Share

Desahan Dikamar Tamu
Desahan Dikamar Tamu
Author: Fatmah Ain

Bab 1 Tamu Mertua

"Mila, ini Iren, anak teman Ibu. Iren akan tinggal di sini sementara waktu, karena rumahnya baru saja kebakaran," ucap Ibu mertua. Bibirnya tersenyum sumringah menyambut tamu wanita dengan koper super gede  yang berdiri tegak di sampingnya.

 "Iya bu," jawabku singkat, lalu ikut tersenyum tipis pada wanita berambut sebahu itu, tapi wanita itu hanya menatap sekilas lalu membuang pandangannya pada Ibu. 

"Ayo masuk, Sayang," ucap Ibu lembut, seraya menarik tangan tamunya.

Hati bagai di cubit, melihat kedekatan Ibu mertua dan wanita yang memakai baju sedikit kurang bahan, sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Hal yang tak pernah terjadi antara aku dan Ibu  sejak dahulu. 

  Aku hanya bisa protes dalam hati. Aku hanyalah seorang menantu yang kehadirannya tidak diakui oleh mertua. Seorang istri yang tak pernah  dianggap oleh suami. Selama menjadi menantu, tak sekalipun beliau bersikap manis  padaku, selalu saja bersikap jutek, dan menjaga jarak, meskipun aku sudah mencoba mendekat. Berbeda jauh pada Iren, wanita berambut pirang yang sedang berdiri di depanku. Bahkan, ibu kadang tak mengakuiku sebagai istri anaknya . Sangat miris bukan? Ya, tapi begitulah yang terjadi dan kurasakan.

 Aku dan  Mas Hasan dulu memang  dijodohkan tanpa perkenalan. Kami memang berasal dari kampung yang sama, tapi tidak saling mengenal. Karena, aku dulunya mondok dan rumah kami juga berbeda kecamatan. 

 Ayah,  merantau ke kota bersama Bunda dan merintis usaha, sebelum  Bunda meninggal dunia. Sementara Mas Hasan dan keluarganya pindah ke kota setelah adik Mas Hasan menikah, dan ikut suaminya ke Kalimantan. Ayah mertua yang berkerja di sebuah perusahan di kota, mengajak Ibu dan Mas Hasan ke kota, karena capek bolak–balik katanya, dan kebetulan, saat itu Mas Hasan juga mendapat panggilan kerja. Begitulah yang aku tau, menurut cerita Ibu mertuaku. 

 Sampai suatu saat, Ayah  memintaku datang ke kota setelah aku lulus dari pesantren dan menjodohkanku dengan Mas Hasan sebelum beliau menghembus nafas terakhirnya.

"Ayah, Mila mau di sini aja, sama Nenek. Mila mau ngajar di pesantren." ucapku waktu itu pada Ayah dan Bunda saat menjemputku, ingin membawa ke kota. "Nenek juga sendiri di sini," sambungku lagi.

"Nggak pa-pa Nduk. Ikutlah ke kota, Nenek nggak pa-pa sendiri," ucap Nenek setuju dengan Ayah.

Ku hela nafas pendek. Meskipun aku tidak setuju, tapi menolak juga bukan pilihan.

"Eh ... malah melamun. Bawain tuh koper Iren. Ada tamu kok malah bengong." Ibu menunjuk koper yang di tinggalkan Iren di depan pintu. Mengejutkanku dari lamunan.

Aku melangkah pelan kearah pintu, lalu menyeret koper tamu Ibu, membawa masuk. 

"Eh, Mila ... 'kan bengong lagi! Sana siapkan kamar buat Iren! Biar dia bisa istirahat," ucap Ibu mertua seraya mengibaskan tangannya saat melihatku hanya berdiri di samping sofa, tempat ibu duduk dan tamu wanitanya. Wanita yang melahirkan suamiku itu berucap dengan nada sinis, hal yang selalu ia lakukan. Namun kali ini sakitnya berbeda kurasakan. Mertuaku melakukannya di depan orang lain yang katanya anak temanya itu.

"I–iya, Bu," ucapku sedikit kaget, lalu beranjak meninggalkan mertua dan tamu kehormatannya. Dalam hati menangis! Hatiku sakit, meski lukanya tak berdarah, tapi sakitnya sangat luar biasa.

"Ayahmu itu punya banyak hutang sama keluarga kami, dan tidak bisa membayarnya! Makanya kamu dinikahkan sama Hasan sebagai penebus hutang! Tau, kamu!" Begitulah yang selalu Ibu mertua katakan padaku. Selalu dan selalu mengingatkan, bahwa diri ini bukanlah menantu pilihannya.  Melainkan adalah hanya sebagai barang tukaran. 

Aku tak tahu, seberapa banyak hutang orang tuaku pada  keluarga Mas Hasan, sehingga enam tahun baktiku masih saja kurang. Aku di perlakukan seperti orang asing di rumah ini. Bahkan kehadiran putriku tak mampu meluluhkan hati mertua dan suamiku, yang notabenenya adalah Ayah dan neneknya.

"Ayo, Sayang  Duduk dulu. Kamu pasti masih capek." Sayup-sayup  masih bisa kudengar suara lembut Ibu mertua pada wanita itu.

 "Andai Ibu memperlakukanku seperti itu, pasti aku akan merasa bahagi." Sejauh kaki melangkah, hati kecilku berangan-angan. Seandainya dan seandainya, yang sangat mustahil terjadi.

Selama menjadi istri dan menantu, jangankan berkata manis dan lembut, bahkan duduk di maja makan bersama menikmati makanan pun hanyalah sebuah angan-angan bagiku.  Aku dan Zulfa, putriku, akan makan setelah Ibu dan Mas Hasan selesai, begitulah yang terjadi selama ini. Kata Ibu, menantu itu harus mengurus dan mendahulukan suami dan mertua  baru dirinya, dan Mas Hasan pun selalu membenarkan apa yang ibunya katakan.

Terkadang aku merasa di perlakukan hanya  seperti pembantu. Mending pembantu, dapat bayaran, aku bahkan tidak pernah mendapat nafkah layaknya seorang istri. Selalu saja Ibu yang mengaturnya. Untunglah aku mempunyai penghasilan sendiri, jadi masih bisa membiayai diri dan Zulfa. 

Begitulah nasibku, bukan aku tidak mau pergi, tapi pernikahanku dengan Mas Hasan atas permintaan Ayah. Titipan yang harus kujaga semampuku.  Aku tidak mau Ayah sedih di sana, kerana aku tidak bisa menjaga titipannya. Aku akan pergi, jika sudah tidak bisa bertahan. Namun, selagi mampu aku akan terus berjuang. Tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah sudah berkehendak, maka semudah membalikkan telapak tangan. 

Aku percaya, jika rumah tangga ini adalah jodohku maka Allah akan memperbaikinya. Namun, jika memang bukan jodoh, aku yakin Allah berikan ini sebagai cara aku belajar agar bisa menjaga jodoh yang sesungguhnya.

"Kamu tuh ya, kalau disuruh nggak ada benar-benarnya." Tiba-tiba Ibu mertua muncul di depan pintu kamar tamu, sambil berkacak pinggang. Nenek dari anakku itu mendelik menatapku sinis. 

Aku yang kaget mendengar bentakan Ibu, hanya bisa mengurut dada dan beristighfar dalam hati.

Di samping ibu  Iren berdiri sambil memeluk kedua tangannya di depan dada.  Wanita itu tersenyum seakan mengejek. Entah apa maksudnya, tapi dari wajahnya terlihat sekali tamu mertauku itu seperti  merasa puas.

Sakit! Malu! Marah! Semua bercampur jadi satu, tapi aku hanya bisa merasakan dan menyimpannya sendiri di dalam dada. Ingin mengeluarkannya tapi tak bisa, hanya akan semakin menyakitkan, dan memperkeruh suasana.

"Maaf, Bu." Aku menundukkan kepala menyembunyikan segala rasa. Senyuman di bibir Iren seakan memancing amarah, tapi sekuat hati kutahan agar tak keluar.

"Maaf! Maaf aja yang kamu tau! Kapan sih, kamu itu berguna sedikit aja! Dasar benalu, nggak tau diri!" Ya Tuhan ... Sakit sekali.

Aku menelan cairan dalam mulut yang terasa pahit. Hati mengutuk ucapan Ibu suamiku itu barusan. Ingin rasanya menyumpahi, dan berteriak memaki perempuan yang telah bertaruh nyawa melahirkan ayah dari anakku itu.  Maafkan aku Tuhan ... kerana mengutuk perbuatan Ibu. Aku ini hanyalah manusia biasa, yang punya hati dan perasaan. 

Aku menantunya di sini, Ibu dari cucunya. Darah dan dagingnya, mengalir dalam tubuh putriku, tapi kenapa ia tega sekali. Menjatuhkan harga diriku di depan orang lain. Bukankah dia wajib menjaga martabat menantunya.

"Cepat bersihkan lagi! Dasar lelet!" bentaknya lagi seraya berlalu menggandeng tangan Iren berlalu. 

Kubersihkan seisi ruangan dengan perasaan marah dan kecewa. Tetes-tetes bening berlomba keluar dari tempurungnya. Untung ini terjadi tidak di depan Zulfa, anakku. Jika tidak, hati gadis kecilku itu pasti hancur sekali! Allahu Rabbi.

Setelah membereskan kamar yang akan di tempati tamu agung Ibu, aku menyeret langkah kaki pelan ke luar dari kamar. Di ambang pintu, mataku terpaku pada dua sosok wanita berbeda usia, sedang duduk bercanda di depan TV.

"Mas Hasan yang jadi pimpinan perusahaan sekarang, Bu," Telingaku menangkap suara manja Iren. Wanita itu duduk di samping Ibu, terlihat sekali keakraban antara mereka berdua.

"Iya, Sayang! Makanya Hasan sekarang sibuk," ucap Ibu mertua. Tangannya mengelus tangan Iren yang di letakkan di antara kedua tangan ibu. Aku cemburu melihat kedekatan mereka. Seandainya saja, aku bisa menjadi Iren. Beruntung sekali wanita itu. Bukan siapa-siapa namun mendapatkan perlakuan istimewa.

"Mas Hasan pulang jam berapa Bu?" Lagi-lagi kudengar suara manja Iren menanyakan suamiku. Matanya melirik jam yang tergantung di dinding.

"Ya, jam pulang kantor dong Sayang," balas Ibu lembut

"Berarti sebentar lagi dong!" seru Iren antusias. Wajahnya terlihat sumringah.  Ibu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum manis pada Iren.

Hatiku bagai di remas-remas melihat wajah sumringah Iren. Hatiku sakit, ada wanita lain yang menanti kepulangan suamiku. Aku yang istrinya saja tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menyambut suami pulang kerja. Sering kali aku melakukannya, namun suamiku itu cuek menganggapku tak ada. Aku melakukannya berulang kali, berharap suamiku akan melihatku dan tersenyum melepas lelah. Namun semua sia-sia, sejauh mana aku mencoba, tapi suamiku selalu saja bersikap dingin. Bahkan melirik pun tidak pernah. Hingga aku berhenti melakukannya dan tak berharap lagi.

Tanpa terasa air mata menetes dari pelupuk mata. Ku usap pelan pipi dengan telapak tangan. Wahai hati, tangguhlah! Jangan cengeng! Aku mencoba merayu hati, membujuknya agar tangguh seperti baja.

"Hei, Mila ... malah bengong di situ. Cepat bikinin Iren minum! Kamu mau minum apa sayang?" bentak ibu padaku, lalu bertanya lembut pada Iren.

Dengan rasa sakit yang sangat dalam, kuseret kaki menuju dapur. Ingin rasanya mencaci, bahkan mencakar wajah Iren, saat wanita itu tersenyum seakan mengejek, tapi apalah dayaku. Kesalahan pasti akan di limpahkan semuanya padaku andai aku melakukan itu, dan itu akan membuat tamu tak berakhlak itu merasa menang.

Entah apa yang membawa Iren kemari. Namun firasatku mengatakan, jika perempuan itu punya niat jahat.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Sabar ,main cantik aja ....tahan sedikit geram dan sakit hati nya ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status