Alhamdulillah ya guys, Jaran Goyang Ratu Rengganis selesai. Terharu sangat đ„° novel ke-3 yang author selesaikan di GoodNovel. Mohon doanya agar author senantiasa menyajikan novel-novel yang nyaman dan kalian gemari untuk baca. Terima kasih to all D'lovely KarRa, sudah mengikuti perjalanan Rengganis dari nol đ Jangan lupa baca novel Author KarRa selanjutnya ya đ
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa âAwalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. âMaaf,â pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. âKau baik-baik saja, Sayang?â tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. âKau---?â âBayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,â keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
"Berikan aku ragamu, maka akan aku kabulkan segala keinginanmu, Rengganis.â Suara melantun itu membuat wanita berparas rupawan yang dipanggil Rengganis, menengadah dari posisi bersimpuh, menatap sosok wanita setengah tembus pandang yang melayang di hadapannya dengan kabut tebal menyelimuti tubuh wanita itu. Manik hitam segelap malam milik Rengganis terlihat basah, memancarkan kesedihan yang begitu dalam. Debu dan kotoran tebal menghiasi wajahnya, menunjukkan betapa tersiksa dan terabaikan dirinya untuk waktu yang cukup lama. Melihat keterpurukan Rengganis, wanita itu menyeringai, kakinya turun menapak tanah. âAku bisa membantumu membalaskan dendam, entah kepada jalang bernama Madhavi ⊠ataupun bajingan yang kau panggil Kakang Prabu Abra itu.â Rengganis mengepalkan tangan, membayangkan wajah kedua orang yang membuat hidupnya terasa bak neraka. Namun, melihat kabut hitam yang menyelimuti wanita di hadapannya, Rengganis merasa bahwa menyetujui mungkin
Tuduhan Kanjeng Ibu Leena akan Raja Abra tidaklah salah, yah, umpatan tersebut benar adanya. Kerajaan Baskara belum lama ini dipimpin Raja Arkha ---suami Leena--- Baginda Raja Arkha mangkat beberapa waktu lalu karena sakit. Rengganis sebelumnya telah bertunangan dengan Abra ---pangeran ke-dua dari Kerajaan Bamantara--- pernikahan dipercepat atas usul sesepuh-pinisepuh kerajaan Baskara, mengingat posisi kosong pada tahta kerajaan akan menjadi peluang besar kerajaan lain menyerang. Buktinya, perang besar di perbatasan juga tengah terjadi, beruntung ada Senapati Khandra, pemuda gagah dengan taktik perang terbaik, mengerahkan prajurit di bawah kuasanya untuk menjaga, dan melawan musuh. âNenek peot!â tekan Raja Abra menatap mertuanya dengan tatapan menguliti. âPutrimu telah bersalah, jika kau masih membelanya, maka aku tidak segan untuk menghabisi nyawamu juga!â dengkus mengacungkan jari ke wajah sang mertua. Kanjeng Ibu Lenna terbahak, âCoba saja kalau kau mampu!â tantang
Istana Dingin, mercusuar di tempat paling ujung kerajaan Baskara, bangunan tidak terawat, banyak sarang laba-laba dan juga tikus berkeliaran. Bau busuk menguar, membuat beberapa prajurit tidak tahan. Istana dingin kerajaan Baskara layaknya penjara anggota kerajaan yang bersalah, sebelum menerima hukuman atas kejahatan yang diperbuat. Mereka akan ditempatkan di istana dingin menunggu peradilan. Permaisuri Rengganis tergeletak di sebuah dipan kayu. Mata sembab itu mulai terbuka perlahan. Dia melonjak terkejut mendapati diri dalam keadaan mengkhawatirkan. Permaisuri Rengganis menangis sesengukan, meratap. Kehilangan ibu tercinta di depan mata, dengan cara begitu tragis. Raja Abra beringas, tanpa ampun menebas leher sang ibu. Permaisuri Rengganis mendadak mengurut leher sendiri. Mendadak terasa kelu, tercekat, bahkan sulit bernapas. Darah berceceran nampak jelas ketika raja Abra menjambak dan mengakat kepala sang bunda ke udara. "Gantung kepala wanita pemberontak ini di a
Tubuh Rengganis bergetar hebat, keringat dingin mengucur di pelipis. Dia meringkuk ketakutan melihat sumbu yang menyimpul lantai kayu terkoyak. Rengganis menutup mulut, terisak, dia tetap waspada. Sekonyong-konyong terlihat kilatan, gerakan cepat seseorang melompat dari lantai kayu yang terbuka ke atas. Sosok lelaki gagah bertubuh tinggi, berdiri di dekat dipan. Menatap tanpa ekspresi Rengganis yang masih terbengong. Lelaki itu masih mengenakan baju zirah, tubuhnya penuh bercak darah, bahkan di bagian rambut ke wajah bagian kiri bau amis tercium. Namun, Rengganis abai, seolah tampang sangar dan juga penampilan mengerikan lelaki itu tidak membuat takut. Justru Rengganis bernapas lega, dia mengulas senyum. Secara tidak sadar air mata meleleh di pipinya yang kotor terkena debu. "Senapati, Senapati Khandra," panggil Rengganis. Tatapan keduanya berserobok, lelaki gagah itu meletakkan jari telunjuk di mulut, sebagai tanda agar berdiam. "Permaisuri Rengganis, Anda baik-
"Tidak!" Rengganis berteriak lantang, wanita itu membuka mata. Didapati suasana samar dalam gelap dalam pantulan obor. Mbok Berek menatap majikannya dengan seksama. Rengganis memejamkan mata sebentar, menetralkan jantung yang bergemuruh. "Kamu mimpi buruk, Nduk?" Mbok Berek membantu Rengganis beringsut duduk. Wanita ayu menatap ke sekeliling, baru sadar mereka berada di sebuah gua. Saat ini dirinya berada di atas bebatuan, punggung terasa sakit, tidak pernah Rengganis, selama ini dia tidur di tempat yang nyaman dan empuk. Dia melongok keluar gelap, ah hari sudah malam rupanya, begitu pikir Rengganis. "Minumlah!" kata wanita tua tersebut menyerahkan tempat minum dari bambu untuk Rengganis. Wanita itu meneguk hingga tandas. "Aku mendengar Permaisuri berteriak." Khandra muncul dari luar dengan membawa kayu bakar. "Ah, tidak ada apa-apa, Permaisuri hanya mimpi buruk," terang Mbok Berek. Apa yang kau bawa Khandra?" tanyanya. Lelaki tersebu
Rengganis mengganti pakaian dengan lebih sederhana. Selipat kain batik melilit tubuh serta selendang warna hitam menutup bagian atas. Semua aksesoris dilepas termasuk mahkota. Agar tidak ada yang curiga saat melewati pedesaan. Semua dirancang sedemikian rupa oleh Mbok Berek. Berjalan menyusuri sungai, melewati semak belukar tidak terasa matahari sudah berdiri di atas kepala. Rengganis menelan saliva menahan haus dan lapar yang tertahan, sejak pagi mereka belum makan apa pun, jalan mulai sempoyongan. Rengganis menatap ke arah atas langit cerah, burung berterbangan riang, nyiur melambai-lambai tertiup angin. Wanita itu meneguk air dari bumbung bambu. âApa masih jauh, Mbok?â tanya Rengganis. Mbok Berek menggeleng kepala, âTidak, Nduk di depan sana ada jalan setapak, kita memasuki perkampungan. Singgah sebentar ke pasar dan kedai makan,â jawab Mbok Berek, âingat, kita sedang berperan sebagai keluarga pura-pura. Kalian jangan keceplosan memanggil dia Permaisuri.â
Mbok Berek menarik Rengganis untuk segera meninggalkan pedesaan, tidak aman berada terlalu lama di sana. Mereka kembali masuk ke dalam hutan, kemudian berhenti di sebuah gua. Rengganis menelengkan kepala, lagi-lagi dia menemui gua. Ksatria yang menghantar Rengganis bersiul tiga kali. Rengganis seperti melihat bayangan hitam lewat di hadapan. Dia menelan saliva saat seorang lelaki berdiri di belakangnya. âMohon ampun Permaisuri, kami hanya takut ada penyusup,â kata seorang lelaki asing. Rengganis menoleh ke belakang, melihat sosok pemuda tampan bertubuh tinggi membungkukkan badan dengan posisi berjongkok. âApa yang kau lakukan, siapa kau?â Rengganis membungkuk. Pemuda tadi mendongakkan kepala. âSaya Kayana, salah satu prajurit pilihan mendiang Raja Arkha,â ucapnya tersenyum genit. âAmboi, cantiknya,â katanya lagi. Bletak! âDasar tidak sopan!â Mbok Berek memukul kepala pemuda bernama kayana itu. âAw, sakit Mbok!â pekik Kayana mengelus kepala nyengir. â