Share

Dendam Sang Billionaire
Dendam Sang Billionaire
Penulis: constellations.ly

CHAPTER 1

Gedung-gedung pencakar langit berdiri megah. Seolah siap menuju langit untuk menggapai mimpi manusia. Di antara banyak gedung tinggi, G I Company adalah salah satu yang paling mencolok. Diklaim sebagai kiblat investasi New York, GI Company telah membawa banyak perubahan. Roda ekonomi New York tak lepas dari pengaruh perusahaan investasi tersebut.

“APA?! Kau pikir aku memiliki gedung setinggi ini dan membayar gaji dengan nominal sebesar itu berhak mendapatkan kabar buruk darimu?!” kemarahan Matthew Clooney membuat George Hught yang menjabat sebagai Chief Investment Officer menggigil.

“Perusahaanku bukan badan amal yang akan memberikan gaji secara cuma-cuma. Pikirkan itu!” wajah Matthew semakin merah tanda bahwa kemarahannya tidak main-main.

George terus menunduk. Dia tahu masalah besar di perusahaan ini layak untuk diperdebatkan. “Sir, tetapi beberapa investor kita tidak memberikan alasan yang jelas. Mereka tiba-tiba mencabut seluruh saham.”

Matthew berdiri dari kursinya. Lengan kekar yang dipadukan dengan wajah penuh ketegasan itu mendekat ke arah George. “Kau pikir aku masih mau mendengarkan alasanmu?” laki-laki itu menatap George tajam. “Pergi dan katakan kepada bawahanmu, cari solusi untuk masalah ini. Bekerjalah sesuai gajimu!” suara Matthew terdengar pelan namun menusuk sampai ke jantung George.

Direktur investasi itu tidak lagi bersuara. Dia sudah kalah telak karena Matthew terus memojokkannya atas masalah investor yang tiba-tiba mencabut seluruh saham yang ada di GI Company. 

Beberapa bulan terakhir memang banyak masalah yang terus menimpa GI Company. Perusahaan itu hampir kehilangan sepuluh investor yang nilai investasinya cukup fantastis. Matthew Clooney sebagai CEO perusahaan dibuat marah besar atas masalah itu yang belum juga mendapatkan solusi, bahkan semakin hari semakin banyak investor yang mencabut seluruh saham mereka. Bila dibiarkan, Matthew harus menerima keadaan bahwa perusahaannya bisa saja bangkrut. Dan itu adalah masalah yang tidak pernah Matthew bayangkan.

“Sial! Kenapa masalah ini semakin panjang. Bagaimana bisa?!” kebingungan menguasai kepala Matthew. Dia masih berusaha mencari alasan dibalik investor-investor itu pergi meninggalkannya.

Matthew menghembuskan napas panjang. Kekecewaannya sudah tidak bisa dia jelaskan lagi. Ada begitu banyak hal yang dia pikirkan. Hanya satu hal yang terlintas dalam benaknya. “Apakah ini rencana si Tua itu?” tanya Matthew.

Laki-laki itu berjalan ke dekat jendela yang mengarahkannya ke pemandangan langit kota New York. Tidak ada bintang, hanya lampu kota yang terlihat berkelipan. Matthew menyilangkan tangannya di depan dada. Walaupun mulutnya diam, tetapi otaknya terus berkerja. Dia menganalisis dasar dari seluruh masalah yang menimpa perusahaannya.

“Kalau memang bukan dia, lalu siapa? Tidak mungkin para investor itu meninggalkan perusahaanku begitu saja.” Matthew terus berbicara sendiri. Dia teringat pembicarannya dengan seorang pengusaha properti dan real estat yang membuatnya tersinggung.

Si Tua yang terus memaksanya untuk bekerja sama lewat jalinan diplomasi bisnis. Dia menawarkan putrinya sebagai hadiah atas keberhasilan kerja sama mereka. Tetapi, Matthew menolak karena dia tahu, pihak yang akan sangat diuntungkan bukanlah dirinya melainkan Si Tua itu. Matthew marah dan langsung menolak seluruh tawaran itu dengan tegas. Dia tidak mau bekerja sama dengan pihak yang lebih banyak diuntungkan. Bagaimana pun juga GI Company adalah perusahaan besar yang harus memimpin dan mendapatkan lebih banyak profit.

Matthew masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sampai akhirnya laki-laki berjas formal hitam dengan telinga yang ditutupi alat perekam suara masuk. Robert Streap berkata hati-hati, “permisi, Sir. Waktu Anda untuk pulang,” ucapnya seraya membungkukkan tubuh.

Matthew terdiam sesaat sebelum akhirnya dia mengambil jas dan keluar bersama asisten pribadinya. Sepanjang jalan, Matthew terus memikirkan kemungkinan yang terjadi mengenai perusahaan dan juga seseorang yang dia tuduh sebagai kunci atas masalahnya.

Mansion mewah yang ayahnya berikan menjadi tempat yang nyaman untuk beristirahat. Rumah yang berunsur naturalistik itu dibangun dengan model minimalis dan juga dipenuhi kaca transparan hingga membuatnya tampak menyatu dengan alam.

Sampai di kamar, Matthew tidak langsung mandi. Sebaliknya, dia justru menghubungi seseorang.

“Wow! Anak muda, kau menelepon di waktu yang tepat,” ucap seseorang dengan suara khas yang membuat telinga Matthew berdengung.

“Kau ada waktu besok siang, Sir?”

“Tentu saja. Apakah kau sudah mempertimbangkan kerja sama yang aku tawarkan?” tanya Denzel Johanson yang terdengar sombong. Laki-laki itu juga tertawa di akhir pertanyaannya.

Matthew mengepalkan tangan. “Bawa sekaligus putrimu itu. Aku akan mempertimbangkan kalau dia cantik seperti yang kau katakan.”

Mr. Johanson tertawa mengejek. “Tentu saja. Seorang Sacie Johanson adalah putri terbaik keluarga Johanson.”

“Kita akan melihatnya besok.”

“Baiklah. Selamat tidur Mr. Clooney. Aku yakin besok kau akan terpesona melihat putriku,” balas Mr. Johanson yang kemudian mematikan telepon. 

Matthew melempar ponselnya ke atas ranjang. Dia menggeram kencang. “Brengsek! Berani sekali dia main-main denganku!” kekesalan Matthew terhenti ketika asisten pribadinya mengetuk pintu.

“Sir, ayah Anda ada di bawah.”

Matthew mendongakkan kepala. “Ada apa dia kemari?”

“Saya rasa ada masalah penting.”

Matthew segera menemui ayahnya. Tepat di ruang tamu, seorang laki-laki dengan pakaian santai sedang merokok. “Dad? Ada apa?” tanyanya.

“Duduk. Kau menganggu aktivitasku,” komentar ayahnya yang kemudian mematikan rokoknya. Melihat hal itu, Matthew yakin bahwa ayahnya sudah tahu perihal perusahaannya.

“Kau sudah tahu masalah perusahaanmu kan?” Alexandra Johanson menyandarkan tubuhnya ke sofa mewah dengan posisi kaki yang disilangkan. Ada aura kesombongan dan kekesalan yang terpancar darinya.

Matthew mengangguk. “Aku kira mereka yang menyuruh investor itu untuk mencabut seluruh saham mereka.”

“Keluarga Johanson terkenal dengan kelicikannya. Mereka bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sekiranya kau menjadi penghalang, maka kau siap disingkirkan,” jelas Alex. “Tetapi, mereka masih memandang reputasi bisnis dan latar belakang keluarga. Beruntung kau menjadi anakku. Mereka masih menggertakmu sedikit.”

Matthew mengeraskan rahang, tanda bahwa kemarahannya sebentar lagi meledak. “Dad, mereka terlalu kurang ajar dengan perusahaanku.”

“Aku tahu. Kadang-kadang kau harus memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu apa-apa untuk mengetahui karakteristik orang lain. Johanson adalah pebisnis besar. Dia berpengaruh dalam bidang properti dan real estat yang nominalnya terbilang fantastis.”

Matthew menyanggah. “Nominal perusahaanku juga jauh lebih fantastis. Tidak seharusnya mereka meremehkan kita.”

Alex menggeleng tidak setuju. “Kita menjalankan perusahaan karena ada investor. Kalau mereka semua pergi, kau mau gedung tinggi itu menjadi tempat kosong dan tidak berpenghuni? Pikirkan juga bawahanmu? Kita berbisnis bukan hanya soal uang tetapi juga keluarga.”

“Aku tidak peduli, Dad. Yang terpenting aku tidak mau perusahaanku hancur.”

Alex mengembangkan senyum. “Jadi, kau sudah tahu apa yang harus dilakukan?” wajah Alex yang sudah termakan usia masih tetap berkharisma. Walau rambutnya sudah dipenuhi warna putih tetapi otaknya masih tetap tajam. Dia memahami semuanya, termasuk putranya sendiri.

“Aku tidak punya pilihan lain selain menikahi putri Johanson. Aku sudah menghubunginya langsung dan akan bertemu besok siang bersama putrinya.”

Alex mengangguk. “Kau melakukan yang terbaik. Meski perusahaan itu akan sedikit berubah setidaknya usahaku dan kau tidak akan sia-sia.”

Matthew memandang ayahnya lama. Ada letupan kebencian dan kemarahan setiap kali melihat laki-laki tua. Matthew selalu terbayang Denzel Johanson.

Aku bersumpah akan melindungi perusahaan, Dad. Bagaimana pun caranya. Kita akan lihat seberapa licik keluarga Johanson.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status