waktu seminggu. “Menikah bukan permainan pondok-pondok, tanpa persiapan dan dilakukan begitu saja.” Dinar tidak bisa langsung setuju dan menerima keputusan yang diberikan oleh Dirham padanya. “Serahkan semua padaku, seminggu lagi kita pulang ke rumah ibu mu, kita menikah di sana. Jadi seminggu lagi uangnya aku transfer.” “Gila! bukannya tadi kau bilang sore ini uangnya bisa masuk ke rekeningku?” “Di, apa jaminannya kalau kau tidak akan lari dariku membawa anakku kabur. Pekerjaanku juga banyak di sini, aku harus atur semua satu demi satu.” ada kekhawatiran di hati Dirham setelah menyadari kalau Dinar bisa saja berubah pikiran. “Tidak, atur saja semua tapi kita tidak perlu pulang ke sana, aku tidak bisa
Dirham menunjukkan notifikasi di aplikasi mobile bankingnya pada Dinar, Dinar hanya mengangguk, ada butiran bening jatuh di pipinya tanpa disadari oleh lelaki di depannya. Dinar lega, akhirnya dia bisa mendapatkan uang tepat waktu, dan sebentar lagi dia akan mengirim uang itu ke rekening ibunya.“Terima kasih, aku akan penuhi semua syarat darimu.”“Sama-sama, masih tidak ingin cerita uang itu untuk apa?” Dirham kembali menatap gadis itu lekat.“Suatu saat kamu akan tahu sendiri tanpa kuberitahu.”“Oke kalau gitu, makan yang rapi kaga bisa?comot kek bocil aja.”Dengan itu jari Dirham sudah mengusap tepi bibir Dinar, membersihkan saus yang menempel di sana, lalu jarinya dibawa ke bibir, dijilat sambil mata tidak lepas dari wajah Dinar membuat gadis itu menunduk malu. Wajahnya merah. Dia berusaha menyembunyikan debaran di hati yang mulai menggila. ‘Jangan jatuh hati sama dia, Di’Dinar memperingatkan dirinya sendiri. Jujur saja perhatian Dirham padanya a
“Di, Auh. Sakit ! hidungku patah.” “Bodo amat! rasain siapa suruh gatal, dasar mesum! Pulang sana. Anakku tidak mau ditengokin oleh ayahnya.” Dinar tersenyum puas di balik pintu, pasti hidung Dirham merah sekarang terkena pintu keras itu. Tawa Dinar pecah membayangkan Dirham seperti badut sekarang. ‘Eh, mana ada badut cakep kek dia.’ Di luar, Dirham berjalan kearah mobil sambil terus mengelus hidung mancungnya, panas seperti terbakar, pasti memar dan merah. Ketika dia hendak masuk ke dalam rumah tadi Dinar membanting pintu dengan keras. Tentu saja hidungnya terkena pintu kayu itu. Dan sekarang sakit seperti patah. ‘Awas saja nanti kalau kita sudah menikah, Di. Kau akan kubalas dengan caraku.’ pemuda itu bertekad dalam hati, senyum kecil penuh misteri menyertainya, dalam hitungan menit mobilnya sudah meninggalkan tempat itu. Dirham mengambil ponselnya. Headset bluetooth dipakai. “Iya bro, masih punya orang di kawasan rumah gadis ya