“Halo? Nayara? Kamu baik-baik aja?” Suara pria dari seberang telepon terdengar cemas.Devanka langsung membentak, “Siapa kau?!” “Eh, maaf, saya temannya Nayara dari—”“Denger baik-baik, dasar brengsek! Jangan pernah hubungi istriku lagi!” sembur Devanka, suaranya meledak seperti bom. “Dia udah nikah! Dan aku suaminya!”“Tunggu, saya nggak ada maksud—”Klik!Panggilan dimatikan sepihak. Dengan geram, Devanka melempar ponsel itu ke kasur, lalu mengambil jaketnya dan berjalan keluar kamar tanpa satu kata pun.Pintu tertutup keras di belakangnya.Di dalam kamar mandi, Nayara mendongak. Suara pintu itu membuatnya tahu Devanka telah pergi. Ia berdiri, menggenggam wastafel untuk menopang tubuhnya yang gemetar. Begitu keluar, wajahnya tampak hancur, matanya sembab, pipinya pucat, dan rambutnya sedikit kusut.Tanpa pikir panjang, ia langsung melompat ke ranjang, menarik selimut tebal hingga menutupi tubuhnya, memejamkan mata erat-erat. Sampai keesokan harinya, hotel mewah yang terkenal deng
“Aku harus balik ke kamar sekarang. Suamiku nyariin,” gumam Nayara sambil menatap layar ponselnya yang masih menyala.Vanya langsung menatapnya tajam. “Nay, denger, ya,” ujarnya serius, tangannya mencengkeram jemari sahabatnya. “Kamu nggak boleh terus lemah. Orang yang terlalu lemah itu gampang diinjak, Nay. Kalau kamu memang memutuskan bertahan, kamu harus lawan. Tegas! Jangan biarin dirimu sendiri terus disiksa begini!”Nayara menunduk, mengangguk kecil.“Jangan ngangguk doang. Kamu harus inget, kamu berharga. Kalau dia anggap kamu beban, itu karena dia terlalu buta buat lihat siapa kamu sebenernya.”“Aku ngerti, Van. Makasih, ya,” kata Nayara dengan suara nyaris pecah.Vanya menghela napas. “Oke. Tapi nanti kamu harus telepon aku, ya. Ceritain kelanjutannya, jangan disimpen sendiri.”“Iya, aku telepon.”“Janji?”“Janji.”Nayara pun berdiri dan berjalan cepat ke arah lift, meninggalkan Vanya yang masih menatap punggungnya dengan cemas.***Pintu kamar terbuka pelan. Napas Nayara ter
“Devanka! Buka pintunya sekarang juga!” suara Calysta terdengar lantang dari balik pintu.Dengan rahang mengeras, Devanka melangkah cepat dan membuka pintu kamar. Di ambang pintu berdirilah Calysta, tangan mencengkeram pinggul, dagu terangkat tinggi.“GILA KAMU, YA?!” semburnya langsung. “Tinggalin aku begitu aja demi Nayara?! Aku sendirian di sana kayak orang bego nungguin kamu balik!”Napasnya memburu, mata menyipit tajam.“Kamu pilih cewek kampung itu daripada aku?! Dia yang nyari masalah, kok, kamu yang jadi repot? Kamu liat, tuh—” Calysta menunjuk ke arah Nayara yang masih terbaring lemah di ranjang. “Liat! Udah nyusahin, sekarang malah jadi beban! Harusnya kamu nggak usah bawa dia ke Swiss! Dia itu cuma—”Ceklek!Devanka mendorong tubuh Calysta ke luar ambang pintu.“Ayo pergi, Calysta. Jangan gaduh di sini, nanti ganggu pengunjung lain,” bisiknya.“Hah? Pengunjung lain atau istrimu itu yang kamu maksut?”Devanka tidak menjawab, langsung menggandeng tangan Calysta ke kamar khusu
"Mending aku keluar aja, deh, daripada nangis terus di kamar kayak orang bodoh," gumam Nayara, meraih tas kecil yang diisi ponsel dan beberapa lembar uang.Udara Zurich menggigit meski mantel tebal melapisi tubuh, salju tipis mulai turun, menambah sepi jalanan di sekitar hotel. Langkahnya membawa ke jalan-jalan berbatu khas Eropa. Lampu kota temaram, udara beku, berpadu dengan suara salju yang diremukkan telapak kakinya. Ia berjalan pelan, menyusuri trotoar sepanjang danau yang permukaannya tenang.Beberapa menit kemudian, matanya menangkap cahaya terang dari balik jendela besar di sebuah bangunan modern."Klub?" dahinya berkerut menatap heran.Ia berdiri sejenak, menimbang. Dari luar, tempat itu tampak tenang. Tidak ada musik menghentak atau kerumunan orang berpesta seperti yang ia bayangkan soal klub malam."Kelihatannya nggak ramai, mungkin cuma lounge biasa," gumam Nayara.Ia masuk, suasana hangat langsung menyergap. Interiornya berwarna cokelat hangat, musik jazz mengalun lembu
Waktu terus merayap hingga melewati tengah hari, tapi Devanka belum juga keluar dari kamar.Nayara duduk di meja makan sendirian. Pandangannya tak lepas dari jam dinding yang berdetak pelan. Pukul satu siang lewat dua belas menit. "Apa dia sakit?" gumam Nayara khawatir.Akhirnya, ia memutuskan membuka aplikasi pemesanan makanan online dan memesan bubur ayam dari restoran. Sekitar tiga puluh menit kemudian, makanan datang.Nayara buru-buru menuangkan bubur panas itu ke dalam mangkok keramik, menambahkan telur rebus dan taburan daun bawang. Ia lalu membuat teh jahe panas, menaruhnya di nampan kayu bersama sendok dan tisu. Setelah memastikan semuanya rapi, ia berjalan pelan ke depan kamar Devanka.Tok! Tok! Tok!"Mas …."Hening.Ia mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Mas Devanka? Udah jam makan siang, aku bawain bubur dan teh jahe. Takut Mas sakit gara-gara semalam mabuk."Tetap tidak ada jawaban.Nayara menarik napas dalam. Dengan ragu, tangannya meraih gagang pintu.
"Siapa dia?"Baru saja pintu unit tertutup, Devanka kembali melemparkan tanya tentang pria tadi.Nayara yang sedang melepas hoodie-nya terdiam. Ia tahu suaminya tak langsung mempercayai, jantungnya berdebar hebat."Itu Rayan, Mas. Teman lama waktu SMA. Nggak ada hubungan apa-apa, dia juga nggak sengaja ke sini."Devanka menatapnya dengan rahang mengeras. Ia melangkah pelan, mendekati Nayara. Tatapan matanya gelap, seperti badai yang belum selesai."Gimana dia tahu kamu di sini? Kau kasih tau, atau—""Enggak," sahut Nayara cepat, gelagapan saat baru sadar tak sengaja menyela ucapan suaminya. "Tadi dia lihat aku dimarahi Bu Lilis, lalu katanya mengikuti mobil kita—""Oke, cukup!" Devanka mengangkat tangannya isyarat agar Nayara berhenti. "Kalau begitu, lebih baik kita buat semuanya lebih fleksibel aja."Nayara mengerutkan alis. "Fleksibel? Maksud Mas apa?"Devanka berbalik, kakinya melangkah menuju minibar yang terletak tak jauh dari pintu, mengambil satu gelas kaca di sana. Ia mengisi