“A—apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melvin terkejut, suaranya tertahan namun terdengar cukup tajam.
Ia segera meraih tangan wanita yang memeluknya dan menariknya masuk ke dalam ruang kerjanya dengan gerakan cepat dan penuh tekanan, lalu menutup pintu rapat-rapat di belakang mereka.
Joana, wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun itu, mendengus pelan, jelas tidak menyukai sambutan dingin yang baru saja ia terima.
Ia berdiri tegak di tengah ruangan, rambut bergelombangnya tergerai sempurna, gaun pastel yang dikenakannya terlihat kontras dengan suasana tegang yang mulai mengisi udara.
“Karena aku merindukanmu, Melvin. Kenapa sambutanmu seperti ini padaku?” ucap Joana dengan nada kesal, kedua lengannya terlipat di depan dada.
Suaranya penuh protes, namun tetap dibalut gaya manja yang biasa ia pakai saat ingin meluluhkan hati pria itu.
Melvin menghela napas dalam, matanya melirik sekilas ke arah jendela kaca di samping pintu.
Dari celah tirai tipis, ia bisa melihat Thania masih duduk di meja kerjanya, berusaha terlihat sibuk, tapi jelas ia bisa merasakan sorot mata istrinya yang menusuk hingga ke dalam ruangannya.
“Aku sedang sibuk, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku sudah bilang padamu, jangan datang ke kantorku,” ucap Melvin setengah berbisik namun tegas, berusaha mengendalikan emosinya.
Joana mengangkat dagunya sedikit. “Kau selalu menyibukkan diri dengan pekerjaanmu. Padahal kita sudah tidak bertemu beberapa tahun. Apa kau tidak merindukanku?” tanyanya, dengan nada suara yang sengaja dilembutkan.
Tatapannya mencoba memancing rasa bersalah di mata Melvin, seperti yang biasa ia lakukan di masa lalu.
Melvin tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke tumpukan berkas di meja, lalu memijat keningnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Kepalanya terasa berat.
“Sebaiknya pulang, Joana. Aku akan menghubungimu setelah urusanku selesai. Satu jam lagi aku ada meeting,” katanya akhirnya, dengan nada tegas namun lelah.
Joana melangkah mendekat dengan senyum menggoda. “Kau akan datang ke apartemenku?” tanyanya, mata cokelatnya berbinar penuh harap.
“Aku akan membuatkan makanan kesukaanmu. Spaghetti carbonara buatan tanganku, kau masih suka, bukan?”
Melvin terdiam sejenak, seolah menimbang sesuatu yang rumit dalam pikirannya. Lalu, ia mengangguk pelan. “Ya. Aku akan ke apartemenmu. Jadi, sekarang pulanglah.”
Joana tersenyum lebar, matanya berbinar puas. Ia hampir berbalik pergi ketika ekspresi di wajah Melvin berubah.
Joana mengikuti arah pandangan pria itu dan melihat ke luar jendela kaca. Senyumnya perlahan memudar.
“Kau memperhatikan sekretarismu?” tanyanya dengan nada tajam, penuh rasa curiga.
“Bukankah wanita itu menyukai ayahmu? Kenapa kau masih menjadikannya sekretarismu? Jika dia benar-benar merebut ayahmu, keluargamu akan hancur, Melvin.”
Nada suaranya kini berubah. Tidak lagi manja, melainkan bernada memperingatkan. Ia berjalan mendekat ke arah meja, membungkuk sedikit dengan mata menatap tajam ke arah Melvin.
Joana tahu apa yang ia bicarakan. Ia tahu karena Melvin pernah menceritakannya—percakapan larut malam melalui telepon, saat Melvin butuh tempat mengeluh atau sekadar ingin didengar.
Ia tahu tentang gosip kantor, tentang ketegangan keluarga, tentang wanita yang diam-diam disukai ayah Melvin, yang kini menjadi istri sah pria itu.
Kini Joana telah kembali dari Paris. Setelah dua tahun menyelesaikan sekolah modelingnya, ia kembali ke New York untuk melanjutkan karier yang sempat tertunda—dan mungkin, juga untuk merebut kembali posisi yang dulu ia tinggalkan.
“Dia cukup kompeten dan sudah tidak menyukai ayahku lagi. Dia… dia sudah menikah,” ucap Melvin akhirnya dengan suara pelan namun tegas, meskipun matanya masih menatap ke luar jendela, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang perlahan merambat ke dalam dirinya.
Joana mendengus kecil, namun senyumnya kembali merekah. “Begitu rupanya. Ya sudah,” ucapnya sambil merapikan rambutnya yang sempat berantakan karena pelukan barusan.
“Aku pulang dan pergi ke supermarket terlebih dahulu. Setelah itu, memasak makanan kesukaanmu. Aku menunggumu, Melvin,” lanjutnya seraya mendekat, lalu sekali lagi memeluk Melvin dengan perlahan namun penuh hasrat yang tertahan selama bertahun-tahun.
Melvin tidak membalas pelukan itu. Ia hanya diam, tubuhnya kaku dan pikirannya melayang entah ke mana. Joana melepaskannya tak lama kemudian, melambaikan tangan dengan ceria, lalu melangkah keluar dengan anggun.
Melvin hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum samar yang sulit dibaca: canggung, tertekan, dan penuh beban.
Begitu pintu tertutup, Melvin menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan gerakan berat. Ia menyandarkan punggung dan memejamkan mata sejenak sebelum menghela napas panjang.
“Joana selalu nekat,” gumamnya, mengusap wajah dengan telapak tangannya. “Bisa-bisanya dia datang ke kantor tanpa memberitahuku terlebih dahulu.”
Ia melonggarkan dasi di lehernya, mencoba meredakan degup jantung yang sejak tadi berlari tak karuan.
Dada sesak oleh situasi yang semakin rumit—antara wanita masa lalunya yang kembali hadir dan wanita yang kini menjadi istri sahnya, meskipun hanya di atas kertas.
Bangkit dari duduknya, Melvin berjalan ke arah jendela. Tatapannya mencari sosok Thania. Namun, kursi tempat wanita itu biasa duduk kini kosong. Alis Melvin berkerut.
“Ke mana wanita itu?” ucapnya pelan, nadanya penuh tanda tanya.
Ia lalu mengambil berkas yang sedari tadi hendak diberikan kepada Thania. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju meja kerja Thania, berharap ia akan segera kembali.
Beberapa saat kemudian, Thania muncul dari arah pantry, membawa map lain di tangannya dan secangkir teh hangat.
Senyum tipis menghiasi bibirnya, senyum yang sengaja ia ciptakan agar tetap terlihat profesional meski hatinya sebenarnya kacau.
Namun begitu ia melihat tatapan Melvin yang datar dan dingin, senyum itu langsung memudar.
Thania mengambil berkas dari tangan Melvin dengan gerakan ringan dan efisien. “Tuan Robert sudah menunggu di ruang meeting,” ucapnya datar tanpa menatap wajah pria itu, hanya fokus pada map yang kini ia pegang.
“Kau tidak ikut?” tanya Melvin kemudian, suaranya rendah namun terdengar jelas.
Thania mengerutkan keningnya sejenak sebelum menjawab, “Tidak. Aku harus pergi ke perpustakaan untuk persiapan pameran dua hari yang akan datang. Kau lupa?”
Melvin tidak menjawab. Tatapannya tetap pada wajah Thania, namun tidak ada emosi yang bisa dibaca. Hanya diam.
“Oh, satu lagi.” Thania berhenti sejenak, lalu kembali menatap Melvin. Kali ini dengan sorot mata yang tajam namun tetap tenang.
“Kau akan menemui kekasihmu itu, kan? Aku akan mengatur ulang jadwal meeting-mu di pukul tujuh malam.”
“Tidak perlu—”
“Nona Joana yang memintaku untuk membatalkan semua urusanmu, Tuan Melvin,” potong Thania cepat, nada suaranya dingin dan tak terbantahkan.
Melvin mengerjapkan mata. Ia belum sempat bereaksi ketika Thania melanjutkan kalimatnya.
“Jadi, pertemuan dengan Tuan Max akan dijadwalkan besok, pukul sebelas siang.”
“Kue buatan Regina?” Melvin mengerutkan kening sejenak lalu tersenyum tipis begitu melihat bentuk dan aroma khas kue yang terhidang di atas meja makan.Meskipun baru bangun dan rambutnya masih sedikit berantakan, nalurinya tidak salah menebak rasa manis yang satu itu.Ia melangkah lebih dekat, aroma kopi yang baru diseduh menyambut hidungnya, menambah kenyamanan malam itu.“Ya. Davian dan Regina datang kemari dan membawakan kue untuk kita,” jawab Thania sambil menaruh secangkir kopi hangat di hadapan suaminya.Melvin mengambil cangkir itu dan menyesapnya perlahan. Kepulan uap hangat mengepul dari bibir cangkir, dan rasa pahit manis kopi langsung membangkitkan semangatnya.“Terima kasih, Thania,” ucapnya tulus sambil menatap istrinya yang kini duduk di seberangnya.“Kopi buatanmu sangat enak dan pas,” sambungnya dengan pujian tulus dan seulas senyum hangat yang menghiasi wajahnya.Thania membalas senyuman itu sekilas, kemudian menunduk menyesap camomile tea miliknya. Tangannya membelai
“Kami datang kemari diminta oleh Papa, Thania,” ucap Davian, suaranya tenang namun penuh maksud.Tatapannya mengarah langsung ke mata Thania, seolah ingin memastikan bahwa maksud kunjungan mereka tidak disalahartikan.“Papa?” Thania mengernyit, menunjukkan ekspresi bingung. Dahinya mengerut, dan alisnya saling mendekat. “Kenapa memangnya?”Davian menghela napasnya panjang, seakan kalimat yang akan ia ucapkan sudah terlalu sering ia pikirkan sejak pagi.“Karena kalian masih perang dingin. Kau juga tidak mau memaafkan Melvin. Papa mengkhawatirkan hubungan kalian. Jadi, meminta kami datang kemari untuk memastikan bahwa kau masih di sini.”Thania sempat terdiam, lalu perlahan mengangguk-angguk seolah akhirnya mengerti. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, lalu terkekeh pelan, tawa kecil yang terdengar lega dan tulus.“Maaf, kalau sudah membuat kalian jadi cemas. Kami baik-baik saja,” ucapnya sambil tersenyum. Tatapannya lembut, bahkan ada semburat malu di wajahnya. “Dan aku juga
“Entah. Aku tidak tahu kalau mereka sudah baikan,” ucap Davian, bahunya terangkat ringan, meski wajahnya menampakkan sedikit keraguan.Ia lalu meringis pelan, seolah merasa bersalah karena sempat menyaksikan sesuatu yang seharusnya tak dilihat.Regina memutar bola matanya. “Astaga, Davian. Tapi tidak mungkin mereka berciuman seperti itu di ruang tengah kalau belum baikan. Kau lihat sendiri tadi, kan? Itu bukan sekadar ciuman basa-basi. Itu… ciuman sungguhan.”Davian menghela napas. Ia mencoba menyangkal apa yang jelas-jelas ada di depan matanya beberapa menit lalu, seperti seseorang yang berharap penglihatan sebelumnya hanyalah halusinasi sesaat.“Thania masih menggantung ucapannya saat aku memintanya memaafkan Melvin. Jadi aku ragu. Mungkin kita salah lihat. Siapa tahu… yang kita lihat tadi cuma pelayan?” katanya, meski kalimatnya sendiri terdengar sangat tidak meyakinkan.Regina menatapnya tajam, alisnya terangkat penuh ketidakpercayaan. “Pelayan? Yang punya tubuh seperti Melvin dan
“Kau … benar-benar ….” Thania hanya bisa menunjuk wajah Melvin dengan tatapan tidak percaya.Suaranya tercekat di tenggorokan. Matanya membelalak, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan campuran emosi yang sedang meluap dalam dadanya—amarah, kecewa, sekaligus kelegaan yang belum sepenuhnya menyentuh dasar hati.“Sekali lagi aku minta maaf, Thania. Mungkin perbuatanku sangat tidak bisa ditolerir. Tapi, hanya itu saja kesalahan yang telah kulakukan padamu,” ucapnya, nyaris berbisik, seolah takut ucapannya akan memicu kemarahan yang lebih besar.Thania memalingkan wajah, menatap kosong ke jendela di sisi ruang tamu tempat mereka berdiri.Hatinya masih sakit. Luka karena tuduhan dan ketidakpercayaan yang sempat diberikan Melvin tidak mudah hilang begitu saja.Ia menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya, lalu bertanya. “Kau tahu siapa yang sudah mengirimkan foto itu padamu?”Mungkin ia berharap nama Archer yang disebut, seseorang yang sejak awal sudah mencur
“Apa lagi yang ingin kau jelaskan padaku, Melvin? Kau menceritakan kesalahpahaman itu pada Joana—yang jelas-jelas aku tidak pernah melakukannya! Semua itu fitnah! Tuduhan keji yang ingin menghancurkan nama baikku!” seru Thania dengan nada tajam yang menusuk udara sore itu.Matanya membara, suaranya bergetar karena amarah dan luka yang mengendap. Pipinya basah, bukan hanya oleh air mata, tetapi oleh harga diri yang tersayat oleh tuduhan yang bahkan tidak semestinya keluar dari mulut suaminya sendiri.Melvin berdiri kaku, wajahnya terlihat sangat lelah—bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Ia mengangguk perlahan, menahan gejolak yang berkecamuk di dadanya.Matanya tampak redup, seperti kehilangan kekuatan untuk membantah atau membela diri. Ia tahu, semua ini sudah telanjur salah. Dan ia tak bisa menarik kembali ucapan masa lalu yang telah menyakiti hati Thania.Tanpa banyak bicara lagi, ia menggamit pelan tangan Thania dan membukakan pintu mobilnya. “Ayo pulang,” ucapnya singka
“Tidak, tidak!” Joana menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Matanya membulat, dan air mata tampak menggenang di sudut matanya.Raut wajahnya berubah drastis—dari terkejut menjadi marah, dari tidak percaya menjadi histeris.“Tidaaak! Kau tidak mungkin telah menikah dengannya, Melvin!” pekiknya, suaranya menggema di seluruh ruangan, membuat udara mendadak menegang.Jesika, yang berdiri di samping putrinya, segera menarik Joana ke pelukannya. “Sayang, tenanglah. Melvin pasti bohong.” Nada suaranya terdengar lembut, tetapi penuh tekanan.Matanya yang awalnya menyimpan keterkejutan kini berubah menjadi tatapan tajam penuh kekecewaan.Ia menatap Melvin dengan sorot mata tajam dan penuh penghakiman. “Melvin. Apa maksudmu berkata seperti itu? Kau ingin membohongi kami?” tanyanya, suaranya tidak lagi selembut tadi, melainkan dingin dan menggigit.Melvin berdiri tegak, namun jelas terlihat dari wajahnya bahwa ia sedang menahan rasa tidak nyaman. Namun, ia tidak ingin mundur. Tidak sekara
“Kau sudah yakin dengan keputusanmu?” tanya Thania. Tatapannya menelisik ke arah Melvin, mencoba mencari kebenaran yang mungkin terselip di balik sikap tenangnya.Pertanyaan itu bukan sekadar formalitas. Itu adalah uji terakhir dari seorang istri yang pernah merasa dikhianati.Uji untuk memastikan bahwa langkah yang akan mereka ambil tidak dibangun dari rasa bersalah, tapi dari niat yang sungguh-sungguh.Melvin menganggukkan kepalanya dengan tegas.Matanya menatap lurus ke jalanan yang membentang di depan, namun nadanya penuh keyakinan saat ia berkata, “Ya. Aku sudah yakin. Lagi pula, sudah terlalu lama aku mengulur waktu dan membuat Joana jadi salah paham.”Thania diam. Pandangannya lurus ke depan, tapi pikirannya sibuk menelusuri masa lalu. Kata-kata Melvin tadi menancap dalam.Ia tahu, Melvin bukan orang yang mudah berbicara seperti ini. Selama ini pria itu lebih sering menyimpan semua di balik sikap keras dan dinginnya.Dan sekarang, ia mendengarnya bicara jujur. Tanpa topeng. Tan
“Bagaimana, Thania? Kau mau kan, memberinya kesempatan kedua?” tanya Davian, memecah keheningan yang sudah cukup lama menyelimuti ruang rawat itu.Ia menatap Thania dengan penuh kesungguhan, berusaha membaca setiap ekspresi yang melintas di wajah wanita itu.Namun Thania masih terdiam, menunduk menatap selimut putih yang menutupi kakinya. Suasana menjadi hening kembali, hanya suara detak jam dinding dan alat medis yang terdengar samar menemani mereka.Akhirnya, perlahan-lahan Thania menoleh ke arah Davian. Matanya sendu, masih terlihat bekas air mata yang sempat ia hapus. Ia menatap Davian seolah mencari kepastian yang tak ia temukan dari orang lain.“Kau yang lebih tahu tentangnya, bukan?” tanyanya pelan. “Menurutmu, apakah dia benar-benar akan berubah?”Davian tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepalanya sejenak seakan mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat.Kemudian ia mengangguk perlahan. “Papa dan Mama selalu bangga padanya, meski sikapnya sangat
“Ya. Aku akan menanggung semuanya, dan mereka juga tidak punya hak atasku hanya karena pernah menolongku waktu kecil. Uang, fasilitas, kendaraan, dan semua yang mereka butuhkan sudah dipenuhi oleh ayahku.”Ia mencoba menyembunyikan kegundahan hatinya di balik pernyataan yang terkesan dingin dan kaku.Namun, penuturan Melvin itu justru membuat Thania terdiam. Bukan karena tersentuh, melainkan karena hatinya sudah terlalu lelah untuk merasa apa pun lagi.Di wajahnya tidak tampak reaksi, tetapi di dalam hatinya, ada badai yang tidak berhenti bergemuruh.Tidak sedikit pun hatinya tergerak untuk memaafkan Melvin atas semua yang telah pria itu lakukan padanya. Luka yang ditorehkan Melvin terlalu dalam, dan luka itu belum sempat mengering.Ucapan Melvin yang barusan justru semakin menegaskan bahwa pria itu belum benar-benar memahami luka yang ia ciptakan.“Thania?” panggil Melvin kemudian, suaranya lirih, nyaris tak terdengar.Thania tidak segera menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah jen