Share

Tahanan

Kejadian malam itu adalah ingatan 27 tahun yang lalu.

Tiga pria kekar mencekal pergelangan tangan Adhira, membuatnya tertahan dalam posisi telentang di atas brangkar besi tak beralas. Dia memberontak dengan segenap kekuatan yang tersisa, tapi percuma. Mereka bisa kapan saja menyuntikkan cairan pelumpuh itu ke tubuhnya. Semakin kuat Adhira melawan, semakin kencang pula cengkeraman yang terpaut padanya.

“Cepat, ambil jarumnya!”

Seseorang paling kerdil di antara mereka meraih jarum berkaliber besar, lalu dengan cepat menancapkan ujung yang runcing tadi menembus otot pahanya.

“Argghhh!” Adhira meraung tertahan.

Kedua matanya terpejam saat cairan bening yang ada di dalam tabung silindris itu beredar dalam tubuhnya yang ringkih. Anggota geraknya berhenti meronta seolah seluruh kekuatannya telah terenggut dari dirinya. Namun dia pingsan bukan akibat suntikan itu, melainkan karena telah dikuasai oleh rasa takut akan ujung si jarum runcing itu.

“Bawa dia kembali ke selnya!” ujar seorang laki-laki muda dengan pakaian serba putih itu.

Dua orang pria kekar pun dikerahkan untuk berjaga-jaga bila Adhira melakukan serangan. Walau optimis Adhira sudah benar-benar tak bisa berkutik lagi. Seluruh ototnya tak sanggup berkontraksi memberikan perlawanan. Dia diseret dengan kedua tangan tergantung pada pundak dua pria kekar tersebut.

“Dia kenapa lagi?” tanya seorang petugas penjaga gemuk di pintu sel.

“Dia menggila waktu dipaksa oleh kepala geng. Terpaksa disuntik penenang,” jawab si pria kekar di samping kanan Adhira.

“Pembuat onar ini? Cih! Siapa yang mau memakainya?” Penjaga tadi menggeser selot pintu dan membiarkan ketiganya melintas masuk.

Mereka berhenti ketika sampai di depan sebuah pintu besi. Hanya ada celah kecil yang bisa digunakan sebagai lubang udara. Mereka membuka pintunya dan tubuh Adhira dilempar ke dalam seperti karung pakan. Dia tak lagi memekik karena memar yang tercipta sudah terlampau banyak. Bahkan gerakan kecil hanya akan membuat rasa nyeri semakin menjadi-jadi.

“Membusuklah di sini! Dasar jalang!”

Umpatan semacam itu sudah akrab di telinganya. Lagi pula dia tahu sebutan tersebut secara superfisial membuat hidupnya lebih berwarna. Biasanya mereka akan menghabisinya hingga babak belur bila dia menolak menjadi pelampiasan para napi penguasa penjara ini. Adhira tahu selagi dia bisa menghindar dari sasaran para tahanan kelas kakap itu, dia akan baik-baik saja.

Namun kesialan kerap menghampirinya. Ketika para sipir sudah tak lagi mengawasi mereka, para tertindas seperti dirinya akan jadi bulan-bulanan mereka. Dan semua derita ini begitu mudah berada dalam pengabaian.

“Haus….” Suara parau Adhira terngiang di antara batuk darah.

“Kau haus sekali, ya?”

Sang pria yang tadinya hendak menutup pintu besi tadi segera mencengkeram rambut Adhira yang semrawut. Dengan cepat dia mengempas kepala Adhira ke lubang pembuangan yang ada di sudut ruangan, mencelup seluruh wajahnya ke permukaan cokelat genangan air di lubang tersebut.

Adhira harus menahan napasnya sepanjang prosesi tadi. Dia tak tahu sudah berapa banyak air yang lolos ke saluran napasnya. Usahanya untuk batuk tak membuahkan hasil. Kotoran tadi masih melekat di rongga hidungnya.

“Bagaimana? Masih haus?”

Adhira tak sempat menjawab pertanyaan tadi. Wajah dan mulutnya kini dipenuhi kotoran berbau busuk—jika saraf penghidunya masih berfungsi. Hidungnya yang mancung sering jadi sasaran pukulan bagi para penghuni rumah tahanan ini.

Namun siksaan fisik yang bertubi-tubi menerpanya ini tak membuatnya menyerah. Dia kebal akan perlakuan demikian, bahkan cenderung menikmatinya.

Kepalanya masih dalam cengkeraman laki-laki kekar itu ketika untuk ketiga kalinya dia merendam wajahnya dalam kotoran tersebut. Cengiran lebar terlukis dari wajah lusuh itu. Geligi putih yang sudah dilumuri lendir dan kotoran tersembul dari rekahan bibirnya.

“Dasar sinting!”

Sekali lagi tubuh Adhira dilempar ke sudut lantai tak berkeramik. Tawanya lepas seketika.

Iya, kewarasannya memang sudah hilang. Menyaksikan kegilaan yang tak berujung tadi, kedua laki-laki tadi meninggalkannya teronggok di dalam sel, berhenti menggubris lenguhannya.

Adhira meringkuk, gemetar menahan sakit. Masa suram ini hanyalah sebuah kepingan kecil kehidupan mengerikan yang telah dihadapinya selama sebelas tahun ini. Cahaya redup yang dipancarkan lampu ruangan tak cukup membuatnya lebih cerah. Jika keterpurukan ini bisa digantikan dengan rasa bersalah, mungkin Adhira tak akan repot-repot melakukan semua ini.

Tubuhnya sangat kotor sekarang. Terkutuk dan tak bermartabat. Hanya kegilaan yang bisa membuatnya tetap hidup. Dia menghirup udara sambil terbatuk. Gumpalan darah kembali tersembur dari rongga mulutnya. Dia tak berhenti batuk akhir-akhir ini. Napasnya kian berat dan Adhira berharap sesuatu bisa diembuskan ke paru-parunya agar dia tak perlu menarik napas dengan susah payah lagi.

“Ssst... Sisi!” desis seseorang dari balik jendela. Rambutnya tergerai menutupi sebagian wajahnya.   

“Aku?” tanya Adhira masih belum dapat melihat dengan jelas.

Laki-laki itu mengangguk. “Memangnya siapa lagi? Bos menyuruhmu ke ruang periksa.”

Adhira yang ringkih tak bisa mengangkat tubuhnya lebih jauh dari ambang pintu. Pria tadi pun membuka pintu yang tergembok dari luar. Dia memanggilnya Sisi dan Adhira mau tak mau harus menerimanya. Dia tak suka dipanggil seperti itu, tapi panggilan apa pun saat ini sudah tidak penting. Tidak ada lagi yang memanggil namanya sekarang. Dia juga mungkin akan lupa dengan namanya sendiri.

“Kau dipukul lagi sama dua troll itu?”

Adhira hanya tersenyum sebagai balasan. Tetesan darah kental masih sesekali mengalir dari sudut bibirnya. Pria tadi memberikan sapu tangan kepada Adhira. Noda kecokelatan di sarung tangan yang tadinya berwarna putih itu makin bertambah suram.

“Sepertinya mereka selalu marah kalau berada di dekatmu,” katanya.

“Mereka selalu marah di dekat siapa pun,” desah Adhira sambil mengelus sudut bibirnya yang memar. “Mereka diciptakan untuk memperkeruh masalah, Nahif.”

Nahif tak mengangguk atau menggeleng. Dia selalu berpikir bahwa Adhira tidak pernah patuh dengan mereka sehingga kedua troll itu semakin menindasnya.

Lorong panjang yang gelap dilalui orang itu dengan langkah tergopoh. Mereka baru sampai di ujung pintu kedua setelah beberapa menit berjalan.

“Bos yang memintaku membawanya ke ruang periksa,” ucapnya pada seorang sipir penjaga.

Si penjaga dengan wajah garang tadi menarik kerah baju Adhira yang sudah lusuh sambil mendengus jijik. Dia mendorong tubuh Adhira ke balik jeruji besi sambil menghela napasnya. “Waktunya sampai jam lima sore. Lewat dari itu, tidur di luar.”

“Hei, aku keluar karena permintaan bosmu,” bantah Adhira. Dia mengelap bibirnya yang masih juga bercucuran darah.

“Aku bilang waktumu sampai jam lima sore.” Si penjaga itu mengulang lagi kalimat tadi. Dia masih mencengkeram kerah baju Adhira yang berkerut separuh mencekik lehernya. Guratan kemerahan terbentuk di leher Adhira. Adhira menepuk tangan sang sipir sebagai bentuk ketidakberdayaan. “Atau kau mau membusuk di antara jariku.”

Kecaman tadi seolah tak menyulutkan kemarahan Adhira. Dia tergelak getir. Perasaan mengasihani dirinya sudah padam sejak beberapa tahun yang lalu.

“Ehm, bos sedang menunggu, Troll,” kecam Nahif lagi.

“Kau….” Geram karena dipanggil dengan sebutan tadi membuat penjaga itu hampir saja memukul wajah Nahif.

Nahif melipat tangannya sambil menaikkan alisnya sebagai ekspresi ancaman. Lagian si penjaga tak akan terlalu banyak menuntut kalau sudah bos mereka yang perintah.

Adhira diseret lagi memasuki ruangan yang lebih terang. Ada kaca besar yang dari perkiraannya hanyalah sebuah jendela satu arah. Adhira memandang berkeliling. Pelupuk matanya yang bengkak membatasi jangkauan pandangnya. Dia mencoba menerka tempat ini.

Tempat terjauh yang pernah dijangkaunya hanyalah di gedung sebelah, sekitar setahun yang lalu, saat akan dilakukan renovasi. Mereka bersama tahanan lain membantu sebagian besar tugas para tukang itu.

Dia didudukan di atas kursi besi dengan setiap kaki yang juga terikat di kaki kursi. Kedua tangannya diborgol.

“Adhira Limawan?”

Suara seorang laki-laki paruh baya masuk melalui pintu yang berbeda. Dia membawa selembar pita hitam yang kemudian digunakan untuk menutupi kedua mata Adhira.

Adhira mencoba mengingat lebih detil wajah laki-laki itu sampai akhirnya kegelapan menyertainya. Dia tak lagi bisa melihat siapa saja orang yang masuk ke dalam dan duduk di hadapannya. Dari suara yang terdengar, mereka tengah berbincang tentang keputusan membawa dia keluar dari rumah tahanan ini.

“Kalian tak bisa membawanya,” ujar salah satu dari mereka dengan suara yang dalam.

“Kita tak harus membawanya sendiri. Mereka yang akan kemari,” jawab salah satu dari mereka lagi.

“Mereka tak bisa dipercaya,” tukas yang lain.

“Sudah ada perintah khusus,” tangkis yang lain.

Adhira bisa mendengar akhirnya orang itu hanya bisa mengalah. Salah satu duduk di hadapannya sambil berdeham kecil. Napas yang berbau rokok terendus ke hidung Adhira. Bahkan Adhira bisa menebak langkahnya yang pendek, serta suara gesekan jam tangan di tangannya. Pria yang duduk di depannya tak lain adalah seorang berbadan bongsor dengan tubuh pendek, dan berkumis. Dia bisa mendengar suara gesekan lidahnya di sekitar bibirnya saat dia menyerumput minuman di atas meja.

“Baiklah, aku tidak akan berlama-lama meladenimu, Adhira,” ujarnya setelah selesai meneguk hampir separuh kopi di dalam cangkir tersebut. “Seseorang memintaku untuk membawamu ke pusat rehabilitasi.”

Adhira hanya mengangguk. Dia sadar semestinya mereka tidak perlu meminta izin padanya. Dia hanya tahanan yang tak berhak mengelak.

“Kau jangan senang dulu. Jika hasil pemeriksaanmu tidak bermasalah, kau akan dikembalikan ke sini.”

Adhira terkekeh dalam hati. Dia harap mereka tidak bisa melihat bagaimana kini dia tengah menertawakan nasibnya yang akan berubah dalam waktu dekat. Pergi dari tempat ini adalah impiannya sejak dulu.

“Siapa yang mengajukan perintah itu?” tanya Adhira.

“Kau tak perlu tahu,” jawabnya lagi.

Ketiga orang tadi beringsut dari ruang periksa, meninggalkan Adhira yang kini sendiri  dengan tangan yang terborgol dan mata tertutup. Beberapa menit Adhira hanya mendengar dalam senyap.

“Oi, kalian mau mengurungku berapa lama? Kakiku gatal!”

Adhira mencoba menggeliat di kursi yang keras itu. Tidak ada suara yang dia dengar selain pekikannya sendiri.

“Oi! Nahif! Tuan penjaga! Bapak-bapak! Tuan berkumis!” panggilnya berulang-ulang. “Bisakah kalian menggaruk kakiku?”

Pintu besi yang dilewatinya tadi mengayun terbuka. Adhira lega ada yang masuk ke dalam.

“Hehe, bisa bantu aku lepaskan borgolnya? Kakiku sangat gatal!”

Adhira memelas pelan. Dia bisa merasakan seseorang tengah mengelus wajahnya dengan kain basah. Rasa perih perlahan menggerogoti wajahnya. “Auch, aku minta kalian menggaruk betisku. Bukan mukaku.”

“Diam,” gertak suara tadi. Itu suara perempuan.

Adhira kembali berspekulasi, perempuan dengan rambut ikal yang tergerai hingga ke punggung serta kulit berwarna lebih gelap yang tengah menatapnya secara saksama. Adhira bisa merasakan bubuk talkum yang menempel di wajah perempuan tadi hinggap ke rongga hidungnya, berhasil memicu bersin. Desir halus napas menggaung melewati liang telinganya. Adhira diam mengimajinasikan bentuk wajah perempuan tadi.

Semua luput ketika perempuan itu berkata, “Menjijikan! Benar-benar menjijikan!”

Dia meludah ke tubuh Adhira. Cukup sering dia dicecar dengan ujaran penghinaan tersebut. Adhira tersenyum dari balik penutup matanya.

“Kalau begitu, jangan dekat-dekat!” maki Adhira balik. “Mengotori saja! Minggir!”

Adhira bisa membayangkan ekspresi wajahnya ketika satu hantaman kembali mendarat di tulang pipinya. Dia tertawa lebih keras. Bahkan darah segar yang ada di hidungnya kembali terisap masuk, membuat tenggorokannya gatal.

Perempuan tadi mengeram murka. Dia menyingkir dari Adhira dan berjalan menjauh. Adhira mendengar ada bisik-bisik halus antara perempuan tadi dengan orang di luar sana. Mereka seperti tengah memperdebatkan sesuatu. Hingga akhirnya dua orang laki-laki masuk dan melepaskan seluruh ikatan di tubuh Adhira. Membiarkannya bebas dari jeratan rantai dan borgol di pergelangan tangan dan kakinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status