Share

Deportation
Deportation
Author: Syifa Aim Bine

1. Drama Keluarga

"Nikah?" teriak Nina spontan.

Ia masih berharap pemanggilan dirinya ke kantor sang bos yang tak lain adalah pamannya adalah berita baik. Nina masih berharap omnya itu akan memberi berita baik tentang kenaikan gaji atau kenaikan pangkat, minimal tugas baru yang tidak terlalu rumit. Namun, justru perintah paling absurd yang didengarnya. Tak pernah terbayangkan olehnya akan dijodohkan mendadak dengan salah seorang Team Leadernya–Nick. Tanpa dasar cinta pastinya. Ia hanya dijadikan umpan untuk menyelamatkan Nick–yang berkebangsaan asing–dari deportasi.

"Ayolah Nin, mana mungkin ada yang menolak dinikahi sama Nick."

Ya, omnya itu memang benar, takkan ada wanita yang menolak Nick. Pria tampan peranakan Malaysia campur Inggris yang memiliki wajah ter-cute di kantor ini. Belum lagi posisinya sebagai pegawai khusus yang diimpor langsung dari luar, sudah mapan pula di usia yang baru akan menginjak kepala tiga. Namun, tentu berbeda dengan Nina. Menurutnya, Nick adalah pria paling dingin dan paling angkuh yang pernah ditemuinya. Menurutnya, Nick berlaku seakan dia paling superior di kantor yang bergerak di bidang telekomunikasi itu. Diantara para kaum hawa yang mengidolakan Nick, Nina bukan salah satunya. Dan sekarang ia disuruh menerima pernikahan kontrak ini? Tentu saja Nina menolaknya mentah-mentah.

"Ya sudah, kenapa gak sama yang lain aja? Kan masih banyak yang single di kantor ini. Ada Puspa, Viny, Sisca, Fani ..."

"Tapi mereka bukan keponakan om." Om Sandy terlihat cemberut dan pura-pura merajuk. Lalu pria berpenampilan klimis itu berbalik kembali duduk di balik mejanya.

Nina hapal betul tabiat omnya itu. Mereka memang sudah akrab sejak dulu. Bahkan profesi Nina sekarang sedikit banyak karena pengaruh omnya itu. Kalau sudah begini, Nina jadi salah tingkah. Menerima juga tak mungkin. Meski telah lama menjomblo, menikah buat Nina terlalu sakral jika harus dijadikan aset bisnis seperti saat ini.

"Ah, tau ah. Nikah kok dijadiin kontrak kerja," cetusnya meninggalkan kantor sang Om.

Om Sandy tak mampu mencegah. Nina sebenarnya merasakan perih di hatinya. Ia tahu, saat ini usianya yang sebentar lagi menginjak angka dua puluh delapan sering membuat keluarganya risih. Hampir setiap pertemuan keluarga masalah tentang kesendiriannya selalu menjadi topik perbincangan. Nina biasanya menganggap itu seloroh, dan ia pun mentertawakannya. Namun, tentu saja hatinya perih.

Bukan karena tak ada yang mendekatinya, hanya saja luka lama di hatinya tertutup lapisan tipis yang basah. Sulit baginya untuk menerima benturan kuat seperti cintanya dulu.

***

"Nin, Mama dan Papa mau bicara," bisik Mama saat Nina mencuci piring selepas makan malam.

Nina cuma mengangguk. Hatinya langsung bisa menebak, pastilah Om Sandy sudah membicarakan rencananya pada orang tua Nina. Dan Nina yakin Papanya tak akan setuju dengan rencana Om Sandy. Setidaknya Nina yakin akan ada satu orang yang membelanya–papanya.

"Nina, kamu pasti tahu kenapa Papa dan Mama ingin bicara dengan kamu malam ini?" Papa terlihat serius saat memulai percakapannya.

"Soal Om Sandy ya, Pa?" jawab Nina yakin.

"Benar."

"Tau nih Om Sandy. Dikiranya pernikahan itu main-main apa? Masak seenaknya aja jadiin Nina tumbal perusahaan. Ya ..."

"Kami setuju kok," potong Papa.

"Ha?" Nina bengong, tak percaya dengan apa yang barusan dikatakan papanya.

Nina menoleh ke arah Mama, memastikan apa yang didengarnya. Wanita berwajah teduh itu ikut mengangguk mengaminkan sambil tersenyum. Matanya pun terlihat berkaca-kaca, seakan mendengar berita yang membuatnya terharu. Hanya Nina yang tak percaya, ia kembali melirik Papa. Namun, sekali lagi pria itu mengulangi kata-katanya tegas. Seakan semua ini adalah perintah, tak dapat ditawar kembali.

"Pa, maksud Papa apa sih? Nick itu orang asing, Pa. Nina cuma dijadiin tumbal supaya dia gak dideportasi."

"Ya, awalnya Papa juga berpikir begitu. Tapi setelah kami bicara dengan Nick dan keluarganya ...."

"Tunggu... tunggu... Kalian udah bicara dan bertemu keluarga Nick? Oke, wait. Apa cuma aku yang gak tahu apa-apa tentang rencana ini?"

Nina kini merasa kesal, bagaimana mungkin ia ternyata orang terakhir yang tahu akan hal ini. Bagaimana mungkin orang tuanya, Nick, dan Om Sandy merencanakan masa depan tanpa sepengetahuan dirinya. Mata Nina mulai basah, pertahanan dirinya mulai runtuh, harga dirinya seakan dicabik-cabik saat ini.

"Ya, jujur saja saat Sandy mengusulkan ini, Papa langsung ingin bertemu dengan Nick. Ya, kita bicara, ngobrol panjang lebar, dan kita berhubungan dengan orang tuanya baru melalui video call aja. Mungkin sabtu ini orang tuanya flight ke sini."

Sekali lagi Nina merasa syock. Ternyata pembicaraan mengenai pernikahannya dengan Nick sudah sampai pada level yang cukup serius.

"Dan aku baru diberi tahu? Oke, siapa lagi, Bia tahu juga?" Mata Nina mulai memanas, ia makin merasa asing berada di tengah keluarganya sendiri.

Mama dan Papa saling berpandangan, mereka hanya bisa terdiam, tak menyangka reaksi Nina akan seperti ini.

"Na, dengar dulu. Mama dan Papa gak mungkin asal aja terima Nick sebagai calon suami kamu. Kami sudah pikirin ini matang-matang. Nick juga sebenarnya ..."

"Oh, kalau begitu aku berterima kasih sekali. Kalian sudah repot-repot merencanakan ini semua tanpa sepengetahuan aku." Pertahanan Nina pecah, air matanya kini tak terbendung hingga mengalir deras membasahi pipinya.

Mama mulai mendekati, berusaha merangkul putri kesayangannya itu. Tak ada niat untuk membuat hati Nina terluka.

"Nina, maafkan kami. Kami gak bermaksud menyakiti kamu. Semua demi kebaikan kamu juga, Sayang."

"Kebaikan Nina? Menikah dengan orang yang gak Nina suka apa itu kebaikan? Apa semua ini cuma untuk menutupi aib karena kalian takut punya anak perawan tua?"

"Cukup! Jadi karena kamu merasa tersakiti berarti kamu berhak membalas menyakiti kami?" Suara Papa kini meninggi, wajahnya memerah.

"Pa..." Mama mencoba menenangkan.

"Sudah, Ma. Padahal niat kita baik, kewajiban kita memilihkan jodoh yang baik buat anak."

"Pa, tenang dulu. Kalau sama-sama keras begini, Mama malah bingung." Wanita itu terduduk, asma kronis yang dideritanya mendadak kambuh.

Seharusnya ini menjadi berita baik buat keluarga ini. Namun, ternyata malah menjadi pemicu keributan dan perdebatan yang tiada habisnya. Mama Nina kemudian roboh, matanya terpejam.

"Mama!" Nina dan Papanya kaget karena mengira sang Mama pingsan. Mereka ikut terisak di samping tubuh wanita itu.

"Duh, kok malah kayak sinetron begini sih kalian. Vertigo Mama kambuh ini," keluh Mama sambil meringis.

"Ya sudah, kita ke rumah sakit aja, ya. Nin, siapin Mamamu! Papa keluarin mobil dulu." Papa langsung bergegas menuju garasi.

"Tunggu bentar, ya, Ma. Nina ambilin kerudung ama tasnya."

"Jangan lupa pensil alis ama lip balm Mama, ya Nin. Tadi abis salat belum sempat ngalis."

"Yaelah, Mama. Udah sakit begitu masih aja mikirin alis," sungut Nina.

Malam itu juga Mama terpaksa dibawa ke rumah sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status