Share

POV ARYA (2)

POV ARYA (2)

Dulu, aku pernah dihukum papi pulang ke kampung mami di daerah pelosok jawa barat. Dan aku benar-benar menderita. Semua fasilitasku dicabut. Itu gara-gara waktu kuliah, tagihan kartu kreditku sudah over limit. Apalagi kalau bukan untuk memanjakan Tamara. Itu yang menjadikan alasan papi dan mami membencinya. Padahal menurutku, untuk mendapatkan pacar secantik Tamara itu butuh modal besar.

Sainganku saat itu cukup banyak. Tamara termasuk primadona di kampusku. Dan dia memilihku, karena aku cukup royal dalam memanjakannya. Aku pikir tak hanya Tamara. Semua wanita di dunia ini pasti matre. Mana ada perempuan yang mau punya pacar kere.

"Bisa kita mulai lagi?" tanya penghulu itu.

"Bisa, pak. Ayo, jangan grogi, Arya."

Lagi-lagi papi yang menjawab. Apa dia tidak memikirkan perasaanku saat ini?

Aku menarik napas panjang. Mengumpulkan kekuatan untuk mengucapkanya. Kali ini aku sukses mengucapkan akad nikah tersebut dan dijawab sah oleh saksi.

"Alhamdulillah ..," ucap hadirin lega termasuk papi dan mami juga kedua orang tua Rena.

Tinggal aku yang lemas, karena menyadari telah sah menjadi suami dari si cupu berkaca mata tebal itu. Kembali aku bergidik mengingat malam pertama dengan si cupu. Hiii ....

"Baiklah, Alhamdulilah akad nikah sudah berjalan lancar. Sekarang mana mempelai wanitanya?" tanya pak penghulu.

Kuhembuskan kasar napasku. Hah, pasti penampilan si cupu bikin malu dengan penampilannya. Mana mungkin, perempuan macam dia bisa mendadak jadi cantik.

Aku bisa melihat dengan ekor mataku. Gadis itu melangkah keluar dari kamarnya dengan di dampingi ibu dan sahabatnya. Dia mengenakan kebaya putih yang bagian belakangnya menjuntai panjang dan berhiaskan payet. Aku tahu karena aku sudah melihatnya saat fitting kemarin. Tak ada yang istimewa.

Gadis itu berjalan anggun ke arahku. Kembali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sepertinya sudah menjadi hobi baruku sejak pernikahan ini. Huh!

Dengan malas aku coba memandangnya. Lumayan pegal leherku dari tadi menunduk saja.

Astaga! Aku ternganga melihat gadis berkebaya putih yang berjalan ke arahku. Mataku nyaris tak mampu berkedip menatap fenomena di depanku.

Siapa perempuan itu? Ah, masa iya itu si cupu Rena? Gak mungkin ....

"Cantik dia kan?" celetuk Mami mengejutkanku.

"Ah, enggak. Biasa saja kok, Mi. Dasar cupu, ya cupu aja," elakku.

Mami tersenyum mengejek. Bibirnya dicebikkan ke depan.

"Masa sih? Mami perhatikan saja, mulutmu sampai menganga lebar begitu ngeliatin Rena," goda mami lagi. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.

Beruntung Rena segera sampai dan duduk di sebelahku. Jadi membuat mami berhenti menggodaku.

Bisa cantik juga si cupu ternyata. Kalau begini terus kan lain ceritanya.

Prosesi pasang cincin selesai. Fotographer menyuruhku untuk mencium kening Rena untuk diabadikan.

Walaupun sebentar, aku sempat memperhatikan gadis cupu itu. Bola matanya yang berwarna coklat yang selama ini dihalangi lensa tebal, ternyata cukup indah. Aku benar-benar pangling. Seandainya saja kau terus cantik seperti ini, mungkin aku akan ... Astaga! Aku sudah berjanji pada Tamara. Pernikahan ini hanya sandiwara.

Malamnya, setelah tamu-tamu yang keseluruhannya adalah tamu dan kerabat mertuaku pulang, aku dan Rena berpamitan untuk istirahat.

"Ya sudah, istirahat sana. Pengantin baru jangan capek-capek. Biar fit!" goda bapak mertuaku. Aku hanya tersenyum simpul mendengarnya.

"Iya, nak Arya. Mamak harap, nak Arya bisa menjaga Rena dengan baik ya. Kami orang tua berharap, rumah tangga anak-anaknya langgeng. Sakinah, mawaddah, warahmah dan juga segera mendapatkan momongan. Mamak sama bapak sudah tidak sabar ingin menggendong cucu," tambah ibu mertuaku."

"Doakan saja ya, mak," jawabku singkat. "Ya sudah, aku pamit istirahat dulu ya. Mau mandi dulu. Soalnya badanku lengket karena keringat."

"Ya, nak Arya. Silahkan. Kami masih ingin ngobrol dengan papi mamimu di depan. Sekalian melepas kangen. Yuk, bu."

Setelah mandi, aku masuk ke kamar Rena yang sudah di hias sedemikian rupa untuk menjadi kamar pengantin.

Aku melihat Rena sudah merebahkan tubuhnya membelakangiku. Memang dia pamit duluan tadi. Katanya hiasan pengantin adat batak mandailing yang ia kenakan tadi siang di kepalanya, membuat lehernya sakit.

Mungkin karena mendengar suara pintu dibuka, membuat Rena berbalik ke arahku. Dan aku terkejut bukan main melihatnya. Cinderella tadi, kembali berubah menjadi upik abu. Padahal belum jam dua belas malam. Cepat sekali berubahnya.

"Mas ...."

"Hem."

"Tidur sini, mas," ajaknya sambil menepuk kasurnya di sisinya.

Aku hanya diam tak menjawab. Kuambil bantal dan aku memilih tidur di lantai.

" Mas, kok tidur di situ sih? Nanti masuk angin lho."

Aku tetap bergeming tak menjawab. Ku rebahkan tubuhku di lantai dengan posisi memunggunginya.

Melihat aku diam, mungkin dia berpikir aku sudah tertidur. Dan dia pun merebahkan tubuhnya.

Lebih baik aku masuk angin, daripada harus tidur dengan si cupu buruk rupa itu.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status