Kalau ada yang typo, tolong bantu diingatkan ya, guys... Terima kasih untuk kalian yang masih sudi membaca cerita ini sampai sini, big hug buat kalian, para readers... ❤️
"Xavier," ucap Bianca lirih begitu ciuman mereka terlepas. Napasnya tampak kepayahan, akibat Xavier tak membiarkannya bernapas sedikit pun. Matanya juga tampak sendu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangan Bianca masih mencengkram bahu Xavier dengan keras. Xavier tak menjawab, lelaki itu malah membawa Bianca berenang ke tepian. Tapi bukannya mengajak wanita itu naik, Xavier malah menggendong Bianca dalam air. Dia membiarkan kaki wanita itu melingkar pada pinggulnya, dengan tangan yang memeluk lehernya erat. Mata Xavier menatap wajah Bianca tanpa berkedip, kedua tangannya bahkan sudah menangkup pipi wanita itu. Lagi-lagi, tanpa aba-aba, dia kembali mencium bibir Bianca. Kali ini ciuman itu terkesan sedikit liar, keduanya saling membalas dengan rakus. Melumat bahkan menggigit kecil bibir satu sama lain. Berpindah posisi kepala saling miring dari kiri ke kanan. Langit seolah mendukung, sore yang beranjak malam menampilkan senja yang begitu indah. Angin bertiup lembut mengiringi
"Maafkan aku, Bianca, tapi aku tidak bisa meneruskan ini," lirih Xavier masih dengan napas terengah begitu ciumannya terlepas. Dia memejamkan mata, sambil menyatukan keningnya di kening Bianca. Lelaki itu masih berada di atas tubuh Bianca, dengan tangan sedikit menopang agar tak menindih wanita itu. Bianca mengangguk pelan, dia ikut memejamkan mata, seolah meresap kehangatan napas Xavier yang menerpa wajahnya. Tangannya masih melingkar apik di leher Xavier, dengan kaki yang sudah terbuka. "Maafkan aku," ucap Xavier sekali lagi. Dia mengecup kening Bianca lalu bangun dengan perlahan. Penampilan mereka benar-benar sudah berantakan saat ini. Xavier yang bertelanjang dada dengan pakaian yang sudah tercecer di lantai, dengan Bianca yang kancing blousenya sudah terlepas sebagian. Rambut wanita itu bahkan terlihat acak-acakan saat mencoba untuk bangun. "Apa semua ini salah bagimu, Xavier? Apa kali ini kau akan bilang kau kalap lagi?" tanya Bianca dengan tatapan
"Xavier," panggil Bianca sekali lagi, karena lelaki itu tak merespon. Dia yang awalnya rebahan di sofa, kini beranjak untuk mendekati Xavier. "Hey, ada apa?" tanya Bianca sekali lagi dengan raut wajah yang cemas, apalagi saat melihat Xavier terlihat begitu serius. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Xavier. Dia yang tadinya sedang mengancingkan baju kemejanya, mulai terhenti. Dia berbalik untuk menatap Bianca, sedangkan tubuhnya menyandar pada lemari. "Ada masalah dengan pengiriman barang-barangku, Bianca. Seseorang telah mencurinya," jawab Xavier terkesan lemas. "Barang apa?" tanya Bianca dengan dahi berkerut dalam. Seulas senyum tipis terukir di bibir Xavier. Dia mengacak-acak rambut Bianca dengan sedikit kasar. "Kau tak akan paham, sekalipun aku menjelaskan."Lelaki itu kembali merapikan pakaiannya, setelah siap, dia menatap Bianca dengan lekat. Kedua tangannya menangkup pipi Bianca, tatapannya begitu lembut pada wanita itu. "Jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik
Plak... Tamparan keras itu mendarat sempurna di pipi Bianca. Wanita berusia 25 tahun itu menatap tidak percaya pada ayahnya. Matanya tampak berkaca-kaca dengan bibir kelu yang tidak mampu berucap. "Mau tak mau, kau harus menikah dengan Reymond besok. Ayah tak menerima penolakan, Ayah tidak mau menanggung malu karena ulah kakakmu!" bentak Ayah Bianca dengan mata melotot sempurna. Lelaki paruh baya yang memiliki postur tubuh berisi meskipun sudah termakan usia itu tampak berkacak pinggang dengan marah. "Tapi, Ayah, ini semua salah Levi, kenapa harus aku yang menanggungnya?" tanya Bianca dengan mata memerah menahan tangisannya. Wanita itu duduk bersimpuh di lantai, mendongak iba pada sang ayah--seolah sikapnya ingin dikasihani. "Ayah tak mau dengar, persiapkan dirimu untuk besok!" Namun, ayahnya benar-benar keras kepala. Setelah berkata seperti itu, ayah Bianca langsung keluar sambil membanting pintu kamar Bianca. Dia tak peduli dengan apa yang dirasakan oleh Bianca saat ini. Yang te
*** 5 jam sebelum kejadian Bianca tertembak***"Kau yakin, dia teman bisnisnya?" tanya James yang saat ini mengawasi orang yang duduk di seberang mejanya."Ya, saya sudah menyelidikinya. Kita harus segera bertindak, dia kemungkinan tahu semuanya soal orang itu." Alexander menjawabnya dengan penuh keyakinan."Bagaimana menurutmu?" James menoleh ke arah sampingnya. Melihat sahabatnya yang sedang menghisap sebuah rokok di tangannya dengan santai. Raut wajahnya terlihat tenang, tapi James yakin, jika di dalam hati Xavier sedang bergejolak menahan rasa untuk tidak segera menerkam mangsanya."Lalu apa rencanamu, Alex?" tanya Xavier dengan tenang, namun sorot matanya tajam, seolah mampu membuat orang yang diajaknya berbicara itu terbelah dengan mudah."Kita harus mengikutinya, Tuan." Alexander menjawabnya dengan kepala sedikit menunduk."Kenapa harus?" tanya Xavier mengangkat salah satu alisnya."Karena kesempatan tak datang dua kali, dan sa
Duka mendalam bukan hanya dirasakan oleh keluarga James. Xavier sendiri merasa sangat kehilangan karena kematian sahabatnya. Lelaki itu hanya diam mengamati proses pemakaman yang begitu khidmat.Jaccob berjalan mendekat ke arah anaknya. Dia menepuk pundak anaknya, menyampaikan dengan isyarat jika dirinya ikut berduka dengan hal ini. Sedangkan Maria tak kuasa untuk tidak memeluk anak pertamanya. Wanita yang sudah berumur itu jelas masih terlihat cantik. Matanya terlihat sembab karena menangis. Maria juga merasa kehilangan, apalagi Maria sudah mengenal James sejak Xavier duduk di bangku Junior High School. James adalah salah satu sahabat Xavier yang selalu ada untuk Xavier."Jangan berlarut dalam kesedihan, jaga dirimu baik-baik. Mommy akan pulang sekarang." kata Maria."Thanks, Mom." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Xavier. Dia bahkan mengabaikan ketika kedua orang tuanya beranjak pergi dari sana.Satu-persatu orang yang ada di sana membubarkan dir
"Dad," sapa Xavier begitu dia sampai di ruang tamu. Dia menoleh ke sana ke mari, mencari keberadaan ibunya. "Di mana Mom?" tanya Xavier."Mommy sedang ada di rumah. Raylin baru saja pulang." jawab Jacob.Xavier mengangguk-anggukan kepalanya. Dia duduk di depan ayahnya, menunggu hal apa yang akan disampaikan oleh ayahnya."Jujur pada Dad, Xavier. Apa kau berurusan dengan Constantin?" tanya Jacob menatap anaknya dengan tajam."Dia mengusik wilayahku lebih dulu, Dad," jawab Xavier dengan santai."Apa kematian James ada hubungannya dengan ini?" tanya Jacob kembali.Xavier tak menjawab, tapi dari sorot mata yang dilihat oleh Jacob, dia yakin jika tebakannya memang benar. Hal ini membuat Jacob menghela nafas pelan, tubuhnya langsung menyandar ke sofa."Seharusnya kau hanya perlu meneruskan usaha Daddy, kenapa kau harus berurusan dengan barang terkutuk seperti itu? Daddy yakin, jika mommy tahu hal ini dia akan marah padamu." Jacob memberi pu
Lampu yang remang dengan musik yang begitu keras menyambutnya ketika dia masuk ke dalam. Xavier mengedarkan pandangannya mencari sosok yang dikenalnya. Tiba-tiba Noah mendekat dan membisikkan sesuatu padanya, tangan Noah terulur menunjuk tempat paling pojok ruangan bar ini.Xavier mengangguk, dia berjalan melewati lautan manusia yang sedang asyik berjoget. Banyak tatapan liar dari para wanita penghibur, tapi Xavier mengabaikan mereka.Salah satu wanita tiba-tiba menghadang jalannya, berpose menggoda sambil mengelus sensual dada Xavier. "Tuan, aku bisa menemanimu malam ini."Tapi Xavier hanya terkekeh, dia mencekal tangan wanita itu lalu mendorongnya. Xavier terlihat acuh meskipun wanita tadi nampak mengumpat padanya."Kau bersenang-senang?" tanya Xavier ketika sampai di