“Aku Sawer Geni, tidak akan mati dengan mudah. Aku kekal abadi, kau tahu.” Ular itu perlahan seperti melebur, kepulan api dalam tubuhnya lenyap, Sawer Geni berubah menjadi sosok lelaki bertubuh putih mulus seputih kapas. Nyi Gendeng Sukmo melihat lengan lelaki tersebut memeluk perutnya. “Aku bisa berganti tubuh saat raga ini menua, mulai tidak berguna.” Sapuan napas lelaki itu terasa hangat di pipi Nyi Gendeng Sukmo. “Lepas, bajingan!” Nyi Gendeng mengerakkan keris, tangan lelaki itu menyibakkanya dengan mudah. Pyash! Keris berubah kembali menjadi selendang. Lelaki itu tertawa kemudian membalikkan tubuh Nyi Gendeng Sukmo, kini gadis tersebut dapat melihat sosok gagah pemuda ular itu. “Jadilah anak buahku, Nyi Gendeng Sukmo. Sudah begitu lama aku memperhatikan dirimu dan yeah. Kau sosok sempurna yang aku pilih. Akan aku berikan ilmu kekebalan juga keabadian. Kau bisa hidup kekal, menguasai jagat raya,” terang Sawer Geni. “Aku tidak yakin kau lebih hebat dari guruk
Gendeng Sukmo, merapalkan ajian mantra jaran goyang pada ritual sebuah malam selesai bersetubuh dengan Sawer Geni. Atas bimbingan lelaki ular api tersebut, Nyi Gendeng mampu menuntaskan ajian dalam waktu singkat. Tiga hari tiga malam dia melakukan tirakat, dan tepat tengah malam ini, dirinya untuk kesekian kali menggunakan ajian tersebut untuk memikat lawan jenis demi tumbal yang dia butuhkan untuk keabadian. Saat terbit wajar lalu ketika terbenam matahari, mantra tersebut dirapalkan Gendeng Sukmo. Tumbal ketujuh dia butuhkan sebagai syarat dari Sawer Geni yang mengatakan sebagai syarat keabadian pertama dia harus mencari tujuh pemuda. Gendeng Sukmo memerlukan ajian jaran goyang, ilmu pelet yang dia temui dalam catatan kitab Empu Jagat Trengginas untuk kelancaran memikat lawan jenis, selagi keduanya pernah berjumpa, bertegur sapa bukan hal sulit untuk melancarkan ajian jaran goyang tersebut. “Sungguh disayangkan kitab ini hanya bagian depan saja yang aku dapatkan,” keluh
Kerajaan Baskara Istana Utama sedang gaduh atas kaburnya Rengganis dari menara Istana Dingin tanpa ada jejak sama sekali membuat Raja Abra murka. Bersamaan dengan itu Senapati Khandra juga prajurit yang pergi berperang memasuki aula istana. Tidak ada penyambutan sama sekali pada pahlawan yang telah mempertahankan perbatasan. Hanya ada beberapa abdi dalem menghampiri lalu mengungkapkan murka sang raja. Dari obrolan yang terjadi, Khandra merasa sangat miris, Abra benar telah memonopoli keadaan istana. Walau dia tahu ada beberapa anggota pendukung Permaisuri Rengganis namun, lelaki tersebut tidak mungkin bisa bergerak sembarangan, banyak mata melihat. "Selamat datang para Ksatria hebat Kerajaan Baskara," ucap Ki Kastara menyambut. Khandra tersenyum, dia paham benar bahwa sanya lelaki tua tersebut pasti ikut andil dalam penggulingan permaisuri. Selir Madhavi tidak mungkin bergerak sendiri. "Ah, terima kasih atas sambutan Ki Kastara, di medan perang
Seorang berjubah hitam dengan kepala tertutup tudung melompat dari atas pohon ke sebuah bangunan di Kerajaan Baskara. Sayup terdengar dentuman musik gamelan mengalun bersama tembang yang dilantunkan pesinden. Dia menyipitkan mata untuk melihat ke bawah, ke sebuah pondok. Ah benar saja, pesta penyambutan untuk kedatangan prajurit yang kembali dari medan perang. Tawa terdengar menggelegar, ada penari melenggak-lenggok nan gemulai. Bibirnya menyeringai, kembali dia melompat lalu menengok ke arah sekeliling. Melompat ke bawah dan masuk lewat jendela kayu ke dalam sebuah bangunan. 'Syukurlah aku bisa masuk tanpa ketahuan,' ucapnya kemudian. Lampu minyak Remang-remang menyinari sebuah kamar ukuran kecil. Hanya ada satu dipan dan meja kayu pendek di sana. Lantai beralaskan tikar dari daun pandan, sama seperti alas dipan di sampingnya. Dia kemudian meletakkan pedang miliknya, melucuti tudung dan jubah hitam miliknya kemudian merebahkan tubuh di dipan kayu tersebut.
Rengganis terbangun dari tidur dengan terkejut, pasalnya semalam dia berada di dekat sungai bersama Khandra. Lalu sekarang berbaring di kamar sederhana di dalam gua. Rengganis tersenyum, baru dia merasakan tertidur pulas dan nyaman. Biasanya mimpi buruk menghantui. Nampaknya kehadiran Khandra bisa menjadi sebuah ketenangan. Rengganis turun lalu gegas keluar. “Mbok Berek, ada yang bisa saya bantu?” tanya Rengganis pada wanita tua yang tengah membungkuk memasukkan kayu dalam perapian. “Selamat pagi Permaisuri, tidak perlu silakan Permaisuri duduk sambil menunggu makanan matang. “Kayana!” teriak Mbok Berek, “Ambilkan air mencuci wajah,’ lanjutnya. Tidak berapa lama Kayana datang dengan baskom terbuat dari tembaga lalu meletakkan di atas dipan kayu. “Em, anu silakan Permaisuri,” kata pemuda tersebut malu-malu. “Terima kasih, Kayana,” ucap Rengganis. “Em, anu Permaisuri,” kata Kayana lagi membuat Rengganis berhenti di tempat. “Katakan.”
Empu Jagat Trengginas membalikkan tubuh menghindari serangan muridnya. Dia mencabut satu rambut lalu menggoreskan pada jari, darah mengalir dari jari itu melumuri rambut “Tali merah pengikat!” teriak lelaki tua itu, dia melemparkan rambut yang kemudian berubah memanjang seperti tali merah setipis benang. Tepat mengenai sasaran tubuh Gendeng Sukmo, melilit kuat. Sawer Geni berjingkat, dia melebarkan mata melihat wanitanya tanpa daya. ‘Pak tua itu sakti juga,’ gumam Sawer Geni. “Argh, sakit!” teriak Gendeng Sukmo tubuh terasa remuk redam, dia meringis kesakitan. “Sawer Geni, tolong aku!” pintanya membuat lamunan sesaat Sawer Geni buyar. Sawer Geni melompat mendekati mereka, dia menatap ke arah Empu Jagat yang masih sibuk menarik tali yang melilit Gendeng Sukmo. tangan lelaki tua itu terulur ke depan, mengepal seperti memeras. Lelaki itu mengeluarkan tenaga dalam kemudian memutar tubuh, sebuah cahaya merah, gumpalan api melesat ke arah Empu jagat. Empu Jagat mengguna
Empu Jagat Trengginas memandang ke arah danau yang tidak jauh dari air terjun. Kedua tangan terentang, mantra dia lantunkan, tiba-tiba bumi berguncang seperti gempa. Empu Jagat Trengginas bergeming guncangan dahsyat tersebut tidak membuatnya beralih tempat, dia mengentakkan kaki kanan ke tanah di dekat danau.Blar! Blar! Pyash! Byur! Tras! Tanah seperti terbelah, air danau masuk ke dalam belahan tanah tersebut. kemudian Empu Jagat Trengginas kembali mengentakkan kakinya beberapa kali, tanah yang telah kering itu seperti naik membentuk bukit kecil. Kedua tangan menyatu ke depan, terlihat sebuah cahaya biru menyembul di tengah. Empu Jagat melempar ke arah danau kering. Blar! Cahaya biru tersebut menjadi percikan api biru. “Uhuk!” Empu Jagat Trengginas kembali, muntah darah, kali ini lebih banyak, tubuhnya lemas, dia tersungkur ke tanah. “Celaka, tenagaku sudah terkuras habis!” Lelaki tua tersebut mengatur napas yang putus-putus. Bersamaan dengan itu, tanah kembali
Kerajaan Baskara Masa lalu memang akan membuat seseorang tetap mengingat. Bukan berarti tidak dapat berjalan maju, hanya saja sebagai lonceng akan sebuah sebab akibat sebuah perjuangan. Begitu pun Khandra tidak mungkin dia melupakan begitu saja masa lalu. Usai pertempuran sengit antara guru dan kakak seperjuangan, Khandra tidak lagi bersua Empu Jagat Trengginas, entah ke mana lelaki tua itu pergi. 'Guru,' bisik Khandra ketika tidak sadar mengingat wajah tua berjanggut putih. Cuaca siang itu terasa panas, Khandra mengusap peluh yang membasahi kening. Dia memejamkan mata menghilangkan segala ingatan yang mampir. Dia menoleh ke arah tanah lapang tempatnya berlatih pedang. Beberapa anak buahnya terkapar tanpa daya, kelelahan. Sama seperti dirinya, napas kembang kempis. Tangannya meraih kendi yang berada di atas meja kayu. Dia meneguk airnya beberapa kali. "Senapati Khandra," panggil seorang wanita, suara terdengar mendayu-dayu bak alunan kidung indah.