Beranda / Horor / Desa Tanpa Suara / Bab 19: Bayangan di Balik Liontin

Share

Bab 19: Bayangan di Balik Liontin

Penulis: Rafi Aditya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-30 13:57:56

Liontin itu jatuh tepat di samping tangannya, basah oleh embun dan bercampur tanah. Bentuknya bulat pipih, dengan ukiran bunga yang samar-samar masih terlihat meski sebagian permukaannya tergores.

Raka meraih liontin itu dengan tangan bergetar. Saat jarinya menyentuh logam dingin itu, pandangannya berdenyut seperti ada seseorang yang menariknya dari dalam kepalanya.

---

Suara benturan antara Penjaga Kedua dan wanita bermata pucat kini terdengar jauh, seolah datang dari ujung lorong panjang. Tubuh Raka membeku di tempat, dan sekelilingnya berubah.

---

Rumah panggung tua muncul di hadapannya, diterangi cahaya lampu minyak. Aroma kayu terbakar dan asap tipis memenuhi udara. Di dalam rumah itu, seorang perempuan berambut hitam panjang duduk membelakanginya. Bahunya kurus, tapi setiap gerakannya penuh ketegangan.

---

“Ibu…” suara Raka keluar begitu saja, namun tidak ada yang mendengar.

Perempuan itu membalikkan kepala sedikit wajahnya pucat, matanya merah karena menangis. Di tangan
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Desa Tanpa Suara   Bab 28: Rumah yang Bernafas

    Raka berdiri terpaku di lorong daging itu. Dinding berdenyut pelan, seolah seluruh ruangan menarik dan menghembuskan napas bersamanya. --- “Apa ini…?” suaranya nyaris tak terdengar, tertelan gema aneh di udara. --- Sosok yang menyerupai ayahnya berjalan pelan, langkahnya nyaris tanpa suara di lantai yang basah. “Ini rumah kita yang sebenarnya. Kau lahir dari sini, Raka… kita semua lahir dari sini.” --- Raka menggeleng cepat. “Bohong. Aku lahir di rumah kayu di pinggir desa. Aku ingat jelas.” --- “Apa yang kau ingat hanyalah cerita yang mereka tanamkan,” ujarnya sambil menunjuk dinding yang berlapis urat. “Inilah ibu sejati kita. Dia memberi kita makan, memberi kita suara… dan bisa mengambilnya kembali.” --- --- Suara bisikan dari dinding semakin keras, bergabung menjadi nada rendah yang membuat dada Raka bergetar. Ia menutup telinga, tapi suara itu tetap meresap langsung ke pikirannya. --- “Kau dengar, kan?” tanya ayahnya. “Dia memanggilmu. Dia ingin tahu suaramu, agar di

  • Desa Tanpa Suara   Bab 27: Pilihan yang Memutus atau Mengikat

    Raka berdiri di antara akar-akar yang bergerak, napasnya berat. Di depannya, ibunya atau sosok yang menyerupai ibunya menatap dengan tatapan yang tak lagi ia kenal. --- “Ayo, Raka…” suaranya lembut, namun berlapis gema. “Hanya selangkah lagi, dan kau tak akan pernah merasa sendirian lagi.” --- Orang bermata abu menarik bahunya. “Jangan dengarkan. Itu bukan ibumu. Itu rumah yang bicara lewat tubuhnya.” --- “Diam!” Raka membentak, tapi matanya tetap tak lepas dari ibunya. “Kalau memang itu bukan dia, kenapa matanya menangis?” --- Sosok itu tersenyum. Air mata benar-benar mengalir di pipinya, tapi hitam pekatnya bola mata membuatnya lebih mirip tinta yang bocor daripada air. --- “Aku menangis karena rindu,” ujarnya pelan. “Kau dan aku bisa bersama di tempat yang tenang… tanpa rasa sakit, tanpa kehilangan.” --- Akar-akar semakin merapat, menutup jalan keluar. Suara retakan pohon terdengar dari dalam tanah. --- “Raka!” orang bermata abu mengeluarkan pisau panjang dari balik

  • Desa Tanpa Suara   Bab 26: Mata yang Bukan Milik Ibu

    Raka mundur perlahan, sementara pelukan ibunya masih mengikat erat. Sentuhannya hangat terlalu hangat, seperti demam yang membakar kulit. --- “Ibu…” Raka mencoba melepaskan diri, tapi genggaman itu menguat. Mata wanita itu menatapnya lekat. Air mata menetes, namun di balik kilauannya, bayangan rumah tua itu berkedip. --- “Ada apa? Kau ketakutan?” suara ibunya terdengar normal, tapi ada nada rendah yang bergema bersamanya, seperti dua suara bertumpuk. --- “Aku… hanya khawatir,” jawab Raka. --- Wanita itu tersenyum lembut, tapi sudut bibirnya bergerak seolah menarik lebih dari sekadar kulit. “Kau sudah menemukanku. Sekarang… kita bisa pulang.” --- --- Mereka menuruni bukit. Hujan mulai reda, tapi udara terasa berat, seperti menekan paru-paru. Orang bermata abu berjalan di belakang mereka, tidak berkata apa-apa, hanya menatap punggung ibu Raka dengan intensitas yang membuat Raka gelisah. --- Sesampainya di desa, suasana berbeda. Jalan yang biasanya sunyi kini dipenuhi pend

  • Desa Tanpa Suara   Bab 25: Ujian Keempat

    Petir menyambar, cahaya putih menyelimuti desa sekejap. Saat kilatan itu hilang, Raka menyadari sesuatu yang aneh: suara hujan lenyap. Bukan hanya meredup benar-benar hilang. --- Ia menatap keluar jendela. Air hujan masih mengguyur genteng, namun tak ada bunyinya. Jalan basah, lampu-lampu rumah berkedip, tapi semuanya sunyi seperti di dalam mimpi. --- Orang bermata abu berdiri di sudut kamar. “Itu tandanya ujian keempat dimulai. Desa ini sedang mematikan suaranya.” --- “Apa maksudnya?” Raka mendekat. --- “Kalau kau tak bergerak sekarang, kau akan ikut menghilang bersamanya.” --- --- Mereka keluar ke jalan. Angin bertiup kencang, tapi hanya gerak dedaunan yang terlihat tanpa suara gemerisik. Raka merasa seperti menonton dunia tanpa pengeras suara. --- “Aku harus ke mana?” Raka bertanya. --- Orang bermata abu menatap ke arah bukit di ujung desa. “Ke sana. Rumah yang kau lihat di cermin kemarin ada di baliknya. Tapi kali ini, ia tidak menunggumu. Kau yang harus mencariny

  • Desa Tanpa Suara   Bab 24: Bisikan dari Balik Dinding

    Raka terbangun dengan napas tersengal. Kepalanya berdenyut seperti habis dipukul. Namun yang membuatnya membeku bukan rasa sakit itu melainkan suara bisikan samar yang terdengar dari balik dinding kamarnya. --- “Kau meninggalkannya…” suara itu lirih, serak, namun jelas. “…seperti mereka semua.” --- Raka duduk tegak, matanya menyapu ruangan. Ia berada di kamar kayu sederhana di rumah penginapan tua milik Bu Lestari. Lampu minyak di meja berkedip-kedip, bayangan di dinding bergerak aneh, seolah ada seseorang berdiri di luar. --- “Siapa di sana?” Raka bersuara keras, tapi hanya keheningan yang menjawab. --- Ia mendekati dinding, menempelkan telinganya. Suara itu kembali, kali ini terdengar lebih dekat. --- “Aku… di sini…” --- Raka mengerutkan dahi. “Ibu?” --- Tidak ada jawaban. Namun suhu di kamar itu turun drastis, dan aroma tanah basah menyelinap masuk. --- Pintu tiba-tiba diketuk keras tiga kali. Duk! Duk! Duk! --- “Raka, kau baik-baik saja?” suara Bu Lestari dari l

  • Desa Tanpa Suara   Bab 23: Rumah Cermin

    Raka mendorong pintu gerbang berkarat itu. Suara gesekannya memekakkan, seperti jeritan panjang yang memantul di dalam kepalanya. Begitu gerbang terbuka, kabut di luar langsung berhenti, seolah terhalang batas tak kasat mata. --- Rumah besar itu berdiri angkuh. Dindingnya dilapisi cat putih yang sudah mengelupas, memperlihatkan lapisan kayu gelap di bawahnya. Jendela-jendela tinggi memantulkan bayangan samar, meski di dalam tampak gelap gulita. --- “Aku tidak suka tempat ini,” gumam Raka. --- Orang bermata abu itu menoleh, senyum tipis menghias wajahnya. “Tidak ada yang suka. Tapi di sinilah ujian ketiga dimulai.” --- “Apa yang harus kulakukan?” --- “Kau hanya perlu masuk dan… melihat.” --- Raka mengernyit. “Melihat apa?” --- “Kebenaran,” jawabnya singkat, lalu ia mendorong pintu rumah itu. --- Begitu pintu terbuka, hawa dingin menyergap, menusuk sampai ke tulang. Di dalam, lorong panjang dengan dinding penuh cermin menyambut mereka. Namun cermin-cermin itu bukan sekad

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status