Share

Derita Terjebak Gairah Dokter Tampan
Derita Terjebak Gairah Dokter Tampan
Penulis: Rachel Kim

Dokter Tampan

Seorang gadis berwajah polos dengan wajah cantik alami tanpa make up, bibir pink merona meski tanpa lipstick atau pelembab bibir, mata bulat hitam membuatnya tampak seperti anak kucing yang begitu menggemaskan namun sayangnya kali ini mata itu menyiratkan rasa kalut dan kekhawatiran yang begitu tinggi.

Tubuh ramping dengan tinggi badan hanya 160 cm membuatnya tampak begitu imut-imut, terlihat seperti masih remaja yang baru masuk SMP meski pada kenyataannya gadis itu ternyata sudah berusia 20 tahun.

Kirei. Itulah nama sang gadis.

Kirei menyusuri lorong rumah sakit dengan cemas, hatinya begitu kalut dengan apa yang akan didengarnya sebentar lagi. Kirei memantapkan hati dan mempercepat langkahnya menuju kasir.

“Pagi, saya wali dari pasien yang bernama ibu Inara, boleh bantu dicek berapa biaya pengobatan ibu saya?”

“Baik, sebentar.”

Hati Kirei semakin cemas di setiap ketikan jari sang kasir hingga akhirnya kasir wanita di depannya menyodorkan selembar kertas tiga rangkap tepat kearah Kirei. Dengan tangan bergetar dan jantung berdebar kencang Kirei menatap angka yang tercantum di kertas tersebut dan matanya terbeliak kaget.

Ya Tuhan! Kenapa biayanya bisa semahal ini? Darimana Kirei bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Empat puluh juta hanya untuk biaya rawat sang ibu yang sakit selama 5 hari 4 malam dan apesnya sampai saat ini masih belum diperbolehkan pulang.

Entah sang ibunda harus berapa lama lagi dirawat di rumah sakit ini membuat kekalutan Kirei semakin menjadi-jadi di setiap detiknya.

“Jumlahnya gak salah bisa sampai sebesar ini?” lirih Kirei.

Sang kasir hanya tersenyum teduh mendengar pertanyaan Kirei yang terdengar jelas begitu frustasi.

“Biaya pengobatan untuk pasien penyakit gagal ginjal memang mahal, Dik. Apalagi dalam minggu ini ibu anda menjalani hemodialysis (cuci darah) sebanyak 2x, belum lagi obat-obatan dan vitamin yang harus dikonsumsi. Sayangnya ibu anda tidak ada asuransi, jika ada mungkin sebagian bisa ditanggung oleh pihak asuransi,” jelas sang kasir kepada Kirei dengan sabar.

Kirei hanya terdiam, tidak tau harus menjawab apa. Sungguh dirinya begitu bingung memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang segini banyak dalam sekejap? Uang yang ada di tabungannya hanya 10 juta, itupun Kirei sudah berusaha menabung selama berbulan-bulan!

“Kalau jumlahnya segini saya masih belum ada uangnya, Kak. Paling lambat saya harus bayar kapan ya?”

“Saya lihat dari catatan medisnya, pasien sudah diperbolehkan pulang dalam minggu ini jadi sebelum pasien pulang biaya administrasi sudah harus dilunasi.”

“Dalam minggu ini?” ulang Kirei semakin pusing, terlebih saat melihat anggukan pegawai kasir yang mengiyakan pertanyaannya.

“Baiklah, saya usahakan secepatnya. Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Kirei berlalu dengan tubuh lunglai. Ingin rasanya dirinya menangis. Kenapa masalah begitu sering mendatangi hidupnya? Belum puaskah penderitaan yang harus Kirei alami selama ini? Dan sekarang masih harus dipusingkan dengan penyakit sang ibu yang membuatnya begitu sedih dan takut dalam waktu bersamaan.

Kirei begitu takut kehilangan sang ibu, jika ibunya pergi maka otomatis Kirei sudah tidak memiliki siapapun lagi. Hanya seorang diri di dunia yang selalu tampak kejam padanya. Dunia yang seolah enggan memberi kebahagiaan untuknya. Dunia yang selalu membuatnya frustasi!

Ayahnya sudah meninggal karena kecelakaan sejak Kirei berusia 6 tahun, semenjak itu ibunya yang harus berjuang memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Rasanya antara nama dengan nasib Kirei sangat berbanding terbalik.

Kirei yang berarti cantik tapi kenapa nasibnya tidak secantik namanya? Apakah orangtuanya salah memberi nama? Tidak mungkin kan? Setiap orangtua pasti memiliki harapan yang besar disaat memberikan nama untuk anaknya. Begitu juga dengan ayah dan ibunya.

Mungkin banyak yang heran dengan namanya yang terdengar seperti orang Jepang, tapi kenyataannya Kirei memang berdarah Jepang. Ayahnya adalah orang Jepang asli yang sudah bertahun-tahun bekerja di Indonesia, Jakarta lebih tepatnya dan bertemu dengan ibunya.

Sesaat setelah bertemu mereka memutuskan untuk menikah meski pada awalnya perbedaan budaya sempat menjadi batu sandungan dalam hubungan orangtuanya namun pada akhirnya mereka tetap menikah dan hadirlah Kirei tidak lama kemudian.

Kirei menjalani kehidupan anak kecil yang bahagia karena ayahnya begitu menyayanginya, putri satu-satunya. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Kirei dan ibunya harus menelan pil pahit saat mendapat kabar dari rumah sakit kalau ayahnya mengalami kecelakaan dan tewas di tempat.

Sejak saat itu hidup Kirei dilalui dengan banyak perjuangan, itulah yang membuat Kirei menjadi wanita tangguh yang jarang menangis, sesedih apapun dirinya. Tapi hari ini rasanya Kirei sungguh sangat ingin menangis menumpahkan segala kesedihannya.

Kirei hanya bisa menunduk sedih di depan ruang rawat sang ibu tanpa berani masuk, tau pasti kalau sang ibu pasti akan mengkhawatirkan dirinya. Apa yang harus Kirei katakan jika ibunya bertanya mengenai biaya pengobatan?

Kirei meremas ponselnya dengan erat, di tengah kegalauan hatinya terngiang kembali tawaran pekerjaan dari temannya. Tawaran pekerjaan yang awalnya Kirei tolak karena berharap tidak pernah masuk ke tempat seperti itu. Bagi Kirei menjadi pelayan, kasir, cleaning service di restoran jauh lebih baik. Tapi sepertinya kali ini Kirei memang benar-benar membutuhkan pekerjaan itu.

Kirei memantapkan hati dan menelepon temannya dengan harap-harap cemas, berharap kalau lowongan pekerjaan itu masih tersedia untuknya.

“Halo, Vanya?”

“Kenapa, Ki?”

“Lowongan pekerjaan kemarin masih ada gak? Kalo masih gue mau ambil.”

Di seberang telepon hanya ada hening, tidak ada jawaban atas pertanyaan Kirei membuat gadis itu semakin khawatir.

“Vanya?”

“Lo yakin, Ki? Bukannya kemarin lo udah nolak karena gak mau kerja di tempat kayak gitu?” tanya Vanya memastikan.

“Gue gak ada pilihan lain, Nya. Biaya pengobatan nyokap gue mahal banget,” jawab Kirei lirih.

Vanya, sahabat Kirei, terdiam selama beberapa detik sebelum menjawab ucapannya.

“Ya udah nanti sore jam 4 lo dateng ke tempatnya langsung ya. Ketemu gue disana.”

“Oke. Thanks, Nya.”

“You are welcome.”

Kirei menutup ponselnya, berharap keputusannya kali ini tepat. Kirei duduk selama beberapa menit sebelum memutuskan masuk ke dalam ruang rawat ibunya sambil tersenyum lebar, berharap dengan begitu sang ibu tidak terlalu terbebani pikirannya dengan masalah uang, cukup Kirei saja yang memikirkan hal itu!

***

Dua orang suster jaga cepat-cepat bercermin saat mendengar langkah kaki yang sudah begitu khas hingga membuat mereka langsung tau siapa yang datang. Secepat kilat mereka memastikan diri untuk tampil sempurna agar dapat menarik perhatian sang dokter tampan.

Siapa lagi kalau bukan dokter Rafael. Pria blasteran yang memiliki wajah tampan di atas rata-rata dan dapat membuat kaum hawa meleleh saat melihatnya, apalagi pria itu masih single alias belum menikah membuat para wanita berebut mempercantik diri berharap mendapat perhatiannya agar dapat bersanding di pelaminan.

“Selamat pagi, Dok.”

“Pagi.”

Kedua suster jaga menunduk sambil tersenyum senang karena sapaan mereka berbalas, meski sebenarnya itu adalah hal biasa tapi tetap saja bagi kedua wanita yang sedang berbunga-bunga itu menjadi hal yang istimewa.

Rafael langsung masuk ke dalam ruangannya dan mengenakan jubah dokternya hingga membuat kadar ketampanan dirinya bertambah ke batas maksimal. Pintu diketuk dari luar membuat Rafael mengalihkan pandangannya dari data pasien yang sudah tersusun rapi di mejanya.

“Masuk!”

“Pagi, Dok. Ini beberapa data pasien tambahan saat dokter visit nanti.”

“Letakkan saja di meja.”

“Baik. Saya permisi, Dok.”

“Hmm… Terima kasih.”

Rafael mengambil tumpukan berkas yang baru saja diletakkan oleh asistennya, hari masih pagi tapi sudah banyak pasien yang mengantri untuk diperiksa kesehatannya. Begitulah deritanya menjadi dokter tapi itu semua tidak masalah bagi Rafael karena memang dirinya menyukai bidang ini.

Bidang yang terkadang dianggap membosankan, melelahkan atau menyeramkan bagi sebagian orang karena harus berkutat dengan sakit penyakit, darah, jenazah dan lain sebagainya. Berkutat dengan segala macam keluhan pasien yang selalu muncul beragam dan berharap dapat disembuhkan.

Tapi tidak untuk Rafael yang malah merasa tertantang dan sekarang berhasil menjadi dokter spesialis penyakit dalam di usia yang tergolong muda jika dibandingkan dengan dokter lainnya yang sebagian besar sudah memiliki uban yang banyak!

Mungkin karena Rafael mewarisi sifat ayahnya yang memang berprofesi sebagai seorang dokter spesialis sama seperti dirinya saat ini, membuatnya menyukai bidang kedokteran sejak dulu. Bahkan sejak kecil Rafael memang sudah bercita-cita menjadi seorang dokter!

“Permisi, Dok. Maaf mengganggu, saya mau mengingatkan saja kalau nanti malam akan ada farewell party untuk dokter Hendra.”

“Acara jam berapa? Dan dimana?”

“Jam 7 malam di tempat karaoke biasa, Dok.”

“Saya akan kesana nanti.”

“Baik. Permisi, Dok.”

Rafael tidak menjawab dan sibuk dengan data pasien sebelum akhirnya dirinya beranjak menuju ruang rawat pasien yang ditanganinya, mengecek progress kesehatan mereka satu persatu.

Rafael berusaha mengabaikan tatapan memuja dari para pasien wanita yang didatanginya, jujur saja Rafael merasa sangat risih dengan tatapan seperti itu karena Rafael tau pasti kalau dirinya tidak akan bisa membalas perhatian mereka seperti yang diharapkan.

Kenapa? Tentu saja karena Rafael sudah memiliki pujaan hatinya sendiri meski saat ini sang kekasih tidak berada di negara yang sama dengannya karena sibuk meniti karier dan menggapai cita-citanya sendiri, tapi Rafael yakin kalau tidak lama lagi sang kekasih akan kembali kepadanya.

‘Ah! Aku jadi merindukanmu, Alice,’ batin Rafael.

Apalagi saking sibuknya pekerjaan mereka berdua hingga membuat komunikasi keduanya menjadi memburuk dan jarang saling menghubungi. Jika dipikir-pikir mungkin sudah hampir sebulan Rafael dan Alice tidak saling kontak. Rafael menggeleng pelan berusaha mengembalikan konsentrasinya.

Rafael mendesah lega saat akhirnya dapat kembali ke ruangannya dan mengangkat ponsel yang sudah mengusiknya sejak tadi. Dari mommynya. Mommy Carol.

“Ya, Mom?”

“Kamu masih di rumah sakit?”

“Tentu saja, Mom. Ini masih siang, dimana lagi aku kerja kalau bukan di rumah sakit?” sarkas Rafael saat mendengar pertanyaan mommy Carol.

“Siapa tau kamu bosan berada di ruanganmu dan memutuskan jalan-jalan keluar mencari gadis untuk dijadikan menantu Mommy.”

“Mom!”

“Kenapa?” tanya mommy Carol tanpa dosa.

“Mommy kan tau kalau aku sudah punya Alice dan dia akan kembali dalam waktu satu tahun lagi, jadi sampai hari itu tiba, Mommy tolong bersabar. Setelah Alice kembali ke Indonesia kami akan segera menikah!” jawab Rafael.

“Apa kamu yakin kalau Alice akan menerima lamaran kamu? Bagaimana kalau wanita itu masih ingin menundanya dengan alasan masih ingin meniti karier?”

“Aku akan membujuknya, Mom. Mommy tenang saja dan serahkan padaku, okay?”

“Membujuknya? Itu berarti hanya kamu yang berpikir mengenai pernikahan tapi tidak dengan Alice, Rafa!” tegur mommy Carol membuat Rafael langsung sakit kepala. Perdebatan yang selalu terjadi jika membahas masalah Alice dengan mommynya.

“Mommy sudah katakan kalau Mommy tidak suka dengan Alice, terlihat jelas kalau kamu tidak menjadi prioritas dalam hidupnya bahkan kamu tidak ada di dalam rencana hidupnya. Untuk apa kamu mempertahankan wanita yang tidak bisa menghargai kamu selama bertahun-tahun? Wanita yang hanya memikirkan dirinya sendiri?”

“Mom, please! Alice tidak seperti itu!”

“Tidak seperti itu bagaimana? Sudah jelas dia pergi tanpa memikirkan perasaan kamu!” sungut mommy Carol tidak mau kalah.

“Alice sudah mendiskusikannya denganku sebelum memutuskan pergi untuk menggapai cita-citanya, Mom!”

“Itu karena Alice membujuk kamu! Memaksa kamu lebih tepatnya! Wanita egois!”

“Mom, please jangan menjelek-jelekkan Alice. Dia kekasihku, Mom!”

“Kekasih yang tidak pernah menghargai kamu!” cibir mommy Carol sadis.

“Alice selalu menghargaiku, Mom!” bela Rafael sambil memijat keningnya yang terasa semakin pening.

“Menghargai kamu dari mana? Jangan kamu pikir selama ini Mommy tidak tau apa-apa, Rafa. Mommy tau semuanya meski kamu tidak pernah mengatakannya pada Mommy!” tegas mommy Carol.

“Mom…”

“Sudahlah jangan membelanya lagi. Mommy tidak percaya dengan ucapan kamu karena Mommy tau kalau feeling Mommy sebagai orangtua tidak akan pernah salah!” balas mommy Carol membuat pria itu mati kutu.

Rafael menyugar rambutnya dengan frustasi saat sang mommy sudah memutuskan panggilan telepon, meninggalkan Rafael sendiri dengan pikirannya yang semakin kusut. Sudah sangat sering mommy Carol meminta Rafael untuk segera menikah di usianya yang sudah menginjak 32 tahun tapi karena sang kekasih, Alice, masih belum siap jadi Rafael terpaksa belum dapat memenuhi keinginan mommynya.

Pikiran Rafael terpaksa terputus saat pintu ruangannya kembali diketuk dan sang asisten muncul sambil membawa berkas di tangannya. Rasanya pasien tidak pernah ada habisnya.

“Pasien atas nama bapak Harry sudah datang, Dok. Bisa langsung saya suruh masuk?”

Rafael mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sekarang dirinya harus dapat bersikap professional. Singkirkan dulu masalah pribadinya dan harus fokus pada pasien yang sudah mempercayakan hidupnya pada Rafael!

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Bhy Collections
pingin baca teeua
goodnovel comment avatar
Quinsha Qonita Aradi
160 mah tinggi bukan imut2
goodnovel comment avatar
Narti Riyanto
konflik kirie ,konflik dokter
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status