"Terima, terima, terima!"
Tara menatap sekeliling, kepada ratusan siswa yang sedang bertepuk tangan dan bersorak riuh. Tara menjadi gelagapan dan tak tahu harus berbuat apa.
Di hadapan Tara, kini sedang bersimpuh seorang anak lelaki yang sedang mengulurkan sebuket mawar.
Harusnya mereka sudah bubar sejak tadi karena upacara hari ini telah selesai. Sayangnya, ada interupsi dari ketua OSIS mereka agar semua orang tetap di tempat, kecuali para guru.
"Kalau lo terima gue, lo ambil mawarnya. Tapi kalau lo nolak, buang aja," ucap anak lelaki itu yakin.
Tara kembali menoleh ke belakang. Di antara ratusan murid yang bersorak agar dia menerimanya, ada satu sosok yang memilih diam sembari melipat tangan di dada.
Dia adalah Rama, ketua tim basket yang sedang dekat dengannya.
"Juan, gue--"
"Lo tau kan perasaan gue dari dulu gimana," lirih Juan. Kakinya sudah sakit sejak tadi karena menahan bobot tubuh yang berat dengan bertumpu pada satu kaki.
"Tapi jangan gini juga."
Tara menjadi serba salah. Jika dia menerima cinta lelaki itu maka pendekatannya dengan Rama akan gagal.
"Cuma ini satu-satunya cara biar lo nerima gue."
Juan mengucapkan itu dengan memelas. Betapa cintanya kepada Tara begitu dalam. Dia bahkan sulit konsentrasi saat belajar ketika bayangan gadis itu sebagai cheerleader menari di mata.
"Gentong, gentong, gentong!"
Juan melambaikan tangan pada sekelompok siswa yang memanggilnya gentong. Itu memang julukan khasnya karena betubuh tambun dengan berat badan 90 kilogram.
Juan tak pernah marah jika dipanggil begitu. Namun, dia tetap diam-diam menyimpan rasa rendah diri akan fisiknya.
Selain menyulitkannya saat berolah raga, Juan juga kerap ditolak gadis-gadis. Padahal ayahnya adalah penyumbang dana terbesar untuk yayasan sekolah ini.
"Please, Ra. Jangan patahin hati gue."
Tara mengambil buket itu dengan terpaksa. Hal itu membuat Juan bersorak riang. Suara riuh para siswa kembali bergema. Tak hanya itu, beberapa guru bahkan tergelak melihat tingkah mereka.
"Thanks, Ra."
Juan hendak meraih lengan Tara saat tiba-tiba gadis itu membuang buketnya.
"Ra. Tunggu--"
Tara berlari mengejar Rama yang meninggalkan lapangan dengan perasaan kecewa. Gadis itu bahkan berteriak dan meminta sang pujaan hati agar berhenti dan menunggunya.
Sementara itu, Juan terdiam dengan kecewa dan pipi yang merah karena menahan malu.
Beberapa teman datang untuk membesarkan hatinya. Namun, luka yang Tara toreh terlalu dalam hingga menyesakkan dada Juan.
***
"Kalau kerja jangan ngelamun!"
Setumpuk map sengaja Juan hempaskan di meja Tara. Gadis itu terkejut sembari mengusap dada.
"Maaf, Pak."
"Kamu ngelamunin apa? Masih pagi juga. Pengen kawin?" tanya Juan ketus.
Tara menatap wajah lelaki itu dengan geram. Bayangan Juan si gentong yang sedang mengulurkan buket kini berganti dengan sosok tampan yang angkuh dan sombong.
"Saya ... belum makan," ucap Tara jujur.
Juan tersentak, tetapi pura-pura tidak tahu. Lelaki itu bahkan dengan santainya berjalan menuju ke ruangannya sendiri.
"Berkas itu harus selesai diperiksa sore ini. Aku gak mau tau," ucapnya sebelum menutup pintu.
Tara menghela napas, lalu mengambil berkas itu satu per satu. Kepalanya terasa pusing karena tak ada asupan kalori yang masuk sejak pagi. Gajian masih jauh di mata tetapi uangnya sudah menipis.
Akhirnya Tara mengencangkan sabuk agar perutnya tak terlalu melilit. Gadis itu mencoba berkonsetrasi melihat setiap lembar yang ada. Harusnya ini menjadi tugas Juan. Namun, sepertinya lelaki itu tak mau mengerjakannya.
Satu jam berlalu dan Tara merasa begitu pusing. Sepertinya dia harus ke bawah dan meminta snack kepada rekannya yang lain. Semua juga tahu kalau dia jarang sarapan. Biasanya mereka akan membagi biskuit.
Saat hendak meletakkan satu lembar kertas yang sudah selesai dikoreksi, tiba-tiba Tara dikejutkan oleh sebuah suara.
"Permisi. Dengan Ibu Tara?"
Tara mengangkat wajah dan mendapati seorang kurir berseragam ojek online sedang berdiri di depannya. Di tangannya ada sebuah bungkusan berisi makanan.
"Saya sendiri."
"Ini pesanan Ibu," ucap si kurir itu sembari menyerahkan bungkusannya.
"Tapi saya gak pesan," tolaknya.
Tentu saja Tara tak mau menerimanya. Uang di dompetnya tersisa satu lembar lima puluh ribu rupiah. Jika itu dibayarkan, pastinya dia akan kehabisan. Lalu, bagaimana dia bisa mengisi bensin motor untuk berangkat ke kantor besok.
"Ini udah dibayar, Ibu. Kiriman dari seseorang," jawab si kurir.
"Siapa?"
"Pengirim meminta saya merahasiakan namanya."
"Kok bisa?"
"Tipnya gede, Bu. Seharga makanan itu."
Tanpa berbasa-basi, Tara dengan cepat mengambil bungkusan itu dan membukanya. Seketika aroma harum menguar ke indra penciumannya.
Persetan dengan siapa pengirim makanan ini. Bagi Tara, perut yang kelaparan harus diisi sekarang juga.
"Makasih, Mas. Sering-sering aja."
"Kalau begitu saya permisi, Bu."
Sepeninggalan si kurir, Tara segera melahap semua makanan yang ada. Seporsi giant burger dan satu bubble float dari sebuah brand franchise terkenal kini tandas di perutnya. Hingga menyisakan frech fries yang sudah mulai dingin.
"Ah, enaknya," ucap gadis itu sembari bersendawa. Lalu, dia menutup mulut dan melihat ke arah sekeliling.
Untungnya di lantai ini hanya ditempati oleh dia dan Juan. Sehingga tak ada rekan lain yang melihat tingkah konyolnya.
"Hai, malaikat baik. Terima kasih untuk sarapan yang enak dan bergizi ini."
Tara kembali menyelesaikan berkasnya setelah membersihkan mulut dengan tissue. Jika kenyang begini, baginya tak mengapa jika melewatkan makan siang.
Jika ada yang bertanya mengapa dia tidak pergi ke kafetaria karyawan, maka pekerjaan yang menumpuk bisa menjadi alasan. Lagipula masih ada frech fries yang terisisa. Sehingga cukup untuk mengganjal perut hingga jam lima nanti tiba.
***
Juan tergelak melihat sesuatu di layar CCTV. Sejak tadi, dia menahan diri untuk tak keluar ruangan dan memantau segala yang dilakukan oleh Tara. Gadis itu tentu saja tak tahu jika dia memasangnya karena letaknya begitu tersembunyi.
"Tara. Tara. Coba dulu kamu nerima aku. Jadi, nasib kamu gak kayak gini," sesal Juan.
Ada rahasia yang lelaki itu ketahui mengenai keluarga Tara. Sekalipun gadis itu menyembunyikannya dari banyak orang.
Ayahnya seorang pengusaha yang mengetahui banyak kasus yang dilakukan oleh pejabat daerah. Salah satunya adalah papanya Tara.
"Tara, nasib kamu sekarang ada di tanganku. Semoga kamu gak berulah. Jadi aku masih bisa pertahanin kamu di kantor ini. Kalau berani bantah, siap-siap aja aku tendang untuk selama-lamanya."
Juan terkekeh, lalu kembali fokus pada PC di hadapannya. Kedatangannya ke kantor cabang ini memang memiliki misi tertentu. Ada banyak kecurangan yang dilakukan oleh kepala cabang sebelumnya yang tidak terdeteksi.
Setelah beberapa hari memeriksa laporan, Juan melihat ada keterlibatan Tara dalam mark-up dana beberapa progam. Sayangnya, dia belum punya bukti yang cukup untuk menjerat gadis itu.
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Papanya koruptor dana bansos. Sekarang anaknya korupsi dana kantor. Ckckck."
Juan memijat kepala lalu menggeleng karena tak habis pikir. Lalu, lelaki itu kembali fokus dengan pekerjaannya hingga waktu makan siang tiba.
"Sakit?" tanya Juan sembari mengganti perban yang menempel di kaki istrinya."Sakit banget."Tara menjawabnya di antara tetesan air mata. Sebagai anak tunggal yang terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tentulah manja. Hanya saja, kesulitan hidup setelah papanya di penjara, membuat Tara menjadi wanita mandiri dan keras. Namun, semua runtuh ketika lengan hangat Juan merengkuhnya. "Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?"Juan memeriksa tubuh istrinya. Lelaki itu tampak begitu khawatir sehingga terlihat panik. "Disenggol orang pas aku mau nyebrang."Tara menatap Juan yang masih sibuk memeriksa kakinya. Lelaki itu bahkan mengusap pipinya dan kembali memeluk karena iba. "Memangnya kamu dari mana?""Salon. Tapi gak jadi treatment. Soalnya--"Ucapan Tara menggantung karena teringat akan Amanda. Dia tak mau bercerita kepada Juan tentang kejadian tadi siang.Pernikahan mereka hanya untuk sementara. Jadi, Tara tak mau menjelekkan kekasih suaminya. "Soalnya?""Gak apa-apa. Cuma sayang uang,"
Tara meninggalkan salon dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia membatalkan perawatan di salon dan memilih untuk pulang. Perlakuan Amanda tadi membuatnya malu bukan kepalang. Wanita itu hendak mengadu kepada Juan, tetapi niatnya urung. Motornya melaju membelah jalanan ibu kota yang cuacanya mendung hari ini. Rintik hujan mulai turun walaupun tidak deras. Tara memelankan laju motor dan mencari tempat berteduh. Jika dilanjutkan, maka sepertinya dia akan kebasahan. Salahnya sendiri tadi tidak membawa mobil yang Juan berikan. Wanita itu terlalu gengsi untuk memakai semua fasilitas yang suaminya berikan. Sepanjang perjalanan, matanya menangkap sebuah kafe baru di arah seberang. Tara hendak berbelok dan menyalakan lampu sein dengan cepat. Sayangnya, wanita itu hanya fokus pada kendaraan yang lewat di depannya dan mengabaikan yang berada di belakang. Saat Tara begitu yakin bahwa lalu lintas sudah sepi, wanita itu langsung berbelok. Naas, sebuah mobil menyenggol motor hingga wanita itu t
Tara terbelalak saat lampu tiba-tiba saja menyala. Juan berdiri dengan gagah sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan lelaki itu begitu dingin saat melihat istrinya. "Dari mana aja kamu?" "Bukan urusan kamu." Tara menjawab pertanyaan itu dengan ketus. Dia masih sakit hati karena dipecat dari kantor. Padahal wanita itu masih berharap bisa berada di sana untuk jangka waktu yang lama. "Kenapa pesan aku gak dibalas?" "Aku lagi ngobrol sama Mama." Juan berjalan mendekati istrinya hingga kini posisi mereka berhadap-hadapan dalam jarak yang dekat. "Kenapa gak bilang aja yang sebenarnya?" Tara mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan lekat. Hal itu membuat jantung Juan berdebar. Sejak dulu, hal itulah yang selalu dia rasakan setiap kali pandangan mereka bertautan, sekalipun tak sengaja. "Sampai kapanpun aku gak akan bilang ke mereka tentang hubungan kita." Tara hendak berjalan menuju kamar ketika lengannya dicekal lembut. Juan bahkan tanpa sungkan memeluk wan
Tara memarkir motor di halaman rumah dengan gugup. Awalnya dia masih ragu untuk berkunjung, jika sang mama masih bersikap sama. Namun, wanita itu lebih mengkhawatirkan kesehatan papanya sehingga nekat datang. Tara pergi diam-diam tanpa memberitahu Juan. Setelah hengkang dari kantor, selama beberapa hari ini mereka tak bertemu. Wanita itu tahu jika sang suami sedang bersama kekasihnya. Jadi, dia memilih untuk tidak mengganggu. "Tumben kamu pulang," ucap Diana saat melihat Tara memasuki rumah."Memangnya aku gak boleh datang ke rumah sendiri?" balas Tara. "Ya boleh aja. Mama kan cuma tanya," lanjut Diana. Wanita itu sejak tadi sibuk merangkai bunga dan meletakkannya di vas. Kini, ruang tamunya menjadi semakin rapi. "Papa mana, Ma?" tanya Tara saat tak melihat sosok Rahadi setelah berkeliling rumah. "Di taman belakang. Lagi lihat burung," jelas Diana."Kapan Papa pelihara burung?""Sejak pulang dari rumah sakit. Papa kesepian. Anaknya gak muncul-muncul juga."Tara tertegun dan meras
Juan menatap Tara dengan lekat. Semenjak mereka bertengkar, suasana benar-benar menjadi tak nyaman. Ditambah dengan kedatangan Amanda yang membuat semua semakin runyam.Tara lebih banyak diam, tidak bawel atau marah-marah seperti biasa. Bahkan itu berlangsung hingga hari ini. Saat dia memerintahkan agar wanita itu segera mengosongkan ruangan. "Aku pesenin taksi, ya."Juan mencoba membujuk Tara saat melihatnya sedang sibuk memasukkan barang-barang ke dalam boks. Wanita itu menyelesaikannya dalam diam dengan bibir ditekuk.Kali ini Tara marah bukan karena kehilangan pekerjaan. Namun, hatinya panas ketika Amanda datang dan berduaan dengan Juan. Sehingga dia meninggalkan kantor sampai wanita itu pulang. Tara merasa lebih kesal lagi, saat pulang ke rumah, Juan tampak begitu santai seperti tanpa dosa. Padahal dia tahu apa yang sudah mereka perbuat kemarin di ruangan. "Ra--""Aku pakai motor aja. Biar cepat. Lagian barang-barang ini juga mau aku kasihkan ke bagian administrasi. Aku keluar
Suara ketukan sepatu yang berasal dari heels setinggi 9 senti meter menggema di kantor pagi ini. Beberapa karyawan yang sedang melakukan aktivitas tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya. Mereka menatap sosok wanita cantik dengan wajah blasteran yang sedang berbincang dengan pegawai di bagian resepsionis. Bisik-bisik mulai terdengar, mulai dari siapa sebenarnya wanita itu dan apa keperluannya datang. Wajahnya yang cantik bak artis papan atas ibukota membuat beberapa lelaki melirik dan terpana. "Apa benar ruangan Pak Juan di lantai atas?""Benar, Mbak. Kalau mau ketemuan, saya akan hubungkan dengan sekretarisnya dulu," jelas resepsionis. "Bilang aja Manda mau ketemu."Mendengar nama itu disebut, resepsionis langsung mengambil gagang telepon dan mendial sebuah nomor. Tak lama, wanita itu dipersilakan ke lantai atas dengan diantar security."Itu tunangannya Pak Juan, ya.""Ya ampun cantik banget kayak model.""Laki-laki kalau tajir ya gitu. Seleranya high class. Bukan yang burik kayak