“Kamu sudah siap baca pidato?”
“Saya… belum selesai Pak,” jawab Adhira salah tingkah. Jelas-jelas dia belum mengerjakan tugasnya sama sekali.
“Sudah sejam lebih saya kasih waktu untuk kerjain tugas ini. Kamu sudah tulis sampai mana? Baca saja sampai batas yang sudah kamu kerjakan.”
Pak Heno duduk di meja guru menantikan Adhira ke depan kelas. Adhira mengamati meja belajarnya yang hanya ada buku kosong dengan potongan kertas koran yang tadi dijadikannya selimut itu. Dengan perlahan dia melangkah ke depan. Ervan masih duduk tenang mengerjakan pidatonya.
Adhira yang tengah melintasi tempat duduk Ervan dengan cepat merebut bukunya dari Ervan. Usahanya tak berhasil karena Ervan dengan erat memegang bukunya. Kertas yang tadi diperebutkan malah robek. Terlepas dari kemarahan Heno, sekarang Ervan ikut kesal dengannya.
Adhira tak punya pilihan selain maju dan mengarang naskah pidato yang ada di kepalanya. Sebuah tugas yang akan sangat berat dilakukan b
Seusai membereskan tabung kimia yang berserakan di meja praktikum, Adhira pun kembali ke kelasnya. Rasa terbakar baru terasa ketika dia hendak meraih buku yang ada di laci mejanya. Jemarinya terhenti permukaan kulit yang terpercik air keras tadi bergesekan langsung dengan permukaan bawah meja yang tak berpelitur. Namun bukan itu saja yang membuat Adhira tertegun.Sepucuk surat beramplop cokelat tergeletak di atas tumpukan buku tersebut. Adhira tidak bisa menebak dari mana surat itu berasal karena tidak ada tulisan apa-apa di luarnya selain gambar lima roda gerigi. Sebuah kertas tebal yang menyerupai kartu terbungkus di dalamnya.UNDANGAN RAPAT ALIANSI LIMA PILARKepada: Adhira LimawanTempat: Aula Utama Paviliun CenturionWaktu: Minggu, 20 April 2003 19.00 WIBTerdapat barcode hitam putih tercetak di bagian bawah tulisan tersebut. Mungkin itu kode yang bisa dipakai untuk ikut dalam rapatnya. Hanya itu saj
Sosok Alan Sadana yang disebut-sebut perintis Aliansi Lima Pilar itu tiba beberapa menit setelah bel istirahat kedua berdering. Adhira pernah melihat rupa sang guru besar itu saat upacara bendera. Rambutnya sudah sepenuhnya berwarna putih. Keriput merambat di sekeliling matanya. Walau begitu, kilatan terang dari kedua bola matanya tampak begitu dalam dan tajam.Berhubung kelas pelajaran kewarganegaraan sedang kosong, Profesor Alan Sadana yang merupakan ketua yayasan SMA Equator itu pun mengisinya dengan materi penguatan moral.Adhira memandang pria tua tadi melangkah perlahan menuju ke tengah kelas. Ada satu orang pendamping yang selalu mengekor di belakang Profesor Alan. Kata Kuswan itu adalah keponakannya yang paling muda. Namanya Renal Sadana. Sekarang sedang menempuh ujian masuk universitas di Jerman. Dia almamater SMA Equator juga. Perawakannya tinggi dan dia memiliki kulit bersih. Seperti juga keluarga Sadana yang lain, Renal terlihat patuh dan disiplin. Me
Adhira keluar dari halaman sekolah dengan lesu. Mengingat pertengkarannya dengan paman dan bibinya, membuatnya enggan kembali ke tempat itu lagi. Lamunannya diruntuhkan ketika seorang gadis SMP muncul dan langsung menggandeng tangannya melangkahi gerbang depan sekolah.“Kak Adhi, pulang yuk.” Kiara menariknya memasuki bus yang mengarah ke jalan pulang. “Tenang aja, Mama pasti sudah tidak marah lagi kok.”Saat hendak memasuki bus, Adhira sempat melihat Ervan yang dijemput oleh seorang sopir. Ervan sempat menoleh ke arah Adhira, yang segera disambut dengan lambaian tangan.“Daffin, besok bagi cotekan soal biologi ya!”Muka muram Ervan langsung tersembul di wajahnya yang putih itu. Dia tak menggubris permintaan Adhira dan segera melayang masuk ke mobilnya.Kiara menempelkan kartu busnya dua kali saat Adhira sudah berada di dalam bus. Dia mengeluarkan sebongkah es krim dari tas ranselnya.“Dari mana?&rdq
Penjaga tersebut melihat lengan Ervan yang berdarah langsung kembali sigap menahan Adhira.“Hei, aku bukan orang jahat. Aku temannya.” Adhira protes sambil tetap memeluk kantung berisi ceri. “Daffin, itu rumahmu? Kenapa tidak bilang dari tadi?”Ervan menutup lengannya yang terluka tanpa menggubris ocehan Adhira. Dia berjalan beriringan dengan anjing tersebut melewati jembatan. Sementara tiga penjaga langsung mencekal kedua lengan Adhira dengan erat.“Daffin, ayolah, kita kan teman sekelas. Masak kamu mau menangkapku begitu saja?”“Jangan banyak alasan!” ujar salah satu penjaga. “Sudah maling, mau culik orang lagi.”“Culik? Siapa juga yang mau culik tuan kepala es kayak dia? Aku cuma minta beberapa biji ceri kalian saja. Pelit amat sih!”Adhira mengernyit tak setuju. Namun percuma. Semua pembelaannya terlihat sia-sia. Ervan hanya diam membiarkannya bercelotek sepanjang pe
Kuswan menghampiri Adhira yang masih berkali-kali menguap dan menggaruk matanya. “Tumben tidak telat.” Saat Adhira melintas ke tempat duduknya, aroma khas lavender terendus dari tubuh Adhira, “Kamu kok…” Kuswan tak berani banyak berkomentar. Dia hanya menduga Adhira menggunakan minyak wangi yang sama dengan Ervan sekarang. “Apaan sih?” “Kamu sudah mengerjakan tugas biologi?” dalih Kuswan. “Pinjam dong.” Raut Adhira langsung berseri. “Tentu saja. Ayo, mau bayar berapa?” Kuswan langsung manyun. Dia menarik kertas folio tadi dari tangan Adhira. Takjub dengan hasil tulisan tersebut. Bagaimana Adhira bisa menjadi begini rajin sekarang? Dia segera menyalin jawaban ke kertas tugas miliknya. Waktu mereka sudah tidak banyak. Pak Okra tiba saat bel berdering untuk ketiga kalinya. “Beri hormat!” Suara Ervan yang lantang menertibkan tiga puluh murid dalam satu waktu. “Selamat pagi Pak Okra!” “Baik, kemarin ada tugas
Hujan baru mengguyur kota ini saat menjelang sore. Untuk pertama kalinya Adhira bisa datang ke bimbingan matematika yang sempat ditawarkan Bu Tamara beberapa waktu lalu. Hanya ada segelintir murid yang ada dalam ruangan tersebut. Kelas besar ini terbagi menjadi beberapa kelompok sesuai peminatannya masing-masing.“Kamu datang juga akhirnya.” Bu Tamara menyambut dengan nada datar. Ada dua orang siswa yang juga tengah mengerjakan soal yang ada di selembar kertas. Ketika alarm berbunyi, mereka langsung meletakkan pensilnya.Adhira mengambil tempat di belakang mereka.“Tidak usah duduk terlalu jauh. Kita di sini hanya berempat.”Bu Tamara mengeluarkan sekaleng soda dari tas kecilnya itu. Dia membaginya pada setiap murid yang ada. Tampaknya anak-anak jenius ini memiliki keistimewaan khusus untuk tidak perlu mematuhi peraturan sekolah yang ketat itu. Bahkan Adhira bisa melirik salah satu dari siswa itu hanya datang menggunakan sandal jep
Adhira duduk di halaman sekolah dengan buku terpampang ke atas. Kuswan mendatanginya dengan setumpuk makanan. “Fajar menyingsing, elang menyongsong.” Kuswan bersyair ria sambil menyerumput susu cokelatnya, yang langsung membuat Adhira mengernyit heran. “Apaan sih?” Adhira lekas merobek plastik berisi keripik kentang itu. “Sejak kapan kamu jadi pendiam begini?” ucap Kuswan. “Kelihatannya Bu Tamara berhasil menaklukkanmu.” “Memangnya aku biasa sebawel itu?” Kuswan mengangkat kedua bahunya, “Tanyakan saja pada Ervan.” “Ervan? Apa hubungannya dengan dia?” Kuswan tak langsung menjawab. “Dia itu orang paling dingin yang ada di dunia ini. Sementara kamu… seperti percon. Meledak setiap waktu.” “Sialan!” umpat Adhira. “Tapi kulihat dia mulai bandel sekarang. Kamu apakan dia?” “Aku? Dia bandel kenapa?” “Lihat aja tangannya.” “Maksudnya?” “Setiap kali ada luka baret di tangannya, artinya dia
“Lodra!” Lelaki paruh baya memanggil Lodra. Dari penampakannya, Adhira tahu dia yang disebut-sebut Kuswan sebagai Teodro Refendra, pria pemilik 30 saham besar yang sering muncul di majalah-majalah bisnis itu. Beberapa kesempatan Adhira sering melihat batang hidungnya juga di poster bus. Tingginya semampai dengan bahu yang bidang itu tentu saja juga menghasilkan bibit sempurna bak pangeran-pangeran di depannya. Contoh nyatanya adalah Ingvar, dia berdiri samping pria itu seperti maskot yang selalu dibanggakan ke orang-orang. Adhira pernah meminjam akses ke Ruang Literal waktu di sekolah. “Papa, ini Adhira.” Teodro mengerling tak percaya. Lodra menepuk bahu Adhira sambil berkata, “Limawan. Dia putra tunggal Arman Limawan, Pa. Salah satu anggota Aliansi yang sudah wafat dua belas tahun lalu.” Ujung bibir Teodro sedikit tertarik ke kedua pipinya. Dia mengerling dan menatap Adhira begitu dalam. Mungkin masih mencoba mengingat-ingat sosok remaja lima