Jangan lupa klik + untuk menambahkan novel ini ke dalam rak, sertakan juga review yang mendukung agar author semangat up date ya, terima kasih ☺🙏
Suara langkah kaki kuda terdengar di jalan setapak. Nampak dua orang pemuda memacu kuda masing-masing melewati alun-alun kota, Khandra menoleh ke arah tengah. Di mana kepala Kanjeng Ibu yang mulai membusuk dibiarkan begitu saja oleh para penjaga. Khandra menarik tali membuat kuda berhenti, disusul kemudian Kayana. “Biadab sekali mereka!” umpat Kayana. “Jaga bicaramu, banyak lalat hinggap di sekitar!” Khandra mengingatkan sang sahabat seraya menoleh kanan-kiri. “Entah sampai kapan kepala Kanjeng Ibu akan tergantung seperti itu,” lirih Khandra. Keduanya saling pandang lalu mengangguk, mereka kembali memacu kuda ke arah sebuah kedai. “Mbok, ada ruangan kosong? Kami berdua ingin minum arak sampai mabuk.” Kayana tersenyum ketika Mbok Berek si pemilik kedai menghampiri. Mbok Berek membalas senyum, “Ada, mari ikut saya ke bilik ujung, tidak apa kan, bilik lain sudah terisi,” kata Mbok Berek. Mereka kemudian berjalan masuk, beberapa pengunjung yang tengah ma
Mengikuti Rengganis Jarak Rengganis begitu dekat dengan Khandra, lelaki tersebut masih dengan telaten mengarahkan Rengganis mengayunkan tongkat kayu. Ketika Khandra mengajarkan gerakan lebih rumit. Wanita tersebut terhuyung, dengan cepat Khandra menarik tubuh Rengganis. Pedang kayu jatuh ke tanah, tubuh Rengganis bergetar, dia terkekeh dengan napas tersengal. “Aku lelah, Khandra, astaga tidak aku sangka jika belajar berpedang sangat sulit,” ungkapnya menghela naps panjang. “Permaisuri tidak apa?” tanya Khandra, jantung lelaki tersebut berdentum saat tubuh Rengganis bergelayut dalam pelukannya. “Iya,” jawab Rengganis bangkit menegakkan tubuh. “Khandra, bisakah kau menemaniku jalan-jalan. Aku bosan,” ucap Rengganis. “Tentu, monggo Permaisuri,” kata Khandra dengan satu tangan mempersilakan. Rengganis berjalan mendahului, rambut panjang diikat ke belakang menjadi satu menari seiring langkah kaki nan gemulai wanita ayu itu. Rengganis kemudian menuj
Khandra melihat sekeliling, tempat tidak asing, tempat yang biasa dia lewati juga tempat di mana dia membakar jasad Gendeng Sukmo, kakak seperguruannya. Lelaki tersebut mendongakkan kepala, samar terlihat jelas kobaran api dalam ingatan. Kobaran api yang disiapkan dirinya sendiri untuk membakar jasad Nyi Gendeng Sukmo. Masih teringat jelas awal pertama Khandra melihat Gendeng Sukmo, wanita anggun nan ayu itu sangat membuat terpesona. Khandra masih amat muda ketika Empu Jagat Terengginas membawanya pergi dari Padepokan Elang Putih. Pedepokan ilmu bela diri yang terkenal di seantero nusantara. Padepokan yang menghasilkan murid-murid terbaik. Namun, tempat tersebut memiliki banyak misteri. Pemilik dari tempat tersebut selalu menyembunyikan wajah dengan cadar. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperkenankan berjumpa dengannya. Juga untuk masuk ke dalam padepokan akan dilakukan ujian ketat. Empu Jagat Trengginas mengangkat Khandra sebagai murid lantaran melihat ketangkas
Mendiang Raja Arkha pernah menyambangi tanah seberang, mengunjungi Kerajaan Bamantara, guna bersua Raja Arutala dan Ratu Sekar Ayu. Menurut cerita turun temurun dari nenek moyang. Satu-satunya kerajaan paling damai di mana raja hanya menikah dengan satu wanita lalu menjadikan sebagai Ratu Kerajaan Bamantara. Kerajaan netral tidak memiliki musuh lantaran Kerajaan sendiri pun berjaya dan mampu mencukupi kehidupan rakyat dengan sumber daya alamnya. Hal tersebut yang membuat Raja Arkha memiliki niat baik untuk menikahkan putri semata wayangnya bernama Rengganis. Selain sebagai pernikahan politik untuk mempererat hubungan kedua kerajaan, Raja Arkha juga berharap agar Pangeran Abra, pangeran ke-2 kerajaan tersebut akan senantiasa menjaga putri semata wayangnya. Menjadikan Rengganis istri dan ratu satu-satunya. "Mendengar reputasi baik dari Kerajaan Bamantara aku tidak ragu untuk menyerahkan putriku satu-satunya untuk menikah dengan Pangeran Abra. Jadilah pasangan yang saling mencint
Ketika Abra menjalani malam panas penuh gairah dengan Madhavi. Sangat berbanding terbalik dengan Rengganis si pemilik sah Kerajaan Baskara terlihat sederhana dalam balutan pakaian warna putih dengan celana warna sama, kemudian di bagian perut diikat kain kecil warna hitam. Tanpa aksesoris dan pakaian mewah, Rengganis nampak seperti pendekar wanita, dia menjalani awal baru di tempat yang tidak seharusnya ditempati. Rengganis menatap kobaran api unggun yang dinyalakan Khandra. Saat ini, dia masih dikelilingi para ksatria menikmati langit malam bertabur bintang. “Waktu itu aku mengadakan jamuan untuk menyambut kehamilan Selir Madhavi. Meski sakit hati sekali pun lantaran wanita itu meraih cinta dari suamiku. Namun, tidak pernah ada niat di hati untuk melukai. Awalnya kami tidak apa-apa menikmati hidangan, menyesap teh di cangkir, entah bagaimana giliran Selir Madhavi yang meminum teh buatan dayangku, dia langsung tersungkur pingsan, tubuh bagian bawah mengeluarkan darah bany
Khandra mengerutkan kening, dia dan Kayana saling pandang dalam kegelapan ketika suara tidak asing tersebut terdengar. Keduanya melangkah keluar antara terkejut juga merasa aman. "Mang Damar," sapa Khandra keluar dari tempat persembunyian. "Aku kira siapa tadi." Kayana bernapas lega. Terdengar suara tawa Mang Damar dan tiga orang lainnya. "Siapa lagi yang malam-malam menyusup ke hutan, huh," kekeh Mang Damar. "Ayo segera kembali, anak buahku melihat Ki Kastara keluar dari Istana berjalan mengelilingi desa. Aku yakin dia akan ke kedai juga," ungkapnya. "Kita harus bergegas, mari!" ajak Khandra. Mereka mempercepat langkah kaki, tidak peduli semak belukar mereka terjang. Bertepatan dengan Ki Kastara masuk ke dalam. Mang Damar memberikan nampan berisi kendi tempat arak juga mangkuk batok kelapa. Khandra dan Kayana gegas masuk dalam bilik membawanya. Anak buah Khandra berdiri. Mereka berempat bergerak cepat mengganti pakaian ada per
Kerajaan Baskara, tepatnya istana utama, tempat raja dan abdi dalem, maupun pemangku menjalankan tugas kenegaraan. Suasana tengah memanas, emosi menjalar pada segala arah memecah belah kubu masing-masing. Pernyataan Raja Abra yang mengumandangkan Selir Madhavi sebagai bakal calon Ratu. "Mohon ampun Gusti, ini tidak bisa terjadi. Status Selir Madhavi bukan siapa-siapa di Kerajaan Baskara. Hendaknya Gusti Prabu memikirkan kembali pengangkatan Ratu. Kedudukan Raja saja bukan lagi darah daging keluarga kerajaan Baskara. Kami tidak mengizinkan jika Selir Madhavi menjadi ratu, itu melanggar aturan adat," ujar lelaki tua yang mengenakan blangkon. 'Tidak kusangka ini cukup memusingkan, aku kecolongan kurang memahami seluk beluk kerajaan ini. Terlebih Ki Chandra adalah kerabat mendiang Raja Abra. Akan sangat berbahaya jika aku melakukan hal bodoh,' umpat Abra dalam hati. "Gusti Prabu Abra, sungguh kami mengharapkan Gusti Prabu jangan bertindak gegabah. Bersikap la
Raja Abra masuk ke dalam kamar Selir Madhavi dengan wajah merah padam menahan marah. Rahangnya mengeras, tangan kanan meraih pakaian kebesaran bagian bawah yang panjang. Selir Madhavi yang menunggu dengan wajah gembira lantaran sebentar lagi dia akan dinobatkan sebagai Ratu tidak henti riang. Namun, senyum itu lenyap bersamaan Abra masuk dalam kamar. “Kakang Prabu!” panggil Madhavi, “apa yang terjadi?” tanyanya. “Para tetua dan juga kerabat mendiang raja menyudutkan kita,” ujar Abra. Madhavi mengernyit, “Maksud Kakang Prabu?” tanya wanita tersebut berjalan mendekat. Abra menghela napas panjang dan berat, rasanya emosi meluap luruh seketika melihat wajah Madhavi, bagikan air yang menyiram api, memadamkan. Begitu juga kehadiran Madhavi di sisinya. “Mereka mempersulitmu menjadi ratu,” lirihnya. Lelaki tersebut menyentuh pipi sang selir yang nampak terkejut atas jawabannya. Mau tidak mau dia menceritakan apa yang terjadi di ruang rapat Istana Utama.