Share

Dendam

Juan menatap dua orang yang duduk di depannya dengan tajam. Sejak tadi lelaki itu sudah mamaparkan bukti-bukti yang ada sehingga mereka tak bisa berkutik.

"Tolong kalian jelaskan ini semua."

"Maaf, Pak. Ini memang kesalahan kami. Tapi kami hanya menerima perintah," sesal kepala divisi keuangan. 

"Tapi kalian ikut menikmatinya, kan?" sindir Juan pedas.

Dua orang itu tertunduk lesu. Pasrah jika memang harus dipecat karena kesalahan itu. 

"Saya hanya ingin tahu. Selain Andreas dan kalian berdua, siapa lagi yang menikmati aliran dana ini?"

Sebenarnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu, Juan melakukan penyelidikan sebelum memegang cabang ini secara resmi. Lelaki itu mengutus tim audit dari luar untuk memantau perkembangannya. Ada banyak hal yang janggal terutama mengenai laporan keuangan. 

Ada beberapa kebijakan baku dari perusahaan mengenai proses pembayaran. Misalnya tentang gaji, tunjangan jabatan, bonus dan biaya kesehatan karyawan. Namun, untuk program kerja seperti event, rekruitment karyawan baru dan meeting regional, cabang harus mengajukan budget sendiri. 

Di bagian inilah yang kerap menimbulkan masalah dan perselisihan. Perusahaan akan memaklumi jika dana yang diajukan untuk event tersebut dinaikkan antara sepuluh hingga lima belas persen.

Dalam mengadakan suatu event, akan ada beberapa kendala di lapangan yang akan memakan biaya tambahan. Sehingga gelembungan dana itu dimaksudkan untuk ngantisipasi kekurangan budget yang diajukan sejak awal. Namun, bukan berarti bisa di mark-up sesukanya. 

Juan sudah menyampaikan itu kepada papanya. Namun, beliau memilih untuk menutup mata. Keuntungan perusahaan di cabang ini cukup besar sehingga papanya tidak mau memperpanjang masalah.

"Kami gak tau, Pak. Kami hanya terima usulan ini dan mengajukan dananya ke kantor pusat."

Juan menarik napas panjang. Sejauh ini hanya dua orang di hadapannya yang terbukti menerima gelembungan dana itu, selain kepala cabang yang lama. Mereka adalah kepala divisi keuangan dan wakilnya. Namun, dia yakin ada karyawan lain yang ikut menikmati.

"Coba Bapak tanya sama Mbak Tara. Dia kan sekretaris kesayangan Pak Andre. Mungkin dia tau. Karena saat kami meeting untuk acara-acara ini, Mbak Tara ikut juga."

"Saya akan menyelidiki hal ini sampai tuntas. Setelah semua jelas, saya akan melanjutkan prosesnya."

Juan kembali menatap dua lelaki di depannya dengan tajam. Dia harus tegas agar kejadian ini tidak terulang. Perusahaan sudah menaikkan gaji dan tunjangan, juga memberikan bonus tahunan yang cukup besar. Namun, manusia-manusia serakah itu tetap saja merasa kekurangan. 

"Mulai sekarang, kalian boleh bersiap-siap. Mengundurkan diri secara terhormat sebelum kasus ini saya show up. Atau memilih dipecat dengan pesangon lumayan, tetapi nama baik tercoreng."

"Tolong, Pak. Jangan pecat kami."

"Kita lihat saja nanti."

Setelah mengucapkan itu, Juan segera meminta mereka meninggalkan ruangan. Lelaki itu meraih gagang telepon dan mendial satu nomor. Tak lama pintu ruangannya terbuka dan muncullah sosok Tara yang telihat kebingungan.

"Ada yang bisa saya bantu?" ucap gadis itu formal.

"Duduk, Ra. Ada yang mau aku bicarain."

Tara menepuk rok belakangnya sebelum duduk. Hal itu membuat Juan menelan ludah. Lelaki itu bahkan tertegun untuk sesaat, lalu berpura-pura batuk untuk menyingkirkan pikiran kotornya.

"Silakan, Pak."

Juan meletakkan berkas yang tadi di depan Tara dan membiarkan gadis itu membacanya.

"Ini berkas lama waktu Pak Andre masih di sini. Semua acara berjalan lancar dan menghasilkan penjualan yang membludak untuk produk baru kita," jelas Tara.

"Aku tahu. Tapi ada yang janggal dalam beberapa hal."

"Maksud Bapak?"

"Coba baca di pengajuan budgetnya."

Tara membalikkan lembar demi lembar dari berkas itu. Lalu terdiam pada beberapa bagian yang diberi tanda dengan spidol.

"Budget yang kalian ajukan itu tidak masuk akal. Harga yang di mark-up bahkan sampai lima puluh persen," jelas Juan.

Tara terdiam dan menunduk, berpura-pura membuka berkas itu untuk menghilangkan rasa gugup. 

"Ini kepala cabang lama yang mengusulkan. Dan divisi keuangan yang menyetujui."

"Tapi sebagai sekretaris, apa kamu gak terlibat juga dalam usulannya?" tuduh Juan.

Tara menarik napas dalam untuk meredam emosi. Tangannya sudah terkepal dengan erat. Rasanya gadis itu ingin menghajar wajah tampan di depannya hingga babak belur. 

"Bapak nuduh saya?" tanya Tara kesal.

"Aku gak nuduh. Kamu jujur aja pada diri sendiri. Apa Andreas pernah ngasih kamu bonus tambahan setelah event selesai?"

Tara tak berkutik. Entah bagaimana Juan bisa tahu mengenai hal ini. Mungkin lelaki itu jelmaan dari cenayang sehingga bisa menebaknya dengan benar.

"Soalnya aku sering ngasih bonus tambahan kepada sekretarisku dulu."

Tara mendengkus, lalu memilih diam. Dia tak mau berdebat dengan lelaki itu, mengingat posisinya hanya bawahan. 

"Tapi dari kantong pribadi. Bukan dari hasil korupsi."

"Bapak baik banget, ya," sindir Tara balik.

"Iya, dong. Apalagi kalau dia ngasih service yang memuaskan."

Tara menatap Juan dengan geram. Wanita itu kembali mengepalkan tangan dengan kuat untuk meredam amarah. Tangannya terasa sakit karena ditekan oleh kukunya yang panjang. 

"Oh, iya. Kasus mark-up dana beberapa event ini akan aku show-up ke pusat."

Tara terdiam mendengarkan. Sementara Juan terus saja berbicara sembari memberikan kode dengan nada mengancam. 

"Selama ini Papa gak pernah mau dengar usulanku. Tapi karena sekarang cabang ini aku yang pegang. Jadi aku bakal pastiin semua pelakunya akan dikenai sangsi," ancam Juan.

"Tapi saya gak terlibat, Pak."

"Kamu terlibat karena menerima aliran dananya."

"Kalau memang itu benar, saya akan kembalikan uangnya."

"Kamu tetap akan terlibat, Ra. Kamu menghadiri meeting dengan divisi keuangan sewaktu menyusun anggarannya."

"Tapi--"

"Kamu juga tahu kalau selama empat tahun ini Andreas banyak melakukan kecurangan. Tetapi kamu menutupinya."

Jantung Tara berdetak kencang. Kali ini dia tak dapat mengelak. Gadis itu memang pernah menerima uangnya karena butuh. Papanya sekarang sakit-sakitan setelah keluar dari penjara.

Harta mereka habis karena disita oleh negara. Bantuan dari keluarga tak cukup karena dia tak mungkin terus meminta. Sementara masih ada dua adiknya yang bersekolah. 

"Saya siap dipecat jika memang itu sangsinya."

"Bagus kalau begitu. Berani berbuat berarti berani bertanggung jawab."

"Kalau memang itu keputusan dari pusat yang menyatakan jika saya bersalah," tantang Tara.

Juan tergelak, salut akan keberanian gadis itu. Dia tak menyangka jika Tara yang dulunya begitu ayu kini menjadi sosok tangguh dan keras. Hal itu dia rasakan setelah bekerja sama dengannya secara langsung.

"Tapi aku berencana untuk memblack list semua pelaku korupsi agar dipersulit untuk diterima bekerja di tempat lain," pancing Juan.

"Bapak dendam sama kami?"

"Gak. Biar jadi pelajaran aja bagi yang lain supaya gak ngulangin."

"Kasus kayak gini itu terjadi di mana-mana, Pak. Tapi perusahaan gak menghambat karir pelaku di tempat lain."

"Itu kantor lain, Ra. Perusahaan Papa jelas beda karena sebentar lagi aku yang akan ambil alih semua."

"Licik."

Juan kembali tergelak. Lelaki itu berjalan santai sembari mendekati Tara dan membisikkan sesuatu.

"Tapi aku bisa membantu kamu mengingat kita adalah teman lama."

"Apa?"

Juan terdiam sesaat sebelum mendekatkan wajah mereka dan mengatakan sesuatu.

"Jadi pacar aku, Ra. Dan kamu bakalan dapat pengecualian."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status