“Nay, buka pintunya!” Suara milik Kak Nila.
Lekas aku menyeka air mata dan berdiri meski nyeri masih meliputi. Namun, baru saja pintu toilet terbuka tampak jelas raut wajah Kak Nila yang sedang marah.
“Kenapa sih nangis pake teriak-teriak segala? Kamu bikin malu aja. PMS doang, gak sakit, kan? Dasar lebay!” omelnya sambil menyodorkan kantong plastik hitam.
“T-tapiii ….” Belum tuntas aku mengucapkan satu kata, Kak Nila sudah menutup kembali pintu toilet.
“Itu pembalutnya udah dipasangin Ibu di celana dalam kamu. Jadi gak usah dimacam-macamin. Buruan. Kalau kelamaan kutinggalin biar kamu pulang sendirian,” titahnya lagi dari luar meski dengan suara yang kali ini lebih pelan.
Dengan terpaksa aku hanya menurut. Mengganti rok serta celana dengan yang telah dibawakan Kak Nila, kemudian membungkus yang kotor ke dalam kantong plastik. Selesai itu, aku mencuci muka terlebih dahulu sebelum membuka
“Wah, udah perawan aja ini bocah yang dulu kerjaannya minta diajakin jajan!” Kak Rahmad memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku yang terkejut segera duduk, pandangan tak lepas dari gerak pria yang terakhir kali berbicara denganku saat masih kelas empat SD dulu. Setelah dia pergi untuk bekerja, kabar terakhir yang kudengar adalah Kak Rahmad yang masuk penjara karena ketahuan membawa sabu di dalam kantong celananya. Sudah berlalu tiga tahun aku memilih tak banyak bicara dengan laki-laki lain selain Ayah, paman, guru serta teman di sekolah. Itu pun aku hanya selalu memilih menjawab seperlunya setiap ditanya. Kejadian saat kenaikan kelas enam lalu masih begitu jelas membekas. Meninggalkan luka yang menjelma kosong di dada saat aku mengerti bahwa hal itu adalah sebuah pelecehan. Meninggalnya nenek dari pihak Ayah menyisakan warisan yang akhirnya dibagi rata, dan untuk memanfaatkan uang yang didapat aku meminta untuk dibuatkan kamar ini. Kamar ya
Kak Rahmad mengajakku singgah pada salah satu taman kecil di Kota Banjarbaru. Taman ini cukup sepi karena berada di tengah-tengah komplek, juga dikelilingi pohon-pohon besar sehingga begitu rindang. Di sisi taman, ada musala kecil yang tersedia. Aku meminta izin untuk turun dan mengelilingi taman sebentar, sementara Kak Rahmad tetap di sepeda motornya. Sesekali, aku mencuri pandang pada pria yang tampak sibuk menyampurkan minuman yang sebelumnya dia sebut alkohol dengan minuman lain ke dalam botol bekas air mineral. Embusan angin malam yang dingin turut mengantarkan aroma aneh pada penciuman saat aku kembali mendekati Kak Rahmad. “Jangan bilang Ayah sama Ibu, ya? Nanti aku gak dikasih izin buat ajak kamu jalan-jalan lagi.” Kak Rahmad mengedipkan matanya sambil tersenyum. Tangan kirinya sibuk mengocok minuman dalam botol yang telah dilapisi plastik hitam. Aku mengacungkan jempol ke arahnya, tak lupa balas tersenyum sambil mengangguk mantap. Set
Tubuh lain yang menabrak dari depan membuatku setengah terpaksa mengangkat kepala. Pandangan yang sebelumnya hanya tertuju pada pijakan kaki, kini bertemu dengan sepasang mata lain. Sejenak aku terenyak saat menatap mata hazel yang juga terpaku dalam diam.“Maaf. Harusnya aku lebih berhati-hati saat berjalan,” ungkapku yang segera tersadar. Tanpa berniat menunggu jawabannya, aku memilih kembali menunduk dan meneruskan langkah.Namun, gerakku terhenti tepat di sisi kirinya karena tangan yang tanpa izin dicengkeram.“Jangan pergi,” bisiknya pelan, tapi cukup jelas dalam pendengaranku.Saat aku berusaha melepaskan, pegangannya malah semakin erat. Saling bersentuhan langsung dengan pria yang tak dikenal membuat jantungku kembali berdegup kencang. Kedua lutut dikuasai gemetar hebat, diiringi keringat dingin yang terasa bermunculan. Kepala mendadak terasa pusing hingga penglihatanku terhadap sekitar mulai buram.Aku yang hilang ke
“Dari mana aja? Ditelepon gak diangkat, dikirim pesan gak balas. Apa gunanya punya HP kalau gak ngabarin orang tua?” omel Ayah yang berdiri berkacak pinggang di ujung pelatar.Ibu sendiri lekas menghampiri Ayah, sedikit berjinjit kemudian tampak berbisik. Terdengar empasan napas panjang dari pria yang menurunkan kembali tangan kemudian berbalik melangkah menuju pintu rumah itu. Setelahnya, Ibu yang masih di pelatar tampak membungkuk diiringi anggukan ramah pada sosok laki-laki yang mengantarkan Kak Nila.Aku yang mengintip melalui sela papan pada dinding kamar bisa melihat jelas laki-laki itu berbicara sesuatu kemudian berpaling menaiki sepeda motornya. Kak Nila sendiri mendorong sepeda motor milik Ayah yang beberapa jam lalu dipinjam untuk pergi mengerjakan tugas kuliah hingga berhenti tepat di pelatar, beberapa centi dari depan jendela rumah.Langkah cepat Kak Nila yang memasuki rumah disusul Ibu membuatku tak bisa melihat siapa-siapa lagi di luar.
Untuk seseorang yang mengaku kurang suka membaca, harus kuakui novel pilihan Kak Anoy bisa dibilang benar-benar bagus dan menghibur. Sejak pulang sekolah dan membuka segelnya, aku tak beranjak dari tempat tidur karena terlalu fokus membaca. Rasanya, akan sangat sayang kalau harus berhenti saat di pertengahan. Setiap kali aku tertawa, entah kenapa hatiku turut menghangat saat mengingat semua karena novel yang dia berikan. Kak Anoy bersikeras memintaku menerima saat aku juga ragu menolaknya.“Dari pulang sekolah di kamar trus!” tegur Ibu yang tiba-tiba membuka pintu. Gegas aku menutup novel yang baru saja selesai dibaca pada halaman terakhirnya.“Angkat jemuran sana! Mau sampai kapan apa-apa harus disuruh baru dikerjakan? Jauh dari kata pengen bantu orang tua, kerjaannya di kamar aja!” omel Ibu.Tergesa aku bangkit, keluar melewati Ibu tanpa berkata apa pun. Saat keluar, tampak langit yang mulai dihiasi oleh
Guru meninggalkan kelas, disusul oleh satu per satu murid yang saling berebut keluar lebih awal. Berbagai percakapan terdengar dari mereka yang melangkah bersama temannya.Aku bangkit dan menyandang ransel pada pundak kanan. Berjalan pelan menunggu seluruh murid lain keluar lebih dulu agar tak harus ikut berdesakan.Hari ini, rasanya seperti ada yang kurang. Apa karena aku tak pergi ke perpustakaan? Aku yang tak terbiasa sarapan akhirnya menghabiskan makanan pemberian Kak Anoy saat jam istirahat. Lalu, lagi-lagi karena tak biasa makan sekenyang itu aku memilih menyelesaikan membaca novel di kelas saja.[Kalau kamu buang makanan ini, kamu harus bayar ganti rugi tiga kali lipat. Aku selalu mengawasimu!] Isi tulisan pada kertas kecil itu cukup membuatku kesulitan saat memahaminya.Bagaim
Kabar tentang video Dinda menyebar dengan begitu cepat. Tak hanya sekumpulan remaja laki-laki di waktu itu saja, hampir setiap ibu-ibu berkumpul berita itu selalu menjadi topik hangat. Dari mulut ke mulut, telinga satu ke telinga lain. Ibu-ibu yang sering menjadikan rumah Nor di belakang sebagai tempat bergosip, tentu saja membuatku bisa mendengar jelas meski hanya dari dalam kamar. Tanpa malu mereka membicarakan aib sesama perempuan yang menurutku seharusnya ditutupi. Mereka selalu seolah menyayangkan kecantikan Dinda yang malah berbanding terbalik dengan kelakuan dan nasib buruknya. Harus kuakui, Dinda yang juga duduk di kelas tiga SMP sepertiku memang telah menunjukkan kesempurnaan luar biasa. Kulitnya yang putih bersih, tubuhnya yang tinggi semampai. Bahkan wajahnya pun serupa boneka Barbie. Dinda menjadi kembang desa yang selalu dibicarakan oleh lelaki baik yang lebih tua hingga lebih muda dariku. Rasanya, aku sulit mempercayai jika Dinda-lah yan
Ban sepeda motor Ayah yang bocor membuatku tak bisa pergi ke sekolah lebih awal seperti biasanya. Ketika memasuki gerbang, bisa kurasakan tatapan aneh dari orang-orang di sekitar. Beberapa di antara mereka tampak berbisik satu sama lain setelah memandangku. Jika selama hampir tiga tahun ini keberadaanku seakan tak dianggap, kali ini terasa berbeda ….Begitu berhenti di depan kelas, aku yang terus melangkah menuju kursi tak lagi mendapati tote bag kecil seperti pagi-pagi sebelumnya. Bahkan yang mengisi laciku kali ini hanya tumpukan sampah. Aku memindai sekitar, murid-murid lain tampak sibuk saling berbincang satu sama lain tanpa menghiraukan kedatanganku. Aku menunduk, kalimat-kalimat tanya itu lagi-lagi hanya suara yang terdengar di dalam kepala.Aku bangkit, berjalan menuju sudut kelas di mana sapu untuk bersih-bersih kelas diletakkan. Saat hendak mengambil kan