“Tadi malam aku liat Nayla duduk berduaan si Makmur di pelatar. Mana mepet banget lagi,” celetuk sebuah suara yang sepertinya sengaja dinyaringkan.
Aku yang semula menjemur pakaian, mencuri pandang untuk memastikan. Nurul tampak memeragakan dengan kedua tangan yang ditangkupkan saling bergenggaman. Meski sedang lari pagi bersama Laila, sepertinya dia masih bisa mengatakan ucapan itu dengan cukup lancar.
“Aku semakin yakin kalau ada apa-apa sama mereka,” timpal Laila.Aku menggeleng berpura-pura tak mendengar. Dibanding memikirkan ucapan mereka, masalah yang kuhadapi sekarang jauh lebih mendesak untuk segera diselesaikan. Bagaimana aku harus bisa melepaskan diri dari pria bejat itu sebelum ada yang semakin curiga.
Tadi malam saja, sebuah keberuntungan karena Kak Makmur akhirnya mengalah. Perihal dia percaya atau tidak, lebih baik aku tak membahasnya. Rasanya, sangat sulit untuk menghindari pertanyaannya yang selalu tepat dengan
Aku menunduk memandangi piring. Tangan yang gemetar kupaksakan bergerak untuk menyendok makanan sendiri dan menyuapnya.“Nay, maaf kalau tadi aku udah lancang,” sesal Husin pelan.Aku hanya mengangguk pelan, mengunyah makanan yang rasanya seperti duri-duri beracun setiap ditelan. Tak ada lagi percakapan, ruang pendengaran hanya mendapati suara sendok yang beradu dengan piring. Aku menyadari sepi yang semakin mengelilingi. Kesepian diliputi rasa bersalah yang menjadi-jadi.“Aku mau ambil air dulu,” pamitku yang segera melangkah ke dapur.“Mbak Nay, nitip, ya?” pinta Nisa yang masih terdengar ragu-ragu.Aku hanya meneruskan langkah tanpa menjawab. Di dapur, kuambil teko air dan mengisinya penuh. Meletakkan pada nampan bersama dua gelas kosong. Sebelum membawa keluar, aku memilih mengisi satu gelas air terlebih dahulu.Di sisi galon, aku berjongkok memandangi gelas di genggaman. Kaca-kaca yang mul
Pertanyaan-pertanyaan penuh kecurigaan itu semakin sering menyudutkanku. Bagaimanapun aku membuat alasan, rasanya aku sangat yakin kalau mereka takkan serta merta mempercayai hal itu.**Usai mandi, kugantungkan handuk di luar untuk dianginkan sebentar. Kemudian turut duduk di pelatar bersama Kak Lily dan Kak Aulia yang sedang berbincang. Sambil menyisir rambut, aku hanya menyimak mereka yang sedang membahas sulitnya menjadi satu-satunya wanita di rumah. Selain anak, mereka terdengar sama-sama mengeluhkan suami yang manja, lalu malah saling tertawa setelahnya.“Rasanya kaya punya dua bayi, tapi beda usia!” celetuk Kak Lily yang segera ditimpali Kak Aulia dengan tawa.“Apa pernikahan itu harus? Apa perempuan harus tunduk sama laki-laki?” tanyaku tanpa sadar saat di kepala terbesit ingatan tentang perlakuan Kak Ijul.“Laki-laki seperti apa yang pantas dijadikan suami, sih?” lanjutku lagi yang malah mengubah
“Rasanya lebih menyenangkan saat melihat kamu yang ceria. Jadi, apa pun masalah yang kamu punya, kapan pun itu, aku selalu terbuka buat mendengarkan.” ** “A-apa Kakak ingat ucapan Kak Yuni saat marah malam itu?” tanyaku dengan hati-hati. Berusaha mengalihkan pembicaraan sekaligus menjadikan hal itu sebagai alasan agar berhenti ditanyai. “Ingatanku masih berfungsi dengan sangat baik, Nay. Semuanya, dengan jelas,” jawab Kak Makmur. Setelah memastikan bahwa Kak Makmur benar-benar berjanji akan merasahasiakan percakapan kami, aku menarik napas panjang dan mengempaskannya perlahan. Kualihkan pandangan darinya dengan menjadikan bintang-bintang di langit sebagai fokus. “Sebenarnya aku sedikit terganggu karena itu. Apa aku terlihat seperti orang yang tak tahu balas budi? Apa aku seperti orang jahat kalau menganggap Kak Yuni mengatakan semuanya hanya karena tak ingin dipandang jelek sendirian?” Kukepalkan genggaman tangan saat dugaan-dugaan seperti itu
Baru tertidur saat menjelang Subuh membuatku dan Nisa terbangun lebih siang dibanding biasanya. Suasana sekitar sudah sepi, sepertinya tiap-tiap orang telah pergi untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Nisa sendiri memilih tetap di kamar dengan alasan masih lemas dan mengantuk.Aku sendiri terpaksa melawan rasa malas, mengingat harus mencuci pakaian agar tak sempat menumpuk dan juga beberapa pekerjaan rumah lain. Rasa segar dari guyuran air yang mengenai kulit perlahan-lahan mengusir sisa kantuk. Ketukan cukup yang terdengar membuatku menengok ke luar kamar mandi. Tampak tak ada siapa pun. Ketika kembali terdengar, segera kumatikan kran air untuk memastikan asal arah bunyi tersebut. Beberapa saat, aku baru menyadari kalau bunyi itu berasal dari dinding kamar mandi di belakangku, dinding kayu yang membatasi antar rumah Kak Yuni dengan rumah Kak Lily. Rasa dingin dengan cepat mengundang gigil di sekujur tubuh saat menerka-nerka siapa yang melakukannya.
Usai sarapan, Husin membantuku mengangkat piring ke dapur. Aku sama sekali tak bisa apalagi berani membantah karena dia memegang satu kunci rahasia. Walau terganggu, aku hanya bisa bersabar seiring tingkahnya yang semakin berubah.“Jangan takut seperti itu, aku juga gak punya hak buat melarang kalau kamu ingin memakainya,” godanya yang turut duduk tak jauh dari kamar mandi.“Aku gak berniat seperti itu.” Kufokuskan pandangan pada gerak tangan yang tengah menggosokkan spons penuh busa pada permukaan piring.“Kalau begitu, untuk apa kamu menyimpannya? Aku sempat mendengar kalau kamu juga mencoba bunuh diri waktu itu, jadi sepertinya cukup wajar kalau kamu memakai obat itu untuk mengurangi rasa depresi. Aku juga pemakai, jadi kamu gak usah khawatir kalau rahasia itu bakal bocor.” Ungkapan yang diucapkan Husin dengan bangga itu, lebih tidak bisa dianggap sebagai sebuah pengertian.“Kamu cukup menelannya. Efek yang
(Bab ini mengandung adegan kekerasan yang dikhawatirkan akan menimbulkan trauma. Harap bijak saat memutuskan ingin membaca. Terima kasih)Aku mengerjap-ngerjapkan mata yang baru terbuka. Berusaha mengumpulkan kembali kesadaran. Denyut menjalari kepala yang terasa berat.Sebuah langit-langit bangunan yang tampak membuatku terkesiap dan segera bangkit. Terlebih saat duduk, angin yang leluasa menerpa langsung pada kulit menyadarkanku kalau pakaian tak lagi terpasang utuh. Selain pada punggung dan pinggang, nyeri juga terasa pada area kewanitaanku.Tergesa aku memakai kembali pakaian dan berdiri. Terpaksa berpegangan pada tembok karena lutut yang benar-benar lemas tak bertenaga.Apa aku tertidur? Sejak kapan? Berapa lama? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi padaku? Di mana Kak Ijul? Pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk itu semakin membuatku merasa gelisah bercampur sesal. Lagi-lagi, aku membiarkan hal itu terulang meski telah berniat ingin mengakhirinya.
Begitu selesai makan malam, Kak Yuni memerintahkan Nisa untuk segera tidur. Namun, sebaliknya malah memintaku untuk menunggu sebentar dengan alasan ada yang ingin dibicarakan. Aku hanya menurut dan memilih membaca buku sambil menanti Nisa benar-benar terlelap.Menjelang pukul sembilan, barulah Kak Yuni mendatangi aku yang menunggu di kamar. Keseriusan yang tercermin pada raut wajahnya membuatku merasa sedikit gugup dan mulai menebak-nebak.‘Apa ada yang mengetahui tentangku dan Kak Ijul tadi siang lalu melaporkannya?’ Hanya satu hal itu yang terus berulang kali kupertanyakan.“Ujian sudah di depan mata, Nay. Apa kamu sudah belajar dengan serius?” tanyanya yang duduk di sebelahku.“Selama sekolah, kan, aku tiap pulang selalu mengulang pelajaran. Malamnya juga sebelum menyiapkan buku buat dibawa, aku baca-baca dulu. Jadi, aku bisa cuma mengulang membaca aja, Kak,” sahutku agar Kak Yuni tak perlu terlalu mengkhawatirka
Subuh, Kak Yuni sudah membangunkanku terlebih dahulu agar bisa membaca ulang pelajaran sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Selama aku belajar, Kak Yuni tampak sibuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sendirian. Aku baru mandi setelah menyelesaikan kembali satu buku, tepat saat Kak Yuni mulai menggosok seragam sekolah.Selesai mandi, seperti biasa aku harus sarapan terlebih dahulu baru memakai seragam. Dibanding sekadar kakak sepupu, Kak Yuni terlihat lebih pantas dipanggil Ibu dari bagaimana caranya memperlakukan dan memperhatikanku.“Gak ada yang ketinggalan lagi, kan, Nay? Nanti jam istirahat, isi perut dulu baru kalau mau belajar lagi,” tanya Kak Yuni yang sekaligus memberi pesan saat aku memasang jilbab sekolah.“Aman semuanya. Siap, Kak!” sahutku yang melangkah mengambil tas.Rasanya, aku masih tak percaya akan menghadapi hari ini. Meski sudah merasa yakin telah belajar dengan benar, aku masih saja gugup ketika mengingat