Seorang wanita muda berjalan dengan langkah riang menyusuri koridor sebuah kantor. Hari ini semua pekerjaannya selesai tepat waktu jadi Amelia bisa pulang dengan cepat. Sederet kegiatan sudah disiapkan Amelia begitu tiba di rumah.
"Me time! Akhirnya bisa menikmati weekend dengan tenang!" ujarnya dengan senyum terkembang.Amelia memasuki basement, memeriksa pesan di ponsel nya sebelum masuk ke dalam mobil. Ia tersenyum menatap layar ponselnya, mendapati pesan cinta dari sang kekasih. Besok ia janji bertemu dengan kekasih yang sedang menjalankan tugas di luar kota."Aku merindukanmu, Alan." gumamnya sambil mengetik pesan cinta balasan.Sebuah foto terkirim ke dalam ponsel Amelia, foto yang membuatnya terpekik sambil menahan geli. Pacarnya itu mengirimkan foto setengah telanjang bak model pria dewasa."Uuugh, your naughty boy!" Begitu balasnya pada Alan.Saking asiknya berbalas pesan, Amelia tak menyadari keganjilan sedang terjadi di sekelilingnya. Di sisi gelap tempat parkiran, sepasang mata nyalang memperhatikan Amelia yang masih asyik bermain ponsel dalam mobil.Rambut kusut masai menutupi hingga punggung, darah kehitaman yang masih menetes bak darah segar terlihat berjatuhan di lantai dari salah satu ujung jari kanannya. Luka lebam bekas jeratan terlihat jelas di bagian leher. Pakaiannya robek di beberapa bagian sehingga nyaris memperlihatkan aset kebanggaan wanita. Kulit pucat kebiruan, luka gores panjang dan lebar di bagian betis semakin memperburuk rupa sosok seram dalam gelap itu.Kaca mobil milik Amelia perlahan membeku. Bak berada di musim dingin kaca mobil itu berembun menandakan dinginnya suhu sekitar. Kebekuan kaca itu berjalan perlahan tapi pasti dari kaca bagian belakang ke depan. Amelia masih tak menyadari yang terjadi dengan perubahan suhu di dalam mobil.Ia mengaktifkan kamera dan membuat foto selfie dengan gaya sensual untuk Alan kekasihnya. Sekali jepretan dirasa tak cukup, ia mengulang lagi dengan sedikit membuka kancing atas kemejanya."Hai, sayang!" gumamnya dengan pose mengundang.Amelia sangat merindukan kekasihnya, ia berharap pertemuan mereka besok akan berakhir dengan pergumulan panas di ranjang. Sungguh ia tak tahan menunggu hari esok. Satu kali jepretan foto kembali dilakukan, kali ini sedikit mengekspos aset pribadinya dari atas. Sudut kamera yang luas sengaja di setting hingga memperlihatkan sedikit bagian kursi penumpang.Amelia hendak mengirimkan foto itu saat ia melihat keganjilan dalam hasil jepretannya. Sesosok bayangan, bukan! Bukan bayangan tapi seorang wanita dengan mata melotot menatapnya dari kursi penumpang. Amelia tak percaya dengan apa yang dilihatnya, ia memperbesar gambar hingga dua kali lebih besar.Tangannya gemetar, bibirnya membuka tapi tak bisa berkata apapun, jangankan berteriak untuk bersuara pun ia tak bisa. Leher Amelia terasa kaku dan seluruh bulu di tubuhnya berdiri. Perlahan, ia menengok ke arah belakang tepat di kursi yang diduduki sosok asing itu.Waktu bergerak lambat sekali bagi Amelia, dan ketika ia berhasil menoleh tak ada siapapun di kursi penumpang. Amelia menarik nafas lega."Cuma halusinasi!"Tapi itu hanya sesaat, ia kemudian menyadari keanehan terjadi pada mobilnya. Kacanya membeku dan retak di beberapa sisi. Ia terkesiap."A-apa yang terjadi!"Amelia memutar tubuhnya, melihat ke samping kanan dan kiri, ke belakang dan ke depan. Ia ketakutan, Amelia berusaha membuka pintu mobil tapi entah bagaimana pintu itu terkunci. Amelia menggedor gedor pintu berharap seseorang mendengar dan membantu keluar dari mobil yang terasa horor baginya.Amelia yang panik tak bisa lagi berpikir jernih. Amelia lupa jika ponselnya masih menyala. Ia sama sekali tak berpikir untuk meminta bantuan para sahabat nya. Amelia bahkan tak menyadari jika ponselnya terjatuh di kolong kursi saat Amelia mencoba membuka pintu mobil dari dalam."Tolong, tolong aku! Keluarkan aku dari sini!" teriaknya panik dengan mata basah."Mobil sialan, kenapa semuanya tidak berfungsi!" Amelia mengumpat sambil terus menekan handle pintu.Amelia berhenti saat merasakan sapuan hawa dingin di sekitarnya. Hawa dingin yang menyeramkan!Ekor mata Amelia menangkap pergerakan di kursi penumpang, bau busuk darah bercampur sedikit bunga mengaduk perutnya. Tubuhnya merespon dengan cepat hal ganjil yang tengah terjadi. Tangannya gemetar, wajahnya memucat, dan aliran darah terpompa jauh lebih cepat beberapa kali dari ukuran normal.Matanya melirik perlahan kesamping, dan ia menemukan sosok yang tertangkap kamera ponsel tengah duduk disebelahnya. Kepala sosok itu menoleh hampir sembilan puluh derajat ke arah Amelia saat netranya menangkap bayangan makhluk adikodrati seram itu.Matanya tidak lagi melotot seperti dalam frame tapi, nyaris lepas. Amelia sesak nafas, ia ingin berteriak tapi lagi-lagi suaranya tertahan di tenggorokan. Sosok seram itu hanya tersenyum lebar satu kali sebelum akhirnya Amelia tak mengingat apa pun lagi.Aaaaaargh!!***Orang-orang sibuk berlalu lalang, sebagian berkerumun dan berbisik, sebagian lagi hanya melongok memastikan apa yang terjadi di basement gedung kantor periklanan tersohor.Sekitar sepuluh anggota kepolisian disebar mencari informasi dengan mewawancarai para saksi mata. Sementara tim Inafis mengolah tempat kejadian perkara dengan teliti. Tak ada detail yang terlewat dari tim ahli khusus kepolisian ini."Korban wanita, usia sekitar 24 tahun, pekerja, perkiraan kematian sekitar … tujuh jam."Budi salah satu tim Inafis berkata seraya mengambil gambar korban dari beberapa sisi. Sementara rekannya Andi, mencatat dalam laporan. Andi juga mengambil beberapa sampel yang diperkirakan bisa menjadi petunjuk."Tidak ada tanda-tanda perlawanan, pintu mobil terkunci … apa dia dibunuh di tempat lain lalu dimasukkan dalam mobil?" Andi menoleh ke arah Budi yang memperhatikan keadaan dalam mobil."Aku kira tidak, lihat arah percikan darah ini. Semuanya sinkron dengan luka dan kondisi korban. Dia dibunuh disini."Andi ikut memperhatikan bukti yang ditunjukkan oleh Budi. Ia setuju dengan perkataan rekannya itu."Luka mematikan hanya satu, tikaman langsung di jantung. Tepat pada sasaran."Andi membayangkan posisi korban saat kejadian berlangsung, tidak adanya tanda-tanda sedang bersama orang lain membuat Andi dan Budi menduga-duga hal lain yang menjadi kemungkinan terbunuhnya korban."Bunuh diri?" Budi bertanya pada Andi sambil memeriksa hasil jepretan kameranya."Hhhm, entahlah. Lukanya terlalu brutal jika ini bunuh diri. Seseorang yang ingin bunuh diri pada awalnya akan mengalami fase keraguan sebelum melakukan tindakan berbahaya, lukanya yang ditimbulkan kebanyakan terlihat berantakan dan tidak rapi. Tapi dia berbeda." Andi menganalisa."Kau benar, apalagi dia merusak wajahnya sendiri. Aku kira ini sangat mustahil jika dikatakan bunuh diri." Budi menambahkan."Lalu bagaimana dengan tulisan aneh ini?!" Seru seorang laki-laki tampan bertubuh atletis dengan pakaian yang terlalu santai untuk seorang anggota kepolisian.Andi dan Budi saling menatap, keduanya belum pernah melihat laki-laki itu dalam kesatuan mereka. Menyadari dirinya dicurigai lelaki itu pun tersadar lalu mendekat ke arah Budi."Maaf aku lupa mengenalkan diri, namaku Raksa! Aku baru dipindahkan kemarin kesini dan sialnya … langsung menemui kasus ini!"Budi mengedikkan kepala sebagai tanda mengerti, ia masih enggan berbagi dengan detektif baru apalagi usianya mungkin lebih muda empat atau tiga tahun darinya.Uluran tangan yang tak disambut oleh Budi tak menyurutkan niat Raksa untuk meneruskan pertanyaan. Ia paham sebagai orang baru pasti dirinya sulit diterima langsung dengan baik."Jadi bagaimana pendapatmu tentang tulisan itu?" Raksa bertanya sekali lagi."Entahlah, kami juga heran. Dari jejak darah ditangannya, korban pasti menulis sendiri dengan darahnya. Tapi tidak ada jejak dirinya keluar mobil. Ini aneh mengingat seharusnya pasti ada jejak darah di atas kap mobil atau mungkin lantai." Andi menjawab pertanyaan Raksa."Yup, aku juga merasa aneh. Jadi siapa yang menulis pesan ini. Hantu?""Hantu? Ayolah jangan membuatku tertawa, kawan! Mana mungkin hantu melakukan semua ini? Membunuh? Itu hanya cerita dalam film!" Budi mencibir pendapat Raksa, ia kembali memotret korban."Lalu bagaimana kalian menjelaskan tulisan dengan penuh darah ini?" Raksa berkata lirih memperhatikan. Tulisan di kaca bagian belakang mobil. "Dia, ada disini? Apa maksudnya? Pelakunya, atau orang lain?" Raksa kembali bermonolog, memperhatikan dari dekat tulisan darah yang telah mengering.Bau amis darah tercium Raksa, sedikit menyengat ditambah bau tak sedap yang menurutnya mirip bau daging busuk. Raksa mengendus-endus pakaiannya dan juga mencari ke sekeliling mobil."Hei, apa kalian mencium bau bangkai?" Ia berseru pada kedua anggota Inafis yang masih sibuk mencatat. Keduanya terlihat menggeleng bahkan Budi semakin sinis menanggapi setiap kalimat Raksa. Raksa tak kehilangan akal, ia mengambil kontak mobil yang masih menggantung di tempatnya lalu membuka bagasi belakang.Dua atau mungkin tiga ekor
Seorang wanita gemetar memperhatikan Raksa dari balik tiang besar. Kerumunan orang dan petugas kepolisian yang berlalu lalang memancing perhatiannya. Wanita itu salah satu pekerja di gedung perkantoran. Rasa penasarannya membuat ia nekat menyelinap diam-diam. Dari bisikan yang masuk ke telinganya, telah terjadi pembunuhan di basement. Mayat wanita ditemukan tewas dengan sejumlah luka tusuk pada wajah dan tubuhnya. Beruntung, ia memiliki kartu pass yang membuatnya bisa melewati penjagaan ketat petugas keamanan.Wanita itu langsung menuju basement demi memuaskan rasa penasarannya. Tapi betapa terkejutnya ia saat tiba di lokasi pembunuhan dan mengetahui siapa yang terbunuh. Wanita itu tak mampu lagi menahan rasa ketakutannya. Tangannya gemetar, wajah cantiknya memucat. Ia menutup mulut agar suara tangisannya tak terdengar."Bukan, itu bukan dia kan?" Gumam wanita itu lirih di sela air mata yang membasahi pipinya.Wanita itu terkesiap saat matanya beradu dengan Raksa, detektif muda itu m
Raksa dan Airlangga dibuat penasaran dengan suara tawa ganjil di akhir video. Bagi Raksa suara itu mirip dengan yang ada dalam ilusi nya. Airlangga kembali memutar video, memotong bagian yang tak perlu dan memperjelas suara."Dengarkan ini pak, ada suara yang sama sesaat sebelum teriakan Amelia."Airlangga memperdengarkan suara yang sudah diperhalus sehingga menajamkan kalimat yang terekam.Kau, harus mati!Suara itu terdengar begitu cepat dan lirih lebih mirip gumaman hingga telinga Raksa tidak terlalu bisa memahami. "Kita dengarkan sekali lagi," Airlangga melambatkan rentang waktu, mengeraskan suara.Kau, harus mati!"Bagaimana menurutmu?" Raksa bertanya pada dua rekannya.Dian mengusap tengkuknya. "Jujur, saya merinding. Suara ini seperti bukan suara manusia, ini seperti suara …,""Setan?" Airlangga menyambar."Yeah, seperti itulah." Jawab Dian tak yakin.Raksa tersenyum masam melihat tingkah dua rekan sejawatnya itu. Andai dia tidak terbiasa dengan kehadiran para roh bisa dipasti
Raksa menyesap kopinya, menikmati pahit dan harumnya kopi yang menyelusup di indra pengecap dan penciumannya. Ia menunggu dokter Frans keluar dari ruangan otopsi."Apa otopsinya sudah selesai?" Dian berjalan mendekat, wajahnya masih terlihat pucat."Hem, sudah tinggal menunggu hasilnya.""Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali." Raksa sedikit mengkhawatirkan kondisi rekannya."Sedikit pusing tapi kafein pasti membantu."Tak lama kemudian dokter Frans keluar ruangan. Ia membawa salinan hasil otopsi untuk Raksa."Maaf sedikit lama. Ini hasilnya, dari bentuk luka yang ada di tubuhnya tidak menunjukkan keragu raguan. Sembilan tusukan di perut dan satu tepat melubangi jantung. Kami menyimpulkan, Amelia melakukannya sendiri.""Apa? Itu mustahil, satu tusukan saja biasanya cukup membuat pelaku bunuh diri ragu. Tusukan kedua biasanya tidak terlalu dalam, rasa takut mati akan menguasai." Dian mencoba mematahkan pendapat forensik.Dokter Frans menaikkan sudut bibirnya. "Faktanya begitu, semu
Raksa memperhatikan dengan seksama hasil temuan para penyelidiknya. Kasus kedua di sebuah apartemen memiliki kemiripan dengan kasus Amelia. Ditemukannya pesan yang sama 'Dia, ada disana!'Dua tim dengan kasus yang berbeda duduk bersama di ruangan meeting. Raksa dan Jack memutar otak, memperhatikan bukti pendukung yang didapat dari dua pembunuhan misterius yang hanya berjarak beberapa jam saja.Raksa mengetuk ngetukkan penanya di atas meja. Tangan yang lain mengurut dahinya yang mulai berminyak. "Apa menurutmu ini dilakukan orang yang sama?"Jack tak menjawab, ia terlihat berpikir keras. Bagaimana tidak mayat kedua ditemukan mengenaskan dengan leher tergorok di atas lift. Sebuah pertanyaan besar bergelayut di kepalanya. Bagaimana cara manusia biasa menarik tubuh Ronald yang berbobot enam puluh tujuh kilogram tanpa bantuan orang lain ke atas kotak lift."Ini tidak masuk akal pak! Sangat sulit dipercaya secara logika!" Jack akhirnya menanggapi pertanyaan Raksa setelah lama terdiam dengan
Raksa merebahkan tubuh letihnya di ranjang king size nan empuk. Ia menatap langit-langit kamar, lalu memejamkan mata menetralkan rasa dari pandangan-pandangan tak biasa yang menderanya seharian."Bad day, bad case, bad body! Lengkap sudah!" Keluhnya sambil memijat kening.Ia membiarkan televisi layar datar di kamarnya menyala, menampilkan tayangan komedi favoritnya. Suara tawa dan banyolan lucu terdengar memenuhi kamar, tapi Raksa sama sekali tak berniat melihatnya. Ia lelah sekali, berkali kali mendapat visi tentang kematian mengerikan membuat energi Raksa tak seimbang.Memiliki kemampuan tak biasa memang sangat menyiksanya. Selain menguras energi, kemampuan itu juga membuatnya tersiksa. Raksa selalu menolak kemampuan alaminya tapi di sisi lain ia juga kerap manfaatkan. Raksa belum bisa memahami apa yang menjadi takdir hidupnya.Detektif muda itu membuka laci nakas disamping tempat tidur, mengambil botol berisi obat dari dokter langganannya. Anti depresan.Raksa mendengus kasar, dira
Pagi ini Raksa kembali disibukkan dengan kegiatan investigasi. Kekasih Amelia, Alan akhirnya datang memenuhi panggilan penyidikan. Ia datang didampingi pengacara, cukup cerdik atau mungkin Alan memang tidak ingin menghabiskan waktunya di ruang investigasi.Airlangga ditugaskan untuk menyelidiki alibi Alan diruang terpisah sementara Dian menginterogasi Alan dengan list pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya. Lima belas pertanyaan telah disiapkan untuk Alan termasuk memastikan Alan berada diluar kota saat kejadian.Raksa diam memantau gerak gerik Alan dari layar monitor. Sesekali ia menggigit jari telunjuknya."Dia benar-benar ada diluar kota saat kejadian, pak." Airlangga berkata setelah beberapa saat meneliti alibi Alan"Benarkah? Orang itu, sepertinya aku pernah kenal tapi dimana?" Raksa terus mengawasi lelaki muda bergaya metropolis yang sedang menjawab pertanyaan Dian."Dia brand ambassador dari produk kosmetik pria sekaligus bankir. Wajahnya banyak terpampang di banner tempat
Airlangga menunjukkan pada Jack beberapa potong gambar yang mencitrakan pria berjaket hitam dengan topi dan masker yang menutupi wajahnya. "Lihat ini, dia tertangkap cctv berjalan sambil memantau keadaan menuju lift.""Perkiraan jam dengan kematian R?" tanya Jack memperhatikan layar."Hanya seper sekian detik dari rekaman yang ditunjukkan dalam lift.""No way! Apa dia cenayang yang bisa meramalkan kematian seseorang atau justru dia yang merencanakan semuanya?" Jack terbelalak dan menarik kursi putar di dekat Airlangga untuk melihat lebih jelas.Ia mengernyit dan beberapa kali meminta putar ulang tayangan pada Airlangga. "Ini … aneh sekali."Jack memundurkan kursi dan menyandarkan punggungnya. "Apa kau juga sependapat denganku?"Airlangga mengangguk, "Bahkan jika kita membandingkan dua video dalam lift dan di luar lift sama sekali tidak ada sosok pria ini masuk. Lalu bagaimana dia menghilang? Atau dia memang tidak pernah masuk ke dalam lift?""Entahlah, tapi setidaknya kita memiliki g