Beranda / Urban / Dendam Membara Sang Dewa Perang / 4. Musuh Pertama: Godfather Lorenzo

Share

4. Musuh Pertama: Godfather Lorenzo

Penulis: Evita Maria
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-28 10:50:54

Evan bergerak seperti bayangan maut menuju mansion utama. Penjaga-penjaga berjatuhan satu per satu tanpa sempat berteriak. Mata robotiknya merekam segalanya, Dr. Reema dan tim peneliti di VVIC menyaksikan dengan tegang.

Alarm belum sempat berbunyi ketika Evan sudah mencapai lantai tiga. Dua orang berseragam hitam menghadangnya di koridor.

"Berhenti! Identitas apa...?"

Evan bergerak sebelum mereka menyelesaikan kalimat. Tangan kanannya mencengkeram tenggorokan penjaga pertama, mengangkatnya hingga kaki tidak menyentuh lantai. Penjaga kedua mencoba mengeluarkan pistol, tapi Evan sudah menendang pergelangan tangannya hingga patah.

KRAK!

Leher penjaga pertama patah. Tubuhnya merosot lemas. Penjaga kedua yang tangannya patah mencoba berteriak, tapi Evan sudah membekap mulutnya dan memutar kepalanya dengan keras.

Mereka tidak bertahan lama.

Pintu ruang kerja Lorenzo berlapis besi menghadang di ujung koridor. Evan memasang bom plastik di engsel pintu. Ledakan kecil yang teredam membuat pintu roboh ke dalam dengan suara gemuruh.

"Matilah kau, Keparat!" Lorenzo berteriak sambil menarik pelatuk senapan mesinnya.

Godfather gemuk mengenakan jas ungu itu berdiri di balik meja kayu jati, mata melotot penuh kemarahan. Peluru-peluru otomatis menghujani tempat Evan berdiri. Ia menghindar dengan kecepatan yang tak bisa diikuti mata biasa, melompat dari satu sisi ruangan ke sisi lain. Hingga akhirnya peluru sang Godfather habis.

Tiba-tiba, kaca jendela di sisi kanan ruangan pecah berkeping-keping. Sosok Elara melompat masuk dengan gerakan akrobatik yang sempurna, mendarat dengan posisi jongkok sebelum bangkit dengan elegan.

"Tunggu!" Lorenzo tiba-tiba menurunkan senjatanya, mengangkat kedua tangannya. "Jangan terburu-buru! Mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin."

Evan dan Elara sama-sama berhenti, meski tetap waspada. Lorenzo menyeka keringat di dahinya dengan sapu tangan sutra.

"Kalian berdua terlalu berbakat untuk sekadar menjadi pembunuh upahan," Lorenzo berkata dengan nada persuasif. "Aku tahu apa yang kalian butuhkan."

"Kami tidak membutuhkan apa-apa dari sampah sepertimu," Evan menjawab dingin.

"Oh, tapi kau salah, Anak Muda." Lorenzo bergeser, tangannya bergerak mencari sesuatu di bawah meja. "Aku bisa melihat masa lalumu dari matamu. Ada dendam yang membara di sana. Ada kemarahan yang ingin kau lampiaskan."

Mata Evan menyipit. Bagaimana pria ini bisa tahu?

Diam-diam, jari Lorenzo menekan tombol merah kecil yang tersembunyi di bawah meja. Tombol darurat yang terhubung langsung dengan saudara kembarnya, Oscar.

"Bergabunglah denganku!" Lorenzo melanjutkan sambil menatap mata Evan dengan tajam. "Aku akan memberikan separuh kartelku kepadamu. Bayangkan, dengan menguasai setengah operasiku, kau akan menjadi gembong mafia yang kaya raya. Kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan, termasuk kekuatan untuk menghancurkan musuh-musuhmu."

Lorenzo memiliki kemampuan khusus membaca pikiran melalui tatapan mata. Dia bisa melihat kilatan-kilatan memori dalam mata Evan. Penjara. Penyiksaan. Pengkhianatan keluarga.

"Aku tahu kau memiliki masa lalu gelap dan dendam kesumat," Lorenzo tersenyum licik. "Jika kau bekerja sama denganku dan aku angkat sebagai saudara, aku akan membantumu membalaskan dendam. Kau bisa menghancurkan semua musuhmu tanpa tersentuh hukum, karena akulah yang mengendalikan hukum itu."

Evan terkejut. "Bagaimana kau tahu tentang masa laluku?"

"Aku bisa membaca pikiran dari tatapan mata," Lorenzo menyeringai. "Dan sekarang aku bisa melihat bahwa hatimu goyah. Antara menerima penawaranku atau membunuhku demi menunaikan misi."

Lorenzo melangkah lebih dekat. "Pikirkan baik-baik! Jika kau menunaikan misi, kau tidak mendapat apa-apa. Hanya menjadi budak VVIC dan pemerintah selamanya. Tapi bersamaku, kau memiliki kesempatan mengendalikan dunia dalam satu tangan. Aku akan memberikan support yang luar biasa."

Evan terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan. Kemudian dia tersenyum tipis. "Ide yang menarik. Aku suka."

 Lorenzo melihat ke dalam mata Evan dan di sana ia melihat keserakahan dan keinginan menguasai dunia. Mata pembaca pikiran itu mengira dirinya menang.

"Sebagai tes kesetiaan pada kartelku," Lorenzo memerintah dengan penuh percaya diri, "bunuh wanita itu!"

Evan mengangguk dan tiba-tiba menyerang Elara. Elara melompat menghindar dengan lincah, mata hijau zamrudnya berkilat terkejut.

"Apa yang kau lakukan?" Elara mendengus marah bercampur kaget sambil menghindar dari pukulan Evan.

Mereka terlibat pertarungan singkat. Evan melancarkan serangan yang terlihat serius, sementara Elara menghindar dengan gerakan akrobatik. Elara meloloskan belati dari balik sepatu boot-nya.

Tapi tiba-tiba, tanpa diduga oleh Lorenzo, Evan menangkap pergelangan tangan Elara yang memegang pisau, mengambil senjata itu, dan melemparkannya dengan kekuatan penuh.

Pisau meluncur dengan kecepatan luar biasa, mengenai lengan kiri Lorenzo dan menancap begitu dalam hingga menembus tembok di belakangnya. Kekuatan lemparan itu begitu dahsyat sehingga seluruh lengan Lorenzo ikut terseret dan menempel di dinding.

"AAAAHHHHH!" Lorenzo berteriak kesakitan, matanya melotot tidak percaya.

"Kau pikir aku bodoh?" Evan berdiri dengan tenang. "Aku sengaja menggunakan Cermin Jiwa dalam alam pikiran untuk memantulkan kembali serangan mentalmu. Yang kau baca adalah ilusi yang kucipta, bukan pikiran asalku."

Lorenzo yang tersiksa kesakitan berusaha mencabut pisau yang menancap di lengannya, tapi tubuhnya yang gemuk dan rasa sakit yang mendera membuatnya kesulitan bergerak.

"Sekarang bersiaplah untuk mati!" Evan berjalan mendekat dengan mata robotik yang menyala merah.

"Boss, kami datang!" teriak suara dari luar ruangan.

Lima sosok besar mendobrak masuk ke ruangan dengan gerakan yang terkoordinasi. Mereka mengenakan pakaian tradisional dengan simbol harimau di dada.

Lorenzo tertawa meski masih kesakitan dengan pisau yang menancap di lengannya tembus hingga ke tembok. Darah terus mengalir membasahi jas ungunya. "Hari ini adalah kematianmu, Bocah sombong! Mereka adalah Lima Harimau dari Gunung Vandar yang mengabdi pada saudaraku, Oscar!"

Pemimpin kelima kultivator itu, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah persegi, maju dengan gagah. Matanya yang dingin menatap Evan dengan tatapan meremehkan.

"Kau sudah berani mengotori mansion dan menganiaya Bos Lorenzo," dengus Red dengan wajah merah padam. "Sekarang bersiaplah untuk mati!"

Red mundur beberapa langkah, mengisyaratkan ketiga saudaranya untuk maju terlebih dahulu. "Rock, Stone, Black, tunjukkan padanya siapa itu Lima Harimau Vandar!"

Evan menganalisis lawan-lawannya dengan Mata Naga. Data mulai muncul dalam visinya:

*Red - Kultivator tingkat ketiga atas. Spesialisasi: Tinju Api Penghancur Sukma. Kelemahan: Serangan terlalu fokus pada kekuatan, kurang fleksibel.*

*Black - Kultivator tingkat ketiga tengah. Spesialisasi: Perisai Harimau. Tubuh seperti baja hidup, hampir tidak bisa ditembus.*

*Stone - Kultivator tingkat ketiga tengah. Spesialisasi: Darah Harimau Penyerang. Berbahaya ketika terluka.*

*Rock - Kultivator tingkat ketiga bawah. Spesialisasi: Bayangan Harimau Pembunuh. Master penyerangan dari bayangan.*

*Green - Kultivator tingkat ketiga bawah. Spesialisasi: Harimau Halilintar Menyerang. Serangan tercepat di antara lima harimau.*

"Satu tingkat di atas kemampuanku yang baru mencapai tingkat kedua Sirkulasi Naga," Evan bergumam dalam hati sambil memposisikan diri siaga. "Dan mereka bergerak dalam formasi. Ini akan sangat sulit."

Sementara Elara Phoenix duduk dengan santai di atas kursi direktur, menonton pertarungan yang akan terjadi dengan mata berbinar penasaran.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   5. Lima Harimau Gunung Vandar

    Black maju pertama kali. Tubuhnya berubah berwarna keabu-abuan metalik, seperti ada besi hidup yang melapisi kulitnya. "Rasakan ini, Bocah!"Tinju keras mengarah ke wajah Evan. Sang Pendragon Junior menghindar dengan memiringkan kepala, tapi serangan kedua sudah menyusul. Siku Black menghantam rusuk kiri Evan dengan bunyi benturan logam."Argh!" Evan terpental beberapa meter, merasakan tulang rusuknya teramat ngilu."Hahaha!" Black tertawa puas. "Asal kau tahu, Tinju besi Harimau Vandar bukan main-main!"Rock muncul dari bayangan di belakang Evan seperti hantu. Pisau panjang di tangannya berkilat mengarah ke punggung. Evan berputar cepat, menangkis dengan lengan kiri. Ia meringis saat lengannya tergores hingga siku."Kau terlalu lambat seperti nenek-nenek!" Rock menyeringai sadis.Green melompat dari atas meja direktur, kaki kanannya menendang kepala Evan dengan kekuatan penuh. Evan terjatuh ke lantai marmer, mata berkunang-kunang. Kalau manusia biasa, mungkin kepalanya sudah pecah."

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   4. Musuh Pertama: Godfather Lorenzo

    Evan bergerak seperti bayangan maut menuju mansion utama. Penjaga-penjaga berjatuhan satu per satu tanpa sempat berteriak. Mata robotiknya merekam segalanya, Dr. Reema dan tim peneliti di VVIC menyaksikan dengan tegang.Alarm belum sempat berbunyi ketika Evan sudah mencapai lantai tiga. Dua orang berseragam hitam menghadangnya di koridor."Berhenti! Identitas apa...?"Evan bergerak sebelum mereka menyelesaikan kalimat. Tangan kanannya mencengkeram tenggorokan penjaga pertama, mengangkatnya hingga kaki tidak menyentuh lantai. Penjaga kedua mencoba mengeluarkan pistol, tapi Evan sudah menendang pergelangan tangannya hingga patah.KRAK!Leher penjaga pertama patah. Tubuhnya merosot lemas. Penjaga kedua yang tangannya patah mencoba berteriak, tapi Evan sudah membekap mulutnya dan memutar kepalanya dengan keras.Mereka tidak bertahan lama.Pintu ruang kerja Lorenzo berlapis besi menghadang di ujung koridor. Evan memasang bom plastik di engsel pintu. Ledakan kecil yang teredam membuat pintu

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   3. Elara Phoenix

    Di dalam dadanya, jantung naga mulai menggerogoti jantung manusianya seperti asam yang memakan logam. Setiap serabut otot jantung lama dicabik, diganti dengan serabut baru yang lebih kuat.Evan merasakan darahnya terbakar. Setiap tetes cairan dalam pembuluh darahnya digantikan dengan darah murni Naga Bumi Pendragon. Cairan emas bercampur merah mengalir deras, membersihkan setiap sel, setiap jaringan, dan setiap organ.Setiap detak jantung baru mengirimkan gelombang energi murni ke seluruh tubuhnya. Darahnya tidak lagi sekadar pembawa oksigen, kini menjadi konduktor energi yang memungkinkan kultivasi kekuatan pada level yang tak terbayangkan.Proses itu rasanya seperti berlangsung berjam-jam lamanya. Waktu kehilangan maknanya di tengah siksaan yang melampaui batas fisik dan mental.Ketika rasa sakit akhirnya mereda, Evan merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya masih hancur, tapi ada energi baru yang mengalir, kuat, murni, tak terbatas."Sekarang kau adalah keturunan sejati Naga Bumi P

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   2. Keturunan Naga Bumi Pendragon

    Sekarang terbungkus dalam kantong mayat, Evan mulai merasakan amarah yang lebih panas dari api neraka membakar jiwanya.*Aku tidak boleh mati. Tidak boleh!*Tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Aliran hangat menjalar dari tulang belakangnya, menyebar ke seluruh tubuh yang remuk. Bukan kehangatan biasa, ini seperti lava yang mengalir dalam pembuluh darahnya, seperti petir yang menyambar dari dalam.Tulang-tulang yang patah berderak. Otot-otot yang robek berkedut. Ada energi yang terbangun di dalam dirinya, energi yang selama ini tertidur, menunggu saat yang tepat untuk bangkit.Di kegelapan kantong mayat, dalam rasa sakit yang tak terperi, Evan Pendragon bersumpah, *Suatu hari semua orang yang menghancurkan hidupku akan merasakan penderitaan yang sama, tunggu saja!*Van hitam melaju menembus kegelapan malam, mesin dieselnya menderu pelan menyusuri jalan berliku menuju pegunungan utara Zantris. Sorot lampu depan membelah kabut tipis yang menggantung di lereng terjal.Mobil itu akhirnya

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   1. Antara Hidup dan Mati

    Bunyi kunci berderit keras menggema di lorong Blok E Penjara Inferium. Evan Pendragon terbangun dari tidurnya yang tak pernah nyenyak. Matanya yang bengkak bekas pukulan napi senior tadi siang melirik ke arah pintu sel yang terbuka lebar. Sosok tegap Eric berdiri di ambang pintu dengan seringai mengerikan."Bangun, Pembunuh Kecil!" Eric menggeram sambil memasuki sel sempit itu. "Malam ini malam terakhirmu."Evan mencoba mundur ke sudut sel, tapi kakinya yang gemetar tak mampu menahan tubuh kurusnya. Enam bulan hidup di neraka ini telah menggerogoti fisiknya hingga tulang. Kulit pucat dan memar kehitaman menutupi sekujur tubuhnya."Jangan sentuh aku! Aku tidak membunuh mereka."Eric tertawa keras. Tangannya yang kasar mencengkeram kerah baju penjara lusuh remaja yang baru berusia 17 tahun itu dan menyeretnya keluar dari sel."Cerita lama, Bocah. Siapa yang peduli meskipun itu benar?"Eric menyeret Evan menyusuri lorong penjara yang remang-remang dan sunyi. Napi-napi lain yang masih ter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status