Share

Bab 5

Author: Miss Abbas
last update Last Updated: 2025-05-19 13:58:12

“Apa kau mau menceritakan pada Bunda apa saja yang kalian bincangkan semalam?”

Fayla yang sedari tadi sedang membaca setiap kiriman yang ada pada beranda Linkeidn langsung mematikan layar ponselnya dan berkata dengan senyum simpul, “Tidak banyak.”

Suasana ruang tunggu rawat jalan rumah sakit umum daerah tempat mereka saat ini cukup ramai akibat awal bulan. Wajah-wajah paruh baya mendominasi ruangan tersebut. Di temani oleh sanak keluarga yang membantu memegangkan amplop berisi kertas berbagai macam hasil pemeriksaan. Sebagian tampak melamun di kursinya. Sebagian lagi sedang sibuk sarapan dengan jajanan pasar yang dibungkus dalam plastik makanan.

Agar mendapatkan kuota pemeriksaan penyakit dalam. Mereka – termasuk Fayla dan bunda – harus datang sangat pagi dan mengantri untuk mendapatkan nomor antrian. Bersama para pemegang asuransi milik negara dan para pensiunan lainnya. Akhirnya mereka baru bisa duduk tenang menunggu giliran untuk bertemu dokter pada pukul sembilan pagi.

“Kau tahu kalau ia bekerja di salah satu pabrik biskuit milik perusahaan nasional di Kawasan Industri.” Bunda menyenggolnya dengan siku. “Dan sudah punya rumah juga. Di blok mewah yang ada di dekat gerbang perumahan kita!”

Fayla memutar bola matanya. “Itukah alasan Bunda menerima lamarannya?”

Bunda menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke depan ketika menjawab. “Karena Bunda merasa jika tidak seperti itu kau tidak akan pernah menikah.”

Seandainya mereka tidak berada di tengah-tengah orang asing sekarang. Mungkin Fayla akan berbuat lebih daripada sekedar merosot sedikit dari kursinya. “Bun, itukah alasan Bunda menyuruhku pulang? Bukan karena Bunda sakit?”

“Bunda hanya bercerita pada Mama-nya Anael kalau kau akan pulang. Setelah itu mereka segera melamarmu di hari kau pulang. Lebih cepat, lebih baik mengingat usia kalian saat ini. Dan Bunda menyetujuinya.”

“Dan padahal tidak ada yang lebih tahu dari Bunda – dengan cara yang amat sangat memalukan – kalau aku sempat tergila-gila dengan adik tertuanya?” Fayla memperbaiki duduknya. Menatap bunda lekat-lekat.

Bunda mendengus geli. “Astaga. Kalau Bunda mengingat hari itu lagi... Buku diary-mu. Deva bahkan masih hafal isinya.”

 “Yang dibacanya dengan sangat kurang ajar.”

Dan setelah itu Fayla menjadi seseorang yang menyimpan banyak rahasia kakaknya. Apalagi menghabiskan dua tahun tinggal bersama Deva dan keluargany. Sebelum Fayla memutuskan tinggal di kos-kosan. Ia sudah banyak tahu rahasia untuk bisa memeras kakaknya di kemudian hari.

Tidak ada reaksi dari Bunda perihal perkataannya itu. Namun beliau menambahkan, “Tinggal enam hari lagi. Tanya semua apa yang kau ingin tanyakan pada Anael Pernikahan kalian akan diadakan secara sederhana sesuai dengan apa yang sering kau gadang-gadangkan selama ini. Jadi menurut Bunda tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Kecuali kalau memang masih suka dengan Bahram.”

Mendengar nama Bahram disebut oleh bunda sama sekali berbeda dengan orang lain yang mengatakannya. Beliau seperti punya kekuatan menembus isi kepala Fayla sehingga membuatnya berdalih, “Tidakkah rasanya akan canggung jika kami menjadi ipar?” Ia tertawa getir.

“Walau seperti itu apakah kalian akan sering bertemu? Bunda rasa tidak.” Bunda lalu terkekeh. “Ingatkah kau Tante Girish memesan gulai kambing dari kita untuk acara lahiran anak Bahram? Kau belum ke Ibukota, kan hari itu? Apa kau menangis tanpa sepengetahuan Bunda?”

Fayla memilih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Kedua lengannya bersedekap dan ia mengalihkan pandangan. Lebih baik tidak menanggapi daripada terus-menerus mendapatkan godaan seperti itu. Namun akhirnya ia tidak tahan dan berkata dengan nada ketus,

“Anael juga tidak pernah banyak bicara denganku. Di SMA saja kami hanya bertegur-sapa, tidak lebih. Ia bahkan tidak lebih baik dari Bahram kala itu.” Ia kemudian teringat dengan apa yang Anael katakan mengenai perasaan Bahram kepadanya yang ia dorong jauh-jauh dari ingatannya.

“Benar. Tapi lihatlah sekarang siapa yang datang melamarmu kemarin.” Bunda memperbaiki duduknya agar ia bisa melihat putrinya lebih baik. Fayla hanya mampu menatap bundanya selama sedetik sebelum membuang muka.

Tidak berapa lama kemudian ia mendengar nama mereka disebutkan. Fayla mengikuti bunda berjalan masuk ke ruang dokter. Di sana ibunya diminta berbaring untuk melakukan pemeriksaan USG. Setelah melakukan medical check up tahunan. Bunda terdeteksi mengidap radang pankreas akibat diabetes yang sudah diderita selama puluhan tahun. Namun karena tingkatnya masih ringan. Bunda hanya diberi resep obat tambahan, melakukan diet, dan olahraga yang lebih giat. Jadi hari ini mereka melakukan pemeriksaan lanjutan untuk memastikan telah Bunda baik-baik saja.

Melihat bunda berbaring, mendengarkan penjelasan dokter, dan memberi tanggapan secara mandiri membuat Fayla lebih merasa bersalah. Ia tidak pernah merasa terpaksa untuk pulang, namun bukan berarti dengan begitu ia bisa membalik waktu yang sudah berlalu. Ia menyadarinya setelah melihat tambahan kerutan dan uban pada bunda.

Untuk pertama kalinya, menikah dengan Anael tidak terdengar seperti hukuman. Di masa depan mungkin ia membutuhkan seseorang untuk menghadapi sesuatu yang tidak ingin ia hadapi sendirian. Ia sudah merasakannya selama tujuh tahun terakhir dengan berada di tengah-tengah orang-orang yang terasa dekat namun jauh secara emosional.

Dari hasil USG, dokter berkata bunda sudah melakukan pekerjaan baik. Namun ia masih harus melanjutkan meminum obatnya hingga mereka bertemu lagi di bulan depan. Setelah itu barulah dokter menaruh perhatian pada Fayla.

“Oh, ini si bungsu yang dari Ibukota?”

Ia hanya tersenyum ketika disapa seperti itu. Bunda menjelaskan bahwa mulai hari ini ia akan selalu ikut ketika ibunya datang untuk check-up bulanan. “Dan dia akan menikah bulan depan!”

Sang dokter laki-laki berkacamata bergagang tipis itu sekarang tergelak, “Itukah alasan kau pulang? Selamat kalau begitu.”

Perkataan itu membuat Fayla memelototi bunda. Tapi ia hanya mendapatkan perlakuan yang sama.

Setelah itu mereka berpindah ke ruang farmasi yang jauh lebih ramai. Hanya ada satu kursi yang tersisa dan ketika bunda duduk. Wanita paruh baya itu berkata, “Pulang dari sini kau akan bawakan Anael makan siang dari warung. Pakai pertemuan itu untuk mengobrol sebanyak yang kalian mau. Ia pasti akan senang.”

Dan Fayla tahu itu bukan pertanyaan. Itu adalah perintah — seperti banyak hal lain dalam hidupnya belakangan ini. Ia menggumam mengiyakan, lalu berdiri di sudut ruangan, bersama para pendamping yang menunggu tanpa kursi dengan kedua tangan terlipat di dada. Ruang tunggu apotek itu beraroma pinus yang membuat hidungnya terasa ditusuk-tusuk. Menambah ketidakberdayaannya akan dirinya sendiri....

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 5

    “Apa kau mau menceritakan pada Bunda apa saja yang kalian bincangkan semalam?”Fayla yang sedari tadi sedang membaca setiap kiriman yang ada pada beranda Linkeidn langsung mematikan layar ponselnya dan berkata dengan senyum simpul, “Tidak banyak.”Suasana ruang tunggu rawat jalan rumah sakit umum daerah tempat mereka saat ini cukup ramai akibat awal bulan. Wajah-wajah paruh baya mendominasi ruangan tersebut. Di temani oleh sanak keluarga yang membantu memegangkan amplop berisi kertas berbagai macam hasil pemeriksaan. Sebagian tampak melamun di kursinya. Sebagian lagi sedang sibuk sarapan dengan jajanan pasar yang dibungkus dalam plastik makanan.Agar mendapatkan kuota pemeriksaan penyakit dalam. Mereka – termasuk Fayla dan bunda – harus datang sangat pagi dan mengantri untuk mendapatkan nomor antrian. Bersama para pemegang asuransi milik negara dan para pensiunan lainnya. Akhirnya mereka baru bisa duduk tenang menunggu giliran untuk bertemu dokter pada pukul sembilan pagi.“Kau tahu k

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 4

    Fayla muda berusia enam belas tahun baru saja menutup bukunya ketika ia menyadari suara bisik-bisik menggema dan sangat mengganggu terjadi di seluruh perpustakaan. Ia mengedarkan pandangan dan menyadari beberapa gadis yang tersebar duduk di banyak saling berbisik dan melirik ke arahnya dengan dahi mengerut.Ia ingin menghiraukannya. Ini bukan kali pertama Fayla menjadi bahan gosip seluruh sekolah. Ibu Girish menegurnya dengan sangat ramah hingga menimbulkan tatapan penuh tanya oleh seluruh teman kelasnya. Lalu beberapa pekan kemudian ia mendebat habis salah seorang gadis satu tingkat di atasnya akibat perundungan yang tidak ada hubungannya dengan menjadi bagian dari klub buku.Setelah itu setiap gerak-geriknya diawasi oleh banyak pasang mata. Dengung itu makin keras. Fayla bahkan mendengar namanya disebut secara terang-terangan sekarang. Ia juga mendengar nama “Girish Bersaudara” terikut. Ia tidak tahan. Diletakkannya kembali buku yang baru saja ia baca kembali ke lemari sambil menar

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 3

    “Mungkin kau benar. Ingatanku bercampur aduk antara kau dan Bahram. Namun yang aku tahu dengan pasti aku tidak pernah mengobrol dengan salah satu dari kalian sebanyak ini selama seumur hidupku.” Fayla menunjuk Anael dengan sumpit dan tangannya yang lainnya menopang dagu. Kelakuan yang jelas membuat Fayla dicubit oleh bunda jika beliau melihatnya.“Well, itu karena kau menampakkan dengan jelas kalau kau menyukainya.”“Itu ketika usiaku sepuluh tahun, demi Tuhan. Dan ibumu menambah bensin ke api ketika beliau membuat pemberitahuan kalau aku adalah calon anak menantunya. Di sekolah! Padahal itu sudah bertahun-tahun setelahnya.”Anael mengelap mulutnya dengan tisu. “Aku rasa kita tidak bisa menyalahkan Mama-ku sepenuhnya. Kau berprestasi, beberapa kali memenangkan kontes memasak sekolah, dan berkelahi dengan kakak kelas ketika masih di kelas 10?” Pria itu menyeringai. Matanya berbinar entah karena kepedasan atau karena kata-katanya tadi.“Sekarang lupakan dulu masa lalu. Kita butuh membah

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 2.2

    Walau dengan amat berat hati. Fayla menghabiskan sisa sore itu berdebat dengan bunda pakaian apa yang bisa ia gunakan untuk acara makan malamnya dengan Anael. Fayla tidak ingin ia terlihat seperti bersusah-payah atau mencoba mendapatkan nilai tambah di mata pria itu. Toh, Fayla belum tahu motif pria itu dan alasannya kenapa begitu keras kepala untuk menikahinya.Jadi ia memilih pakaian kasual biasa yang terdiri dari sebuah kemeja longgar berwarna biru laut, ditambah kaos putih di dalamnya, dan celana jeans. Sedangkan bunda memaksanya untuk memakai pakaian yang lebih feminin. Berupa blouse dan rok span semata kaki. Tapi ia bersikeras hingga membuat bunda menyerah.“Kalau begitu paling tidak pakai ini.” Bunda mengeluarkan sebuah cincin perak dengan batu permata putih keci di tengah dari kotak perhiasannya dan menyematkannya di jari manis kiri Fayla.“Ini...”“Iya, cincin kawin mendiang ayahmu. Anggap saja ini cincin tunangan sementara.”Fayla baru akan membantah, namun Bunda sudah meng

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 2.1

    “Bunda, sejak kapan besanan dengan Om dan Tante Girish adalah mimpi Bunda juga?” Fayla dengan rambutnya yang masih dalam gulungan handuk. Keluarga Girish sudah pulang sedari tadi dan keinginannya untuk istirahat hilang sudah. Namun Bunda Lachlan menyuruhnya untuk membersihkan diri sebelum ia sempat buka mulut untuk menuntut penjelasan.“Lho, bukannya sejak dulu Bunda juga memanggil beliau dengan sebutan “besan”?” Bunda Lachlan yang sedang membongkar tas oleh-oleh Fayla dan memasukkan sebagian isinya ke kulkas.“Tapi, kan bukan dengan Anael...”Wanita itu paruh baya itu memberi Fayla pelototan. Namun ia tetap melanjutkan dengan keras kepala, “Kan, memang benar!”Ia memerhatikan bunda menghela napas. Perlahan berdiri dari sikap membungkuknya sambil menutup pintu kulkas. “Abang Anael, Fayla. Dan sudah waktunya kau memikirkan masa depanmu.”Handuk tersentak lepas dari rambut Fayla, tampak tidak terima. “Masa depanku adalah membesarkan warung makan Bunda dan hidup bahagia selamanya bersama

  • Dendam Membara Mas Tetangga   Bab 1

    Fayla Lachlan dengan keadaan yang sayu dan pakaian berantakan baru saja keluar dari pintu kedatangan bandar udara kota tempat kelahirannya. Dirinya langsung diterpa udara pengap, ciri khas kota yang berada di pinggir laut. Suara riuh para sopir taksi gelap terus saja berteriak ke arahnya yang membuatnya risih, namun berusaha keras untuk tidak tampak di wajahnya.Karena Fayla tahu ia harus kembali membiasakan diri dengan keadaan yang berbanding terbalik dengan ibukota. Baik seluruh tubuh dan perasaannya.Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru untuk mencari wajah familiar yang seharusnya datang untuk menjemputnya. Namun ia malah mendapati wajah lain yang saat ini memberinya isyarat untuk mendekat menggunakan lambaian tangan. Fayla menghela napas lega, namun bukan berarti kekhawatirannya belum sirna.“Om Ian sendirian?” Fayla mengerutkan dahi. Masih berharap bundanya muncul di balik tubuh Om Ian. Seorang pemilik rental mobil yang menjadi langganan keluarganya yang seluruhnya perantauan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status