Share

Garis dua

Beberapa minggu kemudian.

Renata merasa mudah lelah dari biasanya. Saat bekerja pun sedikit tak bertenaga. Tetapi ia tetap memaksakan diri untuk melaksanakan pekerjaan. Biar bagaimana pun hidupnya tergantung dengan gaji bulanan yang ia dapat setiap bulannya. Walaupun sudah tak memiliki keluarga, setidaknya Renata berniat menabung untuk masa depan.

Bi Marni menghampiri Renata yang sedang duduk di lantai. Terlihat sekali jika Renata sedang kelelahan. Bagaimana tidak, menyapu halaman sendirian tanpa ada yang membantu tentu itu tugas yang sulit.

“Neng Rena istirahat saja ya, biar Mang Udin yang lanjutkan menyapu halaman. Lagian sebenarnya ini tuh tugas Mang Udin sebagai tukang kebun,” ucap Bi Marni yang merasa tak tega melihat Renata.

“Tidak usah, Bi. Saya bisa sendiri kok. Lagian kalau nanti ketahuan Tuan Leon, saya bakal kena marah,” tolaknya.

“Tidak akan kena marah, lagian Tuan Leon dan Non Laura sedang keluar,” ucap Bi Marni.

“Syukurlah kalau mereka nggak di rumah, jadi saya dudukan seperti ini nggak ada yang menegur,” ujar Renata.

“Iya, Neng. Kalau gitu Bibi panggil Mang Ujang dulu ya.” Bi Marni berlalu pergi untuk memanggil Mang Ujang. Sudah sepantasnya Mang Ujang yang melakukan pekerjaan itu.

Bi Marni menyuruh Renata untuk istirahat saja. Apalagi melihat wajahnya sangat pucat. Renata menurut dengan Bi Marni. Baru juga akan melangkah masuk kamar, tiba-tiba Renata merasakan pusing sehingga hampir saja terjatuh. Untung saja tangannya berpegangan pada pintu.

“Ada apa dengan tubuhku ini? Kenapa sekarang aku merasa lemah sekali? Ini bukan seperti diriku yang biasanya,” gumam Renata lalu memasuki kamarnya.

Rena merebahkan diri di kasur berukuran kecil itu. Ia ingin beristirahat sejenak sampai rasa lelahnya berkurang. Tak lama ia pun tertidur dengan pulas.

Tiga puluh menit kemudian Renata terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia merasa lapar. Renata mengelus perut ratanya yang sedang keroncongan. Renata beranjak dari atas kasur, lalu ia pergi ke dapur untuk mencari apa pun yang bisa ia makan.

“Bi, lagi masak apa nih?” tanya Renata sambil melangkah mendekati Bi Marni yang sedang berkutat di dapur.

“Masak makan malam, Non. Tapi baru satu menu yang bibi masak,” jawabnya tanpa mengalihkan arah pandangnya.

“Bi, Rena boleh minta makan nggak? Rena tahu ini belum waktunya makan malam. Tapi Renata kelaparan,” pintanya dengan sedikit memohon.

“Aduh kasihan sekali Neng Rena. Kalau gitu Neng Rena duduk saja, biar Bibi siapin dulu.”

Renata menurut, lagian rasanya ia sudah tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Jujur ia tak pernah selemah ini. Baru kali ini ia merasakannya.

Renata makan begitu lahap. Bi Marni yang melihatnya pun ikut senang. Seolah seperti tak makan berhari-hari.

“Yang banyak makannya, Neng. Mumpung Tuan nggak ada di rumah,” ujar Bi Marni sambil memperhatikannya.

“Baik, Bi,” ucapnya sambil tersenyum.

...

...

Pagi ini Renata mual-mual. Entah sudah beberapa hari ini ia merasakannya. Ia berpikir mungkin saja masuk angin karena kecapean. Jika saja tak harus bekerja, mungkin ia bisa istirahat. Namun, ia tak berani izin karena Alex pasti akan menghukumnya.

Bi Marni menghampiri Renata yang baru keluar dari toilet. “Neng Rena tidak apa-apa? Wajahnya pucat sekali loh. Kalau sakit biar istirahat saja, nanti Bibi yang minta izin ke Tuan.”

“Tidak perlu, Bi. Aku mau kerja saja. Paling ini cuma masuk angin, nanti minum obat juga pasti sembuh,” ucapnya.

“Baiklah, kalau gitu biar Bibi belikan obar ya,” tawarnya.

“Em nggak usah, Bi. Biar saya saja yang beli ke apotek depan. Kebetulan saya juga ingin beli bubur ayam.”

“Baiklah, Neng Rena pergi sekarang saja mumpung Tuan masih belum keluar kamar.”

“Iya, Bi.” Renata berpamitan kepada Bi Marni lalu ia bergegas pergi.

Di sebuah kamar, tepatnya kamar Alex dan Laura, kedua insan itu masih terjaga dalam tidurnya. Tubuh polos keduanya tertutup oleh selimut. Semalam mereka melakukan pertempuran panas sampai tak ingat waktu.

Laura merasa geli karena tiba-tiba merasakan gigitan di bahunya. “Sayang, kamu sudah bangun?”

“Sudah, ayo kita mulai lagi pertempuran kita.” Leon mengarahkan Laura untuk turun dari atas kasur. Lalu ia membuka pintu menuju balkon. Mereka kembali melakukannya disana.

Renata yang sedang berjalan keluar, tak sengaja mendengar desahan yang menggema. Ia menoleh ke atas, melihat suaminya sedang bercinta dengan Laura. Tiba-tiba dadanya sesak, biar bagaimana pun tak ada seorang istri yang rela berbagi suami.

Tes

Air matanya menetes begitu saja. Renata tak sanggup lagi menahannya. Entah kenapa ia mendadak cengeng.

Raut wajah Renata yang tadinya murung kini kembali berbinar setelah ia melihat penjual bubur ayam.

“Pak, saya pesan buburnya satu,” ucap Renata lalu duduk di kursi yang kosong.

“Siap, Neng,” jawab tukang bubur yang masih fokus melayani pembeli lain.

Setelah selesai menikmati semangkuk bubur ayam, kini Renata bergegas pergi ke apotek yang tak jauh dari sana. Hanya berjalan kaki beberapa menit saja ia sampai di apotek. Ia mengantre, menunggu pembeli lain yang sedang dilayani.

“Mau beli apa, Nona?”

“Em saya mau beli obat. Belakangan ini saya mual-mual, kepala saya pusing, dan badan saya mudah lelah.” Renata menyebutkan apa yang ia rasakan belakangan ini.

“Maaf, Nona. Itu seperti tanda-tanda orang hamil. Lebih baik Nona coba pakai test pack saja. Untuk obat saya tidak berani memberikannya, karena ada beberapa obat yang tidak boleh di konsumsi oleh ibu hamil. Lebih baik Nona langsung memeriksakannya ke dokter saja,” ujarnya.

“Baiklah, kalau begitu saya beli test pack nya dua,” ucap Renata.

Setelah membayar Renata langsung saja pulang. Pikirannya termenung banyak sekali yang di pikirkan. Terutama jika memang ia hamil, ia takut Leon tak mau menerimanya. Apalagi pernikahannya hanya pernikahan siri, tentunya tak bisa memberikan status yang jelas untuk anaknya. Dan Laura, ia takut jika nanti Laura murka saat tahu kehamilannya dan pernikahannya dengan Leon yang sengaja di sembunyikan.

Renata memasuki rumah lewat pintu belakang. Ia langsung menuju ke kamar mandi untuk menggunakan test pack itu. Ia sekaligus mencoba kedua test pack yang ia beli tadi. Akhirnya kini hasilnya telah terlihat. Ada dua garis disana. Renata begitu senang karena ada kehidupan lain di perutnya.

“Terima kasih telah hadir di hidup mamah, Nak,” ucapnya sambil mengusap perutnya yang masih datar.

Renata keluar dari kamar mandi dengan perasaan bahagia. Ia menyimpan test pack itu di kamarnya, tentunya di tempat yang aman. Dengan semangat ia keluar kamar berniat memulai pekerjaan. Renata tak sengaja melihat Alex yang sedang duduk di ruang keluarga. Ia menatap ke segala arah, tak melihat keberadaan Laura. Mungkin ini waktu terbaik yang bisa ia gunakan untuk mengatakan yang sejujurnya kepada Alex.

Kini jarak Renata sudah sangat dekat dengan Alex. Namun, Renata menghentikan langkahnya saat mendengar Alex sedang menelepon seseorang sambil mengatakan tentang resepsi pernikahannya bersama Laura. Renata mundur beberapa langkah dari sana, mengurungkan niatnya untuk berbicara.

‘Mana mungkin aku mengatakan hal ini disaat Mas Alex akan mengadakan resepsi. Jika semua orang mengetahui Laura sebagai istri Alex satu-satunya, lalu bagaimana dengan diriku? Mungkin selamanya aku hanya istri di balik layar,’ batin Renata sedih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status