Share

2. Pesona Seorang Nick

Saat Nina pertama kali bergabung di perusahaan yang dipimpin Om Sandy, Nick sudah ada di sana. Om Sandy tak pernah lelah bercerita kalau si Nick ini adalah seorang brilian yang berbaik hati mau tetap stay di perusahaan ini.

"Tau gak, Nin, padahal kantor pusat Asia udah minta dia balik. Tapi dia masih mau loh bantuin kita di sini. Ck ... ck, luar biasa memang itu orang." Telinga Nina mulai panas mendengar lagi pujian tentang Nick.

"Ya teranglah betah, orang gajinya jadi dobel, kan?" sindir Nina.

Sejak awal dia memang telah mencium ketimpangan rezeki di kantor ini. Mentang-mentang Nick berstatus pekerja impor, gap penghasilan dia cukup jauh jika dibandingkan dengan karyawan lainnya.

"Ya beda lah, Nin. Dia banyak pasang badan tiap rapat besar, ngurusin masalah dengan provider, custumer. Nah, yang lain tiap gua suruh maju, pada ngibrit."

"Ya ... Ya ... Ya, jangan-jangan bentar lagi posisi Om dia yang gantiin."

"Hahaha, dasar dodol. Yang ada emang posisinya dia lebih tinggi lah. Masak di tuker ama gue yang cuma manajer cabang istilahnya. Ya, mana mau lah."

"Ha? Jadi lebih tinggi dia? Kok Om bilang dia team leader kita?"

"Ya dianya juga gak keberatan. Emang dia sering juga bantu-bantu tim. Pekerja keras banget lah dia. Mungkin itu juga yang bikin dia belum nikah sampai sekarang."

"Sibuk apa emang gak doyan peyempuan, Om?" celetuk Nina asal.

"Hush! Jangan fitnah."

"Lah kan emang lagi tren, Om."

"Gak lah kalo Nick. Om taulah dia. Dia cuma gak punya kemampuan menjalin relationship aja kali, kaku. Hahaha," gelak Om Sandy.

"Nah, yang itu bener, kayak kanebo kering, hahaha."

Begitulah percakapan Nina dengan Om Sandy beberapa bulan lalu. Tak terbersit sedikitpun kini pembicaraan mereka menjadi serius jika membahas tentang Nick.

**

Mama sudah menginap semalam di ruang perawatan. Hari ini Bianca–kakak Nina ikut datang merawat.

"Maaf baru datang, ya, Ma. Si Hana lagi tumbuh gigi, rewel banget semalam," ujarnya sambil menghampiri sang Mama.

"Iya gak apa-apa. Kok gak di bawa ke sini cucu Mama?" tanya Mama memelas.

"Besok aja, ya. Kasian capek banget karena kurang tidur dia."

"Lo kok gak bawa pesenan gua, Bia?" Potong Nina yang sejak tadi sibuk dengan kantong belanja pesanannya dari Bia.

"Ah, males. Ngantri parah. Lagian napa elu yang banyak minta, yang sakit kan Mama. Trus Mama juga sakitnya gara-gara elu kan, Lele?" Bia menatap kesal adik satu-satunya itu.

"Enak aja lu, Mujaer. Mama juga sih, pake sok ngejodohin gue. Emang zaman Siti Nurbaya apa pake jodoh-jodohan," balas Nina sengit.

"Hush! Sejak kapan Mama miara anak ikan? Lele, mujaer. Kalian itu cuma berdua tapi mama kok kayak gedein anak sekelurahan aja hebohnya. Udah gede gak juga berkurang ributnya, gak malu apa ama suami kalian nanti."

"Eh, aku belom ya, Ma," sambar Nina.

"Halah, yang mau ama lu juga pasti matanya siwer. Ngaca noh, kulit bersisik, dekil, gaya gak jelas cewek apa cowok, untung aja udah pake jilbab. Kalo gak kliatan dah tu rambut cepak kayak halaman rumput abis dipangkas."

"Ih, peristiwa lama pake diungkit segala. Rambut gua udah panjang kale. Emang lu pikir ini punuk gue yang menonjol, rambut kuncir nih," balas Nina tak kalah sengit.

"Ya Allah, panggil dokter lagi aja deh. Vertigo Mama kambuh lagi, nih. Komplikasi kayaknya ama jantung kalo kayak gini," potong Mama.

"Ih, Mama apaan, sih. Udah kali Ma dramanya. Toh kata dokter Mama sebenarnya gak perlu dirawat juga, Mama aja yang ngotot minta kamar," jelas Nina.

"Gak apa-apa, biar kamu sadar kalo kamu bikin Mama kesel. Mestinya Mama diemin aja kamu selamanya," rajuk Mama kesal.

"Yah, jangan gitu dong, Ma. Maafin Nina. Mau berapa kali lagi sih Nina minta maaf supaya Mama gak ngambek lagi?"

Nina kini mengabaikan kantong belanjaan, dan mulai mendekati sang Mama. Dengan jurus rayuan maut ditambah dengan pijatan yang memiliki tekanan yang pas di kaki Mama, hati wanita itu pun mulai meleleh.

"Boleh, tapi Nick yang ganteng tetap jadi mantu Mama, ya?" Mama menahan senyum sambil memberi kedipan kode dengan Bia.

"Iya, kenapa sih lu gak mau ama Nick. Kalo gua masih single juga udah gua duluan yang maju," kekeh Bia dan Mama.

"Wah ... Wah ... Kenapa gak gua rekam itu tadi, ya? Wah, kalo gua kasi denger ke Mas Raka bakal seru nih." Nina mencari-cari ponsel pintar miliknya.

"Ih, perez. Gua becanda aja kali buat manasin elu. Kebanyakan liat angka sih, lu, jadi lupa cara becanda," kilah Bia.

"Ih, becanda apaan. Lu kate gua kagak liat tadi pas lu ngelirik dokter muda yang periksa Mama? Emang dari dulu jelalatan sih," balas Nina lagi.

"Mulai lagi deh. Dah, Mama mau istirahat dulu, kalian mending ke luar aja sono kalo mo ribut." Mama siap-siap mengambil posisi kembali berbaring, mengabaikan Nina dan Bia yang masih saling lempar ekspresi kesal satu sama lain.

***

"Nin, maybe tomorrow, Mom and Daddy saye nak jumpe ngan keluarga you."

Hari itu, selepas jam kerja, tiba-tiba saja Nick datang menghampiri meja Nina. Nina yang sedang bersiap-siap akan pulang dibuat kaget. Mereka memang jarang berinteraksi, apalagi kabar yang Nick sampaikan barusan, cukup membuat jantung Nina hampir melompat ke luar. Bagaimana bisa Nick dengan santai mengabarkan perihal lamaran itu. Mereka saja tak pernah kencan atau paling tidak ngobrol secara privat baik lisan maupun teks.

Tanpa menunggu jawaban Nina, dengan santai Nick melenggang meninggalkan tempat itu. Dengan cepat Nina menyusulnya hingga ke dalam lift.

"Nick, tunggu! Gua mo bicara."

"Oke, go on," jawab Nick santai sambil memencet tombol lift menuju lobby.

"How ... Oke, gimana gua bilangnya ya? Nick, gue gak bisa nikah ama lu. Lagian kenapa musti gua sih? Kita gak pernah dekat, gak pernah nge-date, bahkan ngobrol pun selain urusan pekerjaan gak pernah. Tapi kenapa lo mendadak mau nikahin gue?" cecar Nina.

"Be ..." Belum sempat Nick menjawab, Nina sudah kembali nyerocos.

"Oke, gue tau, ini tentang izin stay lu kan? Toh lu bisa cari cewek yang bisa dikontrak beberapa bulan atau setahun dua tahun lah buat nyelamatin lu dari panggilan imigrasi. Setelahnya kalo lu betah banget di sini lu tinggal ngurus kewarganegaraan, gak ribet lah ya gua rasa?"

Nick terdiam, Nina mencoba kembali mengingat kata-kata yang telah termuntahkan dari mulutnya tanpa sempat ia cerna terlebih dahulu. Ia akhirnya menutup mulutnya sendiri, ketika menyadari ia cukup keterlaluan.

Denting lift tanda sampai di lobby mengusir hening di antara mereka. Namun, tak ada seorang pun yang sepertinya hendak keluar dari kotak itu.

"Ok, so, the big problem is: we never do date, right? Oke, kalau macam tu we dating now!" cetus Nick dingin, lalu menarik tangan Nina ke luar.

"Apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status