“Aw…”
Rasa perih yang menusuk di punggung Raksha kembali terasa. Raksha merasakan rasa sakit yang janggal ini semenjak di hari ketiga dalam perjalanannya menuju Kota Rasagama.
Raksha tidak pernah terbentur, terbakar, ataupun terhantam di bagian punggung yang terasa perih itu sebelumnya. Rasa sakit ini muncul sekonyong-konyong. Untungnya dia bisa menekan semua keperihan itu dengan Kanuragan Ozora sehingga dia dapat menyembunyikan itu didepan Sena.
“Titik nyerinya berasal dari bekas luka bakar yang terpatri di punggung anda, Yang Mulia.”
Informasi Asoka kemarin itu membuat dia berpikir kalau luka bakar yang di punggungnya dulu berasal dari Prajurit Kanezka yang menempelkan besi panas berbentuk simbol segi sembilan di tiap penduduk desanya, termasuk dirinya. &nbs
“Intimidasi ini tidak mengubah apapun, komandan. Semua tuduhanmu tidak benar.”Wajah Lingga memerah murka mendengar penjelasan Yasa. “Dasar kakek bau tanah! Buat apa lagi kau sembunyikan kenyataan?! Kau tahu sendiri kalau Kerajaan Kanezka tidak akan memberikan toleransi sedikitpun pada siapapun yang bekerja sama atau melindungi Pendekar Dunia Arwah?!” sentaknya kasar.“Kau tidak punya bukti atas tuduhanmu, komandan. Kalau kau masih memaksakan ini, maka aku akan menyampaikan pesan pada Raja Widyanata atas kezalimanmu.”Lingga sontak membisu. Dia memaksakan senyumnya untuk menyembunyikan ketegangannya. “Kau berani membawa nama Raja Widyanata untuk menyembunyikan kesalahanmu? Dasar orang tua tidak tahu malu!”“Aku serius. Sekali lagi kau berteriak di rumahku, maka aku akan segera mengirim utusanku agar pergi ke Raja Widyanata. Pergi sekarang juga sebelum aku melakukannya, komandan.”Lingga ma
“Hahh…! Hahh….!”Ari berlari seperti orang kesetanan menjauhi penginapan tempat Raksha berada. Matanya tidak mungkin salah melihat. Walau tubuh pria yang dia lihat itu kini sudah semakin tegap dan kekar, dia tahu kalau pria itu adalah temannya semasa di kampung halamannya dulu. Dia yakin kalau pria itu adalah Raksha.Ari terus berlari seraya menyingkirkan orang-orang yang tengah berseliweran di kota. Jantungnya masih berdegup kencang karena dia tahu kalau Raksha menyadari keberadaannya.Baru saja Ari belok ke gang sepi, mendadak tubuhnya limbung. Dia merasakan ada yang mencengkeram pergelangan kaki kanannya tiba-tiba sehingga dia kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Dia kala itu tidak sadar kalau Asoka yang melakukannya dari balik bayangannya.“Aduh!”Ari terguling jatuh. Sebelum dia beranjak bangun, sosok Raksha sudah ada di hadapannya.“H-hii…!” Ari reflek merangkak mundur karena t
“Yang Mulia, apa yang harus kita lakukan?”Pertanyaan Suja malah membuat Raksha semakin bingung. Langkah kaki prajurit Kanezka yang terdengar semakin ketara membuat dia tidak bisa fokus pada Ari.Sekilas Raksha memfokuskan dirinya. Bayangan tubuhnya menyeruak lebat menyelimuti Suja, Asoka, dan Ari bersamaan.“Sembunyi disini sementara. Jangan buat gaduh.” seru Raksha setelah bayangannya itu berhasil menelan masuk ketiganya.Beberapa detik setelah itu, prajurit Kanezka yang Raksha duga kini tiba. Prajurit itu menatapinya dengan raut wajah curiga dan bengis. Raksha memasang muka datarnya ketika prajurit itu menghampirinya.“Hei! Apa yang kau lakukan disini?!” seru prajurit itu kasar.“Saya tersesat, tuan. Saya baru di kota ini.” jawab Raksha datar.Prajurit itu masih tampak senewen. Dia mengamati Raksha dari ujung kepala hingga ujung kakinya. “Kau bukan orang asli sini ya…&rdq
“Yang Mulia, anda tidak apa-apa?”Kecemasan Gardapati baru saja menyadarkan Raksha dari rasa pusingnya. Raksha melihat sekitar, sosok pria yang ada di penglihatan batinnya hilang. Yang terlihat sekarang hanyalah sosok Ari yang masih tersungkur tidak sadarkan diri.Siapa pria itu?Apa dia adalah Pendekar Dunia Arwah yang Chandra peringatkan agar dia menjauh darinya?Apa pria itu juga yang menjadi incaran Lingga dan pasukan Kanezka di kota ini?Apa hubungannya dengan bekas luka bakar berbentuk segi sembilan yang ada di balik punggung tiap penduduk desa Raksha?Pertanyaan itu berseliweran tiada henti, tetapi Raksha tidak bisa menjawabnya. Dia memilih untuk meninggalkan pertanyaan itu lalu membawa Ari yang masih tidak sadarkan diri ke tabib terdekat.Raksha berjalan menyusuri kota, tidak peduli walau orang-orang menatapinya dengan rasa penasaran. Kebingungannya berhenti ketika salah satu dari penduduk kota memberitahu ada satu
“Mana tabibnya?!”Tiba-tiba pintu ruangan sang tabib terbanting. Dua orang prajurit Kanezka arogan itu baru saja masuk dengan wajah merah murka. Mereka berdua tengah merangkul seorang rekan mereka sesama prajurit yang masih belum sadarkan diri.Raksha ingat kalau prajurit Kanezka yang pingsan itu adalah prajurit yang diserang Ari saat dia kerasukan siluman.“Hei, bantu obati teman kami ini!” sentak prajurit Kanezka itu kasar. Salah satu dari mereka pun bergegas menuju ranjang terdekatnya lalu menyeret Ari kasar untuk memberikan tempat pada rekannya.Raksha buru-buru menangkap Ari sebelum jatuh ke lantai. Tatapannya yang tajam tertuju pada prajurit Kanezka yang kasar itu. “Hei, kami duluan!” sentaknya tidak sabar.Sang prajurit yang disentak langsung menatap keki. Raksha tahu kalau sang prajurit hendak menendanganya. Dia bisa menangkisnya, tapi itu berisiko melukai Ari. Pada akhirnya dia memilih menahan rasa sakit
‘Aku ingin berkunjung ke rumahmu dulu, Sena.’Kata-kata Raksha itu masih terngiang-ngiang di kepala Sena sampai-sampai dia sulit tidur. Dia bangun dengan mata berkantung lalu agak panik melihat penampilannya yang menampikkan wajah lelah. Berulang kali dia cuci muka lalu menatap wajahnya di cermin untuk memastikan parasnya masih segar.“Kenapa dia malah ingin ke rumahku?” gumam Sena dengan wajah memerah malu. Dia sudah meminta para pembantu dan pelayan untuk membersihkan rumah demi mempersiapkan kedatangan Raksha. Namun ayahnya malah mempertanyakan hal itu.“Ada acara apa? Sepertinya kamu sibuk, Sena. Apa ada yang mau melamarmu?”Sena menutup wajahnya yang merah padam. Entah usil atau tidak, tetapi pertanyaan ayahnya itu membuat suasana hatinya makin tidak karuan. Semoga saja dia berpikir terlalu berlebihan soal ini.Tapi bagaimana kalau Raksha serius?Tidak. Tidak bisa. Sena masih harus mengejar impiannya
“Cepat keluar sebelum kubakar kereta kuda ini, Yasa!”Perintah kasar Lingga memaksa Yasa keluar dari kereta kudanya. Awalnya Yasa ingin keluar sendiri dan meminta Raksha dan Sena tetap di kereta. Tetapi keduanya menolak.Yasa, Raksha, dan Sena keluar dengan perasaan berang. Kejengkelan mereka kian menjadi saat melihat raut wajah Lingga yang masam.“Komandan Lingga! Kau telah lancang karena-“Yasa mendadak berhenti ketika Lingga mengacungkan pedangnya tepat didepan hidung Yasa. Sena dan Raksha sudah bersiaga, tetapi puluhan prajurit Kanezka yang mengepung mereka mengancam untuk tidak melakukan perlawanan. Mengepungnya mengancam untuk tidak membela Yasa.“Berlagak bodoh kau sekarang! Kau pikir aku bodoh apa?! Kau telah melukai anak buahku!” sentak Lingga keras seraya menunjuk prajuritnya yang terhuyung lemas.Raksha sadar kalau prajurit yang tengah ditunjuk itu adalah prajurit yang sempat kehilangan kesadara
“Bocah tidak sopan! Kau berani mengacungkan pedang kepadaku?! Mana rasa hormatmu, bocah?!” Lingga menyentak keras sambil membuang pedangnya.Telapak tangan Lingga yang memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans kala itu membuat kulit tangan dan lengan kanannya mengeras seperti baja. Dia langsung mencengkeram bilah pedang Raksha keras hingga pecah.Raksha tidak bergeming. Dia tetap berdiri tegak membentengi Sena dan Yasa dari Lingga.“Komandan Lingga, tolong hentikan semua keributan ini. Keluarga Suradarma tidak terlibat atas apapun yang anda tuduh.” tegas Raksha.Lingga menarik kasar rompi Raksha lalu menatapinya tajam. “Besar sekali kata-katamu, bocah! Kau tahu penghinaan macam apa yang telah kau lakukan, hah?! Kau sudah terlibat dalam semua pengkhianatan ini!”“Ya, biar saya saja yang disalahkan atas kekacauan ini. Saya tidak ada hubungannya dengan keluarga Suradarma. Saya hanya orang asing di kota in