Beranda / Urban / Dendam Membara Sang Dewa Perang / 5. Lima Harimau Gunung Vandar

Share

5. Lima Harimau Gunung Vandar

Penulis: Evita Maria
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-28 10:59:10

Black maju pertama kali. Tubuhnya berubah berwarna keabu-abuan metalik, seperti ada besi hidup yang melapisi kulitnya. "Rasakan ini, Bocah!"

Tinju keras mengarah ke wajah Evan. Sang Pendragon Junior menghindar dengan memiringkan kepala, tapi serangan kedua sudah menyusul. Siku Black menghantam rusuk kiri Evan dengan bunyi benturan logam.

"Argh!" Evan terpental beberapa meter, merasakan tulang rusuknya teramat ngilu.

"Hahaha!" Black tertawa puas. "Asal kau tahu, Tinju besi Harimau Vandar bukan main-main!"

Rock muncul dari bayangan di belakang Evan seperti hantu. Pisau panjang di tangannya berkilat mengarah ke punggung. Evan berputar cepat, menangkis dengan lengan kiri. Ia meringis saat lengannya tergores hingga siku.

"Kau terlalu lambat seperti nenek-nenek!" Rock menyeringai sadis.

Green melompat dari atas meja direktur, kaki kanannya menendang kepala Evan dengan kekuatan penuh. Evan terjatuh ke lantai marmer, mata berkunang-kunang. Kalau manusia biasa, mungkin kepalanya sudah pecah.

"Bangun, Bocah!" Green mengejek. "Pertunjukan baru dimulai!"

Ketiga kultivator itu mengeroyok Evan tanpa ampun. Black dengan tinju baja, Stone dengan serangan bayangan, dan Green dengan tendangan brutal. Setiap pukulan mengirimkan rasa sakit yang menusuk tulang.

"Kenapa tubuhmu sekeras ini?" Black tak habis pikir ketika tinjunya yang biasanya bisa menghancurkan batu hanya membuat Evan terlempar tanpa luka fatal.

"Dia bukan manusia biasa," Rock mendesis dan mengayunkan pisau. "Tapi tetap saja akan mati di tanganku!"

Evan terjatuh untuk kesekian kalinya, darah mengotori pakaiannya. Napasnya tersengal, mata robotiknya berkedip tidak stabil karena guncangan di kepala.

Red menggeleng dari kejauhan. "Dasar pemuda payah. Sangat mengecewakan untuk seseorang yang berani menantang Tuan Lorenzo."

Stone yang belum bergerak mulai kehilangan kesabaran. "Abang Red, biarkan aku ikut! Mereka bermain terlalu lama!"

"Belum perlu," Red melipat tangan di dada. "Tiga orang sudah cukup untuk menghabisi sampah ini."

Sementara itu, Elara Phoenix dengan diam-diam menghampiri Lorenzo yang berulang kali berusaha mencabut pisau yang masih menancap di pergelangan tangannya. Darah masih mengalir, membuat pria gemuk itu terlihat pucat dan lemah.

"Biarkan aku membantumu," Elara tersenyum manis sambil mencabut pisau dengan gerakan cepat.

"AAAAHHH!" Lorenzo menjerit kesakitan.

Sebelum dia sempat berterima kasih, bilah pisau sudah menempel di lehernya. Mata Elara berubah dingin seperti predator.

"List Serigala Hitam," Elara berbisik di telinga Lorenzo. "Di mana kau menyimpannya?"

"Apa?" Lorenzo tersentak. "Kau... kau siapa sebenarnya?"

Elara menekan pisau lebih dalam, menggores kulit leher hingga darah menetes. "Jangan buang waktuku! Aku tahu kau menyimpan daftar lengkap anggota organisasi itu."

"Tidak ada!" Lorenzo berbohong dengan suara gemetar. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!"

Elara menekan pisau hingga luka di leher semakin dalam. "Bohong. Saudaramu Oscar adalah salah satu pemimpin Serigala Hitam. Tentu saja kau punya backup data mereka."

"Kumohon..." Lorenzo mulai menangis karena kesakitan. "Jangan bunuh aku..."

"Kalau begitu katakan di mana!" Elara mendesis tajam.

Lorenzo menunjuk ke sebuah lukisan besar di dinding sebelah kanan dengan tangan gemetar. "Di... di balik lukisan itu. Ada brankas rahasia."

"Bagus," Elara menarik kerah belakang Lorenzo dan menyeretnya ke arah lukisan. "Buka!"

Kembali ke medan pertarungan, Evan terbaring di lantai dengan tubuh penuh luka. Black, Green, dan Rock berdiri di sekelilingnya dengan wajah puas.

"Sudah selesai?" Black menendang rusuk Evan. "Terlalu mudah."

"Harusnya kita main-main lebih lama," Green menyesal. "Jarang ada mainan yang tubuhnya sekeras ini."

"Ayo kita sudahi!" Rock mengangkat pisau. "Abang Red sudah menunggu terlalu lama."

Tapi dalam tubuh Evan yang tergeletak, sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Setiap pukulan, setiap tendangan, setiap siksaan justru memompa aliran darah dan jantung naganya dengan intensitas tinggi. 

Energi Naga Bumi Pendragon berputar semakin cepat dalam pembuluh darahnya. Sirkulasi yang sebelumnya tingkat kedua mulai berubah, molekul energi bertransformasi ke level yang lebih tinggi, tingkat tiga.

"Hei, kenapa dia tidak mati-mati?" Green bingung melihat Evan masih bernapas meski telah dihajar habis-habisan.

"Mungkin dia seperti kucing," Black tertawa. "Memiliki sembilan nyawa."

Rock mengangkat pisau tinggi-tinggi, "Sekali tusuk di jantung pasti langsung beres!"

Pisau meluncur ke arah dada Evan. Tapi dalam detik terakhir, mata Evan terbuka. Bukan lagi mata manusia biasa. Mata Naga yang berpendar emas dengan intensitas mengerikan.

"Apa...?" Rock membeku di tempat.

Tangan Evan bergerak secepat kilat, menangkap pergelangan tangan Rock dan memutarnya hingga tulangnya patah dan lengannya berubah posisi dengan bunyi KRAK yang mengerikan.

"AAAHHH!" Rock menjerit histeris.

Evan bangkit berdiri dengan sekali lompatan. Auranya telah berubah total. Energi Naga tingkat ketiga memancar dari seluruh tubuhnya, membuat udara di ruangan terasa berat dan mencekam.

"Apa yang terjadi?" Black syok dan refleks mundur beberapa langkah. "Bagaimana bisa...."

"Sepertinya dia mengalami peningkatan energi secara drastis!" Green mengenali level kultivasi Evan. "Anehnya mengapa di tengah pertarungan?"

Evan memutar leher Rock hingga patah, tubuh kultivator itu pun roboh. "Sekarang giliran kalian merasakan siksaan yang sesungguhnya."

Black melancarkan tinjunya yang dilapisi energi baja. "Jangan sombong! Aku masih bisa menghancurkanmu!"

Tinju baja mengarah ke wajah Evan. Tapi Evan menangkapnya dengan satu tangan, lalu meremas hingga seluruh tangan Black hancur seperti kertas yang diremas.

Black berteriak ngeri menyaksikan lengannya lunglai ke bawah.

Evan melanjutkan dengan uppercut yang menghantam dagu Black. Kekuatan pukulan itu begitu dahsyat hingga membuat kultivator konon bertubuh baja itu terbang menabrak dinding dan tidak bangun lagi.

Green melihat kedua rekannya tumbang, mulai panik dan meminta bantuan. "Abang Red! Stone! Bantu aku!"

Tapi sebelum kedua rekannya bergerak, Evan sudah berada di hadapan Green. Kecepatan geraknya bahkan tak mampu dideteksi sang Kultivator dari Gunung Vandar.

"Kemampuan Darah Harimau tidak berguna…," Evan mencengkeram tenggorokan Green. "... jika lawanmu sudah melampaui level yang bisa kau tangani."

Evan mengangkat Green tinggi-tinggi, lalu membantingnya ke lantai marmer hingga retak. Sekali... dua kali... tiga kali...

Hingga Green tidak bergerak lagi, tulang leher dan punggungnya hancur.

Red dan Stone yang menyaksikan kematian ketiga rekan mereka hanya bisa menelan ludah. Keringat dingin mengalir di punggung keduanya.

"Siapa sebenarnya bocah ini?" Stone bergumam ketakutan. “Dia seperti monster pembunuh daripada tentara biasa.”

"Kekuatannya tadi di bawah kita," Red menganalisis dengan mata menyipit. "Tapi tiba-tiba saja naik pesat setelah dihajar sampai setengah mati. Ada sesuatu yang berbeda dari energinya."

Evan berbalik menghadapi dua kultivator terakhir. Mata Naganya berpendar dengan intensitas yang membuat mereka berdua mundur tanpa sadar.

"Sekarang saatnya kalian berdua merasakan apa yang dilakukan rekan-rekan kalian padaku," Evan tersenyum dingin. "Tapi aku tidak akan semurahan mereka. Kalian akan mati perlahan."

Stone yang terkenal sebagai yang tercepat mencoba kabur menuju jendela. Tapi Evan bergerak lebih cepat, menangkap pergelangan kakinya dan menarik kembali.

"Mau lari?" Evan menyeret Stone kembali ke tengah ruangan. "Permainan baru saja dimulai!"

Evan mematahkan kaki kiri. Tulang berderak, kultivator itu menjerit kesakitan. Ia jatuh ke lantai dan mengerang kesakitan.

"Sekarang coba lari lagi!" Evan mengejek.

Red maju dengan semua kekuatannya. Api kultivasi membakar kedua tangannya, suhu ruangan naik drastis. "Tinju Api Penghancur Sukma!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   5. Lima Harimau Gunung Vandar

    Black maju pertama kali. Tubuhnya berubah berwarna keabu-abuan metalik, seperti ada besi hidup yang melapisi kulitnya. "Rasakan ini, Bocah!"Tinju keras mengarah ke wajah Evan. Sang Pendragon Junior menghindar dengan memiringkan kepala, tapi serangan kedua sudah menyusul. Siku Black menghantam rusuk kiri Evan dengan bunyi benturan logam."Argh!" Evan terpental beberapa meter, merasakan tulang rusuknya teramat ngilu."Hahaha!" Black tertawa puas. "Asal kau tahu, Tinju besi Harimau Vandar bukan main-main!"Rock muncul dari bayangan di belakang Evan seperti hantu. Pisau panjang di tangannya berkilat mengarah ke punggung. Evan berputar cepat, menangkis dengan lengan kiri. Ia meringis saat lengannya tergores hingga siku."Kau terlalu lambat seperti nenek-nenek!" Rock menyeringai sadis.Green melompat dari atas meja direktur, kaki kanannya menendang kepala Evan dengan kekuatan penuh. Evan terjatuh ke lantai marmer, mata berkunang-kunang. Kalau manusia biasa, mungkin kepalanya sudah pecah."

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   4. Musuh Pertama: Godfather Lorenzo

    Evan bergerak seperti bayangan maut menuju mansion utama. Penjaga-penjaga berjatuhan satu per satu tanpa sempat berteriak. Mata robotiknya merekam segalanya, Dr. Reema dan tim peneliti di VVIC menyaksikan dengan tegang.Alarm belum sempat berbunyi ketika Evan sudah mencapai lantai tiga. Dua orang berseragam hitam menghadangnya di koridor."Berhenti! Identitas apa...?"Evan bergerak sebelum mereka menyelesaikan kalimat. Tangan kanannya mencengkeram tenggorokan penjaga pertama, mengangkatnya hingga kaki tidak menyentuh lantai. Penjaga kedua mencoba mengeluarkan pistol, tapi Evan sudah menendang pergelangan tangannya hingga patah.KRAK!Leher penjaga pertama patah. Tubuhnya merosot lemas. Penjaga kedua yang tangannya patah mencoba berteriak, tapi Evan sudah membekap mulutnya dan memutar kepalanya dengan keras.Mereka tidak bertahan lama.Pintu ruang kerja Lorenzo berlapis besi menghadang di ujung koridor. Evan memasang bom plastik di engsel pintu. Ledakan kecil yang teredam membuat pintu

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   3. Elara Phoenix

    Di dalam dadanya, jantung naga mulai menggerogoti jantung manusianya seperti asam yang memakan logam. Setiap serabut otot jantung lama dicabik, diganti dengan serabut baru yang lebih kuat.Evan merasakan darahnya terbakar. Setiap tetes cairan dalam pembuluh darahnya digantikan dengan darah murni Naga Bumi Pendragon. Cairan emas bercampur merah mengalir deras, membersihkan setiap sel, setiap jaringan, dan setiap organ.Setiap detak jantung baru mengirimkan gelombang energi murni ke seluruh tubuhnya. Darahnya tidak lagi sekadar pembawa oksigen, kini menjadi konduktor energi yang memungkinkan kultivasi kekuatan pada level yang tak terbayangkan.Proses itu rasanya seperti berlangsung berjam-jam lamanya. Waktu kehilangan maknanya di tengah siksaan yang melampaui batas fisik dan mental.Ketika rasa sakit akhirnya mereda, Evan merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya masih hancur, tapi ada energi baru yang mengalir, kuat, murni, tak terbatas."Sekarang kau adalah keturunan sejati Naga Bumi P

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   2. Keturunan Naga Bumi Pendragon

    Sekarang terbungkus dalam kantong mayat, Evan mulai merasakan amarah yang lebih panas dari api neraka membakar jiwanya.*Aku tidak boleh mati. Tidak boleh!*Tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Aliran hangat menjalar dari tulang belakangnya, menyebar ke seluruh tubuh yang remuk. Bukan kehangatan biasa, ini seperti lava yang mengalir dalam pembuluh darahnya, seperti petir yang menyambar dari dalam.Tulang-tulang yang patah berderak. Otot-otot yang robek berkedut. Ada energi yang terbangun di dalam dirinya, energi yang selama ini tertidur, menunggu saat yang tepat untuk bangkit.Di kegelapan kantong mayat, dalam rasa sakit yang tak terperi, Evan Pendragon bersumpah, *Suatu hari semua orang yang menghancurkan hidupku akan merasakan penderitaan yang sama, tunggu saja!*Van hitam melaju menembus kegelapan malam, mesin dieselnya menderu pelan menyusuri jalan berliku menuju pegunungan utara Zantris. Sorot lampu depan membelah kabut tipis yang menggantung di lereng terjal.Mobil itu akhirnya

  • Dendam Membara Sang Dewa Perang   1. Antara Hidup dan Mati

    Bunyi kunci berderit keras menggema di lorong Blok E Penjara Inferium. Evan Pendragon terbangun dari tidurnya yang tak pernah nyenyak. Matanya yang bengkak bekas pukulan napi senior tadi siang melirik ke arah pintu sel yang terbuka lebar. Sosok tegap Eric berdiri di ambang pintu dengan seringai mengerikan."Bangun, Pembunuh Kecil!" Eric menggeram sambil memasuki sel sempit itu. "Malam ini malam terakhirmu."Evan mencoba mundur ke sudut sel, tapi kakinya yang gemetar tak mampu menahan tubuh kurusnya. Enam bulan hidup di neraka ini telah menggerogoti fisiknya hingga tulang. Kulit pucat dan memar kehitaman menutupi sekujur tubuhnya."Jangan sentuh aku! Aku tidak membunuh mereka."Eric tertawa keras. Tangannya yang kasar mencengkeram kerah baju penjara lusuh remaja yang baru berusia 17 tahun itu dan menyeretnya keluar dari sel."Cerita lama, Bocah. Siapa yang peduli meskipun itu benar?"Eric menyeret Evan menyusuri lorong penjara yang remang-remang dan sunyi. Napi-napi lain yang masih ter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status