Share

Bab 2

 

 

 

Hampir setengah jam aku berada di kamar mandi khusus pembantu, Nining belum juga membukakan pintu karena di luar Mas Ilyas dan Erina masih ada di sana.

 

"Kita harus cari Mirna, Sayang, aku ga mau dia merebut ini semua."

 

"Ya, aku akan menyuruh orang untuk mencarinya ya, kamu tenang dan jangan khawatir." Itu suara Mas Ilyas.

 

Sekarang aku faham jika Mas Ilyas memang berniat melenyapkan nyawaku. Namun, alasannya apa? Bukankah aku memang tak pernah berbuat salah padanya?

 

Atau ia memiliki dendam padaku lantaran tuduhan palsu itu?

 

Aku sungguh tak sabar ingin mengetahui apa yang ada dalam benaknya.

 

"Bu, ayo keluar." Bisik Nining sambil membukakan pintu.

 

Aku menghirup oksigen, cukup lega karena kamar mandi ini minim fentilasi.

 

"Aku ingatkan sebaiknya Ibu hati-hati di luar karena Tuan Ilyas mencari Ibu ke mana-mana, oh ya apa Ibu punya hape?"

 

Aku menggelengkan kepala tanpa suara karena isi kepalaku ini sibuk menduga-duga.

 

"Ini bawa aja, kebetulan saya punya hape dua, kartu simnya Ibu beli sendiri saja, di sini ada nomor hape saya nanti jangan lupa kabari," bisik Nining lagi.

 

Ia pun memberikanku ponsel layar sentuh, aku sama sekali tak tahu cara menggunakan benda ini.

 

"Kamu lupa selama dua puluh tahun aku terkurung di penjara? Aku ga tahu cara makenya, Ning."

 

Wanita itu garuk-garuk kepala.

 

"Begini saja, Ibu sekarang ke konter bilang mau beli kartu SIM, besok pagi temui saya di depan komplek saya akan ajari caranya, bagaimana?"

 

Aku duduk di kursi.

 

"Ning, aku ga mau ribet urusan benda ini, yang aku mau kamu kasih tahu di mana Delia sekarang?"

 

Kualihkan topik pembicaraan lantaran rasa rindu terhadap putriku itu sudah membuncah, aku ingin memeluknya, ia sudah dewasa dan bisa jadi telah menikah.

 

"Ning."

 

"Bu, saya ga tahu Non Delia ada di mana."

 

Dahiku mengerenyit.

 

"Kenapa bisa ga tahu? Bukankah kamu selalu di sini, Ning?"

 

"Bu, sebaiknya Ibu pergi ya akan saya jelaskan besok, saya takut Nyonya Erina dan Tuan Ilyas kembali ke dapur," bisik Nining.

 

Aku berdecak kesal, entah apa yang terjadi pada Nining, padahal apa susahnya memberitahukan keberadaan Delia saat ini.

 

"Engga, saya ga mau pergi sebelum kamu kasih tahu Delia di mana?"

 

"Syuut." Nining menempelkan telunjuknya di bibir.

 

"Jangan keras-keras, Bu, nanti Nyonya Erina ke sini," bisik Nining sambil celingukan ke arah dalam.

 

"Biarin, aku ga takut sama sekali."

 

Nining membawaku ke taman belakang dengan terburu-buru.

 

"Saya pernah dengar dari nyonya Erina kalau non Delia kuliah di luar negeri, itu yang saya tahu karena kalau saya tanya langsung Nyoya Erina bakal marah."

 

Ya Tuhan, aku semakin frustasi. Sebenarnya di mana putriku saat ini? Mungkin aku harus menemui seseorang sekarang.

 

"Ya sudah saya pamit ya, Ning, besok kalau ada waktu saya sempatkan datang temui kamu."

 

"Iya, Bu, hati-hati."

 

"Oh ya, gunakan ini." Ia memberikanku sehelai masker dan kacamata hitam.

 

"Biar ga ada yang ngenalin Ibu. Mari saya antar keluar dari sini lewat belakang."

 

Aku naik angkutan umum, sepuluh menit kemudian aku telah sampai di rumah ibu, Ia telah tiada dua tahun yang lalu, kini rumah itu ditinggali oleh kakakku.

 

"Assalamualaikum." Kuketuk pintu jati yang tertutup itu, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah, banyak sekali yang berubah, pasti Kak Lastri yang merenovasinya.

 

"Waalaikumsalam." Pintu telah terbuka, nampaklah Ka Lastri yang tercengang melihat wajahku ada di hadapannya.

 

"Mi- Mirna, kapan kamu bebas?"

 

"Tadi pagi, Kakak apa kabar?"

 

Entah kenapa saudara tertuaku itu seakan terkejut melihatku, bukan hanya terkejut melainkan seperti sedang ketakutan.

 

"Aku baik, ayo masuk."

 

Namun, saat sudah di dalam rumah wajahnya kembali biasa, ia menyambutnya penuh suka cita, segala hidangan disiapkan khusus untukku.

 

"Ke mana Dini sama Ferdi?" tanyaku masih menatap ke sekeliling rumah yang terlihat sepi.

 

"Mereka sudah menikah, dan sudah tinggal di rumahnya masing-masing."

 

Semenjak ibu meninggal beberapa tahun lalu Kak Lastri sudah tak pernah lagi menjengukku di penjara, entah ada apa dengannya.

 

"Akhir-akhir ini Kakak sibuk ya sampai lupa jenguk aku?"

 

Ia melirik sekilas lalu terdiam.

 

"Iya, Mir, Kakak sibuk, maaf ya. Banyak sekali masalah di rumah, selain itu Kakak juga ga bisa bepergian jauh sendirian maklum tubuhku penyakitan." Ia menghela napas.

 

"Ga apa-apa aku ngerti kok, oh ya soal Delia apa Kakak tahu dia di mana?"

 

Lagi-lagi Kak Lastri terdiam sambil berfikir, seolah ia menutupi sesuatu.

 

"Terakhir Kakak dengar dia kabur, Mir, sampai sekarang Ali, eh maksudnya Ilyas lagi nyari, emangnya kamu belum menemui ke rumahnya, Kakak udah jarang ke sana semenjak ada masalah."

 

Sekarang aku yang diam sambil berpikir, Nining mengatakan jika Delia kuliah di luar negeri sedangkan Kak Lastri mengatakan jika anak itu kabur.

 

Sebenarnya siapa yang berbohong?

 

"Emm, tadi udah ke sana tapi ...."

 

Aku bingung haruskah kukatakan apa yang telah dikatakan Nining tadi? Kutatap wajah Kak Lastri yang begitu antusias mendengarkan penuturanku selanjutnya.

 

"Tapi kenapa, Mir?"

 

"Mas Ilyasnya ga ada, aku cuma ketemu Nining."

 

Ia memalingkan pandangan ke arah lain. "Oh Nining." Ia bergumam.

 

Kami terlibat obrolan ringan hingga akhirnya aku mengantuk, untuk sementara sepertinya aku akan tinggal dulu bersama Kak Lastri sambil memikirkan langkah selanjutnya.

 

Hari sudah malam, usai salat isya aku gegas tidur di kamar yang sebelumnya dibersihkan oleh Kak Lastri.

 

Setelah dua puluh tahun tidur beralaskan tikar dan bantal usang akhirnya aku bisa tidur nyenyak di atas kasur empuk nan wangi.

 

"Ayo cepat ikat tangannya kuat-kuat." 

 

Entah pukul berapa tiba-tiba aku tersadar ada orang yang mengikat lengan serta menutup mataku, mulut pun disumpal kain lalu dititup lakban sehingga aku tak bisa menjerit, hanya bisa merontavitu pun tak berefek apa-apa.

 

Sepertinya mereka berjumlah tiga atau empat orang, terasa sekali tubuh ini banyak yang memegangi.

 

Aku terus meronta, entah ke mana Kak Lastri? Lalu mereka siapa? Apakah perampok?

 

"Emmh! Emhh!"

 

Hanya itu yang bisa kulakukan, entah itu siapa, tiba-tiba orang-orang itu menggotong tubuhku lalu memasukkanku ke sebuah kotak.

 

Aku meronta sepertinya ini sebuah peti karena dada mulai terasa sesak.

 

"Cepat kubur dia hidup-hidup." Suara perempuan terdengar tapi aku tak terlalu jelas itu siapa.

 

Lalu terdengar suara tanah terjatuh di atas sana, sepertinya mereka benar-benar akan menguburku hidup-hidup.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status