Dirham memasuki sebuah restoran mewah, pandangannya meliar mencari dimana meja papanya yang sedang dinner meeting bersama beberapa relasi bisnis yang akan membicarakan tentang kerjasama projek mereka di daerah Jawa timur. Projek besar yang memakan biaya milyaran rupiah, dia adalah salah satu orang yang ditunjuk oleh papanya untuk mewakili perusahaan AAD Group. Karena papanya harus memimpin perusahaan di kota ini.
‘Itu dia,’ akhirnya dia melihat papanya sedang melambaikan tangan memberi tanda keberadaannya.Dengan langkah pasti Dirham mendekati meja yang sudah ditempati oleh beberapa orang yang terlibat dalam projek besar itu.
“Selamat malam semua, maaf saya datang lambat kena macet tadi.”Dirham menyapa mereka semua, ada yang mengangguk faham ada yang hanya tersenyum ada juga yang menatap tajam seolah berkata dalam hati 'Ini rupanya anak kebanggaan Assegaff'. “Jakarta mana pernah tidak macet. Kecuali dini hari.” sahut Aldiano salah sPagi itu Dinar menyelesaikan semua urusannya sebelum dia pergi jauh meninggalkan kota Jakarta. pertama, ia menemui ibu kostnya, memberitahu kalau ia sudah tidak menyewa di sana lagi, setelah itu ia pergi ke Restoran Azhar untuk mengantar surat resign, tentu saja keputusan tiba-tiba itu pasti akan mengundang seribu tanda tanya dari para staf tempat dia bekerja, Edo apalagi, dia tidak bisa menerima surat resign itu awalnya, tapi keputusan Dinar sudah bulat dia tidak akan mundur dan menunda kepergiannya. Dinar mengacuhkan bujukan Edo. Zaky yang pagi itu sudah ada di restoran juga merasa kaget dengan keputusan Dinar, tapi dia tidak ada hak untuk menahan keputusan gadis itu, sementara tangis Delia tidak dapat dibendung, Delia bahkan sampai tidak mau berbicara dengan Dinar ketika sahabatnya itu baru menyuarakan niatnya, tapi Dinar memberinya janji akan selalu menghubungi ia nanti setelah tiba di rumahnya. Dalam benak Delia, dia yakin kalau sahabatnya itu ada masalah berat yang tid
Dinar meninggalkan mall dengan hati yang berkecamuk, entah kenapa setelah melihat kemesraan Dirham dan wanita seksi tadi hatinya jadi sakit, sedih. Apa mungkin itu cuma reflek perasaan seorang ibu untuk anaknya, sedangkan dari awal dia sudah bertekad untuk tidak lagi menemui lelaki itu, tidak mau masuk dalam dunianya yang nanti akan makin membuat dirinya terluka karena kebenciannya.Dinar ke mall tujuannya untuk membeli beberapa barang yang nantinya di butuhkan di tempat barunya, siapa sangka dia melihat Dirham sedang jalan dengan Julia, melihat Julia yang serba dengan kesempurnaan membuat Dinar merasa tidak percaya diri, rupanya seperti itulah selera seorang Dirham Assegaff, ayah dari anak dalam kandungannya. Anak yang tidak dikehendaki ayahnya, anak yang tidak disangka keberadaannya oleh dirinya sendiri.Dinar teringat isi obrolan Dirham dengan ibunya di telepon beberapa minggu lalu, lelaki itu belum siap untuk menjadi seorang ayah, itulah s
“Kamu pulang sama siapa, Nduk?” Pelukan erat yang sangat dirindukan selama ini masih belum dilepaskan, dekapan yang menjadi obat dari segala kesakitan yang dia alami selama berada jauh di tempat orang, inilah surganya, inilah tempat dia ingin tuju ketika dirinya dalam ketakutan. Pelukan hangat seorang ibu. “Ayo masuk dulu, ya Allah mimpi apa Ibuk tadi malam, kok pulang ndak ngabari to, Nduk.” “Dinar kangen Buk, kangen sama Ibuk dan Arfa, jadi mutusin pulang saja, sendiri aja kok Buk. Mau sama siapa memangnya.” Pelukan dileraikan, Dinar masih menggandeng lengan Kinanti erat, sifat manjanya akan keluar ketika dia sedang ingin menyalurkan rindunya. Kinanti membawa putrinya ke dapur, menyuruhnya duduk dan mengambilkan wedang ronde kesukaan Dinar juga bolu kering buatannya. “Kapan hari Ibuk ngimpi, Kowe moleh gowo jodoh. Diganjal dulu perutnya biar ndak sakit, kena angin malam di bus kan, takut masuk angin.”
Dinar yang tadinya tiduran di kasur kecil di depan televisi langsung duduk tegak menatap ibunya, sorot matanya gelisah tapi mulutnya masih diam. Gadis itu kembali menghadap kearah televisi yang entah tayang acara apa.Dia sudah tidak fokus pada acara yang di tonton sejak dia sadar ibunya sedari tadi mencuri pandang ke arahnya.“Jawab Ibuk, Di.” Kinanti berbicara agak tegas.“Maksud Ibuk apa? Aku nggak ngerti buk.”“Anak siapa yang ada di rahimmu?” suara Kinanti bergetar.“Ibuk ngomong apa?”“Jangan pikir Ibuk ini bodoh Ndak tau apa-apa. Jawab Ibuk, siapa lelaki itu?” Kinanti menarik lengan Dinar agar memandang kearahnya, putrinya itu dari tadi selalu mengelak jika mata mereka bertemu, dari situ Kinanti semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan putrinya.“Jawab Ibuk Di, jangan bilang dia tidak punya bapak. Ibuk selalu
Rumah Pak Anton “Jadi putrimu itu sudah pulang, Ti?” Pak Anton bertanya pada Kinanti yang sedang duduk di depannya. Sementara Arfa menunggu urusan ibunya selesai sambil duduk di atas motor di depan toko saja, dia tidak mau masuk karena merasa gerah belum mandi. “Iya Pak.” “Duduk dulu, Aku ndak jelas dengan maksudmu tadi to, maksudmu menanyakan Andika kenapa?” “Mmmm, itu maksudku.. ” Kinanti jadi bingung mau menyampaikan maksudnya menemui pemilik toko serba ada itu. “Oh, aku ngerti sekarang, Andika sedang ada urusan di Bali, dalam waktu sebulan gitu baru pulang, ada kursus di sana.” “Begitu, jadi gini Pak, niatku datang itu mau bertanya lagi, apa niat Andika melamar putriku masih bisa diteruskan?” akhirnya Kinanti nekad, tidak mau hilang kesempatan ketika Pak Anton mengatakan mengerti maksud kedatangannya. Lelaki seusianya itu berdiri dan mengambil beberapa gelas air miner
Kediaman keluarga Assegaff “Am bagaimana persiapan untuk proyek kita di sana?” Adam bertanya pada putranya, mereka sedang menikmati makan malam bertiga, Nora sedang sibuk mengambilkan lauk untuk suaminya. Dirham yang fokus ke layar ponselnya menoleh pada papanya. “Ini Pa, Am sedang follow up dengan Aldiano. Dia yang Am minta untuk carikan tempat untuk disewa.” “Jadi kapan rencana kalian berangkat ke sana?” “Aldiano ngajaknya tiga Minggu lagi, Pa. Itu sepertinya mepet banget dengan hari dimulainya pembangunan.” “Berangkatlah dua Minggu lagi, bisa juga Am pelajari apa-apa di sana nanti, cari tempat yang nyaman sedikit biar betah, tidak pulang ke Jakarta terus.” “Tetap pulang dong, Pa. Paling tidak seminggu sekali ya, Am. Mama bisa sakit rindu nanti sama putra kesayangan Mama.” Nora membantah ucapan suaminya. Dia tidak mungkin bisa berlama-lama tidak bertemu dengan putranya.
Di tempat lain Dinar turun dari ojek online yang membawanya dari terminal, setelah membayar ongkos ia lalu mengucapkan terima kasih dan berjalan ke arah tempat tinggalnya yang baru, jam sudah menunjukkan lewat dari 12 malam, lampu-lampu temaram halaman rumah membantunya untuk berjalan, Dinar masuk ke halaman rumah kecil keluarga Sabrina yang ditempatinya, meski rumah itu cukup sederhana, hanya berlantai semen tapi Dinar merasa sangat bersyukur karena sudah ada tempat tinggal sekarang, ada dapur untuk masak juga kamar mandi di dalam, jadi dia merasa sudah cukup untuk fasilitasnya. Ada sebuah kulkas kecil juga di sana. Bisalah untuk menyimpan buah dan sayuran. Kakinya terus diayun hingga sampai di teras, anak kunci diambil. “Baru pulang, Di?” Dinar terlonjak kaget hampir saja berlari karena mendengar orang menegurnya dari kegelapan. Setelah ia menoleh dan mengamati siapa yang berbicara. Dia mengurut dada dan menarik napas lega.
Praaaang!!! Gelas kosong di tangan Sabrina jatuh ke lantai semen, Dinar menunduk menutupi wajah sedihnya.“Kenapa kamu tidak memintanya menikahi mu, Di. Siapa bajingan itu?” Sabrina sungguh marah mendengar pengakuan sahabatnya. Ia berdecak kesal dan duduk untuk mengambil pecahan gelas kaca di atas lantai.Setelah bersih, dia menarik tangan Dinar untuk duduk di ruang tamu, dia ingin mendengar semuanya sekarang juga. Dinar lalu menceritakan awal mula dia berhenti kuliah, kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya, juga keputusan untuk mencari kerja di kota Jakarta, bertemu dan kenal dengan Dirham dan akhirnya hingga dia mengetahui jika dirinya berbadan dua. “Sialan, bisa-bisanya kamu menuruti ancamannya. Dasar gadis bodoh!”“Aku takut orang-orang yang dekat denganku menjadi korban selanjutnya Brie, dia pernah kirim orang untuk mengawasi Ibuk dan Arfa, menjadi penyewa di rumah tetanggaku, agar bisa leluasa memantau rum