“Apa?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Apa maksudmu?”Archer mengangguk pelan, wajahnya kini mulai serius. “Victor. Lelaki itu yang menghamili Joana.”Melvin tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia mundur selangkah, tubuhnya limbung sesaat. Nama Victor terlalu sering muncul dalam kehidupan Thania dan dirinya—dan kini dikaitkan dengan Joana?“Joana berkali-kali menemui Victor,” lanjut Archer tanpa jeda. “Dia memohon agar Victor segera mengambil Thania darimu. Joana tidak bisa memiliki dirimu jika kau masih bersama Thania.”Melvin memejamkan matanya, mencoba mencernanya. Tetapi Archer belum selesai.“Tapi Victor tidak bodoh,” lanjutnya lagi.“Dia tahu kelemahan Joana. Dia tahu Joana adalah wanita yang rela melakukan apa pun demi ambisinya. Jadi Victor menjebaknya. Dia meminta Joana melayaninya… mungkin satu minggu lima kali?“Dan Joana menuruti. Karena bagi Joana, satu-satunya cara membuatmu kembali adalah jika Thania pergi. Dia bersedia menyerahkan tubuhnya demi rencana kotor itu
Melvin tiba di lokasi tempat di mana Archer tinggal kini. Di belakangnya, lima orang bodyguard berpakaian gelap berjalan mengikuti, tubuh mereka tegap dan sorot mata mereka tajam, penuh kesiapsiagaan.Mereka tampak seperti bayangan gelap yang tak terpisahkan dari Melvin saat ini—bukan hanya sebagai pelindung, tetapi juga sebagai simbol bahwa kali ini, Melvin tidak datang untuk sekadar berbicara biasa.Di seberang ruangan, Archer duduk santai di sofa usang dengan sebatang cerutu di tangannya. Senyuman miring terukir di wajahnya begitu melihat adiknya datang membawa “pasukan”.“Lihat siapa yang datang… adik iparku dengan lima ekor anjing penjaga,” ejek Archer sambil menghembuskan asap cerutu ke udara. “Kau pikir aku akan membunuhmu di sini? Sampai harus membawa anak buah segala?”Melvin tidak membalas ejekan itu. Ia hanya berdiri di hadapan Archer, memandangi kakaknya tanpa ekspresi. Matanya penuh amarah yang ditahan dengan susah payah.“Aku tidak datang untuk berdebat. Aku hanya ingin
“Melvin,” panggil Thania dengan lembut seraya menyerahkan satu cangkir kepada suaminya itu.Melvin menoleh sambil menerima cangkir itu tanpa berkata apa pun. Ia hanya tersenyum kecil, lalu kembali memandangi layar ponselnya.Thania duduk di sampingnya. Ia menggenggam cangkir di tangan dan menatap suaminya dengan tatapan yang penuh pertimbangan.“Aku ingin menanyakan sesuatu…” ucap Thania akhirnya, pelan namun jelas.Melvin mengalihkan pandangan dari ponselnya. “Apa itu?”“Nomor yang sering menerormu dan memberitahu soal pernikahan kita pada Davian,” ucap Thania sembari mengarahkan pandangannya pada layar ponsel suaminya. “Pesan-pesan aneh, tuduhan, ancaman… Apakah kau sudah mengetahui siapa pengirimnya?”Melvin menarik napas panjang dan menggeleng pelan. “Belum. Aku sudah mencoba menelusurinya, tapi terlalu sulit. Nomor itu menggunakan identitas palsu, mungkin nomor virtual. Aku bahkan sudah menyerah mencoba melacaknya sendiri. Semua jejaknya mengarah ke dinding kosong.”Thania terdia
Suasana kantor hari itu terasa lebih padat dari biasanya. Suara dering telepon bersahut-sahutan, bunyi ketikan papan ketik tiada henti, dan lalu-lalang para staf yang tampak terburu-buru seolah mencerminkan betapa sibuknya hari-hari mereka.Di tengah hiruk-pikuk itu, Arion duduk di ruang kerjanya dengan setumpuk dokumen yang belum selesai ditandatangani. Ia tampak lelah, alisnya berkerut, dan sesekali mengusap pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu lama menatap layar komputer.Evelyn masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk, membawa selembar berkas yang perlu segera diperiksa. Wajahnya juga tak kalah letih.Ia, bersama Arion, telah bekerja hampir dua minggu penuh menggantikan posisi Melvin yang hingga kini belum diperbolehkan kembali ke kantor oleh Kalen, ayah Melvin sekaligus pemilik perusahaan.“Ini laporan progres klien dari cabang Las Vegas, kau harus periksa dan tanda tangan sebelum jam tiga,” ucap Evelyn sambil meletakkan map di meja.Arion mengangguk tanpa banyak bicara. Tang
“Ya!” Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Thania—sebuah pengakuan yang sederhana, namun sarat makna dan menyentuh kalbu."Aku takut kehilanganmu, Melvin," ucap Thania lirih, seolah ia tidak ingin mengulanginya, tetapi juga tidak ingin disalahpahami.Melvin terpaku di tempatnya, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu bahwa selama ini Thania adalah perempuan yang kuat dan jarang menunjukkan sisi lemahnya, terlebih ketika berkaitan dengan perasaan.Dan sekarang, ketika kalimat itu benar-benar terucap, rasanya seperti ia baru saja mendapatkan udara segar setelah tenggelam begitu lama.Ia menatap istrinya, perempuan yang telah melalui begitu banyak hal bersamanya. Wajah Thania tampak tenang, namun dari sorot matanya, jelas terlihat kekhawatiran yang mendalam.Bukan hanya karena penyakit yang baru saja Melvin alami, melainkan lebih dari itu—karena sikap Melvin yang cenderung ceroboh dan abai terhadap kesehatannya sendiri."Melvin, aku mohon, jangan bertindak gegabah lagi. Kau boleh saj
Dua hari kemudian, Melvin akhirnya pulang ke rumah setelah dirawat di rumah sakit akibat dehidrasi dan komplikasi lambung yang cukup serius.Hembusan udara rumahnya sendiri terasa jauh lebih menenangkan dibanding bau disinfektan dan suara monitor detak jantung yang selama ini menghantui tidurnya di rumah sakit.Ketika langkah-langkahnya memasuki rumah, meski masih sedikit goyah, senyum bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya.“Akhirnya, aku bisa istirahat di rumah,” gumamnya lirih, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang tengah dengan napas lega.Ia menyandarkan punggungnya perlahan, berusaha tak membuat gerakan mendadak karena perutnya masih terasa nyeri. “Meski tidak bisa melakukan apa pun, tapi setidaknya aku sudah tidak berada di lingkungan yang sangat tidak aku sukai,” lanjutnya seraya memejamkan mata sebentar.Thania yang duduk tak jauh darinya, mengamati setiap gerakan Melvin dengan seksama. Tatapan matanya penuh perhatian dan sedikit khawatir, tapi ia mencoba menutupinya