“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.
Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.
Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.
Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”
Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.
Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.
“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang.
Melvin membalas dengan suara yang datar tapi mengandung kemarahan yang ditahan. “Apa hakmu membuka ponselku?”
Thania tidak bergeming. “Hanya kebetulan,” jawabnya dengan tenang tapi tajam.
“Apa yang akan kau katakan padanya karena kau sudah menikah? Kau akan menduakannya? Kau akan mempertahankan hubunganmu itu dengannya?”
Wajah Melvin menegang. Napasnya terhela kasar. Ia menatap Thania dengan dingin, lalu menggeleng pelan. “Bukan urusanmu,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi penuh ancaman.
“Tentu ini urusanku!” bentak Thania, suaranya bergetar menahan emosi. Kalimat itu membuat langkah Melvin terhenti di tengah jalan.
“Aku bisa saja memberitahu orang tuamu bahwa kau—”
“Berani sekali kau mengatakan itu padaku!” potong Melvin cepat, matanya menyala penuh amarah. Ia mendekat perlahan, hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah.
Suaranya mengecil namun jauh lebih berbahaya. “Berani memberitahu orang tuaku? Atau kakakmu akan membusuk di penjara? Pilih mana, hm?”
Ancaman itu menampar kesadaran Thania seperti cambuk. Tangannya mengepal erat, tubuhnya gemetar menahan ketakutan dan marah yang bercampur jadi satu.
Bibirnya terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Ia tahu, ia tak bisa melawan.
“Lalu,” suaranya lirih namun tegas, “kau akan menyembunyikan statusmu darinya, sampai kau puas menyiksaku?”
“Ya.” Jawaban Melvin terdengar dingin dan tanpa ragu.
Tatapannya menusuk langsung ke mata Thania. “Kenapa? Kau mencintaiku? Kau cemburu karena aku memiliki wanita lain?”
Thania menggeleng pelan, bibirnya mengerucut menahan emosi. “Terserah kau saja,” jawabnya getir.
“Semoga kau bahagia dengan kekasihmu itu. Dan aku berharap dia segera tahu agar mendesakmu menceraikanku!” ucapnya penuh emosi, lalu berbalik dan berjalan cepat ke kamar mandi, membanting pintunya di belakangnya.
Suara pintu yang tertutup keras menggema di kamar itu, meninggalkan Melvin yang berdiri sendiri, menggertakkan rahangnya dengan napas terengah.
“Cerai?” gumamnya pelan sambil menyeringai sinis. “Kau pikir aku akan dengan mudahnya menceraikanmu?”
Ia tertawa singkat, suara tawanya lebih mirip geraman binatang liar, lalu menyunggingkan senyum menyeramkan, seakan menyimpan rencana kelam di balik keheningan yang mencekam.
**
“Apa yang kau temukan di hari keempat pernikahanmu, Thania? Kenapa kau tampak murung seperti ini?”
Regina datang membawa dua gelas kopi dari pantry kecil di ujung ruangan. Ia duduk di sebelah Thania, menyodorkan satu gelas pada perempuan itu dengan senyum simpati yang lembut.
Thania menoleh perlahan, bibirnya menarik senyum tipis yang tak sampai ke matanya. Ia tampak lelah, seperti seseorang yang tengah berjuang menyembunyikan luka di balik tenang wajahnya.
“Akan selalu ada kejutan-kejutan lainnya menantiku, Regina. Ini baru beberapa saja,” ucapnya lirih, matanya menerawang kosong. “Tapi, aku sedikit penasaran dengan wanita itu.”
Regina mengerutkan alisnya. “Wanita? Melvin … punya kekasih?” tanyanya ragu, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Thania mengangguk pelan. “Ya. Mereka akan bertemu hari ini. Entah jam berapa, aku belum tahu pasti. Karena sedari tadi dia terus di ruang kerjanya. Atau mungkin nanti malam?”
Regina terdiam. Tangannya refleks menutup mulutnya, ekspresi syok tergambar jelas di wajahnya. “Thania….” Ia tak sanggup melanjutkan.
Thania justru terkekeh pelan, sebuah tawa getir yang terdengar lebih seperti luka yang tak berdarah.
“It’s okay, Regina. Melvin memang akan menciptakan neraka dalam hidupku. Itu yang dia katakan padaku setelah berhasil meminangku.
“Jadi, mungkin ini... neraka pertama yang dia berikan padaku. Kenyataan pahit bahwa Melvin memiliki kekasih—bahkan saat statusnya sudah menjadi suamiku.”
Ia lalu menyesap kopi mocca latte yang mulai mendingin. “Terima kasih untuk kopinya. Kembalilah bekerja, jangan sampai Pak Kalen mencarimu.”
Regina menghela napas panjang dan kasar, dadanya sesak menyaksikan temannya harus melalui semua ini. Ia menggenggam tangan Thania sejenak.
“Jika Melvin tidak kembali setelah bertemu dengan wanita itu, hubungi aku. Kita pergi untuk senang-senang juga, ya? Biar sedikit gila, tidak apa-apa.”
Thania mengangguk dengan senyum samar. “Ya. Tentu saja.”
Baru saja Regina hendak berdiri, terdengar suara asing dari arah pintu.
“Permisi. Apakah Melvin ada di ruangannya?”
Keduanya langsung menoleh secara bersamaan. Seorang wanita cantik berdiri di ambang pintu.
Rambutnya kecokelatan, bergelombang halus sampai sebahu. Ia mengenakan dress berwarna pastel yang jatuh di atas lutut, membuat penampilannya tampak elegan dan manis sekaligus mencolok.
Wajahnya dihiasi senyum yang tidak dibuat-buat, tapi bagi Thania, senyum itu menyakitkan.
Regina memandangi wanita itu dari atas ke bawah, sementara Thania berusaha menahan detak jantungnya yang melonjak tak karuan.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya Thania dengan suara setenang mungkin, walau suaranya sedikit serak.
Wanita itu tak menjawab. Matanya justru menoleh ke arah ruangan di belakang Thania—pintu ruang kerja Melvin yang kebetulan terbuka.
Saat itu juga, Melvin keluar dari ruangan dengan berkas di tangan, namun langkahnya terhenti ketika melihat siapa yang berdiri di sana.
“Melvin!” seru wanita itu riang, lalu melangkah cepat ke arahnya, melewati Thania dan Regina seperti mereka tidak ada.
Tanpa ragu, ia langsung memeluk Melvin erat, membuat pria itu tersentak dan membelalakkan mata. Ekspresi terkejutnya jelas terlihat.
“Aku sangat merindukanmu, Melvin.”
Extra part;Semua yang terjadi pada hidup Evelyn seakan kisah novel, itu yang dirasakannya selama ini. Kini hidupnya terasa tenang dengan suami dan putra yang tampan. Hidup Evelyn serasa sudah cukup sempurna.Suatu sore, ia sedang duduk di taman samping rumah bermain bersama dengan putranya Kenneth.Tawa pria kecil itu terdengar nyaring dan bahagia membuat senyum Evelyn terus tercipta di bibirnya. Usia pernikahan Evelyn sudah memasuki di tahun ke tiga, ini berarti usia putranya sudah dua tahun.Pria kecil itu sudah pandai berjalan bahkan berlari dan berbicara tanpa ada yang tertinggal. Seperti sore itu, Kenneth meminta pada Evelyn untuk mengajaknya bermain di luar. Ia merindukan Melvin dan Thania yang sudah dianggap sebagai orang tua kedua."Tidak bisa, Kenneth. Mereka sedang dinas luar kota, mungkin minggu depan baru pulang bertepatan dengan ulang tahun daddy kamu," jawab Evelyn menjelaskan pada putranya dengan nada halus.Kenneth menggelengkan kepala, lalu ia bertanya lagi, "Lalu ap
Suasana seketika menjadi gaduh, Evelyn menjerit pilu mendapati tubuh Arion terkulai dengan menyemburkan busa lewat mulutnya.Ia terlihat panik saat tidak ada yang tergerak untuk menolong suaminya, tatapannya begitu sedih bulir bening pun mulai turun dari bening mata itu. Tubuh Arion sudah berada dalam dekapan."Arion, bertahanlah," bisik Evelyn yang mampu menghadirkan senyuman tipis Arion.Melihat suasana makin kacau, Johan langsung menghilang dari acara itu termasuk istrinya. Namun, kepergian mereka tidak satu arah dan beda kendaraan.Sedangkan Melvin yang saat itu sedang berada di ruangan lain segera berlari menuju ke lokasi itu.Dengan cepat Thania menghubungi ambulance untuk membawa tubuh sahabat sekaligus sepupu suaminya yang kebetulan berada di dekat Evelyn.Thania mencoba memberi harapan pada Evelyn bahwa tubuh Arion akan baik-baik saja karena ia yakin imun tubuh pria itu sangat bagus seperti suaminya—Melvin.Evelyn masih sesenggukan sambil menatap wajah suaminya yang mulai ter
Semua bukti kejahatan Cintya telah disimpan rapat oleh Arion, tetapi kasus ini tidak ingin dilanjutkan oleh Evelyn. Wanita itu tidak mau berurusan lebih jauh yang berhubungan dengan Johan. Arion menuruti kemauan istrinya."Bagaimana kabar kesehatan tubuhmu pasca kejadian itu, Evelyn?""Aku sudah lebih baik semua ini karena perawatan suamiku ini," kata Evelyn sambil memeluk lengan Arion.Pria itu tersenyum saja menikmati perlakuan Evelyn yang mulai menerima pernikahan kilat mereka. Lalu keduanya melanjutkan makan malam dalam diam. Setelah selesai, Arion membawa istrinya ke ruang santai lalu menyalakan televisi.Seorang pelayan datang sambil membawa undangan yang tadi ia terima dari kurir perusahaan. Sesuai pesan kurir itu undangan harus sampai langsung ke tangan Arion karena keduanya sudah seminggu tidak masuk kerja dengan alasan kesehatan Evelyn."Kapan undangan ini datang?" tanya Arion pada wanita paruh baya."Siang tadi saat Tuan dan Nyony
Arion yang mendengar suara teriakan seorang wanita bergegas melangkah panjang ke sumber suara. Tanpa ragu tangannya meraih gagang pintu toilet khusus wanita.Saat pintu terbuka sempurna, Arion terkejut melihat kondisi istrinya yang tergeletak di lantai dalam kondisi yang menyedihkan. Gegas ia bergerak cepat menolong Evelyn dengan menggendong lalu dibawa keluar dari sana.Hanya dengan satu lengannya tubuh Evelyn sudah bisa dibawa keluar sedangkan lengan yang lainnya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Kali ini Arion mencari nomor sepupunya agar segera memberi pertolongan. Panggilan pun tersambung."Bantu aku membereskan semua barang bawaanku!" kata Arion langsung ke inti masalah."Kau ada di mana saat ini?" tanya Melvin di seberang.Arion menjelaskan kondisinya saat itu dengan jelas, ia juga memberitahukan pada Melvin jika saat ini ia sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit untuk memberi pertolongan pada Evelyn pasca jatuh di toilet.
Arion yang mendengar suara teriakan seorang wanita bergegas melangkah panjang ke sumber suara. Tanpa ragu tangannya meraih gagang pintu toilet khusus wanita.Saat pintu terbuka sempurna, Arion terkejut melihat kondisi istrinya yang tergeletak di lantai dalam kondisi yang menyedihkan. Gegas ia bergerak cepat menolong Evelyn dengan menggendong lalu dibawa keluar dari sana.Hanya dengan satu lengannya tubuh Evelyn sudah bisa dibawa keluar sedangkan lengan yang lainnya merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Kali ini Arion mencari nomor sepupunya agar segera memberi pertolongan. Panggilan pun tersambung."Bantu aku membereskan semua barang bawaanku!" kata Arion langsung ke inti masalah."Kau ada di mana saat ini?" tanya Melvin di seberang.Arion menjelaskan kondisinya saat itu dengan jelas, ia juga memberitahukan pada Melvin jika saat ini ia sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit untuk memberi pertolongan pada Evelyn pasca jatuh di toilet.
Hari telah berganti dan hubungan Arion dengan Evelyn makin lengket, keduanya begitu serasi di setiap waktu. Bahkan dalam dunia kerja pun mereka membuat iri beberapa rekan kerja yang lain."Apakah sepulang kerja ini kau jadi mengantar berbelanja kebutuhan rumah, Sayang?" tanya Evelyn dengan nada rendah dan lembut.Arion yang masih fokus pada layar laptopnya hanya mengangguk, lalu suaranya keluar dengan volume rendah, "Pasti, tunggu lima belas menit lagi semua kerjaan ini selesai, Sayang. Tunggu saja di sana!"Evelyn tidak memberi jawaban, ia tahu dan mengerti tugas Arion begitu berat dan banyak. Maka ia tidak banyak menuntut, melakukan apa yang diperintahkan oleh suaminya.Dengan sabar Evelyn menunggu suaminya sambil melihat akun sosmed miliknya. Dari beberapa postingan muncul berita bahwa Cintya sedang melakukan kegiatan amal di beberapa panti asuhan untuk meminta doa agar pernikahannya segera diberi anak.Membaca saja Evelyn sudah tersenyum sendir