"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.
Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.
Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.
Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.
Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.
Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau.
"Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada menghina, nyaring di telinga Thania meski begitu pelan. "Buang jauh-jauh mimpi itu, Thania."
Kata-kata itu seperti cambuk. Membelah batinnya yang sudah nyaris tak bernyawa. Thania menatapnya dengan mata yang nanar, kosong.
Satu tetes air mata jatuh perlahan dari sudut matanya. Bukan karena fisiknya yang sakit—meskipun itu nyata—tapi karena jiwanya sudah terlalu penat menerima kebohongan, penolakan, dan penghinaan.
"Aku tidak pernah menggoda ayahmu..." suara Thania nyaris tercekat, serak dan penuh sesak, seolah setiap kata yang keluar menorehkan luka baru di tenggorokannya.
Matanya memohon, wajahnya pucat pasi karena tekanan batin yang tak lagi bisa ia pendam. "Aku meminjam uang padanya karena—"
"Karena kakakmu dipenjara, kan?" potong Melvin cepat, nada tajam dan sinis menggema di antara dinding kamar itu.
Thania membeku. Matanya membulat, tubuhnya menegang seperti batu yang dicelupkan ke dalam es. Kata-kata itu menghantamnya dengan keras, seolah membuka kotak rahasia yang selama ini ia kunci rapat dalam jiwanya.
"Da—dari mana kau tahu itu?" tanyanya lemah, suaranya nyaris tak terdengar.
Ketakutan mulai melingkupi dirinya, bukan hanya karena apa yang Melvin tahu, tapi juga karena cara Melvin menatapnya saat ini—penuh kebencian, seolah ia adalah makhluk paling menjijikkan di muka bumi.
Melvin menyeringai, matanya memancarkan kemenangan yang getir.
Ia menunduk perlahan, mendekat ke wajah Thania lalu berbisik, "Kau pikir aku sebodoh itu? Aku tahu semuanya, Thania. Termasuk caramu mendekati ayahku, lalu berpura-pura tak bersalah, berharap bisa masuk ke dalam keluarga ini lewat jalur belakang."
"Tidak!" seru Thania cepat. Kepalanya menggeleng dengan panik, matanya membelalak memohon. "Kau salah paham, Melvin. Aku tidak pernah berniat seperti itu. Aku hanya—aku hanya ingin menyelamatkan kakakku. Aku tidak punya pilihan lain...!"
Namun semua itu tak berarti bagi Melvin. Ia memalingkan wajahnya sebentar, menghela napas seolah sedang menahan amarah yang terus menggelegak di dadanya.
"Cukup!" bentaknya kemudian. Suaranya membelah udara, menghantam jantung Thania. Ia mundur sedikit, menatap Thania seakan wanita itu bukan manusia—melainkan kesalahan hidup yang harus segera disingkirkan.
"Kau bisa menangis. Bisa berpura-pura terluka. Tapi tidak di depanku. Aku tahu siapa kau sebenarnya," lanjut Melvin dengan suara yang lebih rendah namun jauh lebih berbahaya.
Thania gemetar. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan isak yang akhirnya pecah juga. Napasnya memburu, dadanya sesak, seperti ada beban berton-ton yang menindih jiwanya.
Ia ingin menjelaskan. Ingin menjelaskan semuanya. Tapi suara Melvin... sorot matanya... membuatnya tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan sampai.
"Aku harus melindungi keluargaku dari wanita murahan sepertimu!" hardik Melvin sekali lagi. Suaranya menggema keras, menciptakan gelombang luka baru di dada Thania.
Thania terhenyak. Kedua tangannya menurun perlahan dari wajah, memperlihatkan mata sembab yang berlinang air mata.
Dengan suara yang nyaris bergetar, ia berkata, "Aku bukan wanita murahan..."
Tangannya mengarah lemah ke seprai putih yang bernoda merah. Bukti dari malam yang telah merenggut kehormatannya—tanpa cinta, tanpa kasih.
"Kau lihat sendiri, Melvin... bercak darah perawan yang telah kau renggut. Dan kau... kau masih menganggapku wanita murahan?"
Namun Melvin tidak bergeming. Rahangnya mengeras, matanya tetap dingin, seolah kebenaran yang berdarah-darah itu tak lebih dari debu di matanya.
"Ya!" bentaknya. "Itu tidak membuktikan apa-apa, Thania! Tidak setelah rekaman ini—"
Dengan kasar, Melvin melempar sebuah flashdisk ke atas meja. Ia menekan tombol remote, dan layar televisi menyala. Suara tajam mulai terdengar, menyesak ruang sempit itu.
"Kau harus melakukannya, Thania! Dia tertarik padamu, kau tinggal sedikit lagi. Sentuh dia, goda dia. Kalau perlu... tidurlah dengannya! Kita butuh uang itu!"
Thania menegang. Suara itu... suara yang sudah lama ia kubur dalam ingatannya. Suara Archer. Kakaknya.
"Tidak... Tidak!" jerit Thania, tubuhnya gemetar hebat. "Rekaman itu terpotong! Aku tidak pernah mengiyakan permintaan Archer! Aku menolaknya, aku bahkan menamparnya setelah ia mengatakan itu! Dia sudah... dia sudah putus asa karena utangnya..."
"Omong kosong!" bentak Melvin, menepis semua penjelasannya dengan tangan kosong.
Ia mendekat dan menunduk ke arah Thania. "Kau pikir aku akan percaya kata-kata manismu? Kau pikir air mata bisa menghapus semua bukti?"
"Melvin, dengarkan aku—aku menolaknya! Aku memaki Archer karena dia bahkan menyuruhku melakukan hal keji itu! Tapi rekaman itu... itu sudah diedit!" Thania mencoba menjelaskan dengan suara yang nyaris putus asa.
Namun Melvin menggeleng lambat. Wajahnya menyiratkan penolakan yang keras kepala. "Kau bisa menangis. Kau bisa terlihat polos di hadapan orang lain. Tapi, tidak bagiku." Ia menatap Thania tajam.
"Buktikan kalau kau memang bukan wanita murahan."
“Entahlah. Aku belum memikirkan tentang masa depan, Arion. Tapi, aku tidak akan membuang bayi ini meski Johan tidak akan mengakuinya,” ucap Evelyn dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan yang tertelan oleh angin malam yang masuk lewat jendela rusak di sudut kamarnya.Arion menatap wanita di depannya itu dengan perasaan yang campur aduk. Perih, marah, dan iba bercampur menjadi satu.Evelyn, gadis yang dulu ceria, yang senyumnya mampu mencerahkan ruangan mana pun, kini berdiri di hadapannya seperti bayangan dari masa lalu yang retak.Matanya mengembara ke sekeliling kamar kontrakan itu—temboknya lembap, catnya mengelupas, dan satu-satunya lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya redup berkelap-kelip.“Sudah berapa bulan usianya?” tanya Arion dengan pelan.Evelyn menunduk dan menatap perutnya yang masih rata seakan mencoba merasakan denyut kecil kehidupan di dalam sana.Ia menelan salivanya lalu mengangkat wajahnya dan menatap Arion dengan mata berkaca. “Delapan minggu, alias ba
Arion berdiri di depan sebuah pintu kontrakan kecil di pinggiran kota New York, menatap bilik yang tampak kumuh dan jauh dari standar tempat tinggal seorang wanita seprofesional Evelyn.Telah tiga hari wanita itu menghilang tanpa kabar. Telepon tak diangkat, pesan tak dibalas. Bahkan, rekan-rekan di kantor pun tak tahu apa-apa.Arion merasa tidak tenang sejak pagi tadi, dan dorongan hatinya membawa langkahnya kemari—ke tempat yang dulu secara tak sengaja disebut Evelyn sebagai “tempat darurat.”Ia mengetuk pintu dengan pelan, menunggu dengan harap-harap cemas.“Evelyn?” panggil Arion dengan suara seraknya karena udara dingin di sana.Tidak ada jawaban. Hanya suara gemericik air hujan yang menemani.Ia mengetuk sekali lagi dan kali ini lebih keras. “Evelyn! Ini aku, Arion. Kumohon, buka pintunya. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Evelyn?” panggilnya lagi.Masih tidak ada sahutan.Arion menghela napas panjang, lalu menempelkan telapak tangannya pada pintu kayu yang lembap.
“Evelyn belum masuk kantor?” tanya Arion dengan dahi berkerut, tatapannya mengarah pada Luna—salah satu staf administrasi yang menggantikan posisi Evelyn selama tiga hari terakhir.Luna menggeleng pelan, menundukkan kepala seperti merasa bersalah karena tak mampu memberi kabar lebih. “Belum, Tuan. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak dia angkat sampai saat ini.”Arion mendengus pelan. Ia menyandarkan punggung ke sofa yang berada di lorong depan, lalu memijat pelipisnya sejenak.“Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” gumamnya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri.Hatinya diliputi rasa tak tenang, sesuatu tentang absennya Evelyn terasa ganjil. Wanita itu dikenal sangat profesional, bahkan saat sedang sakit pun biasanya ia tetap mengabari secara rutin. Tapi sekarang, seolah ditelan bumi.Arion bangkit, langkahnya panjang dan cepat menuju ruang kerja. Suara sepatu pantofelnya bergema pelan di sepanjang koridor marmer.Setibanya di dalam, ia duduk di kursi kulit berwarna hi
“Ini benar-benar terjadi.”Wajah Evelyn pucat pasi ketika melihat sesuatu yang dia genggam. Di tangannya, sebuah test pack tergenggam erat, seolah jika ia melepaskannya, dunia akan runtuh.Dua garis merah terang terpampang jelas—tak mungkin disalahartikan. Kedua matanya melebar, bibirnya bergetar, dan tubuhnya perlahan melemas, bersandar pada dinding dingin yang seolah menertawakannya.Hening. Tak ada suara selain tarikan napas yang memburu.“Tidak... tidak mungkin...,” bisiknya lirih.Tetapi kenyataannya tak bisa diingkari. Dua garis itu bukan ilusi. Dua garis itu adalah vonis—bahwa hidupnya akan berubah untuk selamanya.Test pack itu terjatuh ke lantai saat tangan Evelyn menutupi mulutnya. Air matanya jatuh satu per satu, lalu mengalir deras.Tangisnya meledak, keras, penuh rasa marah, takut, dan hancur. Ia terduduk, memeluk lututnya, membenamkan wajah dalam lengannya.“Kenapa sekarang?” jeritnya, suara parau memecah keheningan pagi.Sebuah kilas balik perlahan menyelusup ke dalam b
Thania terbaring dengan bantal tinggi menopang punggungnya, rambutnya masih sedikit basah oleh peluh, wajahnya tampak pucat namun memancarkan cahaya yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Perawat menyerahkan Alice kecil ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Bayi mungil itu hanya berbalut selimut putih dengan bordiran nama halus di pinggirannya.Alice Elizabeth Reandra. Mata kecilnya masih terpejam rapat, tetapi tubuh mungil itu bergerak pelan, hangat, hidup.Thania menerima putrinya dengan kedua tangan gemetar. Detik pertama pelukan itu terjadi, tubuhnya lunglai oleh emosi.Air matanya pecah, mengalir tanpa henti. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mengecup dahi Alice, lalu menariknya lebih dekat ke dada.“Akhirnya… kau di sini,” bisiknya pelan. “Kau datang, Sayang. Setelah semua rasa sakit, semua penantian… kau datang.”Air mata jatuh ke pipi Alice yang merah dan halus. Thania tak menahan apa pun. Tangisnya adalah doa yang selama ini terucap diam-diam. Tangisnya adalah cinta ya
Usia kandungan Thania sudah menginjak sembilan bulan. Perutnya kian besar, langkahnya kian lambat, dan napasnya lebih pendek dari biasanya.Namun, tak ada yang bisa menandingi semangat yang memenuhi hati dan wajahnya. Setiap pagi, dia berdiri di dekat jendela kamar, mengelus perutnya yang menonjol, dan membisikkan kata-kata lembut kepada bayi di dalam sana.“Papa, Mama, dan dua kakakmu menunggumu, Sayang. Dunia ini sudah disiapkan untuk menyambutmu,” ucapnya dengan suara serak penuh cinta.Sejak memasuki bulan ke-9 kehamilan, Thania memutuskan untuk cuti dari semua aktivitas luar rumah.Dia berhenti datang ke kantor, menolak semua undangan luar, dan memilih tinggal di rumah untuk memusatkan tenaganya pada satu hal: menyambut kelahiran sang putri kecil.Melvin, dengan seluruh perhatian dan cintanya, mendekor ulang kamar bayi mereka. Dinding-dinding dicat ulang dalam nuansa pastel lembut—biru muda, peach, dan sedikit hijau mint.Di salah satu sisi, dia melukis sendiri rangkaian bunga li