Share

CHAPTER 4

Sacie tidak peduli dengan ucapan Matthew minggu lalu. Yang jelas, statusnya sekarang adalah istri dari pengusaha terkaya New York. Mencintai atau dicintai memang hal yang berbeda, tetapi dia sudah berjanji dan janji harus ditepati.

“Matt, kau mau sarapan?” suara Sacie mengejutkan Matthew yang baru saja menenggak air putih. “Kalau kau mau, aku akan membuatkannya.”

Perkataan yang tidak pernah Matthew lewatkan adalah Sacie yang terus menanyakan sarapan untuknya. Dia tidak cukup mengerti bagaimana pola pikir wanita itu, sudah seminggu lalu dia dengan tegas menolak Sacie. Tetapi, Sacie justru semakin mendekatinya. Termasuk menanyakan kabar dan sarapan.

“Aku tidak pernah sarapan.” Matthew meletakkan gelas bening di wastafel, barulah dia pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan dapur ucapan Sacie membuatnya berpikir sepanjang perjalanan.

“Aku tahu kau mungkin merasa terganggu dengan pertanyaan yang sama selama seminggu ini. Tapi, ingat Matt aku tidak akan menyerah. Aku akan membuktikan kalau aku bisa membuatmu jatuh cinta.”

“Sial! Kenapa ucapannya sangat mengangguku!” Matthew mengusap rambutnya ftrustrasi. Saat ini dia berada di Cullen Bar, salah satu bar ekslusif dan terbesar di New York. Tempat yang menjadi surganya selama beberapa tahun. Matt sengaja ke sini untuk melepas beban kepalanya yang terasa menyesakkan. Entah mengapa pikirannya selalu tertuju kepada Sacie, wanita yang tidak akan pernah dia cintai.

Dering ponsel mengalihkan perhatian Matthew. Nama Steven Leonardo terpampang di layar, dengan semangat dia mengangkatnya. “Kau sudah mendapatkannya?”

“Dia main di beberapa film dewasa. Mungkin kau akan menyukainya.” Steven lalu bertanya karena heran dengan Matthew yang tiba-tiba ingin memesan wanita, “kenapa kau justru menginginkan dia bukan istri mungilmu itu?”

“Bukan urusanmu. Matikan telepon ini, aku tidak sabar untuk menelanjanginya.”

Steve tergelak kencang. “Bagaimana dengan prinsip yang kau pegang itu. Kau kan pernah bilang tidak akan sex dengan banyak wanita.”

“Sekali-kali melanggar prinsip bukan masalah.” Matthew mematikan telepon sepihak. Dia lalu melihat jam, senyumnya merekah. Tepat jam sebelas malam, seorang wanita cantik dengan gaun merah menyala ketat dan memperlihatkan lekuk tubuhnya datang. Penampilannya sungguh menggoda, bahkan banyak laki-laki yang memperhatikan dia.

Wanita itu mendekat dan takut-takut duduk di samping Matthew. “Hai, kau sudah lama?” pertanyaan itu menggantung karena tidak mendapatkan jawaban dari Mattthew. Untuk memecah keheningan, dia pun memperkenalkan diri dengan sedikit malu. “Aku Anna Lawrence. Kau bisa memanggilku Anna.”

Matthew melirik, meski penampilan wanita itu begitu menggoda namun dia tetap tenang. “Panggil aku Matt.”

Terjadi keheningan cukup lama di antara keduanya. Matthew sebenarnya sibuk meneliti setiap inchi tubuh Anna yang begitu sempurna. Fisik dan kecantikannya memang tidak ada tanding, kulit putih dan mulu berserta bentuk bodynya yang mengesankan. Dua tonjolan yang cukup besar ditambah pinggulnya yang ramping membuat dia semakin menggoda.

“Kau biasa melakukan pekerjaan ini?” Mattew akhirnya buka suara lebih dulu. Sebenarnya dia cukup tertarik dengan Anna yang tidak terlalu banyak bicara. Sikapnya sangat anggun dan juga sedikit malu. Menarik dan menggoda dalam satu waktu.

Anna yang tadi banyak menunduk kini mendongak. Menatap sepasang mata Matthew yang sangat memesona. Bersinar seperti cahaya bulan malam hari. Dia cukup terbius dengan kharisma laki-laki itu. “Kau melamun?”

Percakapan di antara mereka cukup panjang. Matthew bahkan melupakan urusan birahinya. Dia lebih tertarik dengan kehidupan wanita itu. Anna yang seharusnya menjadi wanita penghibur dan pemuasnya, kini justru menjadi teman bicara. Matthew baru menyadari bahwa sosok Anna yang terlihat begitu menggoda ternyata memiliki sikap malu dan cukup polos. Hal yang menjadi ketertarikannya untuk saat ini.

Pembawaan Anna yang sedikit gugup membuatnya lucu. Matthew sempat berpikir, benarkan wanita seperti Anna ini adalah wanita panggilan bahkan menjadi bintang film dewasa? Bila disangkutpautkan dengan pakaiannya Matthew akan setuju, namun bila dipadukan dengan sikapnya, Matthew ragu. Wanita itu menarik.

Malam itu Matthew menghabiskan sepanjang malam bersama Anna. Bukan untuk seks melainkan untuk beradu opini. Belakangan Matthew menarik kesimpulan bahwa Anna adalah sosok wanita yang cukup pandai, semua argumennya bisa digunakan untuk mendebatnya, namun tetap membiarkan Matthew menjadi yang dominan. Seolah dia tahu, bahwa Matthew adalah laki-laki yang tidak suka mengalah.

Matthew mengantar Anna sampai ke apartemen mewah di New York. Pertemuan itu menjadi pertama dan satu-satunya yang paling membekas di antara keduanya. Sampai akhirnya setiap ada waktu senggang, Matthew akan menyempatkan diri mampir di apartemen Anna. Sesekali untuk menikmati surga yang harus dia jamah. Malam panas yang berakhir dengan senyuman manis Anna Lawrence. Pesonanya sangat menajubkan.

Lain halnya dengan Anna, Mathew semakin jarang berada di rumah. Bahkan dia akan pulang hanya dalam kurun waktu satu minggu. Tidak ada pembicaraan apalagi tegur sapa dengan Sacie. Seringnya, Matthew pulang dini hari, usai bertemu dengan Anna. Dia pulang hanya untuk istirahat dan esoknya dia akan kembali berkutat dengan tumpukan berkas di mejanya.

Melihat perilaku Matthew, tentu saja Sacie Johanson tidak bisa untuk tidak peduli. Dia kesepian dan akhirnya memutuskan untuk membuka toko bunga. Dia membicarakan hal ini dengan Matthew waktu laki-laki itu akan pergi bekerja.

Sudah sekitar seminggu toko bunganya buka. Sacie menjadi sibuk mengurus pelanggan dan bunga-bunga miliknya. Sebenarnya, Sacie bisa saja bekerja di kantor ayahnya, tetapi dia tidak mungkin melakukannya karena Matthew melarang. Katanya, akan menjatuhkan martabatnya sebagai seorang laki-laki. Selain itu, kantor itu juga masih dipegang penuh oleh ayahnya sendiri. Dan dia tidak mau ikut campur. Biarlah suaminya sendiri yang mengurus.

Lamunan Sacie buyar ketika mendengar deru mobil di luar. Dia segera beranjak menuju ruang tamu. Baru saja akan menyapa dengan senyuman, wajah Sacie berubah drastis. Lengkungan di bibirnya luntur dan pandangan matanya fokus menatap seorang wanita yang digandeng Matthew.

“Kau tunggu di sini, aku hanya perlu waktu sebentar.” Matthew menunjuk ke sofa, yang langsung dituruti Anna.

Sementara itu, Sacie mendekat. “Matt?”

Panggilan itu membuat mereka berdua menatap ke sumber suara. “Siapa wanita ini? Kenapa kau membawanya ke sini?” Sacie tidak bisa menahan pertanyaannya. Dia ingin tahu maksud Matthew membawa wanita lain yang tidak dia kenal ke rumah utama mereka. Masalahnya, mereka terlalu akrab dan terlihat mesra.

Matthew membalas dengan tatapan dingin berserta pernyataan yang membuat Sacie menahan tangis. “Dia kekasihku.” Tanpa beban Matthew meluncurkan kata-kata itu, seolah-olah tidak akan pernah ada wanita yang merasa disakiti dan dikhianati.

“Kekasih? Kau memiliki kekasih di saat aku menjadi istrimu?” suara bergetar itu diiringi air mata yang mengalir. Hati Sacie sakit melihat dan mendengar suaminya memperkenalkan wanita lain di depannya. Tidakkah Matthew tahu bagaimana cara menghargai?

Matthew mendekat ke arah Sacie. Wajahnya jelas di depan wanita itu. Auranya begitu dingin dan menusuk. “Sejak kapan kau peduli dengan semua privasiku. Jangan membuat dirimu bodoh, kau sudah setuju untuk semuanya.”

Hati Sacie makin terjepit. Perjanjian itu!

“Kau bukan wanita bodoh Sacie Johanson. Kau pasti tahu maksudku.” Matthew ingin pergi ke ruang kerjanya untuk mengambil hadiah yang sudah dia persiapkan untuk Anna. Kemarin dia meminta Robert untuk menyiapkan liontin paling mahal di toko perhiasan. Sialnya dia lupa membawa benda itu.

“Matt, tunggu.” Sacie menahan tangan Matthew. “Tidak bisakah kau menghargai sedikit saja perasaanku?”

Matthew menghela napas panjang lalu menyingkirkan tangan Sacie di lengannya. “Aku sudah menegaskan tidak akan pernah mencintaimu. Urusan kau menyukaiku adalah urusanmu sendiri.”

Sacie mengeratkan genggamannya. Mulutnya bungkam, tidak bisa mengeluarkan satu kata pun. Dia hanya bisa melihat Matthew yang menjauh.

Selama beberapa menit, Sacie terdiam di tempat. Dia menarik napas lalu melirik ke arah wanita yang sejak tadi diam di sofa menyaksikan pertengkarannya dengan Matthew. Gumuruh kemarahan mulai menguasainya, dia menatap nyalang ke arah Anna dan tanpa permisi menarik wanita itu.

Anna terkejut ketika lengannya ditarik. Hampir saja kepalanya membentur meja. Beruntung tangan kirinya berhasil menumpu tubuhnya.

“Kau wanita pelacur! Berani sekali kau ke sini bersama suamiku!” kemarahan Sacie meluap. Layaknya banjir bandang yang sebentar lagi akan menerjang apapun tanpa belas kasihan. Hanya butuh satu pertemuan untuk membuatnya benci kepada sosok wanita tidak tahu malu di depannya.

Anna menunduk ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat ketika mendengar seruan Sacie. “Apakah harga dirimu hanya sebatas pelacur sampai-sampai berani mengunjungi rumah suami orang lain?!” Sacie semakin histeris. Dia memegang bahu wanita itu lalu mencengkram mulut Anna agar menghadap dirinya. “Kau begitu hina! Wanita tidak tahu malu!”

Anna tergagap untuk menjawab, suaranya tercekat sampai-sampai tidak bisa membalas satu pun perlakuan Sacie. “Apa kau merasa begitu hebat sampai berani merebut suamiku?”

Sacie sudah dikuasai emosi. Dia tidak peduli dengan air mata Anna yang menetes di tangannya. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah meluapkan kekesalan dan kebenciannya. Wanita itu harus diberi pelajaran. Dan Sacie menerima perintah otaknya. Kalau Matthew berpikir Sacie tidak berani melakukan hal nekad maka dia salah. Sacie juga manusia yang memiliki beragam emosi. Termasuk kemarahannya sekarang.

Semakin lama, perkataan Sacie semakin pedas. Tidak satu kalimat pun yang dijawab oleh Anna karena wanita itu justru sibuk menangis. Puncaknya, Sacie ingin menampar wanita itu, namun lengannya ditangkap oleh Matthew yang datang tiba-tiba dengan teriakan keras. “Kau gila! Apa yang kau lakukan padanya, jalang!”

Sacie membelalakkan mata mendengar umpatan Matthew. “Kau membuatnya ketakutan bodoh!”

Matthew membawa Anna ke dalam pelukannya. Saat itulah tangis Anna pecah. Melihat kondisi Anna, Matthew menaruh kebencian kepada Sacie. Dia mengeluarkan senyuman menakutkan, “selain ayahmu yang tidak tahu diri, rupanya kau juga tidak tahu malu!”

“Matt, aku ini istrimu!” Sacie tidak mau kalah.

Mendengar kata istri membuat rahang Matthew mengeras. Tidak sudi dia dikatakan sebagai suami wanita gila di depannya. “Kau masih berani menyebut dirimu seorang istri?” tawa Matthew pecah. “Orang gila pun akan tertawa mendengar ucapanmu itu!”

Sacie membiarkan air matanya mengalir. Hatinya terasa remuk. Bahkan perilakunya sampai saat ini tidak pernah diakui oleh suaminya sendiri. Sacie yang selalu berusaha melakukan yang terbaik nyatanya tidak memiliki arti apapun.

“Perilakumu saat ini tidak mencerminkan Tuan Putri Keluarga Johanson. Kau justru seperti jalang tidak tahu malu!” Matthew merangkul tubuh Anna dan mengajaknya pergi dari rumah itu.

Di lain pihak, tubuh Sacie luruh ke lantai. Dia menangis tersedu-sedu. Seumur hidupnya tidak pernah satu kali pun dia dimaki begitu kasar bahkan disebut seperti jalang. Namun, laki-laki yang dicintainya justru membuatnya tampak sangat hina.

“Matt, aku tidak akan membiarkan semua ini. Aku tidak akan pernah rela jika wanita itu merebutmu!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status