Home / Rumah Tangga / Derita Istri Tak Diinginkan / Penasaran dengan Sosok Wanita itu

Share

Penasaran dengan Sosok Wanita itu

Author: Senja Berpena
last update Last Updated: 2025-04-29 23:12:00

“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Melvin yang baru saja keluar dengan handuk melingkar di pinggang, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai marmer yang dingin.

Ia mengerutkan kening begitu menyadari Thania berdiri kaku di sisi tempat tidur, memandangi dirinya dengan tatapan kosong, datar, namun penuh tekanan yang tak terucap.

Thania tidak menjawab langsung. Ia menatap Melvin dalam-dalam, matanya tak berkedip, penuh emosi yang terbungkus rapat.

Lalu dengan nada dingin dan datar, ia bertanya tanpa tedeng aling-aling, “Kau memiliki kekasih? Kenapa tidak kau nikahi saja wanita itu?”

Melvin terdiam sejenak, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Ia melangkah pelan, menghindari genangan air di lantai, lalu mengambil ponselnya dari meja kecil di samping tempat tidur.

Jarinya menggenggam erat ponsel itu seakan hendak menyembunyikan sesuatu. Ia menoleh ke arah Thania, yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh tuntutan.

“Kenapa diam?” desak Thania, nadanya lebih tegas sekarang.

Melvin membalas dengan suara yang datar tapi mengandung kemarahan yang ditahan. “Apa hakmu membuka ponselku?”

Thania tidak bergeming. “Hanya kebetulan,” jawabnya dengan tenang tapi tajam.

“Apa yang akan kau katakan padanya karena kau sudah menikah? Kau akan menduakannya? Kau akan mempertahankan hubunganmu itu dengannya?”

Wajah Melvin menegang. Napasnya terhela kasar. Ia menatap Thania dengan dingin, lalu menggeleng pelan. “Bukan urusanmu,” katanya akhirnya, suaranya rendah tapi penuh ancaman.

“Tentu ini urusanku!” bentak Thania, suaranya bergetar menahan emosi. Kalimat itu membuat langkah Melvin terhenti di tengah jalan.

“Aku bisa saja memberitahu orang tuamu bahwa kau—”

“Berani sekali kau mengatakan itu padaku!” potong Melvin cepat, matanya menyala penuh amarah. Ia mendekat perlahan, hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah.

Suaranya mengecil namun jauh lebih berbahaya. “Berani memberitahu orang tuaku? Atau kakakmu akan membusuk di penjara? Pilih mana, hm?”

Ancaman itu menampar kesadaran Thania seperti cambuk. Tangannya mengepal erat, tubuhnya gemetar menahan ketakutan dan marah yang bercampur jadi satu.

Bibirnya terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Ia tahu, ia tak bisa melawan.

“Lalu,” suaranya lirih namun tegas, “kau akan menyembunyikan statusmu darinya, sampai kau puas menyiksaku?”

“Ya.” Jawaban Melvin terdengar dingin dan tanpa ragu.

Tatapannya menusuk langsung ke mata Thania. “Kenapa? Kau mencintaiku? Kau cemburu karena aku memiliki wanita lain?”

Thania menggeleng pelan, bibirnya mengerucut menahan emosi. “Terserah kau saja,” jawabnya getir.

“Semoga kau bahagia dengan kekasihmu itu. Dan aku berharap dia segera tahu agar mendesakmu menceraikanku!” ucapnya penuh emosi, lalu berbalik dan berjalan cepat ke kamar mandi, membanting pintunya di belakangnya.

Suara pintu yang tertutup keras menggema di kamar itu, meninggalkan Melvin yang berdiri sendiri, menggertakkan rahangnya dengan napas terengah.

“Cerai?” gumamnya pelan sambil menyeringai sinis. “Kau pikir aku akan dengan mudahnya menceraikanmu?”

Ia tertawa singkat, suara tawanya lebih mirip geraman binatang liar, lalu menyunggingkan senyum menyeramkan, seakan menyimpan rencana kelam di balik keheningan yang mencekam.

**

“Apa yang kau temukan di hari keempat pernikahanmu, Thania? Kenapa kau tampak murung seperti ini?”

Regina datang membawa dua gelas kopi dari pantry kecil di ujung ruangan. Ia duduk di sebelah Thania, menyodorkan satu gelas pada perempuan itu dengan senyum simpati yang lembut.

Thania menoleh perlahan, bibirnya menarik senyum tipis yang tak sampai ke matanya. Ia tampak lelah, seperti seseorang yang tengah berjuang menyembunyikan luka di balik tenang wajahnya.

“Akan selalu ada kejutan-kejutan lainnya menantiku, Regina. Ini baru beberapa saja,” ucapnya lirih, matanya menerawang kosong. “Tapi, aku sedikit penasaran dengan wanita itu.”

Regina mengerutkan alisnya. “Wanita? Melvin … punya kekasih?” tanyanya ragu, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Thania mengangguk pelan. “Ya. Mereka akan bertemu hari ini. Entah jam berapa, aku belum tahu pasti. Karena sedari tadi dia terus di ruang kerjanya. Atau mungkin nanti malam?”

Regina terdiam. Tangannya refleks menutup mulutnya, ekspresi syok tergambar jelas di wajahnya. “Thania….” Ia tak sanggup melanjutkan.

Thania justru terkekeh pelan, sebuah tawa getir yang terdengar lebih seperti luka yang tak berdarah.

“It’s okay, Regina. Melvin memang akan menciptakan neraka dalam hidupku. Itu yang dia katakan padaku setelah berhasil meminangku.

“Jadi, mungkin ini... neraka pertama yang dia berikan padaku. Kenyataan pahit bahwa Melvin memiliki kekasih—bahkan saat statusnya sudah menjadi suamiku.”

Ia lalu menyesap kopi mocca latte yang mulai mendingin. “Terima kasih untuk kopinya. Kembalilah bekerja, jangan sampai Pak Kalen mencarimu.”

Regina menghela napas panjang dan kasar, dadanya sesak menyaksikan temannya harus melalui semua ini. Ia menggenggam tangan Thania sejenak.

“Jika Melvin tidak kembali setelah bertemu dengan wanita itu, hubungi aku. Kita pergi untuk senang-senang juga, ya? Biar sedikit gila, tidak apa-apa.”

Thania mengangguk dengan senyum samar. “Ya. Tentu saja.”

Baru saja Regina hendak berdiri, terdengar suara asing dari arah pintu.

“Permisi. Apakah Melvin ada di ruangannya?”

Keduanya langsung menoleh secara bersamaan. Seorang wanita cantik berdiri di ambang pintu.

Rambutnya kecokelatan, bergelombang halus sampai sebahu. Ia mengenakan dress berwarna pastel yang jatuh di atas lutut, membuat penampilannya tampak elegan dan manis sekaligus mencolok.

Wajahnya dihiasi senyum yang tidak dibuat-buat, tapi bagi Thania, senyum itu menyakitkan.

Regina memandangi wanita itu dari atas ke bawah, sementara Thania berusaha menahan detak jantungnya yang melonjak tak karuan.

“Ada yang bisa dibantu?” tanya Thania dengan suara setenang mungkin, walau suaranya sedikit serak.

Wanita itu tak menjawab. Matanya justru menoleh ke arah ruangan di belakang Thania—pintu ruang kerja Melvin yang kebetulan terbuka.

Saat itu juga, Melvin keluar dari ruangan dengan berkas di tangan, namun langkahnya terhenti ketika melihat siapa yang berdiri di sana.

“Melvin!” seru wanita itu riang, lalu melangkah cepat ke arahnya, melewati Thania dan Regina seperti mereka tidak ada.

Tanpa ragu, ia langsung memeluk Melvin erat, membuat pria itu tersentak dan membelalakkan mata. Ekspresi terkejutnya jelas terlihat.

“Aku sangat merindukanmu, Melvin.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (13)
goodnovel comment avatar
wieanton
Demen aku sm gayanya Thania, galak2 sedap lho itu, trs aja than tabuhkan genderang perang biar Melvin lbh penasaran LG SM sikap mu
goodnovel comment avatar
Riyani Riyani
Deh beraninya ngancem si Melvin duh harus sesabar apalagi sih kamu Thania
goodnovel comment avatar
b3kic0t
woooy suami orang itu wooy,,, main peluk² aja yaa,mana depan istrinya lagi ck
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Derita Istri Tak Diinginkan   S2: Mengajak Evelyn Pindah Tempat Tinggal

    “Entahlah. Aku belum memikirkan tentang masa depan, Arion. Tapi, aku tidak akan membuang bayi ini meski Johan tidak akan mengakuinya,” ucap Evelyn dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan yang tertelan oleh angin malam yang masuk lewat jendela rusak di sudut kamarnya.Arion menatap wanita di depannya itu dengan perasaan yang campur aduk. Perih, marah, dan iba bercampur menjadi satu.Evelyn, gadis yang dulu ceria, yang senyumnya mampu mencerahkan ruangan mana pun, kini berdiri di hadapannya seperti bayangan dari masa lalu yang retak.Matanya mengembara ke sekeliling kamar kontrakan itu—temboknya lembap, catnya mengelupas, dan satu-satunya lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya redup berkelap-kelip.“Sudah berapa bulan usianya?” tanya Arion dengan pelan.Evelyn menunduk dan menatap perutnya yang masih rata seakan mencoba merasakan denyut kecil kehidupan di dalam sana.Ia menelan salivanya lalu mengangkat wajahnya dan menatap Arion dengan mata berkaca. “Delapan minggu, alias ba

  • Derita Istri Tak Diinginkan   S2: Datang ke Kontrakan Evelyn

    Arion berdiri di depan sebuah pintu kontrakan kecil di pinggiran kota New York, menatap bilik yang tampak kumuh dan jauh dari standar tempat tinggal seorang wanita seprofesional Evelyn.Telah tiga hari wanita itu menghilang tanpa kabar. Telepon tak diangkat, pesan tak dibalas. Bahkan, rekan-rekan di kantor pun tak tahu apa-apa.Arion merasa tidak tenang sejak pagi tadi, dan dorongan hatinya membawa langkahnya kemari—ke tempat yang dulu secara tak sengaja disebut Evelyn sebagai “tempat darurat.”Ia mengetuk pintu dengan pelan, menunggu dengan harap-harap cemas.“Evelyn?” panggil Arion dengan suara seraknya karena udara dingin di sana.Tidak ada jawaban. Hanya suara gemericik air hujan yang menemani.Ia mengetuk sekali lagi dan kali ini lebih keras. “Evelyn! Ini aku, Arion. Kumohon, buka pintunya. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Evelyn?” panggilnya lagi.Masih tidak ada sahutan.Arion menghela napas panjang, lalu menempelkan telapak tangannya pada pintu kayu yang lembap.

  • Derita Istri Tak Diinginkan   S2: Tidak Masuk dalam Tiga Hari

    “Evelyn belum masuk kantor?” tanya Arion dengan dahi berkerut, tatapannya mengarah pada Luna—salah satu staf administrasi yang menggantikan posisi Evelyn selama tiga hari terakhir.Luna menggeleng pelan, menundukkan kepala seperti merasa bersalah karena tak mampu memberi kabar lebih. “Belum, Tuan. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak dia angkat sampai saat ini.”Arion mendengus pelan. Ia menyandarkan punggung ke sofa yang berada di lorong depan, lalu memijat pelipisnya sejenak.“Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” gumamnya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri.Hatinya diliputi rasa tak tenang, sesuatu tentang absennya Evelyn terasa ganjil. Wanita itu dikenal sangat profesional, bahkan saat sedang sakit pun biasanya ia tetap mengabari secara rutin. Tapi sekarang, seolah ditelan bumi.Arion bangkit, langkahnya panjang dan cepat menuju ruang kerja. Suara sepatu pantofelnya bergema pelan di sepanjang koridor marmer.Setibanya di dalam, ia duduk di kursi kulit berwarna hi

  • Derita Istri Tak Diinginkan   S2: Dua Garis Biru

    “Ini benar-benar terjadi.”Wajah Evelyn pucat pasi ketika melihat sesuatu yang dia genggam. Di tangannya, sebuah test pack tergenggam erat, seolah jika ia melepaskannya, dunia akan runtuh.Dua garis merah terang terpampang jelas—tak mungkin disalahartikan. Kedua matanya melebar, bibirnya bergetar, dan tubuhnya perlahan melemas, bersandar pada dinding dingin yang seolah menertawakannya.Hening. Tak ada suara selain tarikan napas yang memburu.“Tidak... tidak mungkin...,” bisiknya lirih.Tetapi kenyataannya tak bisa diingkari. Dua garis itu bukan ilusi. Dua garis itu adalah vonis—bahwa hidupnya akan berubah untuk selamanya.Test pack itu terjatuh ke lantai saat tangan Evelyn menutupi mulutnya. Air matanya jatuh satu per satu, lalu mengalir deras.Tangisnya meledak, keras, penuh rasa marah, takut, dan hancur. Ia terduduk, memeluk lututnya, membenamkan wajah dalam lengannya.“Kenapa sekarang?” jeritnya, suara parau memecah keheningan pagi.Sebuah kilas balik perlahan menyelusup ke dalam b

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Kebahagiaan yang Tak Terhingga

    Thania terbaring dengan bantal tinggi menopang punggungnya, rambutnya masih sedikit basah oleh peluh, wajahnya tampak pucat namun memancarkan cahaya yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Perawat menyerahkan Alice kecil ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Bayi mungil itu hanya berbalut selimut putih dengan bordiran nama halus di pinggirannya.Alice Elizabeth Reandra. Mata kecilnya masih terpejam rapat, tetapi tubuh mungil itu bergerak pelan, hangat, hidup.Thania menerima putrinya dengan kedua tangan gemetar. Detik pertama pelukan itu terjadi, tubuhnya lunglai oleh emosi.Air matanya pecah, mengalir tanpa henti. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mengecup dahi Alice, lalu menariknya lebih dekat ke dada.“Akhirnya… kau di sini,” bisiknya pelan. “Kau datang, Sayang. Setelah semua rasa sakit, semua penantian… kau datang.”Air mata jatuh ke pipi Alice yang merah dan halus. Thania tak menahan apa pun. Tangisnya adalah doa yang selama ini terucap diam-diam. Tangisnya adalah cinta ya

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Welcome To the World, Baby A

    Usia kandungan Thania sudah menginjak sembilan bulan. Perutnya kian besar, langkahnya kian lambat, dan napasnya lebih pendek dari biasanya.Namun, tak ada yang bisa menandingi semangat yang memenuhi hati dan wajahnya. Setiap pagi, dia berdiri di dekat jendela kamar, mengelus perutnya yang menonjol, dan membisikkan kata-kata lembut kepada bayi di dalam sana.“Papa, Mama, dan dua kakakmu menunggumu, Sayang. Dunia ini sudah disiapkan untuk menyambutmu,” ucapnya dengan suara serak penuh cinta.Sejak memasuki bulan ke-9 kehamilan, Thania memutuskan untuk cuti dari semua aktivitas luar rumah.Dia berhenti datang ke kantor, menolak semua undangan luar, dan memilih tinggal di rumah untuk memusatkan tenaganya pada satu hal: menyambut kelahiran sang putri kecil.Melvin, dengan seluruh perhatian dan cintanya, mendekor ulang kamar bayi mereka. Dinding-dinding dicat ulang dalam nuansa pastel lembut—biru muda, peach, dan sedikit hijau mint.Di salah satu sisi, dia melukis sendiri rangkaian bunga li

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status