"Berikan aku ragamu, maka akan aku kabulkan segala keinginanmu, Rengganis.” Suara melantun itu membuat wanita berparas rupawan yang dipanggil Rengganis, menengadah dari posisi bersimpuh, menatap sosok wanita setengah tembus pandang yang melayang di hadapannya dengan kabut tebal menyelimuti tubuh wanita itu.
Manik hitam segelap malam milik Rengganis terlihat basah, memancarkan kesedihan yang begitu dalam. Debu dan kotoran tebal menghiasi wajahnya, menunjukkan betapa tersiksa dan terabaikan dirinya untuk waktu yang cukup lama.
Melihat keterpurukan Rengganis, wanita itu menyeringai, kakinya turun menapak tanah. “Aku bisa membantumu membalaskan dendam, entah kepada jalang bernama Madhavi … ataupun bajingan yang kau panggil Kakang Prabu Abra itu.”
Rengganis mengepalkan tangan, membayangkan wajah kedua orang yang membuat hidupnya terasa bak neraka. Namun, melihat kabut hitam yang menyelimuti wanita di hadapannya, Rengganis merasa bahwa menyetujui mungkin saja bukan keputusan baik.
“Aku tak percaya padamu,” balas Rengganis dengan pandangan waspada, dia mengepalkan tangan menahan tubuh bergetarnya.
Jari-jari lentik wanita tersebut mengangkat dagu Rengganis, memaksa untuk menatap dalam-dalam manik merah miliknya bak menghipnotis. “Tidakkah kau teringat bagaimana kepala ibumu itu terpisah dari lehernya untuk melindungimu?” ujar sang wanita dengan nada suram seraya mengibaskan selendang merah saat membalikkan tubuh. “Bagaimana suamimu, Gusti Prabu Abra, memenggalnya tanpa belas kasihan setelah semua kebaikan yang kalian curahkan padanya?”
‘Tidak!’ teriak Rengganis dalam hatinya, membayangkan jelas kematian sang ibunda dalam benaknya. Bagaimana Abra mengayunkan pedang, menyayat kulit dan mematahkan tulang. Bau anyir darah menguar di udara masih teringat jelas membuat Rengganis mual dan marah.
Tawa wanita di hadapan Rengganis menggema. “Kau lemah, tapi aku bisa mengubah hal itu,” ujarnya dengan sebuah senyum menggoda terlukis di bibir. “Raih uluran tanganku, akan aku ajarkan ilmu milikku juga ajian Jaran Goyang padamu. Balas rasa sakit hati, berikan hukuman setimpal untuk para pengkhianat," tekan wanita berselendang merah itu.
Rengganis menggertakkan gigi dan mengepalkan tangannya. Ucapan wanita itu membakar tekad yang sudah bulat, "Hukuman yang pantas untuk pengkhianat adalah kematian!" cebik Rengganis seraya meraih uluran tangan wanita tersebut.
*KarRa*
Beberapa waktu yang telah lalu.
Terjadi kegaduhan di kerajaan Baskara, suara teriakan orang-orang terdengar ricuh di depan istana permaisuri. Beberapa orang yang berada di dalam istana ketakutan bukan main. Seorang wanita cantik tengah duduk di ranjang berlapis emas, tubuhnya gemetaran dalam pelukan sang bunda.
“Kanjeng Ibu Leena, Gusti Prabu Abra sudah berada di depan pintu,” seorang wanita bertubuh gempal lari tergopoh masuk kamar.
Wanita yang dipanggil 'Kanjeng Ibu' tersebut menoleh ke arah dayang lalu menatap putrinya. “Aku yakin ini sebuah konspirasi,” geram Leena. “Apa Senapati Khandra belum pulang dari berperang?” tanyanya.
“Belum Kanjeng Ibu,” jawab seorang dayang bertubuh gempal. Leena menggunakan gerakan mata agar wanita tersebut mendekat.
“Mbok Berek," bisiknya. "Aku takut kita tersudut, suruh seseorang menyusup dalam diam keluar dan haturkan ini kepada Senapati Khandra!” titahnya berbisik. Kanjeng Ibu Leena menyelipkan secarik kain yang tergulung.
“Baik Kanjeng Ibu,” jawab Mbok Berek gelagapan. Jantung terpompa lebih cepat, tidak ada hal menakutkan dari hari ini. Wanita itu menyembunyikan kain tersebut di balik jarik yang dikenakan.
“Jangan sampai ketahuan, berhati-hatilah!” Kanjeng Ibu Leena memperingatkan.
Mbok Berek paham benar, dia pun khawatir akan tuduhan tidak berdasar di mana antek-antek selir Madhavi begitu keji memfitnah permaisuri Rengganis membunuh calon penerus dengan menaruh racun di dalam minuman yang disajikan beberapa saat lalu saat acara minum teh di Istana Permaisuri. Wanita gempal tersebut pun menyelinap keluar.
“Bangkit Permaisuri Rengganis! Tidak pantas kau ketakutan seperti ini. Tegakkan tubuhmu, tunjukkan harga diri sebagai calon ratu masa depan kerajaan Baskara!” lontar wanita paruh baya yang mengenakan kebaya warna merah dengan rambut disanggul.
Wanita ayu dipanggil Rengganis tersebut bangkit berdiri, menekan ketakutan pada dirinya, dia menggenggam erat selendang sutra warna putih yang menyelempang di pundak ke lengan yang putih bersih.
“Geledah istana Permaisuri Rengganis!” teriak seorang lelaki.
Brak! Pintu istana permaisuri didobrak, seorang lelaki yang mengenakan mahkota yang melambangkan kekuasaan diiringi gerombolan prajurit masuk ke dalam. Para prajurit tanpa permisi melenggang mengobrak-abrik ruangan. Melaksanakan titah dari penguasa kerajaan Baskara yang baru beberapa bulan lalu diangkat menjadi raja.
“Sungguh sopan sekali Prabu Abra, menyuruh orang mengobrak-abrik Istana Permaisuri!” sindir Kanjeng Ibu Leena.
“Mohon Kanjeng Ibu tidak salah dalam beranggapan, saya sedang menjalankan tugas sebagai raja untuk menangkap penjahat yang sudah melenyapkan calon penerus,” kata lelaki itu lantang.
“Jadi kau menganggap putriku yang berambisi melenyapkan bayi dalam kandungan Selir Madhavi? Sungguh buta sekali matamu!” ejek wanita tersebut.
Raja Abra mengepalkan tangan marah, ingin sekali dia menampar wanita tua tersebut. namun, dia urungkan mengingat banyak mata memandang. Raja Abra menatap nyalang wanita yang berdiri di samping Kanjeng Ibu Leena. Tatapan jijik dan ambisi membunuh sangat kental, siapa melihat pun tahu akan hal tersebut.
‘Wanita iblis, tidak pantas menjadi ratu!’ umpat Raja Abra dalam benak.
“Gusti Prabu kami menemukannya!” teriak salah seorang. Beberapa orang berlari dari dalam ruangan menuju depan, “Kami menemukan ini,” ujar salah seorang prajurit menyerahkan sebuah benda kecil tempat obat, seperti tempat arak namun lebih kecil, terbuat dari bahan terakota, bergelembung pada bagian tengah dan satu ujung berlubang kecil, mengerucut.
“Kami juga membawa perkakas tempat jamuan tadi untuk diamankan Gusti Prabu,” kata seorang prajurit lagi. Permaisuri Rengganis dan sang ibu saling pandang, bingung.
Raja Abra menarik kayu kecil yang menutup benda tersebut, dia mendekatkan tempat obat itu pada hidung. Keningnya berkerut, lelaki tersebut kemudian menyerahkan pada seorang lelaki tua berjubah hitam, dengan tubuh membungkuk.
“Periksa ini, tabib istana!”
Lelaki tua berbungkuk membolak-balik sebentar lalu mencium aroma, menutup mata sejenak, meresapi. Wajahnya pias, memandang Permaisuri Rengganis juga Kanjeng Ibu Leena. “Mohon ampun, ini racun ular, Gusti Prabu.” Suara lelaki tua terdengar serak.
Raja Abra tersenyum, tatapan berubah gahar seketika, “Seret Permaisuri ke Istana Dingin!” perintahnya.
“Abra, kau gila, tidakkah kau selidiki lebih lanjut hal ini?” teriak Kanjeng Ibu Leena.
“Bukti apa lagi Kanjeng Ibu, semua ini sudah berada di tangan kami. Satu hal lagi, semua orang juga tahu jika Permaisuri Rengganis tidak suka dengan Selir Madhavi, banyak yang melihat Permaisuri bertindak tidak baik terhadapnya.” Suara Raja Abra semakin emosi. “Seret Permaisuri sekarang!” teriak Raja Abra memberi perintah sekali lagi.
“Jangan berani menyentuh putriku!” Kanjeng Ibu Leena berteriak.
Para penjaga dan prajurit kebingungan saling pandang, kerajaan Baskara milik keluarga Permaisuri Rengganis, sebagian pengikut masih mendukung Permaisuri, sebagian lagi dimonopoli dan beralih mendukung Raja Abra.
“Sungguh kau anj*ng yang lupa pada asal-usulmu, Abra!” pekik kanjeng Ibu Leena tanpa takut, wajah Raja Abra memerah seketika. “Kau menggigit Tuanmu yang memberi rumah,” lanjutnya lagi.
Bersambung….
@lovely_karraTuduhan Kanjeng Ibu Leena akan Raja Abra tidaklah salah, yah, umpatan tersebut benar adanya. Kerajaan Baskara belum lama ini dipimpin Raja Arkha ---suami Leena--- Baginda Raja Arkha mangkat beberapa waktu lalu karena sakit. Rengganis sebelumnya telah bertunangan dengan Abra ---pangeran ke-dua dari Kerajaan Bamantara--- pernikahan dipercepat atas usul sesepuh-pinisepuh kerajaan Baskara, mengingat posisi kosong pada tahta kerajaan akan menjadi peluang besar kerajaan lain menyerang. Buktinya, perang besar di perbatasan juga tengah terjadi, beruntung ada Senapati Khandra, pemuda gagah dengan taktik perang terbaik, mengerahkan prajurit di bawah kuasanya untuk menjaga, dan melawan musuh. “Nenek peot!” tekan Raja Abra menatap mertuanya dengan tatapan menguliti. “Putrimu telah bersalah, jika kau masih membelanya, maka aku tidak segan untuk menghabisi nyawamu juga!” dengkus mengacungkan jari ke wajah sang mertua. Kanjeng Ibu Lenna terbahak, “Coba saja kalau kau mampu!” tantang
Istana Dingin, mercusuar di tempat paling ujung kerajaan Baskara, bangunan tidak terawat, banyak sarang laba-laba dan juga tikus berkeliaran. Bau busuk menguar, membuat beberapa prajurit tidak tahan. Istana dingin kerajaan Baskara layaknya penjara anggota kerajaan yang bersalah, sebelum menerima hukuman atas kejahatan yang diperbuat. Mereka akan ditempatkan di istana dingin menunggu peradilan. Permaisuri Rengganis tergeletak di sebuah dipan kayu. Mata sembab itu mulai terbuka perlahan. Dia melonjak terkejut mendapati diri dalam keadaan mengkhawatirkan. Permaisuri Rengganis menangis sesengukan, meratap. Kehilangan ibu tercinta di depan mata, dengan cara begitu tragis. Raja Abra beringas, tanpa ampun menebas leher sang ibu. Permaisuri Rengganis mendadak mengurut leher sendiri. Mendadak terasa kelu, tercekat, bahkan sulit bernapas. Darah berceceran nampak jelas ketika raja Abra menjambak dan mengakat kepala sang bunda ke udara. "Gantung kepala wanita pemberontak ini di a
Tubuh Rengganis bergetar hebat, keringat dingin mengucur di pelipis. Dia meringkuk ketakutan melihat sumbu yang menyimpul lantai kayu terkoyak. Rengganis menutup mulut, terisak, dia tetap waspada. Sekonyong-konyong terlihat kilatan, gerakan cepat seseorang melompat dari lantai kayu yang terbuka ke atas. Sosok lelaki gagah bertubuh tinggi, berdiri di dekat dipan. Menatap tanpa ekspresi Rengganis yang masih terbengong. Lelaki itu masih mengenakan baju zirah, tubuhnya penuh bercak darah, bahkan di bagian rambut ke wajah bagian kiri bau amis tercium. Namun, Rengganis abai, seolah tampang sangar dan juga penampilan mengerikan lelaki itu tidak membuat takut. Justru Rengganis bernapas lega, dia mengulas senyum. Secara tidak sadar air mata meleleh di pipinya yang kotor terkena debu. "Senapati, Senapati Khandra," panggil Rengganis. Tatapan keduanya berserobok, lelaki gagah itu meletakkan jari telunjuk di mulut, sebagai tanda agar berdiam. "Permaisuri Rengganis, Anda baik-
"Tidak!" Rengganis berteriak lantang, wanita itu membuka mata. Didapati suasana samar dalam gelap dalam pantulan obor. Mbok Berek menatap majikannya dengan seksama. Rengganis memejamkan mata sebentar, menetralkan jantung yang bergemuruh. "Kamu mimpi buruk, Nduk?" Mbok Berek membantu Rengganis beringsut duduk. Wanita ayu menatap ke sekeliling, baru sadar mereka berada di sebuah gua. Saat ini dirinya berada di atas bebatuan, punggung terasa sakit, tidak pernah Rengganis, selama ini dia tidur di tempat yang nyaman dan empuk. Dia melongok keluar gelap, ah hari sudah malam rupanya, begitu pikir Rengganis. "Minumlah!" kata wanita tua tersebut menyerahkan tempat minum dari bambu untuk Rengganis. Wanita itu meneguk hingga tandas. "Aku mendengar Permaisuri berteriak." Khandra muncul dari luar dengan membawa kayu bakar. "Ah, tidak ada apa-apa, Permaisuri hanya mimpi buruk," terang Mbok Berek. Apa yang kau bawa Khandra?" tanyanya. Lelaki tersebu
Rengganis mengganti pakaian dengan lebih sederhana. Selipat kain batik melilit tubuh serta selendang warna hitam menutup bagian atas. Semua aksesoris dilepas termasuk mahkota. Agar tidak ada yang curiga saat melewati pedesaan. Semua dirancang sedemikian rupa oleh Mbok Berek. Berjalan menyusuri sungai, melewati semak belukar tidak terasa matahari sudah berdiri di atas kepala. Rengganis menelan saliva menahan haus dan lapar yang tertahan, sejak pagi mereka belum makan apa pun, jalan mulai sempoyongan. Rengganis menatap ke arah atas langit cerah, burung berterbangan riang, nyiur melambai-lambai tertiup angin. Wanita itu meneguk air dari bumbung bambu. “Apa masih jauh, Mbok?” tanya Rengganis. Mbok Berek menggeleng kepala, “Tidak, Nduk di depan sana ada jalan setapak, kita memasuki perkampungan. Singgah sebentar ke pasar dan kedai makan,” jawab Mbok Berek, “ingat, kita sedang berperan sebagai keluarga pura-pura. Kalian jangan keceplosan memanggil dia Permaisuri.”
Mbok Berek menarik Rengganis untuk segera meninggalkan pedesaan, tidak aman berada terlalu lama di sana. Mereka kembali masuk ke dalam hutan, kemudian berhenti di sebuah gua. Rengganis menelengkan kepala, lagi-lagi dia menemui gua. Ksatria yang menghantar Rengganis bersiul tiga kali. Rengganis seperti melihat bayangan hitam lewat di hadapan. Dia menelan saliva saat seorang lelaki berdiri di belakangnya. “Mohon ampun Permaisuri, kami hanya takut ada penyusup,” kata seorang lelaki asing. Rengganis menoleh ke belakang, melihat sosok pemuda tampan bertubuh tinggi membungkukkan badan dengan posisi berjongkok. “Apa yang kau lakukan, siapa kau?” Rengganis membungkuk. Pemuda tadi mendongakkan kepala. “Saya Kayana, salah satu prajurit pilihan mendiang Raja Arkha,” ucapnya tersenyum genit. “Amboi, cantiknya,” katanya lagi. Bletak! “Dasar tidak sopan!” Mbok Berek memukul kepala pemuda bernama kayana itu. “Aw, sakit Mbok!” pekik Kayana mengelus kepala nyengir. “
Tubuh Rengganis bergetar melihat sosok wanita cantik terlihat tidak asing baginya. Pernah ditemui di dalam mimpi mengerikan. Sosok wanita setengah ular terapi. Jantung berdegup kencang seperti hendak loncat keluar, tubuhnya menggigil bersamaan keringat dingin mengucur di pelipis. Rengganis menahan sekuat tenaga agar tidak luruh, dia mengepalkan tangan, menggenggam selendang yang dikenakan. Asap putih mengepul mengelilingi tubuh wanita itu perlahan memudar, lenyap. Kini dia berdiri berhadapan dengannya. Mata Rengganis melebar, "Nyi Gendeng Sukmo," lirihnya. Dalam hati merasa lega tak diperlihatkan tubuh setengah ular Nyi Gendeng Sukmo. Kesadaran perlahan menghampiri, berhasil berdiam, tenang. "Bagaimana keadaan dirimu, Cah Ayu." Suara Nyi Gendeng datar, wajahnya menatap tanpa ekspresi. "Syukurlah kau tidak tersesat menuju kemari," kata Nyi Gendeng raut berubah sekejap, tersenyum ramah. Rengganis tidak menjawab, dia mengedarkan pandang ke segala penjuru. Mengi
Mengingat beberapa waktu silam, Nyi Gendeng Sukmo begitu berambisi pada keinginan untuk tetap awet muda dan memiliki kekuatan abadi tiada tanding. Semua berawal dari pertemuan dirinya pada sosok siluman ular api bernama Sawer Geni. Kecantikan Nyi Gendeng Sukmo mampu memikat lelaki dari bangsa manusia maupun siluman. Termasuk Sawer Geni yang tidak sengaja melihat tubuh menggoda Nyi Gendeng yang sedang berendam di danau, dekat air terjun Sidangkrong tempat dirinya tinggal. Kedatangan Sawer Geni, ular besar berbalut api di sekujur tubuhnya tidak membuat Nyi Gendeng Sukmo takut. Melihat siluman dan hal janggal semenjak menjadi murid Empu Jagat Trengginas adalah hal biasa. Wanita itu masih tetap mandi dengan santai, menghiraukan Sawer Geni menyaksikan dari pinggir danau. Kejadian berulang hingga beberapa hari kemudian, Nyi Gendeng yang awalnya diam, melompat dari bawah air mengibaskan tangan, menutup tubuh telanjang dengan gumpalan air yang ikut naik seiring tarian tangan yang di