Hari masih pagi, tapi suara berisik itu benar-benar mengganggu tidur Xavier. Dengan malas dia terpaksa membuka matanya, bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
Ketika dia membuka pintunya, suara teriakan nyaring langsung memenuhi indra pendengarannya. Seorang wanita cantik dengan mata coklat, bergaya sangat anggun itu langsung memeluknya. Xavier hanya bisa pasrah ketika adiknya itu mulai bermanja-manja padanya.
"Kau benar mengganggu tidurku, Raylin." keluh Xavier.
"Oh, ayolah. Sudah 6 bulan kita tak bertemu, tapi kau tetap saja menyebalkan. Aku menunggumu di depan pintu sejak tadi," ucap Raylin merajuk.
"Kau bisa langsung masuk ke kamar, kenapa harus di depan pintu?" tanya Xavier dengan alis berkerut.
Sedangkan Raylin langsung berdecak malas, tangannya bertolak pinggang, sedikit mencibir di depan Xavier. "Kau pernah memarahiku karena masuk kamar tanpa izin, Kak." kata Raylin.
Xavier yang mendengar itu terkekeh, dia mengacak-acak rambut adiknya itu. "Di mana dad dan mom?" tanyanya.
"Aku sendirian, daddy sepertinya mengusirku dari rumah. Mereka berdua pergi liburan tanpa memberitahuku." Raylin memonyongkan bibirnya, membuat Xavier gemas untuk mencubit.
"Aw," keluh Raylin menatap kesal pada Xavier. "Mandilah, aku akan menyiapkan sarapan untukmu." perintahnya.
Xavier hanya mengangguk, dia langsung masuk begitu Raylin turun ke bawah. Hubungannya dengan adiknya itu sangatlah dekat, tak ada kecanggungan di antara keduanya. Xavier sangatlah menyayangi adiknya. Hanya satu yang tidak disukai Xavier tentang Raylin. Adiknya itu selalu bersikap sinis dengan kekasihnya. Xavier tidak tahu masalah antara perempuan, tapi baginya itu sedikit berlebihan.
Setelah menyelesaikan acara mandinya, Xavier segera turun ke bawah. Ketika sampai di ruang makan, alisnya mengerut heran karena melihat dua temannya ada di sini. Mereka tersenyum lebar melihat kedatangan Xavier.
"Sejak kapan kalian di sini?" tanya Xavier yang duduk di sebelah Scoot.
"Aku baru saja datang setelah mengetahui jika Raylin berkunjung ke rumahmu," kata Scoot menaik-turunkan alisnya.
Mengerti pikiran Scoot, Xavier berdecak kasar. "Jangan ganggu adikku, aku tak mau mempunyai ipar sepertimu," kata Xavier dengan tajam.
Noah yang mendengar ini terkekeh, sedangkan Scoot berlagak menampilkan wajah sedihnya. Dia ingin mengadu pada Raylin, tapi Xavier dengan cepat melemparkan sendok ke arahnya.
"Kau memang kakak yang kejam." kata Scoot.
Mereka memulai sarapan pagi dengan senang, Scoot memang sejak lama tertarik dengan Raylin, dia bahkan mengakuinya di depan Xavier. Tapi Xavier yang paling tahu sifat Scoot, dia hanya tak ingin adiknya mempunyai lelaki yang suka bermain wanita.
Para lelaki beranjak ke ruang kerja, ada sesuatu yang harus mereka bahas. Sedangkan Raylin masih di dapur, membereskan sisa makanan bersama Tia, pembantu di rumah ini.
Setelah selesai, Raylin berkeliling rumah kakaknya. Dia berencana menginap beberapa hari di sini. Pandangan Raylin beralih pada taman di halaman belakang rumah ini. Raylin berdecak tak suka melihat taman yang sedikit tak terurus itu. Dia sangat menyukai bunga, bahkan ibu dan neneknya mempunyai usaha toko bunga, karena hobi mereka.
Banyak bunga yang layu di sini, Raylin menatap mereka dengan sedih. Dia akhirnya mencari peralatan kebun, ingin merenovasi taman kecil buatan ibunya untuk kakaknya itu.
Ketika Raylin sampai di gudang, alisnya mengerut heran melihat ada dua penjaga. Rumah kakaknya memang banyak penjaga, dan Raylin tak kaget hal itu. Tapi biasanya mereka ada di depan, lalu kenapa sekarang ada di depan gudang?
"Permisi, aku ingin masuk ke dalam." Meskipun Raylin anak orang kaya, tapi sejak kecil, ibunya selalu mengajarkan sopan santun pada orang baru, terlebih orang yang sedikit tua darinya.
Para penjaga itu terlihat bingung, mereka saling menatap seolah bertanya satu sama lain. Jika mereka menolak, itu sama saja mencari mati. Karena wanita di depan mereka adalah adik dari tuan mereka.
"Apa aku tak boleh masuk?" tanya Raylin sedikit kesal karena dua orang di depannya itu hanya diam.
"Eh ... boleh, Nona," kata salah satu penjaga itu dengan gugup.
Mereka akhirnya pasrah, membukakan pintu untuk Raylin. Raylin yang melihat itu mendengus tak suka karena sikap para penjaga itu. Matanya bahkan melihat mereka dengan kesal.
Tapi ketika Raylin masuk ke dalam gudang, matanya membulat sempurna. Melihat seorang wanita dengan penampilan berantakan sedang tergeletak tak berdaya di lantai. Raylin bahkan sampai menutup mulutnya tak percaya.
**
Sinokmput
"Xavier," panggil Bianca sekali lagi, karena lelaki itu tak merespon. Dia yang awalnya rebahan di sofa, kini beranjak untuk mendekati Xavier. "Hey, ada apa?" tanya Bianca sekali lagi dengan raut wajah yang cemas, apalagi saat melihat Xavier terlihat begitu serius. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Xavier. Dia yang tadinya sedang mengancingkan baju kemejanya, mulai terhenti. Dia berbalik untuk menatap Bianca, sedangkan tubuhnya menyandar pada lemari. "Ada masalah dengan pengiriman barang-barangku, Bianca. Seseorang telah mencurinya," jawab Xavier terkesan lemas. "Barang apa?" tanya Bianca dengan dahi berkerut dalam. Seulas senyum tipis terukir di bibir Xavier. Dia mengacak-acak rambut Bianca dengan sedikit kasar. "Kau tak akan paham, sekalipun aku menjelaskan."Lelaki itu kembali merapikan pakaiannya, setelah siap, dia menatap Bianca dengan lekat. Kedua tangannya menangkup pipi Bianca, tatapannya begitu lembut pada wanita itu. "Jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik
"Maafkan aku, Bianca, tapi aku tidak bisa meneruskan ini," lirih Xavier masih dengan napas terengah begitu ciumannya terlepas. Dia memejamkan mata, sambil menyatukan keningnya di kening Bianca. Lelaki itu masih berada di atas tubuh Bianca, dengan tangan sedikit menopang agar tak menindih wanita itu. Bianca mengangguk pelan, dia ikut memejamkan mata, seolah meresap kehangatan napas Xavier yang menerpa wajahnya. Tangannya masih melingkar apik di leher Xavier, dengan kaki yang sudah terbuka. "Maafkan aku," ucap Xavier sekali lagi. Dia mengecup kening Bianca lalu bangun dengan perlahan. Penampilan mereka benar-benar sudah berantakan saat ini. Xavier yang bertelanjang dada dengan pakaian yang sudah tercecer di lantai, dengan Bianca yang kancing blousenya sudah terlepas sebagian. Rambut wanita itu bahkan terlihat acak-acakan saat mencoba untuk bangun. "Apa semua ini salah bagimu, Xavier? Apa kali ini kau akan bilang kau kalap lagi?" tanya Bianca dengan tatapan
"Xavier," ucap Bianca lirih begitu ciuman mereka terlepas. Napasnya tampak kepayahan, akibat Xavier tak membiarkannya bernapas sedikit pun. Matanya juga tampak sendu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangan Bianca masih mencengkram bahu Xavier dengan keras. Xavier tak menjawab, lelaki itu malah membawa Bianca berenang ke tepian. Tapi bukannya mengajak wanita itu naik, Xavier malah menggendong Bianca dalam air. Dia membiarkan kaki wanita itu melingkar pada pinggulnya, dengan tangan yang memeluk lehernya erat. Mata Xavier menatap wajah Bianca tanpa berkedip, kedua tangannya bahkan sudah menangkup pipi wanita itu. Lagi-lagi, tanpa aba-aba, dia kembali mencium bibir Bianca. Kali ini ciuman itu terkesan sedikit liar, keduanya saling membalas dengan rakus. Melumat bahkan menggigit kecil bibir satu sama lain. Berpindah posisi kepala saling miring dari kiri ke kanan. Langit seolah mendukung, sore yang beranjak malam menampilkan senja yang begitu indah. Angin bertiup lembut mengiringi
"Grace, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Xavier dengan dahi berkerut dalam saat menatap sang kekasih. "Siapa dia?" tanya Xavier lagi, melirik sadis lelaki yang ada di samping Grace. Grace terkekeh, saat melihat tatapan cemburu dari Xavier. Dia menggenggam tangan lelaki itu dengan lembut. "Dia David, klien baruku. Kami baru saja membicarakan bisnis di sini," kata Grace. Tiba-tiba saja dia berjinjit untuk lebih mendekat ke arah Xavier, dengan nada yang berbisik, dia mulai berkata, "Kau tahu, dia menawariku menjadi model iklan sebuah produk dari perusahaannya, dan harganya benar-benar fantastis." "Grace." Xavier sedikit menggeram setelah mendengar ucapan Grace, dia menatap tajam kekasihnya. Dengan nada yang angkuh, dia mulai berkata, "Aku bahkan bisa memberikanmu semuanya, kenapa kau masih saja menerima pekerjaan seperti ini? Bukankah kau hilang akan libur panjang untuk menemaniku?" Mata Grace melotot, dia langsung menarik tangan Xavier untuk sedikit menjauh dari David dan juga
"Bianca…." "Bi…." Xavier memanggil-manggil nama wanita yang sekarang menjadi asistennya tersebut, dia juga mengguncang kecil baju Bianca untuk membangunkan wanita itu. Tatapan Xavier begitu lekat, saat memandangi wajah pulas Bianca yang tertidur. Hal ini tentu saja membuat Bianca terusik, dia melenguh sebentar, mencoba mengganti posisi kepalanya ke samping untuk kembali tidur. Tapi ketika dia merasakan sentuhan pada bahunya, tiba-tiba saja dia merasa terkejut. Wanita itu bangun dengan wajah yang kaget, apalagi saat melihat Xavier ada di depannya. Alis Xavier terangkat sebelah melihat hal itu, dia tidak tahan untuk tersenyum karena tingkah Bianca terlihat menggemaskan. Apalagi dengan mata bulat sempurna Bianca yang melotot dengan tubuh yang menegang. "Kau tidak apa-apa?" tanya Xavier yang masih duduk di meja, menatap Bianca lekat. "Xavier…." Bianca sendiri tampak salah tingkah, wanita itu menjadi gugup lalu berpura-pura sibu
"Bianca, kau sudah siap?" Wanita yang baru saja merapikan rambutnya itu segera menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia dengan cepat berdiri, berjalan menuju pintu dan membukanya. Bisa Bianca lihat, Noah tengah berdiri di depan kamarnya dengan wajah terlihat datar tanpa emosi. "Hai, Noah," sapa Bianca, meskipun begitu dia tetap memberikan senyum manisnya pada lelaki itu. . "Apa kau sudah siap? Xavier memintaku mengajakmu ke kantor sekarang," kata Noah to the point, mengungkapkan alasannya menghampiri Bianca di pagi hari. "Ah, ya, bisakah kau tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku," kata Bianca. Dia bahkan tak menunggu respon Noah dan kembali masuk begitu saja. Kakinya yang masih pincang saat dibawa berjalan, membuatnya tampak kesusahan. Bahkan beberapa kali dia meloncat dengan satu kaki, agar langkahnya tak terlalu lambat. Bianca kembali ke meja riasnya, memoles lipstik di bibirnya dengan tergesa, lalu mengambil tas yang te