Share

Dendam dan Rahasia Tuan Muda
Dendam dan Rahasia Tuan Muda
Author: Evin Hard

Peristiwa 1991

Author: Evin Hard
last update Last Updated: 2022-01-14 21:12:28

Malam di tahun 1991 menjadi malam ternaas bagi keluarga Limawan. Hujan deras menghantam atap rumah mewah yang berdiri di tengah kota itu. Rinai air mengaduh bersatu padu bersama badai menciptakan sambaran petir di angkasa yang hitam. Pada milidetik selanjutnya, gelegar halilintar terdengar, menggetarkan kaca jendela dan pilar penonggak bangunan. Suara maha dasyat tadi sekaligus meredam percikan api di rangkaian listrik rumah bertingkat tiga itu.

Mobil hitam berderu menembus tirai air yang masih saja dengan brutal berjatuhan ke tanah. Seorang pria di belakang setir menatap ke sekeliling rumah yang gelap gulita. Di bangku sebelahnya, duduk anak kecil berusia empat tahun yang terkurung dalam kengerian.

“Genta, nanti ayah turun ambil kunci. Kamu tunggu di mobil saja ya,” ucap pria tadi sambil membelai kepala anak itu.

Anak bernama Genta tadi hanya bisa menurut pada ayahnya. Dia melepas pria itu turun dihajar tetesan hujan yang tak kunjung reda.

Genta mengunci daun telinganya ketika kilat menggurat langit dengan cahaya terang. Dia selalu takut mendengar bahana tubrukan elektron setelah cahaya itu, terlebih ketika sendirian di dalam mobil.

Genta menunggu beberapa saat, tapi belum ada tanda-tanda ayahnya akan kembali. Suasana remang di halaman membuat anak itu enggan berdiam terlalu lama.

Ia pun mengumpulkan keberanian untuk turun dari mobil. Dia pernah ke tempat ini beberapa waktu yang lalu. Keluarga kaya pemilik istana ini selalu memberinya banyak sekali makanan dan mainan, salah satu hal disukainya dari tempat yang hari ini tampak begitu mencekam.

“Ayah?”

Genta melangkah ke selasar depan.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hujan belum berhenti mengolok jiwa kecilnya ini.

Genta berlari cepat memasuki pintu belakang. Dia tahu ada celah yang tidak terkunci di sana. Anak keluarga Limawan yang masih berusia tiga tahun itu sering mengajaknya bermain di halaman dekat gudang.

Ada anjing putih yang saat ini masih tertidur di dalam kandangnya. Agak mengherankan. Anjing itu bisa tidur pulas saat suasana sekelilingnya begitu ribut.

Langkah kecil Genta membawanya menembus tetesan hujan di pekarangan belakang. Trali besi yang membatasi pelataran paling ujung itu masih menganga lebar.

Genta mengendap-endap menuju dapur dan mulai melangkah ke ruang makan. Tidak ada ayahnya di sana. Genta kembali mengitari ruang tengah dan ruang tamu tanpa bisa menemukan keberadaan pria itu. Hujan masih berdebur keras di luar sana.

“Ayah?” panggil Genta separuh berbisik.

Mendadak, seseorang memeluknya dari belakang.

Genta terkejut dan hendak berteriak. Namun gagal. Telapak tangan besar sudah membekam mulut dan hidungnya tanpa celah.

“Genta, kita harus keluar!” desah ayahnya.

Genta tidak pernah melihat ketakutan seperti ini dari ayahnya. Baru kali ini pria itu terlihat amat gentar. Seolah dia baru saja melihat kejadian mengerikan di tempat ini.

Dia balik berbisik di telinga ayahnya, “Ada apa, Ayah?”

“Ada penyusup masuk ke rumah Limawan,” jawab ayahnya singkat. Dia menggendong Genta melewati pintu bagian belakang.

Sebelum ayahnya sampai ke bingkai pintu, sesuatu membuat langkahnya berhenti.

Genta menatap bingung.

Darah mengalir deras dari dada kiri pria itu. Pandangannya kaku. Ayahnya jatuh bersimpuh di atas lantai, membuat telapak kaki Genta bisa menyentuh keramik yang sama. Dia berusaha menopang tubuh ayahnya yang hampir runtuh.

“Ayah?” Lirihan tipis bertiup dari bibir Genta.

Pria itu menitikkan air mata seraya mengelus wajah Genta. Sebuah timah panas telah bersarang di jantungnya, menyisakan kesadaran hanya untuk beberapa detik ke depan. Dia memeluk Genta dengan erat sambil berbisik, “Pergilah. Pergilah sejauh mungkin!”

Di saat kritis seperti ini, ayahnya tak kuasa berucap lebih banyak. Guntur berkali-kali membahana di luar sana. Entah mengapa, ketakutan Genta sudah memudar menjadi kepanikan sekarang. Dia masih menunggu ayahnya untuk bangkit dan membawanya keluar dari rumah menyeramkan ini.

Saat sinar kilat menyongsong ke dalam, Genta bisa melihat bibir pria yang pucat itu telah berganti menjadi biru. Tubuh yang bersimbah darah itu langsung memerosot ke keramik granit di bawahnya pada waktu anak itu bergeser.

Genta belum bergerak sampai akhirnya pria itu menggertaknya dengan sisa tenaga yang ada, “Pergi! Pergi dari sini!”

DUARRR!

Tembakan kedua terdengar.

Sosok laki-laki dengan kostum serba hitam muncul dari balik pintu. Salah satu tangannya memegang pistol yang sempat digunakan untuk menembak ayahnya. Genta menggeleng menahan tangis. Ketika tembakan kedua dilucutkan, ayahnya berhenti bernapas.

Seperti kucing dibawakan lidi, Genta menyadari sosok dalam gelap itulah yang sudah merenggut sisa nyawa yang bersemayam di tubuh ayahnya. Dia sontak melompat dari pintu belakang ketika matanya berpapasan dengan pembunuh tadi. Secepat mungkin tubuh kerdilnya itu menghilang di antara semak dan pepohonan.

Hujan menolak berhenti hingga beberapa jam ke depan. Pemandangan mengerikan menodai rumah bak istana itu dalam darah. Tidak ada yang tahu ke mana Genta berlari. Bocah itu lenyap di balik pekarangan belakang yang rimbun.

“Dia tidak akan ingat dengan semua ini.”

“Dia kehilangan ayahnya,” tukas yang lain.

“Aku akan membuatnya lupa akan kejadian malam ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam dan Rahasia Tuan Muda   Kenangan yang tersisa

    Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti m

  • Dendam dan Rahasia Tuan Muda   Catatan Penulis

    Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk

  • Dendam dan Rahasia Tuan Muda    Sepucuk Surat

    Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y

  • Dendam dan Rahasia Tuan Muda   Jangan Takut, Hira

    “Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me

  • Dendam dan Rahasia Tuan Muda   Semua akan sia-sia

    Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t

  • Dendam dan Rahasia Tuan Muda   Dia memanggilku Lili

    Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status