Share

Rahasia Alan

Raksa merebahkan tubuh letihnya di ranjang king size nan empuk. Ia menatap langit-langit kamar, lalu memejamkan mata menetralkan rasa dari pandangan-pandangan tak biasa yang menderanya seharian.

"Bad day, bad case, bad body! Lengkap sudah!" Keluhnya sambil memijat kening.

Ia membiarkan televisi layar datar di kamarnya menyala, menampilkan tayangan komedi favoritnya. Suara tawa dan banyolan lucu terdengar memenuhi kamar, tapi Raksa sama sekali tak berniat melihatnya. Ia lelah sekali, berkali kali mendapat visi tentang kematian mengerikan membuat energi Raksa tak seimbang.

Memiliki kemampuan tak biasa memang sangat menyiksanya. Selain menguras energi, kemampuan itu juga membuatnya tersiksa. Raksa selalu menolak kemampuan alaminya tapi di sisi lain ia juga kerap manfaatkan. Raksa belum bisa memahami apa yang menjadi takdir hidupnya.

Detektif muda itu membuka laci nakas disamping tempat tidur, mengambil botol berisi obat dari dokter langganannya. Anti depresan.

Raksa mendengus kasar, diraihnya ponsel lalu menghubungi seseorang.

"Hai, dok! Maaf mengganggu malam-malam begini tapi … obatku habis dan kau tahu kan aku tidak bisa …,"

"Kau harus melawannya!" Suara wanita dengan lembut bersuara dari seberang sana menyahut.

"Kau tak bisa selamanya bergantung pada obat itu. Kamu bisa mengatasinya hanya saja kamu malas dan tak mau mengakuinya." Dokter wanita itu kembali bicara lembut tapi penuh penekanan.

Raks terdiam, mengedarkan pandangan sambil menggigit bibir bawahnya. "I can't."

"Yes you can! Semangati dirimu sendiri, kau kuat Raksa! Seperti yang aku katakan padamu buat kotak untuk pikiranmu. Kenyataan dan …,"

"Halusinasi, yah aku tahu. Tapi halusinasi itu membuatku bisa menuntaskan pekerjaan ku."

Hening di seberang sana, helaan nafas terdengar sebelum dokter itu kembali berkata. "Kau butuh janji temu?"

"Iya, sebenarnya aku perlu hanya saja … aku sudah pindah tugas."

"Ohya, kenapa tidak memberitahukan padaku?"

"Kau sibuk, aku tak mungkin mengganggumu."

"Raksa, aku doktermu dan kau pasien ku. Apapun mengenai dirimu harusnya kau katakan padaku!" Nada suara dokter wanita itu berubah cemas.

"Kau menolakku." Raksa terdiam sejenak, "Aku tak berhak memaksakan cinta padamu, dokter Airin."

Keduanya terdiam lagi. "Dimana alamatnya, aku akan mengirimkan obat besok." Dokter Airin akhirnya mengalah bicara dan mengakhiri kebisuan mereka.

Raksa memberikan alamat rumahnya pada Airin –wanita yang membuatnya jatuh hati.

"Oke, besok sore paling lambat obat itu sampai."

"Thanks."

Raksa menutup panggilannya tanpa basa basi lagi. Ia mengusap foto Airin, dokter yang menanganinya selama dua tahun belakangan. Raksa jatuh hati padanya setelah pertemuan intens mereka selama terapi. Sayang, Airin menolak cintanya karena dia sendiri telah memiliki kekasih.

Setelah menyegarkan diri dengan mandi air hangat, Raksa kembali membuka catatan dua kasus yang ditangani nya. Membolak balik catatan bukti dan kembali memeriksa rekaman yang diambil secara mandiri dari ponselnya.

Fokus utamanya adalah tulisan yang serupa di dua TKP.

"Ini aneh, masa iya tulisan ini muncul begitu saja? Rasanya mustahil."

Raksa memeriksa hasil catatan pada TKP Amelia. "Sial cctv tidak bisa menangkap apa pun!"

Tulisan di TKP kedua ditemukan tak jauh dari mayat Ronald, hanya saja tulisannya sedikit berbeda.

"Meski kalimatnya sama tapi ini ditulis oleh orang yang berbeda."

Raksa melemparkan file catatan ke lantai. Kelebatan bayangan perempuan di dinding lift kembali mengganggunya. "Sial, aku rasa mereka sama! Hantu di TKP Amelia dan Ronald serupa. Meski samar tapi aku yakin itu sama!"

Raksa mencoba mengingatnya kembali, tapi setiap detektif muda itu mengingatnya semakin ia terjebak dalam kantuk yang teramat sangat. Obat anti depresan terakhir yang diminumnya mulai bekerja dan Raksa pun lelap dalam tidurnya.

*

*

*

Seorang wanita mondar mandir di ruangannya. Wajahnya terlihat pucat, ia gelisah dan tak bisa tenang. Sesekali ia mengintip dari balik tirai memeriksa sekitar.

"Apa ada yang mengikutiku?"

Wanita bernama Feni itu bergumam sendiri. Panggilan telepon di mejanya membuat wanita cantik itu terkejut.

"Ya, siapa?"

"Tamu ibu sudah datang, apa boleh beliau masuk sekarang?" Sekertarisnya memberitahu.

"Siapa?"

"Pak Alan Bu."

Feni menegang, lalu ia menjawab pelan. "Suruh dia masuk."

Tak lama pintu ruangannya terbuka, Meita sekertaris andalan Feni mengantarkan Alan dan kembali menutup pintu, memberikan privasi pada bosnya. Feni menatap Alan sekilas, ia masih berdiri mengintip keadaan di luar sana.

"Apa aku mengganggumu?" Alan mulai bicara.

"Tidak, hanya saja …,"

Pelukan Alan dari belakang membuat kalimat Feni terputus. Alan menggodanya dengan kecupan manis di leher jenjangnya.

"Aku merindukanmu," ucap Alan dengan suara serak menahan gairah.

Feni menikmati sentuhan erotik Alan yang mulai memanas. "Aku juga merindukanmu Alan, tapi …,"

"Tapi apa?" Gigitan nakal Alan meloloskan desahan Feni.

Kelebatan bayangan Amelia muncul. Feni seketika menghentikan Alan. "Amelia!"

Alan langsung terdiam, menarik wajahnya dari ceruk leher Feni. Dengusan nafas frustasi terdengar kemudian dari bankir tampan yang baru saja kembali ke kota.

"Kau membuatku kesal."

"Bagaimana itu bisa terjadi? Apa kau tahu siapa pembunuhnya?" Feni mendekati Alan yang kini duduk di sofa dengan tatapan kosong.

"Entah, aku juga tidak tahu tapi … aku bersyukur dia tewas!"

"Alan! Bukan waktunya kita bersenang-senang, polisi bisa mengendus hubungan kita dan menuduh kita ada di belakang kejadian mengerikan itu!" Feni terlihat histeris.

Alan menoleh ke arah Feni, menatapnya dingin. "Tidak mungkin! Apa kamu tidak melihat berita? Amelia tewas bunuh diri dengan cara mengerikan!"

"Aku tahu tapi itu tidak menutup kemungkinan kita akan terseret di dalamnya! Amelia menghubungiku dihari dia mati!"

Alan terkejut, "Apa? Kenapa dia menghubungimu?"

"Bukan hal penting. Dia hanya mengajakku bertemu, aku menolaknya dengan alasan rapat." Feni menggenggam erat kedua tangannya. Ia sangat gelisah.

"Lalu apa masalahnya? Dia tidak curiga kan?" Alan mencondongkan tubuhnya demi memeluk Feni yang gemetar.

"Tidak, dia tidak curiga hanya saja aku merasa ada yang aneh."

"Maksudmu?" Keduanya saling menatap.

"Ada suara yang berbisik saat Amelia bicara di telepon. Awalnya aku pikir itu hanya gangguan sinyal saja tapi … ah, entahlah!" Feni mengusap tengkuknya.

"Aku tak mengerti, katakan padaku … perlahan!" Alan membantu menenangkan Feni yang kalut.

"Suara perempuan, melarangku mendekat. Suara yang mengerikan, parau seperti … tercekik sesuatu."

"Suara? Apa kau yakin tidak berhalusinasi?" Alan mencoba memastikan.

"Aku yakin, aku takut sekali! Setelah aku ingat ingat suara itu mirip sekali seperti suara Aluna! Entah mengapa wajah Aluna terlintas begitu saja saat itu."

Alan terperanjat, matanya membulat sempurna dan rahangnya mengeras. Feni menyebutkan nama yang sangat ingin dilupakannya selama bertahun tahun. Nama yang akan membuka jati diri Alan sesungguhnya.

Demi mengusir rasa takut Feni, Alan meraihnya dalam pelukan. Menenangkan gadisnya yang mulai terisak. Feni sangat tertekan mengingat Amelia adalah sahabatnya. Sudah bisa dipastikan Feni akan terbawa dalam kasus Amelia.

Aluna, aku harap Feni salah mengenalimu!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
🇳 🇱 🇿
pemain wanita
goodnovel comment avatar
EL ZERO
hohoho alan rupanya pemain peran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status