"Kemana saja kamu?!" Setelah beradu argumentasi dengan Kaisar, Sarah akhirnya diantar kembali ke rumah sang suami. Sepanjang perjalanan, Sarah berusaha menenangkan diri. Dia mencoba untuk mendengarkan kalimat-kalimat dari pria itu yang terus memintanya untuk bisa mengendalikan diri sebaik mungkin. Namun, begitu Sarah masuk ke dalam rumah, teriakan Bagas menyambutnya. Sarah memperhatikan Bagas yang masih duduk di sofa ruang tamu, bersama dengan Rayya--Istri kesayangannya itu. Di kepalanya saat ini hanya berputar setiap kejahatan yang dilakukan Bagas kepadanya, dan kepada keluarganya. Sarah ingin langsung mengkonfrontasi Bagas, tetapi Kaisar benar. Itu sama saja dengan menggali kuburannya sendiri."Ingat ini Sarah. Kalau kamu mau kembali ke rumah itu sekarang, maka bersikaplah seperti tidak ada yang terjadi."Sarah juga teringat bagaimana Kaisar menyiapkan sebuah alibi untuknya. Kalau seandainya Bagas bertanya kemana ia pergi dari rumah sakit. "Aku harus sanggup mengontrol diriku
“Minggu depan, kalian semua saya undang ke acara pernikahan putra saya, Bagas Kuncoro, dengan perempuan cantik yang berada di sebelah saya ini, Sarah Daniawati.” Suara perempuan paruh baya itu terdengar lembut, sekaligus tegas. Pengumuman itu sekejap mengejutkan semua orang yang hadir dalam pesta. Namun, semua itu berlangsung sesaat karena riuh renyah suara tepuk tanganlah yang kemudian bergemuruh dalam ruangan. 'Apa-apaan ini?' Di tempatnya, Sarah, wanita yang disebutkan dalam pengumuman itu, tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut dari wajahnya. 'Menikah?' Keringat dingin mulai membasahi gaun malam yang ia kenakan. 'Dengan Bagas?!' Kalau saja ia tidak ingat bahwa ada puluhan pasang mata yang sedang menatapnya dengan intens, mungkin dia sudah limbung saat itu juga. Selagi lengan perempuan paruh baya itu melingkar di pinggangnya, seakan merantai Sarah agar tidak kabur, berbagai komentar pun mulai dilontarkan para tamu yang hadir. "Selamat, Bu Retno! Kok bisa mendadak sih pengumu
“Ah!!” Suara tubrukan keras bergema di ruang tangga darurat. Sosok Sarah yang malang meringis ketika Bagas dengan kasar melempar tubuhnya hingga menabrak tembok dengan keras. "Jelasin ini!" seru Bagas seraya menunjukkan layar ponselnya ke arah Sarah. Sebuah rekaman video berputar, memperlihatkan sosok Sarah yang memasuki area kediaman Kuncoro beberapa jam sebelum pesta dimulai. "Jangan kamu pura-pura baik, Sarah. Sedari awal, semua ini ulah kamu, 'kan?! Kamu yang bertemu dengan Ibu dan menanamkan ide gila ini!” Sarah menggelengkan kepalanya keras-keras. “Bukan, Gas. Sumpah, bukan aku yang mengusulkan semua ini!” Bagas tersenyum meremehkan. “Belajar lagi sana, kamu benar-benar bukan pembohong yang ulung," tutur pria tersebut. "Kalau gitu, coba jelasin alasan kamu ketemu Ibu?!" Sarah terdiam sejenak, bingung harus memulai dari mana. Namun, karena tidak bisa berpikir jernih, dia pun hanya menjawab, "Aku memang bertemu ibumu, tapi satu-satunya tujuanku adalah untuk meminjam uang,
“Saya terima nikah dan kawinnya Sarah Daniawati Binti Gilang Adhyaksa, dengan mas kawin tersebut, tunai!” Sarah dapat mendengar semua orang mengucap syukur atas Ijab Kabul yang baru saja dilakukan oleh Bagas. Dia dapat melihat bagaimana sang ayah mengelap wajah yang sudah banjir dengan air mata, terlihat terharu dengan pernikahan putrinya. Meskipun begitu, Sarah yakin bahwa ayahnya diam-diam merasa terluka, apalagi setelah mengetahui bahwa putri satu-satunya menjadi istri kedua dari seorang pria yang telah menikah. “Selamat ya, Gas…” Meskipun pesta berlangsung dengan sangat mewah dan meriah. Tetapi, Sarah justru merasa tidak nyaman. Apalagi saat semua tamu undangan terlihat asing di matanya. “Gila… Gila… Bagas emang MVP banget deh. Udah dapet Rayya yang cantiknya kayak Dian Sastro, sekarang cewek cantik lainnya yang kayak Putri Marino ini diembat juga. Buset… Pantes aja gue jomblo terus…” Sarah hanya bisa tersenyum tipis, sedangkan Bagas justru tertawa keras-keras. Walau di
“Sarah! Dimana kamu?!” Sarah yang masih sibuk membersihkan kolam ikan, mau tidak mau menoleh ke arah pintu utama. Di sana dia mendapati istri pertama Bagas--Rayya--yang sedang berjalan cepat ke arahnya. “Ada apa, Mbak?” Rayya melemparkan beberapa baju ke arah Sarah. Karena tidak sigap menangkap lemparan tiba-tiba, semua baju itu jatuh ke dalam kolam ikan yang belum selesai dibersihkan. “Kamu benar-benar tidak becus! Semua baju Bagas kelunturan! Kok bisa kamu mencampur kemeja-kemeja putihnya dengan baju batik milik ibu? Dasar tolol!” Sarah menaruh semua alat-alat yang sedang digunakan, lalu mulai memunguti baju-baju yang masuk ke dalam kolam ikan itu. Agar tidak memicu amarah wanita itu lagi, dia pun segera pergi dari hadapan Rayya untuk melaksanakan tugasnya. “Heh! Kurang ajar! Ke sini kamu! Saya belum selesai bicara!” Sarah menghentikan langkah kakinya, dan menoleh ke arah Rayya yang terlihat begitu marah. “Ada apa lagi, Mbak?” Rayya terlihat ingin menampar Sarah, tapi
“Selamat ya, bu, pak… Hasil pemeriksaannya positif, hari ini genap 4 minggu. Sebentar lagi kalian akan menjadi orangtua…” Sarah menelan saliva-nya perlahan, tiba-tiba saja kerongkongannya terasa kering. Sang ibu mertua tidak berhenti berucap syukur, dan juga terus-menerus memeluknya dengan sayang. Sementara Bagas tidak berkomentar apapun. “Tolong berikan perawatan yang terbaik untuk menantu dan cucu saya ya, dok.” Sang dokter hanya tersenyum tipis sebelum menjawabnya dengan tegas, “Tentu saja, bu.” Sarah takjub dengan betapa mudahnya seorang manusia berubah perilaku. Meskipun ibu mertuanya tidak pernah berbuat kasar padanya, tapi dia juga bukanlah seseorang yang melimpahkan kasih sayang pada Sarah. Oleh karena itu, saat ibu mertuanya tiba-tiba menghujaninya dengan perhatian berlebih, itu membuatnya kewalahan. “Sarah, ibu sudah buatkan makanan. Kata dokter, ini bagus untuk ibu hamil.” “Sarah, kamu mau susu yang ini, atau yang ini?” “Sarah, kamu nggak boleh kecapean. Semua
“Sarah! Ya Allah!” Sang ibu mertua panik saat mendapati dua menantu perempuannya terkapar di lantai, dan tak sadarkan diri. Darah segar menggenangi lantai, membuat kepanikannya semakin menjadi. “Cepat panggilkan ambulans! Cepat sana! Ya Allah, cucuku!” Ambulans tiba, kedua istri Bagas yang pingsan berhasil dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Bagas datang terburu-buru dari kantornya. Kepanikan jelas menghiasi wajahnya. “Kok bisa begini, bu? Apa yang terjadi?” Perempuan paruh baya itu hanya mampu menggelengkan kepalanya. Dia terlihat khawatir sekali. “Ibu nggak tau. Saat ibu tiba, mereka berdua sudah tergeletak di lantai. Ya Allah... Cucuku...” Bagas berjalan mondar-mandir, terlihat sangat gelisah. Tampaknya dia tidak sanggup membayangkan jika salah satu dari istrinya terluka. “Tapi ibu yakin, bukan Sarah yang salah. Ini semua pasti salahnya Rayya.” “Bu, kita nggak bisa berasumsi seperti itu. Kita kan nggak tau apa yang terjadi sebenarnya.” Ekspresi perempuan paruh baya
"A-apa maksud ibu?" Rayya yang masih sesenggukan menatap sang ibu mertua dengan gugup. Tidak mungkin wanita tua itu menembus sandiwaranya, bukan? Dia sudah mengorbankan dirinya sendiri sampai mengalami luka-luka seperti ini! Di sisi lain, Retno mengalihkan pandangan dan menghampiri pintu. Alih-alih menyusul putranya, dia justru berjalan dan menutup rapat pintu tersebut, seolah-olah tidak ingin siapa pun mendengar apa yang akan dikatakannya kepada sang menantu. "Mungkin sebaiknya kamu mengajar kelas akting, Rayya." Retno berjalan ke sudut ruangan, dia menuangkan air putih ke dalam gelas. "Akting kamu benar-benar hebat, sampai putra saya begitu percaya." Dia tersenyum ke arah sang menantu. Rayya terlihat gelagapan, tapi berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Aku benar-benar nggak mengerti maksud ibu." Retno berjalan menuju ranjang yang dihuni oleh Rayya, lalu duduk di atasnya. "Bagas sudah tidak ada di sini. Hanya ada kita berdua. Jangan berpura-pura lagi." Rayya tetap menggele