Share

Bab 3

 

"Aww! Sakit!"

 

"Aduh perih!"

 

"Cepat ke dalam ambilkan air!"

 

Entah apa yang terjadi di atas sana orang-orang itu menjerit, dan aku sangat kenal suara jeritan itu seperti suara Kak Lastri?

 

Oh Tuhan, apa kakakku itu yang melakukan semua ini?

 

Peti ini terdengar terbuka, lalu seseorang yang entah siapa membuka ikatan mataku.

 

"Ayo kita pergi." Ia membantuku berdiri lalu kami berlari bersama dalam keadaan tangan masih terikat ke belakang, entah ke mana aku terus mengikutinya.

 

"Ayo cepat naik."

 

Orang yang telah menyelamatkanku itu menyuruh untuk naik ke sebuah mobil, karena dilanda ketakutan aku naik begitu saja tanpa banyak bertanya.

 

Setelah mobil melaju cukup jauh barulah orang di sampingku yang mengenakan baju serba hitam ini membuka penutup kepalanya.

 

Ternyata dia Nining, Oh Tuhan sebenarnya ini ada apa?

 

"Nining."

 

"Bu Mirna."

 

Aku pun memeluknya dengan keadaan tubuh masih bergetar hebat. Tak kusangka Nining berubah menjadi ninja.

 

"Ning, aku ga ngerti sebenarnya ini ada apa?" Suaraku bergetar saat bertanya.

 

"Kita akan jelaskan di rumah ya, Bu."

 

Sekitar tiga puluh menit Nining membawaku ke sebuah rumah kecil di tengah perumahan padat penduduk.

 

"Ayo masuk, Bu, sebenarnya ini kos-kosan anak saya, dia lagi kerja sift sore nanti pulang jam sebelas malam, tenang saja Ibu aman di sini, saya juga sudah ngasih tahu anak saya akan membawa seseorang ke sini."

 

Nining menjelaskan dengan napas ngos-ngosan, setelah itu ia mengunci pintu rapat-rapat, lalu ke ruangan sebelah untuk mengambil minum.

 

"Minum dulu, Ibu pasti haus." Ia menyerahkan segelas air putih.

 

"Terima kasih." Aku meneguknya sampai habis 

 

"Apa Ibu terluka?" Nining meraba serta mengecek tangan juga kaki.

 

"Engga, Ning, oh ya kenapa bisa kamu nyelamatin saya? Kalau ga ada kamu saya pasti sudah mati tadi."

 

Nining menghirup napas sejenak.

 

"Begini, Bu, tadi Nyonya Erina memarahi saya habis-habisan karena membiarkan Ibu pergi dari rumah itu, kata Nyonya Erina harusnya saya ngasih kabar sama dia kalau Ibu sudah bebas dan datang ke sini."

 

"Lalu?" Mataku masih fokus melihat wajahnya yang berkeringat hebat.

 

 "Tiba-tiba hape Pak Ilyas bunyi, dan mereka akhirnya tahu kalau Ibu ada di rumah Bu Lastri, setelah itu saya selamat dari amukan nyonya Erina."

 

"Akan tetapi saya khawatir dengan keselamatan Ibu, akhirnya setelah pulang kerja saya berjaga di rumah Nyonya Erina lalu mengikuti mereka dari belakang."

 

Nining memang tak menginap di rumah Mas Ilyas, sejak dulu ia bekerja berangkat pagi dan pulang sore karena letak rumahnya tak terlalu jauh.

 

"Setelah itu saya mengendap-endap berjalan melalui samping rumah itu dan berbekal senjata bubuk cabe yang dicampur bubuk merica saya bisa bebaskan Ibu."

 

Kami saling terdiam sejenak menetralkan hati yang masih panik akibat kejadian tadi.

 

"Itu artinya Erina, Ilyas sama Kak Lastri bekerja sama untuk membunuhku, Ning?" tanyaku sambil menyenderkan kepala ke tembok.

 

"Betul, Bu, sepertinya begitu karena saya lihat Bu Lastri juga ikut andil dan ada di sana."

 

Tubuhku langsung lemas, kenapa kenyataan sepahit ini? Dan apa salahku pada Kak Lastri sehingga ia berusaha melenyapkanku?

 

"Saya ga ngerti, Ning? Kenapa mereka mencoba melenyapkan aku? Kalau masih ada dendam soal Anita, bukankah aku telah menerima hukuman selama ini?"

 

"Dua puluh tahun itu bukan waktu sebentar, Ning." Air mataku luruh tanpa diminta 

 

Aku benar-benar sedih dan merasa sendirian, adikku berkhianat, kakakku pun menusuk diam-diam di belakang.

 

"Sabar ya, Bu, saya juga ga paham soal ini. Yang saya tahu Nyonya Erina dan Tuan Ilyas sangat ingin membun*h Ibu, tapi saya ga tahu motif mereka itu apa?"

 

Nining memelukku, memang menyedihkan wanita ini bukan saudara tetapi kebaikannya sudah seperti saudara sendiri.

 

"Terima kasih sudah menyelamatkan saya, Ning."

 

"Sama-sama, Bu, sekarang Ini hati-hati ya kalau keluar rumah pakai masker dan kaca mata, saya ga mau orang suruhan Ilyas menemukan Ibu."

 

Baiklah, mulai sekarang aku percaya apa kata Nining, dan dia di pihakku.

 

"Aku ga bisa diam aja, Ning, aku harus tahu apa yang membuat Mas Ilyas dan Erina ingin sekali melenyapkanku."

 

"Dan satu lagi aku juga harus mencari Delia, aku yakin dia tidak baik-baik saja saat ini."

 

Aku menangis lagi, selama di penjara entah apa yang dilalui Delia tanpa ibunya, aku sungguh rindu kamu, Nak.

 

"Sabar, Bu, sabar. Saya janji akan bantu Ibu."

 

"Saya sudah beli kartu SIM buat Ibu."

 

Beruntung ponsel dari Nining tak terlepas dari saku celanaku, karena celana yang kupakai ini ada kantong yang bersleting sehingga bendaini tak terjatuh meski terguncang dengan hebat.

 

"Oh iya, Ning, ini hapenya."

 

Nining bernapas lega. "Syukurlah ga ketinggalan di rumah itu.

 

Beruntung sekali aku tak meninggalkan benda-benda berharga di rumah Kak Lastri, hanya ada baju-baju lama.

 

Nining mengajariku menggunakan ponsel pintar ini, seperti mengetik pesan W******p, menelpon dan menerima telpon, dalam hitungan menit aku sudah mengerti.

 

"Ibu tenang aja, aku akan cari tahu diam-diam soal nyonya Erina dan Tuan Ilyas di rumah itu, saya akan bantu Ibu mengungkap semua ini," ucap Nining.

 

 

*

 

Pagi hari aku berkenalan dengan anaknya Nining, ia bernama Tania bekerja di sebuah kantor katanya, entah jabatannya apa yang jelas ia cukup ramah dan menrimaku tinggal di tempat ini.

 

"Bu, saya berangkat kerja dulu ya, ini uang buat Ibu, kalau mau keluar pakai masker Sam kaca mata, ingat." Pesan Nining sebelum ia pergi bersama putrinya.

 

Aku benar-benar bersyukur bisa kenal dengan Nining, uangku tertinggal di rumah Lastri makanya sekarang aku tak memegang uang sepeser pun, Nining sangat peduli.

 

Siang ini aku berada di hadapan rumah Erina dan Mas Ilyas, sesuai titah Nining kukenakan masker dan kaca mata hitam, serta gamis dan kerudung lebar agar tak diketahui orang-orang.

 

Agar tak ada yang curiga aku sengaja mampir di sebuah kedai yang menjual minuman boba, entah minuman apa rasanya yang jelas aku beru menyicipinya, sambil memainkan ponsel aku terus mengamati keadaan rumah itu 

 

Hingga akhirnya Mas Ilyas dan Erina ke luar, terlihat Nining membukakan gerbang memberi jalan pada mobil yang ditumpangi mereka.

 

Dan kebetulan sekali ada ojek online yang lewat, aku mengikuti mobil Ilyas dengan jarak yang jauh agar mereka tak curiga.

 

Mobil Ilyas berhenti di sebuah gedung yang lumayan besar, sepertinya itu panti asuhan, entah mau apa merek datang ke rumah ini.

 

"Bu, saya mau tanya apa ini bener panti asuhan?" tanyaku pada pedagang kaki lima dia area tersebut.

 

"Iya betul, Bu, itu pemiliknya." Ia menunjuk Mas Ilyas dan Erina yang berjalan masuk ke tempat itu.

 

"Itu panti asuhan apa ya, Pak?" tanyaku lagi.

 

"Setahu saya sih anak-anak yang ga punya orang tua, di sana juga katanya ada sekolah khusus anak-anak terlantar itu."

 

"Di dalam sana maksudnya?" tanyaku lagi masih penasaran.

 

"Iya di dalam, tapi anak-anak panti asuhan itu ga pernah keluar, paling juga di halaman."

 

Aku mengangguk sambil memperhatikan gedung yang lumayan luas bercat putih itu. Beberapa menit kemudian ada yang menarik perhatianku.

 

Seorang anak remaja tanggung ke luar gedung itu sambil berlari, bajunya sexi sangat tak pantas dikenakan untuk ke luar rumah.

 

Tak lama setelah itu dua orang lelaki yang bertubuh kekar mengejar gadis itu hingga mereka berhasil menangkapnya dengan membabi buta.

 

"Aku mau pergi dari sini!" teriak gadis itu sambil meronta, aku melepas kaca mata saking terkejutnya.

 

Mungkinkah ini panti asuhan sementara anak-anak di sini diperlakukan seperti itu?

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status