Tuduhan Kanjeng Ibu Leena akan Raja Abra tidaklah salah, yah, umpatan tersebut benar adanya. Kerajaan Baskara belum lama ini dipimpin Raja Arkha ---suami Leena--- Baginda Raja Arkha mangkat beberapa waktu lalu karena sakit. Rengganis sebelumnya telah bertunangan dengan Abra ---pangeran ke-dua dari Kerajaan Bamantara--- pernikahan dipercepat atas usul sesepuh-pinisepuh kerajaan Baskara, mengingat posisi kosong pada tahta kerajaan akan menjadi peluang besar kerajaan lain menyerang. Buktinya, perang besar di perbatasan juga tengah terjadi, beruntung ada Senapati Khandra, pemuda gagah dengan taktik perang terbaik, mengerahkan prajurit di bawah kuasanya untuk menjaga, dan melawan musuh.
“Nenek peot!” tekan Raja Abra menatap mertuanya dengan tatapan menguliti. “Putrimu telah bersalah, jika kau masih membelanya, maka aku tidak segan untuk menghabisi nyawamu juga!” dengkus mengacungkan jari ke wajah sang mertua.
Kanjeng Ibu Lenna terbahak, “Coba saja kalau kau mampu!” tantang Kanjeng Ibu Leena menarik pedang dari salah seorang prajurit, bergerak mengayunkan ke arah Raja Abra. “Serang!” teriaknya. Wanita yang sudah tidak muda, seorang mantan ksatria wanita, menggunakan pedang untuk merobek jarik yang melilit pada bagian bawah, untuk mempertahankan bergerak. Tatapan lembut berubah waspada, awas dengan keadaan sekitar, membaca situasi mana kawan dan lawan.
Wush! Trang! Suara pedang beradu, membabi buta di beberapa sudut. Beriringan suara daging terkoyak dan teriakan kematian dari beberapa sudut istana. Suasana mencekam dalam sepersekian detik. Berada di tengah formasi perlindungan pengawalnya, Rengganis menatap khawatir ke arah sang ibunda dan suaminya. Bau darah yang tercium membuatnya mual dan takut.
Raja Abra mundur beberapa langkah menghindari serangan Kanjeng Ibu. “Kurang ajar, aku tidak akan segan menghabisi dirimu Nenek Tua!” umpatnya, tidak ada lagi kesopanan sebagai menantu, Raja Abra dibutakan amarah.
Sang raja benar-benar murka. Pertempuran sengit terjadi di aula istana permaisuri, beberapa pengawal yang mengikuti Permaisuri Rengganis membentuk formasi melindungi tuan mereka. Wanita berkulit putih ayu menatap cemas ke arah sang ibu dan juga suaminya. Bau darah menguar tercium, beberapa prajurit bergelimpangan dengan luka menganga lebar.
“Argh!” Permaisuri Rengganis berteriak saat seorang mayat lelaki jatuh tersungkur di samping dia berdiri.
“Rengganis!” teriak Kanjeng Ibu Leena kehilangan fokus, dia menoleh ke arah putrinya.
Kesempatan bagi Raja Abra dengan cepat menghunuskan pedang ke arah dada wanita itu. Crash! Raja Abra tertawa, “Mampus kau sialan!”
“Kanjeng Ibu!” teriak Ratu Rengganis melihat sang ibu celaka.
Wanita tua itu dan Rengganis saling pandang. Kanjeng Ibu Leena muntah darah bersamaan Raja Abra menarik paksa pedang. Kurang puas, Raja Abra mengayunkan pedang kembali untuk menghunus tubuh yang terhuyung. Tidak tinggal diam, Kanjeng Ibu Leena membalikkan badan, menangkis menggunakan pedangnya. Krit! Suara pedang bergesekan, satu ayunan ke atas kanjeng Ibu berhasil membuat pedang raja terlempar, dengan sisa kekuatan dia mengayunkan kembali pedang ke arah dada menantunya.
“Argh!” raung Raja Abra, serangan Kanjeng Ibu Leena berhasil mengenai perut, darah mengucur deras, hampir saja luka itu bertambah parah jika saja tidak terhalang perhiasan emas yang melilit bagian tubuh Raja Abra.
Lelaki tersebut meraih kembali pedang yang terjatuh, melihat wanita di hadapan sudah tidak berdaya, terkapar bersimbah darah.
“Kakang Prabu, tidak!” jerit Rengganis melihat suaminya kembali mengayunkan pedang.
Raja Abra tidak mendengar teriakan permaisurinya, amarah mengukung, lelaki tersebut menebas leher wanita yang sudah terbujur itu. Tubuh Rengganis luruh tanpa daya, pemandangan miris kepala ibunya terpisah dari tubuh, darah berceceran, tidak kuat menahan gejolak. Tubuh menggigil melihat ke arah kepala sang ibu yang menggelinding di lantai.
Abra memasang sebuah senyuman keji penuh kemenangan. ‘Menyingkirkan Leena berarti kekuasaan Baskara sekarang berada di tanganku!'
Abra melangkah dengan sombong menghampiri Rengganis yang terduduk lemah di lantai, menempelkan sisi tajam pedangnya di leher sang permaisuri, sengaja membiarkan kulit putih wanita ayu itu tergores pedang. Namun, keterkejutan yang menyelimuti istrinya itu begitu dalam, sampai-sampai dia hanya terdiam membeku bak raga tanpa nyawa. Tidak peduli akan pipinya yang berdarah. Kesal karena ekspresi ketakutan Rengganis tak mampu dia lihat, Abra menggertakkan gigi dan melayangkan sebuah tamparan kencang di wajah Rengganis, membuat wanita itu kehilangan kesadarannya seketika.
“Jalang!” makinya, meluapkan amarah dalam hati.
*KarRa*
Tanpa ada yang menyadari, di luar istana permaisuri. Sesosok bayangan hitam mengawasi dari balik semak samping istana. Tawa wanita terdengar lirih, “Sungguh pemandangan yang indah, bukan,” katanya.
Bersambung….
@lovely_karra
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca