"Mila, ini Iren, anak teman Ibu. Iren akan tinggal di sini sementara waktu, karena rumahnya baru saja kebakaran," ucap Ibu mertua. Bibirnya tersenyum sumringah menyambut tamu wanita dengan koper super gede yang berdiri tegak di sampingnya.
"Iya bu," jawabku singkat, lalu ikut tersenyum tipis pada wanita berambut sebahu itu, tapi wanita itu hanya menatap sekilas lalu membuang pandangannya pada Ibu.
"Ayo masuk, Sayang," ucap Ibu lembut, seraya menarik tangan tamunya.
Hati bagai di cubit, melihat kedekatan Ibu mertua dan wanita yang memakai baju sedikit kurang bahan, sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Hal yang tak pernah terjadi antara aku dan Ibu sejak dahulu.
Aku hanya bisa protes dalam hati. Aku hanyalah seorang menantu yang kehadirannya tidak diakui oleh mertua. Seorang istri yang tak pernah dianggap oleh suami. Selama menjadi menantu, tak sekalipun beliau bersikap manis padaku, selalu saja bersikap jutek, dan menjaga jarak, meskipun aku sudah mencoba mendekat. Berbeda jauh pada Iren, wanita berambut pirang yang sedang berdiri di depanku. Bahkan, ibu kadang tak mengakuiku sebagai istri anaknya . Sangat miris bukan? Ya, tapi begitulah yang terjadi dan kurasakan.
Aku dan Mas Hasan dulu memang dijodohkan tanpa perkenalan. Kami memang berasal dari kampung yang sama, tapi tidak saling mengenal. Karena, aku dulunya mondok dan rumah kami juga berbeda kecamatan.
Ayah, merantau ke kota bersama Bunda dan merintis usaha, sebelum Bunda meninggal dunia. Sementara Mas Hasan dan keluarganya pindah ke kota setelah adik Mas Hasan menikah, dan ikut suaminya ke Kalimantan. Ayah mertua yang berkerja di sebuah perusahan di kota, mengajak Ibu dan Mas Hasan ke kota, karena capek bolak–balik katanya, dan kebetulan, saat itu Mas Hasan juga mendapat panggilan kerja. Begitulah yang aku tau, menurut cerita Ibu mertuaku.
Sampai suatu saat, Ayah memintaku datang ke kota setelah aku lulus dari pesantren dan menjodohkanku dengan Mas Hasan sebelum beliau menghembus nafas terakhirnya.
"Ayah, Mila mau di sini aja, sama Nenek. Mila mau ngajar di pesantren." ucapku waktu itu pada Ayah dan Bunda saat menjemputku, ingin membawa ke kota. "Nenek juga sendiri di sini," sambungku lagi.
"Nggak pa-pa Nduk. Ikutlah ke kota, Nenek nggak pa-pa sendiri," ucap Nenek setuju dengan Ayah.
Ku hela nafas pendek. Meskipun aku tidak setuju, tapi menolak juga bukan pilihan.
"Eh ... malah melamun. Bawain tuh koper Iren. Ada tamu kok malah bengong." Ibu menunjuk koper yang di tinggalkan Iren di depan pintu. Mengejutkanku dari lamunan.
Aku melangkah pelan kearah pintu, lalu menyeret koper tamu Ibu, membawa masuk.
"Eh, Mila ... 'kan bengong lagi! Sana siapkan kamar buat Iren! Biar dia bisa istirahat," ucap Ibu mertua seraya mengibaskan tangannya saat melihatku hanya berdiri di samping sofa, tempat ibu duduk dan tamu wanitanya. Wanita yang melahirkan suamiku itu berucap dengan nada sinis, hal yang selalu ia lakukan. Namun kali ini sakitnya berbeda kurasakan. Mertuaku melakukannya di depan orang lain yang katanya anak temanya itu.
"I–iya, Bu," ucapku sedikit kaget, lalu beranjak meninggalkan mertua dan tamu kehormatannya. Dalam hati menangis! Hatiku sakit, meski lukanya tak berdarah, tapi sakitnya sangat luar biasa.
"Ayahmu itu punya banyak hutang sama keluarga kami, dan tidak bisa membayarnya! Makanya kamu dinikahkan sama Hasan sebagai penebus hutang! Tau, kamu!" Begitulah yang selalu Ibu mertua katakan padaku. Selalu dan selalu mengingatkan, bahwa diri ini bukanlah menantu pilihannya. Melainkan adalah hanya sebagai barang tukaran.
Aku tak tahu, seberapa banyak hutang orang tuaku pada keluarga Mas Hasan, sehingga enam tahun baktiku masih saja kurang. Aku di perlakukan seperti orang asing di rumah ini. Bahkan kehadiran putriku tak mampu meluluhkan hati mertua dan suamiku, yang notabenenya adalah Ayah dan neneknya.
"Ayo, Sayang Duduk dulu. Kamu pasti masih capek." Sayup-sayup masih bisa kudengar suara lembut Ibu mertua pada wanita itu.
"Andai Ibu memperlakukanku seperti itu, pasti aku akan merasa bahagi." Sejauh kaki melangkah, hati kecilku berangan-angan. Seandainya dan seandainya, yang sangat mustahil terjadi.
Selama menjadi istri dan menantu, jangankan berkata manis dan lembut, bahkan duduk di maja makan bersama menikmati makanan pun hanyalah sebuah angan-angan bagiku. Aku dan Zulfa, putriku, akan makan setelah Ibu dan Mas Hasan selesai, begitulah yang terjadi selama ini. Kata Ibu, menantu itu harus mengurus dan mendahulukan suami dan mertua baru dirinya, dan Mas Hasan pun selalu membenarkan apa yang ibunya katakan.
Terkadang aku merasa di perlakukan hanya seperti pembantu. Mending pembantu, dapat bayaran, aku bahkan tidak pernah mendapat nafkah layaknya seorang istri. Selalu saja Ibu yang mengaturnya. Untunglah aku mempunyai penghasilan sendiri, jadi masih bisa membiayai diri dan Zulfa.
Begitulah nasibku, bukan aku tidak mau pergi, tapi pernikahanku dengan Mas Hasan atas permintaan Ayah. Titipan yang harus kujaga semampuku. Aku tidak mau Ayah sedih di sana, kerana aku tidak bisa menjaga titipannya. Aku akan pergi, jika sudah tidak bisa bertahan. Namun, selagi mampu aku akan terus berjuang. Tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah sudah berkehendak, maka semudah membalikkan telapak tangan.
Aku percaya, jika rumah tangga ini adalah jodohku maka Allah akan memperbaikinya. Namun, jika memang bukan jodoh, aku yakin Allah berikan ini sebagai cara aku belajar agar bisa menjaga jodoh yang sesungguhnya.
"Kamu tuh ya, kalau disuruh nggak ada benar-benarnya." Tiba-tiba Ibu mertua muncul di depan pintu kamar tamu, sambil berkacak pinggang. Nenek dari anakku itu mendelik menatapku sinis.
Aku yang kaget mendengar bentakan Ibu, hanya bisa mengurut dada dan beristighfar dalam hati.
Di samping ibu Iren berdiri sambil memeluk kedua tangannya di depan dada. Wanita itu tersenyum seakan mengejek. Entah apa maksudnya, tapi dari wajahnya terlihat sekali tamu mertauku itu seperti merasa puas.
Sakit! Malu! Marah! Semua bercampur jadi satu, tapi aku hanya bisa merasakan dan menyimpannya sendiri di dalam dada. Ingin mengeluarkannya tapi tak bisa, hanya akan semakin menyakitkan, dan memperkeruh suasana.
"Maaf, Bu." Aku menundukkan kepala menyembunyikan segala rasa. Senyuman di bibir Iren seakan memancing amarah, tapi sekuat hati kutahan agar tak keluar.
"Maaf! Maaf aja yang kamu tau! Kapan sih, kamu itu berguna sedikit aja! Dasar benalu, nggak tau diri!" Ya Tuhan ... Sakit sekali.
Aku menelan cairan dalam mulut yang terasa pahit. Hati mengutuk ucapan Ibu suamiku itu barusan. Ingin rasanya menyumpahi, dan berteriak memaki perempuan yang telah bertaruh nyawa melahirkan ayah dari anakku itu. Maafkan aku Tuhan ... kerana mengutuk perbuatan Ibu. Aku ini hanyalah manusia biasa, yang punya hati dan perasaan.
Aku menantunya di sini, Ibu dari cucunya. Darah dan dagingnya, mengalir dalam tubuh putriku, tapi kenapa ia tega sekali. Menjatuhkan harga diriku di depan orang lain. Bukankah dia wajib menjaga martabat menantunya.
"Cepat bersihkan lagi! Dasar lelet!" bentaknya lagi seraya berlalu menggandeng tangan Iren berlalu.
Kubersihkan seisi ruangan dengan perasaan marah dan kecewa. Tetes-tetes bening berlomba keluar dari tempurungnya. Untung ini terjadi tidak di depan Zulfa, anakku. Jika tidak, hati gadis kecilku itu pasti hancur sekali! Allahu Rabbi.
Setelah membereskan kamar yang akan di tempati tamu agung Ibu, aku menyeret langkah kaki pelan ke luar dari kamar. Di ambang pintu, mataku terpaku pada dua sosok wanita berbeda usia, sedang duduk bercanda di depan TV.
"Mas Hasan yang jadi pimpinan perusahaan sekarang, Bu," Telingaku menangkap suara manja Iren. Wanita itu duduk di samping Ibu, terlihat sekali keakraban antara mereka berdua.
"Iya, Sayang! Makanya Hasan sekarang sibuk," ucap Ibu mertua. Tangannya mengelus tangan Iren yang di letakkan di antara kedua tangan ibu. Aku cemburu melihat kedekatan mereka. Seandainya saja, aku bisa menjadi Iren. Beruntung sekali wanita itu. Bukan siapa-siapa namun mendapatkan perlakuan istimewa.
"Mas Hasan pulang jam berapa Bu?" Lagi-lagi kudengar suara manja Iren menanyakan suamiku. Matanya melirik jam yang tergantung di dinding.
"Ya, jam pulang kantor dong Sayang," balas Ibu lembut
"Berarti sebentar lagi dong!" seru Iren antusias. Wajahnya terlihat sumringah. Ibu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum manis pada Iren.
Hatiku bagai di remas-remas melihat wajah sumringah Iren. Hatiku sakit, ada wanita lain yang menanti kepulangan suamiku. Aku yang istrinya saja tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menyambut suami pulang kerja. Sering kali aku melakukannya, namun suamiku itu cuek menganggapku tak ada. Aku melakukannya berulang kali, berharap suamiku akan melihatku dan tersenyum melepas lelah. Namun semua sia-sia, sejauh mana aku mencoba, tapi suamiku selalu saja bersikap dingin. Bahkan melirik pun tidak pernah. Hingga aku berhenti melakukannya dan tak berharap lagi.
Tanpa terasa air mata menetes dari pelupuk mata. Ku usap pelan pipi dengan telapak tangan. Wahai hati, tangguhlah! Jangan cengeng! Aku mencoba merayu hati, membujuknya agar tangguh seperti baja.
"Hei, Mila ... malah bengong di situ. Cepat bikinin Iren minum! Kamu mau minum apa sayang?" bentak ibu padaku, lalu bertanya lembut pada Iren.
Dengan rasa sakit yang sangat dalam, kuseret kaki menuju dapur. Ingin rasanya mencaci, bahkan mencakar wajah Iren, saat wanita itu tersenyum seakan mengejek, tapi apalah dayaku. Kesalahan pasti akan di limpahkan semuanya padaku andai aku melakukan itu, dan itu akan membuat tamu tak berakhlak itu merasa menang.
Entah apa yang membawa Iren kemari. Namun firasatku mengatakan, jika perempuan itu punya niat jahat.
Seperti biasa setelah sholat subuh, aku bergegas ke dapur menyiapkan sarapan, lalu mengerjakan pekerjaan rumah layaknya pembantu.Setelah selesai memasak dan menatanya di meja makan, aku membersihkan peralatan masak lalu memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Begitulah yang setiap hari aku lakukan. Namun aku melakukannya dengan ikhlas, dengan niat ibadah. Meskipun tak pernah dianggap begitu.Jarum jam menunjukankan angka kurang sepuluh menit jam tujuh pagi. Sedang asyik berkutat dengan sapu, menyapu halaman depan, teriakkan lantang Ibu membuat jantungku berdegup dua kali lebih cepat, aku kaget. Dengan langkah tertatih kuhampiri meja makan yang sudah duduk dua orang wanita berbeda usia layaknya nyonya besar yang minta di layani. "Iya Bu, ada apa?" tanyaku basa–basi, padahal aku sudah tau kenapa ibu mertua memanggilku. Apalagi kalau bukan minta dilayani layaknya ratu. "Mana sarapannya. Ibu sama Iren sudah lapar," ucap Ibu mertua sinis."Itu ... sudah Mila siapin di atas meja, Bu
Berada di toko adalah dunia menyenangkan bagiku. Bermain dengan adonan, adalah sesuatu yang sangat ku gemari. Berawal dari rasa suka, hingga akhirnya terciptalah toko ini. Alhamdulillah. Menciptakan bermacam-macam kue dan roti tidak hanya butuh keahlian, tapi kita harus mencintainya dulu, baru bisa memberikan hasil yang sempurna. Bagiku membuat kue atau roti bukan hanya profesi tetapi juga sebuah hobi."Bu, ini bisa di oven sekarang? tanya Ningsi. Kuamati roti sobek yang berada di dalam pengembang. "Kayaknya sudah bisa, Ning. Sudah kembang itu," balasku seraya tangan menari bersama adonan. Hari ini kami hurus berkerja ektra, karena banyak pesanan untuk besok. Berkerja dalam canda sungguh membuat waktu cepat berputar, hingga tak terasa hari sudah menjelang sore. Kulirik jam yang tergantung di dinding. Sudah jam empat sore, sudah waktunya aku dan Zulfa pulang. Karena jika terlambat, pasti Ibu akan mengomel panjang. Untuk saat ini, aku tidak mau membuat Ibu marah, karena wanita yang
Setelah melaksanakan sholat isya', aku mengajak Zulfa ke luar kamar untuk makan malam. Sedari tadi, anakku itu sudah mengadu lapar, tapi sudah kebiasaan kami makan setelah sholat isya'."Bunda, Zulfa lapar," ucap putriku memegangi perutnya."Sabar ya, Nak. Bentar lagi isya'. Habis sholat baru kita makan." Ku elus rambut panjang Zulfa. Bukannya tak mau mengajaknya sekarang, tapi saat ini pasti Ibu dan Mas Hasan lagi makan malam, bahkan, mungkin Iren bersama mereka di sana. Daripada terjadi hal yang tidak enak, apalagi saat ini ada orang lain di rumah, lebih baik aku mengalah. Memang seperti ini juga 'kan sebelumnya."Yuk! Sayang, kita makan. Katanya lapar," ajakku pada Zulfa setelah melipat sejadah dan mukenah. Putriku hanya mengangguk tanpa suara. Aku dan Zulfa menuju meja makan setelah menutup pintu. Di meja makan sudah tidak ada siapapun, tapi jejak makan mereka masih tertinggal di sana. Kutarik kursi dan menyuruh Zulfa duduk, lalu melangkah ke wastafel, mataku melirik tumpukan pir
Setelah kejadian malam itu, sikap Iren semakin menjadi-jadi. Kerana mendapat pembelaan dari Ibu, wanita itu merasa seperti di atas angin. Bersikap seenaknya saja, tak seperti tamu, tapi pemilik rumah. Sebenarnya, aku sudah muak dengan semua tingkahnya, tapi masih kutahan. Wanita itu pasti dibela Ibu, jika kami berselisih. Jadi menghindar adalah opsi terbaik saat ini. Bak kata pepatah, mengalah untuk menang. Jam empat subuh aku terbangun dari tidur. Melirik ke samping, hatiku pilu mendapati hanya tidur sendiri di sini. Namun itu sudah biasa bagiku. Bukan sekali ini saja Mas Hasan tidak tidur di sini. Laki-laki itu bahkan memiliki kamar pribadinya sendiri. Hanya sesekali saja, jika dia mau berhubungan barulah akan tidur di kamar ini bersamaku. Sesuka hati, jika ingin maka pria itu akan datang, jika tidak, ya ... beginilah. Baju dan barang pribadinya juga hanya sedikit yang di simpan di kamar ini.Namun sejak kedatangan Iren, Mas Hasan tidak lagi pernah masuk ke kamar ini. Dia bah
"Ngapain kalian di sini! Nguping?" Aku tersentak mendengar bentakan Ibu. Kelamaan bengong membuatku tak menyadari jika pintu sudah terbuka lebar."Ng–nggak kok, Bu. Mila sama Zulfa mau pamit ke toko," ucapku tergagap. Degup jantung belum juga reda akibat kaget karena bentakan Ibu."Ya sudah, sana pergi." Ibu mengibaskan tangannya. "Zulfa pergi dulu ya, Nek," pamit Zulfa mengulurkan tangannya. Namun Ibu hanya menatap tangan kecil putriku tanpa berniat menyambut. Kutelan cairan dalam mulut. Meski seringkali mendapat perlakuan seperti ini, tapi anakku tak pernah berhenti untuk mencoba. Berharap, suatu saat nanti, hati neneknya akan luluh."Hem." Ibu hanya berdeham, tanpa menatap putriku."Kasian kamu, Nak," batinku berteriak. Sakit! Perih! Ya Allah anakku.Kepalaku terangkat menatap Ibu dan juga Iren. Jika dilihat dari pakaian mereka yang sudah rapi, sepertinya kedua wanita beda usia itu mau keluar. Keduanya nampak serasi, seperti Ibu dan anak. Hatiku lagi-lagi berandai-andai. Seandain
Tanpa canggung Iren menggandeng mesra tangan Mas Hasan. Sepertinya sudah biasa mereka melakukan itu, terlihat dari cara mereka melakukannya. "Kok, ada Nenek sama Tante Iren juga, Bun?" tanya Zulfa. Putriku itu menatap Ayahnya dari kejauhan dengan tatapan yang ... entahlah. Mungkin itu adalah tatapan iri, atau bahkan tatapan kecewa. Selama ini, gadis kecilku itu tak pernah mendapatkan haknya. Jalan bersama Ayahnya, seperti yang sedang ia saksikan di depan mata sekarang. Aku mengambil ponsel tanpa menjawab pertanyaan Zulfa. Tangan ini lincah memainkan benda persegi empat di tangan. Memotret, siapa tau bisa berguna suatu saat nanti. "Ayo bunda." Zulfa menarik tanganku, mendekat pada Mas Hasan. Tubuh serasa melayang mendapat perlakuan spontan dari anakku."Ayah," panggil Zulfa setelah berada tepat di belakang Ayahnya. Mas Hasan kaget setelah membalikkan badannya. Pria itu langsung melepas gandengan tangan Iren. Wajahnya menegang ketika mata kami saling bertemu. Kulihat Iren cembe
Hatiku hancur mendengar suara pria yang bersama Iren di dalam sana. Sungguh tidak menyangka, laki-laki yang mengucap janji di depan Allah dan Ayahku itu tidak punya harga diri sama sekali. Pria beristri masuk ke kamar tamu ibunya, apakah masih punya harga diri?Aku tidak menyangka Mas Hasan berani berbuat seperti ini. Berduan dengan wanita yang tidak halal baginya. Pria dna wanita dewasa berduan di dalam ruang tertutup, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Astagfirullah! Aku mengusap dadaku yang terasa sesek. Apa yang Mas Hasan lakukan di kamar Iren? Apa tadi, dia panggil Iren? Sayang? Siapa sebenarnya Iren ini? Bermacam pertanyaan menyinggahi pikiranku. Terbesit pikiran kotor, jangan-jangan di dalam sana mereka melakukan? Astagfirullah, aku beristigfar berulangkali untuk menenangkan hati."Hehehe ... Mas geli. Kamu ini, aku mau terkencing. Lepas!" Kutarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan. Mengaturnya emosi agar akal tetap waras. Mengumpulkan kesadaran agar tidak bertidak
Tak terasa air mata jatuh tanpa bisa di ku cegah lagi. Aku bisa terlihat kuat dan bersikap biasa saja di hadapan Ibu dan Mas Hasan, tapi sebenarnya aku sangat rapuh dan terpuruk. Hampir enam tahun menikah, walaupun pernikahan tanpa di dasari cinta, tapi bohong jika aku bilang tidak mencintai suamiku. Tanpa bisa di cegah, cinta itu tumbuh dan semakin mekar menguasai hati semenjak kehadiran Zulfa. Namun tidak dengan Mas Hasan. Kehadiran putriku pun tidak dapat mencairkan bongkahan es yang membekukan hati pria yang menghalalkanku di depan Ayah dan juga Tuhan itu. Dan sekarang, dia menambah daftar perbuatannya yang membuatku sakit dengan menghadirkan Iren di antara kami. Meskipun aku tidak tahu siapa Iren, dan apa hubungan mereka, tapi panggilan Sayangnya tadi, bisa kupastikan ada hubungan manis antara meraka berdua. "Aku bisa terima dengan semua perlakuanmu selama ini, Mas. Aku mohon jangan berkhianat. Karena, aku tidak bisa menerimanya. Aku bisa memaafkan apapun kecuali pengkhiana