“Apa kau mau menceritakan pada Bunda apa saja yang kalian bincangkan semalam?”
Fayla yang sedari tadi sedang membaca setiap kiriman yang ada pada beranda Linkeidn langsung mematikan layar ponselnya dan berkata dengan senyum simpul, “Tidak banyak.”
Suasana ruang tunggu rawat jalan rumah sakit umum daerah tempat mereka saat ini cukup ramai akibat awal bulan. Wajah-wajah paruh baya mendominasi ruangan tersebut. Di temani oleh sanak keluarga yang membantu memegangkan amplop berisi kertas berbagai macam hasil pemeriksaan. Sebagian tampak melamun di kursinya. Sebagian lagi sedang sibuk sarapan dengan jajanan pasar yang dibungkus dalam plastik makanan.
Agar mendapatkan kuota pemeriksaan penyakit dalam. Mereka – termasuk Fayla dan bunda – harus datang sangat pagi dan mengantri untuk mendapatkan nomor antrian. Bersama para pemegang asuransi milik negara dan para pensiunan lainnya. Akhirnya mereka baru bisa duduk tenang menunggu giliran untuk bertemu dokter pada pukul sembilan pagi.
“Kau tahu kalau ia bekerja di salah satu pabrik biskuit milik perusahaan nasional di Kawasan Industri.” Bunda menyenggolnya dengan siku. “Dan sudah punya rumah juga. Di blok mewah yang ada di dekat gerbang perumahan kita!”
Fayla memutar bola matanya. “Itukah alasan Bunda menerima lamarannya?”
Bunda menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke depan ketika menjawab. “Karena Bunda merasa jika tidak seperti itu kau tidak akan pernah menikah.”
Seandainya mereka tidak berada di tengah-tengah orang asing sekarang. Mungkin Fayla akan berbuat lebih daripada sekedar merosot sedikit dari kursinya. “Bun, itukah alasan Bunda menyuruhku pulang? Bukan karena Bunda sakit?”
“Bunda hanya bercerita pada Mama-nya Anael kalau kau akan pulang. Setelah itu mereka segera melamarmu di hari kau pulang. Lebih cepat, lebih baik mengingat usia kalian saat ini. Dan Bunda menyetujuinya.”
“Dan padahal tidak ada yang lebih tahu dari Bunda – dengan cara yang amat sangat memalukan – kalau aku sempat tergila-gila dengan adik tertuanya?” Fayla memperbaiki duduknya. Menatap bunda lekat-lekat.
Bunda mendengus geli. “Astaga. Kalau Bunda mengingat hari itu lagi... Buku diary-mu. Deva bahkan masih hafal isinya.”
“Yang dibacanya dengan sangat kurang ajar.”
Dan setelah itu Fayla menjadi seseorang yang menyimpan banyak rahasia kakaknya. Apalagi menghabiskan dua tahun tinggal bersama Deva dan keluargany. Sebelum Fayla memutuskan tinggal di kos-kosan. Ia sudah banyak tahu rahasia untuk bisa memeras kakaknya di kemudian hari.
Tidak ada reaksi dari Bunda perihal perkataannya itu. Namun beliau menambahkan, “Tinggal enam hari lagi. Tanya semua apa yang kau ingin tanyakan pada Anael Pernikahan kalian akan diadakan secara sederhana sesuai dengan apa yang sering kau gadang-gadangkan selama ini. Jadi menurut Bunda tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Kecuali kalau memang masih suka dengan Bahram.”
Mendengar nama Bahram disebut oleh bunda sama sekali berbeda dengan orang lain yang mengatakannya. Beliau seperti punya kekuatan menembus isi kepala Fayla sehingga membuatnya berdalih, “Tidakkah rasanya akan canggung jika kami menjadi ipar?” Ia tertawa getir.
“Walau seperti itu apakah kalian akan sering bertemu? Bunda rasa tidak.” Bunda lalu terkekeh. “Ingatkah kau Tante Girish memesan gulai kambing dari kita untuk acara lahiran anak Bahram? Kau belum ke Ibukota, kan hari itu? Apa kau menangis tanpa sepengetahuan Bunda?”
Fayla memilih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Kedua lengannya bersedekap dan ia mengalihkan pandangan. Lebih baik tidak menanggapi daripada terus-menerus mendapatkan godaan seperti itu. Namun akhirnya ia tidak tahan dan berkata dengan nada ketus,
“Anael juga tidak pernah banyak bicara denganku. Di SMA saja kami hanya bertegur-sapa, tidak lebih. Ia bahkan tidak lebih baik dari Bahram kala itu.” Ia kemudian teringat dengan apa yang Anael katakan mengenai perasaan Bahram kepadanya yang ia dorong jauh-jauh dari ingatannya.
“Benar. Tapi lihatlah sekarang siapa yang datang melamarmu kemarin.” Bunda memperbaiki duduknya agar ia bisa melihat putrinya lebih baik. Fayla hanya mampu menatap bundanya selama sedetik sebelum membuang muka.
Tidak berapa lama kemudian ia mendengar nama mereka disebutkan. Fayla mengikuti bunda berjalan masuk ke ruang dokter. Di sana ibunya diminta berbaring untuk melakukan pemeriksaan USG. Setelah melakukan medical check up tahunan. Bunda terdeteksi mengidap radang pankreas akibat diabetes yang sudah diderita selama puluhan tahun. Namun karena tingkatnya masih ringan. Bunda hanya diberi resep obat tambahan, melakukan diet, dan olahraga yang lebih giat. Jadi hari ini mereka melakukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan telah Bunda baik-baik saja.
Melihat bunda berbaring, mendengarkan penjelasan dokter, dan memberi tanggapan secara mandiri membuat Fayla lebih merasa bersalah. Ia tidak pernah merasa terpaksa untuk pulang, namun bukan berarti dengan begitu ia bisa membalik waktu yang sudah berlalu. Ia menyadarinya setelah melihat tambahan kerutan dan uban pada bunda.
Untuk pertama kalinya, menikah dengan Anael tidak terdengar seperti hukuman. Di masa depan mungkin ia membutuhkan seseorang untuk menghadapi sesuatu yang tidak ingin ia hadapi sendirian. Ia sudah merasakannya selama tujuh tahun terakhir dengan berada di tengah-tengah orang-orang yang terasa dekat namun jauh secara emosional.
Dari hasil USG, dokter berkata bunda sudah melakukan pekerjaan baik. Namun ia masih harus melanjutkan meminum obatnya hingga mereka bertemu lagi di bulan depan. Setelah itu barulah dokter menaruh perhatian pada Fayla.
“Oh, ini si bungsu yang dari Ibukota?”
Ia hanya tersenyum ketika disapa seperti itu. Bunda menjelaskan bahwa mulai hari ini ia akan selalu ikut ketika ibunya datang untuk check-up bulanan. “Dan dia akan menikah bulan depan!”
Sang dokter laki-laki berkacamata bergagang tipis itu sekarang tergelak, “Itukah alasan kau pulang? Selamat kalau begitu.”
Perkataan itu membuat Fayla memelototi bunda. Tapi ia hanya mendapatkan perlakuan yang sama.
Setelah itu mereka berpindah ke ruang farmasi yang jauh lebih ramai. Hanya ada satu kursi yang tersisa dan ketika bunda duduk. Wanita paruh baya itu berkata, “Pulang dari sini kau akan bawakan Anael makan siang dari warung. Pakai pertemuan itu untuk mengobrol sebanyak yang kalian mau. Ia pasti akan senang.”
Dan Fayla tahu itu bukan pertanyaan. Itu adalah perintah — seperti banyak hal lain dalam hidupnya belakangan ini. Ia menggumam mengiyakan, lalu berdiri di sudut ruangan, bersama para pendamping yang menunggu tanpa kursi dengan kedua tangan terlipat di dada. Ruang tunggu apotek itu beraroma pinus yang membuat hidungnya terasa ditusuk-tusuk. Menambah ketidakberdayaannya akan dirinya sendiri....
***
Walau pernikahan itu dilaksanakan secara sederhana — menurut ukuran Mama Girish — Bahram merasakan kalau pernikahan ini diadakan bahkan lebih heboh daripada miliknya dulu. Karena kedua mempelai hanya berjarak sekitar dua ratus meter satu sama lain, para tetangga nyaris tidak butuh kendaraan. Mereka berlalu-lalang dari satu rumah ke rumah lain hanya dengan berjalan kaki. Anak-anak berlari-lari kecil mengitari teras rumah-rumah yang didekorasi seadanya, sementara para ibu menyusun hantaran.Ia bisa merasakan seluruh euforia dan antusiasme lingkungan ini terhadap pernikahan Anael dan Fayla. Akhirnya, keluarga Girish mewujudkan mimpi lama mereka — mimpi yang sempat terasa mustahil saat Fayla memilih merantau ke Ibu Kota. Untuk menjadikan Fayla Lachlan menantu keluarga mereka.Kata orang, seseorang yang akan menikah akan tampak lebih cantik. Itu tidak terkecuali bagi Fayla. Bahkan seluruh teman sepermainan mereka dulu mengakuinya, meski dalam bentuk candaan khas para lelaki yang sedang ber
Suasana rumah Girish mencekam setelah kepulangan mereka dari pengepasan terakhir pakaian seragam pernikahan Anael dan Fayla. Cain merasakan suasana itu lebih dari siapapun di sana. Lebih dari pria yang baru saja pulang dari mengantar tunangannya untuk membagikan undangan.Cain tidak yakin apakah ia bisa dianggap beruntung apa tidak menjadi yang mendengar dengan cukup jelas apa yang dipertengkarkan oleh Jaibah dan Fayla di ruang ganti wanita tadi. Menjadi anak terakhir membuatnya telinganya menjadi sangat tajam untuk mendengarkan setiap teriakan paling keras ataupun bisikan paling lembut. Apalagi ditambah dengan kelebihannya untuk membaca situasi dan bertingkah sesuai dengan kebutuhan situasi tersebut.Suasana menegang, tentu saja. Namun Bunda Lachlan menjadi yang paling aktif untuk berusaha mencairkan suasana. Jaibah sudah menyentak pakaiannya, namun apapun yang pikirkan setelahnya ia urungkan karena Mama dan Papa Girish datang bersama Bahram tidak berapa lama kemudian.Dan wanita itu
"Bagaimana rasanya ketika seluruh orang sepertinya tidak punya hal jelek untuk diceritakan tentangmu?” Itu Jaibah dari ruang ganti di sebelahnya. “Maaf?” Fayla yang masih berkutat dengan resleting belakang gaunnya itu tiba-tiba berhenti. “Apakah kau tidak menyadarinya? Atau kau sudah terbiasa dengan perhatian macam itu?”Fayla akhirnya berhasil dengan resleting. Menyentak tangannya turun dengan kepala mendongak ke arah asal suara. “Mbak Jaibah, aku...”“Tidak. Panggil nama saja. Toh, kau juga seperti itu dengan Mas Anael. Jadi bagaimana rasanya? Karena aku tidak pernah, selama ini.”Fayla mengerjap. Ia membuka pintu ruang gantinya untuk berdiri di depan ruang ganti Jaibah “Dengar, aku sama sekali tidak tahu apa yang kau bicarakan...”Hening sebelum Jaibah keluar dari ruangannya. Rambutnya disanggul ketat di tengkuk. Kebayanya tampak melekat sempurna di tubuhnya yang berisi. “Dan bisa-bisanya kau masih berlagak lugu seperti itu!” Lamunan Fayla memudar dengan Anael yang menginjak ped
"Tolong hapus seringai itu dari wajahmu, Anael. Kau membuat para karyawanku takut," ujar Lauvi sambil mengerutkan wajahnya jijik. Ruang rapat kecil itu hanya menyisakan mereka berdua setelah pertemuan harian selesai. Anael baru saja membagikan undangan pernikahan kepada para mandor dan Lauvi, membuat suasana kantor mendadak lebih ramai dari biasanya."Kenapa tidak? Senyuman ini diperlukan untuk membuat seluruh ruangan tahu aku sangat senang dengan apa yang akan terjadi di masa depan," jawab Anael santai, menyugar rambutnya dengan jemari bercincin.Lauvi mendengus dan mencibir. "Aku jadi ingin tahu apa saja yang sudah kau katakan pada wanita malang itu."Anael hanya mengedikkan bahu. "Ia berkali-kali berkata kalau aku tampan dan aku bisa saja memilih siapa pun yang aku mau. Tapi aku memilih dia. Dan ia sepertinya menghargai itu.""Dan setelah semua alasanmu yang menyedihkan itu? Dia masih mau menerimamu?" Lauvi memutar mata, lalu menirukan gestur muntah sambil memegang perut, membuat A
“Apapun yang diperlukan untuk membalas dendam menahun...”Karena benar seperti itu. Tanpa sadar pengalaman yang ia lalui akibat semua rumor itu membuat Fayla tidak percaya diri untuk menyukai seseorang yang menurut orang lainnya sangat tampan. Namun bukan berarti Anael tidak tampan. Ia bahkan sampai bertanya-tanya kenapa orang setampan Anael bisa memilih dia menjadi calon istrinya.Bukannya Fayla tidak mencoba membuka diri. Ia pernah menyukai seseorang yang menurutnya setara tampannya dengan Anael ketika ia kuliah. Namun hubungan itu berhenti ketika ia tahu pria itu ternyata menggunakannya hanya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Ternyata sudah sedalam itu pengalaman itu melukai dirinya.Jadi jika sesuatu terjadi Fayla sudah bisa mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk.Merasakan sesak yang amat sangat berada di dalam mobil setelah ciuman dadakan mereka. Fayla mengajak Anael untuk duduk di salah satu bangku terbuat dari beton dingin yang ada di alun-alun menghadap laut itu.
“Kalian berdua pergilah. Ke mana, begitu. Untuk “pemanasan” sebelum hari H.” Bunda Lachlan ketika mereka berada di parkiran. Menolak ajakan Anael untuk mengantarnya pulang. “Tapi ingat. Sudah sampai rumah jam 11 malam, oke?”Anael tertawa sopan sebelum mengangguk. Fayla tidak memberi tanggapan apapun. Sikap tubuhnya tegang, pandangan matanya jauh. Kakinya mengetuk-ngetuk beton sebelum mencium pipi Bunda Lachlan lalu masuk ke mobil tanpa mengucap sepatah katapun lagi. Membuat Anael dan Bunda Lachlan bertukar pandang penuh arti.Mereka menjadi yang terakhir meninggalkan parkiran. Bunda Lachlan sendiri masuk ke mobil Cain dan mereka berpisah jalan. Anael membalas lambaian kelewat antusias dari Cain dan mengawasi kepergian mobil adiknya itu melalui kaca spion tengah.“Jadi kita “pemanasan” ke mana ini?” tanya Anael setelah kedua mobil rombongan lain berada cukup jauh.Fayla menghela napas panjang. Salah satu lengannya bertopang di pintu mobil sebelum menyebutkan nama pantai pinggir kota y