Mata Melvin langsung menyala. Sorot tajamnya berubah menjadi bara yang membakar amarah dalam dirinya. Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak beraturan.“Lalu, kau akan bersama dengan Arion? Begitu?!” pekiknya keras, membuat udara dalam vila seketika terasa sesak.Thania menghela napas panjang, tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan emosi yang terus menggelora dalam dada.Suaranya tenang namun tajam seperti belati ketika ia menjawab, “Kalau memang dia adalah takdirku, kenapa tidak? Bahkan dia jauh lebih baik darimu.”Ucapannya itu seperti cambuk yang menghantam keras ke arah Melvin. Rahangnya mengeras, matanya semakin gelap.Tangan Melvin mengepal kuat, seolah hendak menghantam apa pun yang ada di hadapannya—tembok, meja, bahkan mungkin dirinya sendiri. Amarah itu begitu kentara, seakan hanya menunggu detik untuk meledak.Sementara Thania tetap berdiri tegak. Ia tampak lelah, tapi tekadnya bulat. “Kau mau apa? Aku akan turuti, asalkan lepaskan aku. Atau mungkin kau ingin memperm
Isak tangis Thania masih terdengar samar meski punggungnya membelakangi Melvin. Suaranya yang lirih dan teredam bantal menyayat hati, namun Melvin hanya bisa menatap punggung wanita itu dalam diam.Ia tak punya keberanian untuk menyentuh atau bahkan menenangkannya. Yang bisa ia lakukan hanya merebahkan tubuhnya perlahan di sisi Thania, menjaga jarak namun tetap dekat.Ia memejamkan matanya, satu tangannya memijat pelipis yang terasa berdenyut keras. Kesalahan besar. Ia tahu itu.Ia telah melukai wanita yang bahkan tidak pernah meminta untuk ada dalam kehidupan rumitnya. Dan kini, Thania pasti semakin membencinya.Tiba-tiba terdengar suara notifikasi dari ponsel yang tergeletak di atas nakas.Ting!Melvin membuka matanya, menoleh, lalu meraih ponsel itu. Layar menampilkan sebuah pesan singkat dari Joana:Joana: Melvin. Kenapa harus pergi selama dua minggu lamanya? Aku baru tiba dan kau harus pergi begitu lama. Aku akan merindukanmu lagi.Melvin membaca pesan itu tanpa ekspresi. Jarinya
Melvin memijat keningnya sembari berjalan bolak-balik di ruang tengah apartemennya yang remang, dengan ponsel yang masih menempel di telinganya.Wajahnya tegang, rahangnya mengeras, dan napasnya mulai memburu. Suara Davian yang tengah memarahinya terdengar tajam di ujung sambungan.“Kau menuduh Thania, sama saja dengan menuduh Papa. Kau pikir Papa akan diam saja setelah tahu semuanya? Mungkin dia akan meminta Thania untuk bercerai denganmu!” suara Davian meledak, seperti bom yang menghantam langsung ke kepala Melvin.Melvin menutup matanya rapat-rapat, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Ia tahu Davian tidak akan semudah itu diyakinkan.Ia memutar otaknya cepat, berusaha mencari alasan yang cukup logis agar Davian berhenti menekan dan memojokkannya.“Aku melakukan ini untuk melindungi mereka berdua, Davian. Justru aku telah menyelamatkan mereka,” ucap Melvin akhirnya, mencoba memberi pembenaran yang terdengar masuk akal, walau dirinya sendiri tak yakin sepenuhnya pada kata-kata
‘Apa Regina yang telah memberitahu Davian? Tapi, dia sudah berjanji padaku untuk tidak memberitahu siapa pun,’ ucap Thania dalam hati, curiga namun masih berusaha mempercayai sahabatnya.Pikirannya berkelana, mencoba mengingat setiap percakapan, setiap celah kemungkinan di mana rahasia itu bisa bocor. Tapi tak ada yang jelas. Semua hanya membuat kepalanya semakin pening.Ia kemudian menggelengkan kepalanya pelan, mencoba membuang prasangka yang semakin menumpuk.“Tidak. Aku tidak pernah memberitahu siapa pun tentang ini semua. Tapi, kalau kau tidak percaya, itu bukan urusanku,” ucapnya akhirnya dengan nada datar dan cuek.Kalimat itu keluar tanpa emosi. Ia benar-benar lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara mental.Rasanya percuma mencari pembelaan di hadapan seseorang yang tak pernah benar-benar ingin percaya.Ia tahu, pada akhirnya semua yang ia katakan hanya akan diputarbalikkan atau diabaikan. Dan Thania tidak punya tenaga lagi untuk itu. Ia hanya ingin tenang.Melvin di
"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau."Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang
“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.Mereka menoleh bersama ke arah seber
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pe
‘Apa Regina yang telah memberitahu Davian? Tapi, dia sudah berjanji padaku untuk tidak memberitahu siapa pun,’ ucap Thania dalam hati, curiga namun masih berusaha mempercayai sahabatnya.Pikirannya berkelana, mencoba mengingat setiap percakapan, setiap celah kemungkinan di mana rahasia itu bisa bocor. Tapi tak ada yang jelas. Semua hanya membuat kepalanya semakin pening.Ia kemudian menggelengkan kepalanya pelan, mencoba membuang prasangka yang semakin menumpuk.“Tidak. Aku tidak pernah memberitahu siapa pun tentang ini semua. Tapi, kalau kau tidak percaya, itu bukan urusanku,” ucapnya akhirnya dengan nada datar dan cuek.Kalimat itu keluar tanpa emosi. Ia benar-benar lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara mental.Rasanya percuma mencari pembelaan di hadapan seseorang yang tak pernah benar-benar ingin percaya.Ia tahu, pada akhirnya semua yang ia katakan hanya akan diputarbalikkan atau diabaikan. Dan Thania tidak punya tenaga lagi untuk itu. Ia hanya ingin tenang.Melvin di
Melvin memijat keningnya sembari berjalan bolak-balik di ruang tengah apartemennya yang remang, dengan ponsel yang masih menempel di telinganya.Wajahnya tegang, rahangnya mengeras, dan napasnya mulai memburu. Suara Davian yang tengah memarahinya terdengar tajam di ujung sambungan.“Kau menuduh Thania, sama saja dengan menuduh Papa. Kau pikir Papa akan diam saja setelah tahu semuanya? Mungkin dia akan meminta Thania untuk bercerai denganmu!” suara Davian meledak, seperti bom yang menghantam langsung ke kepala Melvin.Melvin menutup matanya rapat-rapat, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Ia tahu Davian tidak akan semudah itu diyakinkan.Ia memutar otaknya cepat, berusaha mencari alasan yang cukup logis agar Davian berhenti menekan dan memojokkannya.“Aku melakukan ini untuk melindungi mereka berdua, Davian. Justru aku telah menyelamatkan mereka,” ucap Melvin akhirnya, mencoba memberi pembenaran yang terdengar masuk akal, walau dirinya sendiri tak yakin sepenuhnya pada kata-kata
Isak tangis Thania masih terdengar samar meski punggungnya membelakangi Melvin. Suaranya yang lirih dan teredam bantal menyayat hati, namun Melvin hanya bisa menatap punggung wanita itu dalam diam.Ia tak punya keberanian untuk menyentuh atau bahkan menenangkannya. Yang bisa ia lakukan hanya merebahkan tubuhnya perlahan di sisi Thania, menjaga jarak namun tetap dekat.Ia memejamkan matanya, satu tangannya memijat pelipis yang terasa berdenyut keras. Kesalahan besar. Ia tahu itu.Ia telah melukai wanita yang bahkan tidak pernah meminta untuk ada dalam kehidupan rumitnya. Dan kini, Thania pasti semakin membencinya.Tiba-tiba terdengar suara notifikasi dari ponsel yang tergeletak di atas nakas.Ting!Melvin membuka matanya, menoleh, lalu meraih ponsel itu. Layar menampilkan sebuah pesan singkat dari Joana:Joana: Melvin. Kenapa harus pergi selama dua minggu lamanya? Aku baru tiba dan kau harus pergi begitu lama. Aku akan merindukanmu lagi.Melvin membaca pesan itu tanpa ekspresi. Jarinya
Mata Melvin langsung menyala. Sorot tajamnya berubah menjadi bara yang membakar amarah dalam dirinya. Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak beraturan.“Lalu, kau akan bersama dengan Arion? Begitu?!” pekiknya keras, membuat udara dalam vila seketika terasa sesak.Thania menghela napas panjang, tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan emosi yang terus menggelora dalam dada.Suaranya tenang namun tajam seperti belati ketika ia menjawab, “Kalau memang dia adalah takdirku, kenapa tidak? Bahkan dia jauh lebih baik darimu.”Ucapannya itu seperti cambuk yang menghantam keras ke arah Melvin. Rahangnya mengeras, matanya semakin gelap.Tangan Melvin mengepal kuat, seolah hendak menghantam apa pun yang ada di hadapannya—tembok, meja, bahkan mungkin dirinya sendiri. Amarah itu begitu kentara, seakan hanya menunggu detik untuk meledak.Sementara Thania tetap berdiri tegak. Ia tampak lelah, tapi tekadnya bulat. “Kau mau apa? Aku akan turuti, asalkan lepaskan aku. Atau mungkin kau ingin memperm
“Itu urusanku,” ucap Melvin dengan nada dingin dan penuh penekanan.Thania mengerutkan keningnya. Ucapan itu terasa asing, dingin, dan begitu memotong. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang mulai menggelegak di dada.Sikap Melvin akhir-akhir ini memang sulit dipahami. Seolah ada banyak rahasia yang ia simpan rapat-rapat dan enggan dibagi, bahkan dengan wanita yang kini menyandang status sebagai istrinya.“Memangnya kau tidak akan menceraikanku?” tanya Thania, suaranya nyaris seperti bisikan.Ia lalu membuang muka, tidak sanggup menatap wajah Melvin karena takut melihat jawaban yang akan lebih menyakitkan dari perkataan.Ucapan itu seketika membuat Melvin menoleh cepat. Pandangannya menajam, rahangnya mengeras, dan sorot matanya menyala penuh kemarahan. Ia melangkah maju satu langkah, menatap Thania nyalang.“Berani sekali kau berucap seperti itu! Kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja?” ucapnya tajam.Thania menghela napas, mencoba tetap tenang meski hatinya gem
Begitu tiba di Hawaii, Thania dan Melvin langsung disambut oleh udara hangat khas tropis yang berpadu dengan semilir angin laut yang menenangkan.Langit biru membentang tanpa cela, berpadu sempurna dengan lautan yang berkilauan diterpa cahaya matahari.Di sepanjang jalan menuju penginapan, deretan pohon kelapa melambai-lambai seolah menyambut kedatangan mereka.Melvin sengaja memilih sebuah vila privat yang letaknya agak terpencil dari keramaian. Ia memang tidak suka tempat yang penuh sesak dengan turis.Bukan hanya karena sifatnya yang tertutup, tapi juga karena ia ingin meminimalkan kemungkinan bertemu orang yang tak diinginkan.Apalagi ini adalah bulan madu pura-pura yang tak ingin ia jalani lebih dari sekadar formalitas.Setelah sopir vila membukakan pintu dan menurunkan koper-koper mereka, Thania melangkah masuk dengan hati yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan.Namun, matanya langsung terpukau ketika melihat bagian dalam vila yang elegan dan hangat.Nuansa kayu, ar
Begitu tiba di rumah, Melvin langsung menyerahkan selembar tiket pesawat kepada Thania. Wajah wanita itu terlihat kebingungan saat menerima kertas yang dilipat rapi tersebut.“A—apa ini?” tanyanya, dahi berkerut, matanya menatap tak percaya pada tiket yang kini berada di tangannya.“Tiket pesawat untuk terbang besok. Kita akan pergi ke Hawaii, sesuai dengan permintaan Papa,” jawab Melvin dengan suara datar dan nada tak ingin dibantah.Tidak ada basa-basi, tidak ada senyum, hanya sebuah pernyataan yang terdengar seperti perintah.Mata Thania membola. Ia bahkan sempat terpaku beberapa detik. “Apa aku tidak salah dengar? Kita … akan pergi bulan madu? Aku sudah menolaknya, Melvin,” protesnya, nada suaranya meninggi, disertai dengan sorot mata yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Melvin menatap Thania dengan tatapan dingin. “Kau pikir aku mau?” balasnya tajam.“Aku terpaksa melakukan ini agar Papa tidak curiga pada kita, Thania!” Nada suaranya meninggi, menunjukkan betapa kesaln
“Bertengkar? Lagi?” ucap Kalen dengan nada berat, nyaris tak percaya.Davian mengangguk dengan ekspresi muram. Ia baru saja menyampaikan informasi yang ia dapat dari Regina. “Ya. Regina yang memberitahuku. Dan Regina tahu dari Evelyn, asisten pribadi Arion. Mereka bertengkar lagi, dan kali ini sampai baku hantam, Pa.”Ia mengembuskan napas panjang sambil menggelengkan kepala, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Suasana di ruang kerja Kalen terasa sesak meski tak ada suara selain mereka berdua.Kalen menggaruk rambutnya dengan kesal, wajahnya menunjukkan rasa frustrasi yang semakin menumpuk.“Sampai kapan mereka akan berseteru seperti ini? Kalau memang Arion menyukai Thania sejak lama, seharusnya dia ungkapkan saat itu juga—bukan sekarang, ketika semuanya sudah terlambat.”Matanya menerawang ke luar jendela seolah berharap menemukan jawaban di balik bayang-bayang pohon dan langit mendung.Suasana hati Kalen memang sedang kacau, dan konflik dua pria muda itu hanya memperkeruhnya.D
Tangis Thania pecah di depan ruang rawat ayahnya. Ia terduduk lemas di bangku tunggu, kedua tangannya menutupi wajah yang dipenuhi air mata. Isaknya menggema pelan di lorong rumah sakit yang mulai lengang.“Aku terlalu berharap, aku terlalu bodoh untuk menerima kenyataan menyakitkan ini,” lirihnya sambil menyeka air mata yang mengalir deras.Sesak yang mengimpit dadanya terasa seperti tak kunjung reda. Hatinya remuk oleh kenyataan pahit yang baru saja ia dengar dari Davian—tentang Joana, dan kebohongan besar yang disembunyikan suaminya.“Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menyelesaikan semuanya,” ucapnya sambil menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya dengan berat. Ia mengambil selembar tisu dari tasnya, menghapus air mata yang terus menetes tak terkendali.Matanya menerawang ke lantai dingin rumah sakit. “Kenapa aku harus mendapat nasib buruk seperti ini, Ya Tuhan?” bisiknya nyaris tak terdengar.&ld