Malam di tahun 1991 menjadi malam ternaas bagi keluarga Limawan. Hujan deras menghantam atap rumah mewah yang berdiri di tengah kota itu. Rinai air mengaduh bersatu padu bersama badai menciptakan sambaran petir di angkasa yang hitam. Pada milidetik selanjutnya, gelegar halilintar terdengar, menggetarkan kaca jendela dan pilar penonggak bangunan. Suara maha dasyat tadi sekaligus meredam percikan api di rangkaian listrik rumah bertingkat tiga itu.
Mobil hitam berderu menembus tirai air yang masih saja dengan brutal berjatuhan ke tanah. Seorang pria di belakang setir menatap ke sekeliling rumah yang gelap gulita. Di bangku sebelahnya, duduk anak kecil berusia empat tahun yang terkurung dalam kengerian.
“Genta, nanti ayah turun ambil kunci. Kamu tunggu di mobil saja ya,” ucap pria tadi sambil membelai kepala anak itu.
Anak bernama Genta tadi hanya bisa menurut pada ayahnya. Dia melepas pria itu turun dihajar tetesan hujan yang tak kunjung reda.
Genta mengunci daun telinganya ketika kilat menggurat langit dengan cahaya terang. Dia selalu takut mendengar bahana tubrukan elektron setelah cahaya itu, terlebih ketika sendirian di dalam mobil.
Genta menunggu beberapa saat, tapi belum ada tanda-tanda ayahnya akan kembali. Suasana remang di halaman membuat anak itu enggan berdiam terlalu lama.
Ia pun mengumpulkan keberanian untuk turun dari mobil. Dia pernah ke tempat ini beberapa waktu yang lalu. Keluarga kaya pemilik istana ini selalu memberinya banyak sekali makanan dan mainan, salah satu hal disukainya dari tempat yang hari ini tampak begitu mencekam.
“Ayah?”
Genta melangkah ke selasar depan.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hujan belum berhenti mengolok jiwa kecilnya ini.
Genta berlari cepat memasuki pintu belakang. Dia tahu ada celah yang tidak terkunci di sana. Anak keluarga Limawan yang masih berusia tiga tahun itu sering mengajaknya bermain di halaman dekat gudang.
Ada anjing putih yang saat ini masih tertidur di dalam kandangnya. Agak mengherankan. Anjing itu bisa tidur pulas saat suasana sekelilingnya begitu ribut.
Langkah kecil Genta membawanya menembus tetesan hujan di pekarangan belakang. Trali besi yang membatasi pelataran paling ujung itu masih menganga lebar.
Genta mengendap-endap menuju dapur dan mulai melangkah ke ruang makan. Tidak ada ayahnya di sana. Genta kembali mengitari ruang tengah dan ruang tamu tanpa bisa menemukan keberadaan pria itu. Hujan masih berdebur keras di luar sana.
“Ayah?” panggil Genta separuh berbisik.
Mendadak, seseorang memeluknya dari belakang.
Genta terkejut dan hendak berteriak. Namun gagal. Telapak tangan besar sudah membekam mulut dan hidungnya tanpa celah.
“Genta, kita harus keluar!” desah ayahnya.
Genta tidak pernah melihat ketakutan seperti ini dari ayahnya. Baru kali ini pria itu terlihat amat gentar. Seolah dia baru saja melihat kejadian mengerikan di tempat ini.
Dia balik berbisik di telinga ayahnya, “Ada apa, Ayah?”
“Ada penyusup masuk ke rumah Limawan,” jawab ayahnya singkat. Dia menggendong Genta melewati pintu bagian belakang.
Sebelum ayahnya sampai ke bingkai pintu, sesuatu membuat langkahnya berhenti.
Genta menatap bingung.
Darah mengalir deras dari dada kiri pria itu. Pandangannya kaku. Ayahnya jatuh bersimpuh di atas lantai, membuat telapak kaki Genta bisa menyentuh keramik yang sama. Dia berusaha menopang tubuh ayahnya yang hampir runtuh.
“Ayah?” Lirihan tipis bertiup dari bibir Genta.
Pria itu menitikkan air mata seraya mengelus wajah Genta. Sebuah timah panas telah bersarang di jantungnya, menyisakan kesadaran hanya untuk beberapa detik ke depan. Dia memeluk Genta dengan erat sambil berbisik, “Pergilah. Pergilah sejauh mungkin!”
Di saat kritis seperti ini, ayahnya tak kuasa berucap lebih banyak. Guntur berkali-kali membahana di luar sana. Entah mengapa, ketakutan Genta sudah memudar menjadi kepanikan sekarang. Dia masih menunggu ayahnya untuk bangkit dan membawanya keluar dari rumah menyeramkan ini.
Saat sinar kilat menyongsong ke dalam, Genta bisa melihat bibir pria yang pucat itu telah berganti menjadi biru. Tubuh yang bersimbah darah itu langsung memerosot ke keramik granit di bawahnya pada waktu anak itu bergeser.
Genta belum bergerak sampai akhirnya pria itu menggertaknya dengan sisa tenaga yang ada, “Pergi! Pergi dari sini!”
DUARRR!
Tembakan kedua terdengar.
Sosok laki-laki dengan kostum serba hitam muncul dari balik pintu. Salah satu tangannya memegang pistol yang sempat digunakan untuk menembak ayahnya. Genta menggeleng menahan tangis. Ketika tembakan kedua dilucutkan, ayahnya berhenti bernapas.
Seperti kucing dibawakan lidi, Genta menyadari sosok dalam gelap itulah yang sudah merenggut sisa nyawa yang bersemayam di tubuh ayahnya. Dia sontak melompat dari pintu belakang ketika matanya berpapasan dengan pembunuh tadi. Secepat mungkin tubuh kerdilnya itu menghilang di antara semak dan pepohonan.
Hujan menolak berhenti hingga beberapa jam ke depan. Pemandangan mengerikan menodai rumah bak istana itu dalam darah. Tidak ada yang tahu ke mana Genta berlari. Bocah itu lenyap di balik pekarangan belakang yang rimbun.
“Dia tidak akan ingat dengan semua ini.”
“Dia kehilangan ayahnya,” tukas yang lain.
“Aku akan membuatnya lupa akan kejadian malam ini.”
Kejadian malam itu adalah ingatan 27 tahun yang lalu. Tiga pria kekar mencekal pergelangan tangan Adhira, membuatnya tertahan dalam posisi telentang di atas brangkar besi tak beralas. Dia memberontak dengan segenap kekuatan yang tersisa, tapi percuma. Mereka bisa kapan saja menyuntikkan cairan pelumpuh itu ke tubuhnya. Semakin kuat Adhira melawan, semakin kencang pula cengkeraman yang terpaut padanya. “Cepat, ambil jarumnya!” Seseorang paling kerdil di antara mereka meraih jarum berkaliber besar, lalu dengan cepat menancapkan ujung yang runcing tadi menembus otot pahanya. “Argghhh!” Adhira meraung tertahan. Kedua matanya terpejam saat cairan bening yang ada di dalam tabung silindris itu beredar dalam tubuhnya yang ringkih. Anggota geraknya berhenti meronta seolah seluruh kekuatannya telah terenggut dari dirinya. Namun dia pingsan bukan akibat suntikan itu, melainkan karena telah dikuasai oleh rasa takut akan ujung si jarum runcing itu. “Bawa dia kembali ke selnya!” ujar seorang l
Seusai melahap habis nasi kuning berkuah gulai yang diberikan sipir perempuan tadi, Adhira diminta untuk memasuki sebuah ruang lain di lapas itu, tempat lain yang juga belum pernah dijamahnya. Bau klorin bercampur desinfektan mengelilingi dirinya. Ia diminta untuk mandi sebelum memasuki ruang perawatan yang berada dalam satu kawasan. Baru kali ini sejak bertahun-tahun lamanya Adhira tidak mandi dengan air hangat dan busa yang menyejukkan. Luka segar yang terpahat di sekujur tubuhnya sudah tak dia gubris lagi. Dia membiarkan air membasuh segala jenis perih dan sakit yang senantiasa menyengat dirinya. Tak pernah dia merasakan kedamaian hakiki yang berlimpah ruah seperti ini. Bahkan orang-orang ini juga menyediakan pakaian baru yang lebih wangi, menggantikan kaos oblong tipis yang berbau anyir itu. Kedua matanya kembali ditutup setelah keluar dari tempat tersebut. Dua orang menggiringnya memasuki ruang perawatan. Seluruh luka dioles semacam salep dengan aroma yang menye
Awan gemawan tebal meliputi langit kelabu. Angin bertiup menggeser gumpalan pekat tadi menjadi butiran hujan yang menyatu bersama asap dan debu. Hiruk pikuk perkotaan memudar di tengah guyuran hujan. Di balik rintik air yang bersemangat membasahi kaca klinik di persimpangan jalan itu, duduklah seorang pria berjas putih. Setiap kali petir menyambar, ingatannya selalu menerawang pada kejadian dua belas tahun lalu. Tak lama kemudian, air mata akan menggenangi pelupuk matanya. Dia tak pernah selemah ini saat menatap hujan.Matahari tak kunjung bersinar hingga tengah hari, membuat kesuraman makin merajalela. Hanya ada lima pasien yang masuk ke dalam. Terlihat sedikit, tapi konsultasi yang berlangsung bisa terjalin lebih dari satu jam lamanya.Pasien pertama keluar dari ruangan dengan terburai air mata.Selang sejam kemudian, pasien perempuan melangkah sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu dan memaki para petugas yang ada dengan sebutan ‘penipu’.Lim
Langit cerah membangunkan Adhira dari keterlelapan yang singkat itu. Hujan yang mengguyur tubuhnya kemarin berhasil mengganggu mimpi indahnya. Cericit bocah kecil di tepi sungai turut mewarnai kekisruhan pagi. Mereka melompat riang di tengah garis-garis tipis tanah basah berkerikil, tidak peduli cacing tambang yang menyelinap dari punggung kaki yang berlumuran lumpur itu. Sebuah batu mendarat tepat di atas garis, menimbulkan peperangan sengit antara bocah tadi. Nostalgia lampau akan masa-masa menyenangkan tak berbeban itu menghinggapi panggung khayalan Adhira. Melihat keadaan demikian, Adhira seperti berpacu pada memori lama itu. Dia ingat dengan seorang gadis kecil yang pernah ditolongnya dari para pengamen jalanan dulu. Entah bagaimana nasibnya sekarang? Ketidakbecusannya menjaga anak itu membuatnya tak lagi punya muka untuk menemuinya. Di balik kekisruhan yang terjadi di hadapannya, perhatian Adhira tak luput dari sosok seorang anak laki-laki yang t
Matahari sudah setengah tenggelam di ufuk barat ketika Odin selesai menggores jawaban terakhir di buku matematikanya. Berkat petuah singkat dari tahanan yang baru kabur itu, tugas penting Odin rampung dalam waktu singkat. Sebagai balasan, Odin mengajaknya makan malam bersama di rumah reyotnya di bantaran kali. Langkah mereka berhenti di persimpangan jalan yang dikelilingi penjaja makanan. Di balik deretan pertokoan ini merupakan lahan perkumuhan yang lebih padat lagi. Rumah Odin berdiri di ujung gang sempit pinggir sungai. Bangunan berdinding kayu dengan atap seng berkarat itu merupakan tempat anak ini menghabiskan sebagian besar hidupnya Tepat ketika Adhira hendak berpisah dengan bocah tadi, keributan kecil menyeruak di antara keramaian. Tiga petugas berseragam hijau lumut berdiri berdiskusi alot dengan beberapa masyarakat setempat. “Kami sudah menetap di sini selama lebih dari setengah abad, kalian tidak bisa sembarangan menggusur kami seenaknya saja!” bent
“Siapa namamu sebenarnya?” Pertanyaan tadi membuat Adhira mematung selama beberapa detik. “Apa maksud Ibu? Namaku Gauhar.” “Kamu bisa membohongi Odin, tapi aku tahu nama yang kamu caplok itu dari buku matematikanya kan?” Bibir Adhira terbungkam. Kepalanya merunduk saat Salimah menangkap basah ekspresi kagetnya. “Ternyata benar begitu.” “Aku….” Salimah melangkah ke tepian jendela untuk mengelap tetesan hujan yang masih merintik di luar sana. “Aku tidak tahu apa motifmu berteman dengan Odin.” “Motif? Saya tidak mengerti apa yang ibu bicarakan?” “Kamu tahanan yang kabur dari Pusat Rehabilitasi itu, kan? Kamu juga pasti mengincar kami karena tindakan manusia biadab bernama Mivar itu.” Adhira mengerutkan dahinya heran. “Maaf, saya bukan mau membohongi Ibu. Saya hanya….” Adhira terbatuk keras. Darah yang berkumpul di kerongkongannya sudah berhenti keluar, tapi udara dingin ini menggelitik saluran napasnya.
Juli 2003 Matahari yang menggantung di antara kerumunan awan bersinar lebih terik dari biasanya. Dua kakak beradik berjalan menyusuri deretan toko menuju ke gerbang sekolah yang ada di antara keramaian kota itu. SMA Equator sebetulnya bukan sekolah favorit seperti yang sering dibangga-banggakan orang. Sekolah itu menjadi bergengsi hanya karena murid-murid di dalamnya berasal dari strata teratas para elit di kota itu, membiaskan tempat super keren yang tak lebih dari tempat mengenyam ilmu seperti SMA lainnya. Jika bukan karena permintaan paman serta bantuan dari keluarga Sadana, mereka tidak akan bisa menyentuh tempat tersebut. “Kiara!” seru Adhira pada gadis berusia 13 tahun itu. “Tunggu!” Perempuan yang berkucir kuda itu melesat ke arah Adhira tanpa menghentikan langkahnya. Dia mengitari Adhira yang ngos-ngosan seperti burung pipit. “Berhentilah berlari, Kiara!” desau Adhira di ujung napasnya. Kiara dengan riang melompa
Adhira mengempaskan tubuhnya di kursi kelas sembari memijat kedua kakinya yang keram. Setelah berlari sejauh tiga kilometer dari rumah, ditambah dengan hukuman berdiri di bawah tiang bendera, otot betisnya menolak untuk bergerak. “Semua gara-gara anak pato itu!” umpatnya. Kuswan yang ternyata berada dalam satu kelas dengan Adhira mengambil tempat di sampingnya. “Adhi, kamu benar-benar zonk banget sampai bisa bertemu anak Sadana itu,” ucap Kuswan. “Pakai acara telat segala lagi. Sudah tahu Equator tu masuknya tiga puluh menit lebih awal dari sekolah lain.” “Ya, mana kutahu. Kan biasanya juga bisa langsung ikut upacara. Terus, kok di sini upacara harus pakai atribut-atribut begituan sih?” Kuswan hanya bisa menertawakan Adhira yang biasanya sangat sembrono soal aturan-aturan kaku tersebut. Adhira baru sadar kalau ternyata ada lebih banyak lagi lempengan papan yang bertuliskan aturan yang harus dipatuhinya. S