Berada di toko adalah dunia menyenangkan bagiku. Bermain dengan adonan, adalah sesuatu yang sangat ku gemari. Berawal dari rasa suka, hingga akhirnya terciptalah toko ini. Alhamdulillah. Menciptakan bermacam-macam kue dan roti tidak hanya butuh keahlian, tapi kita harus mencintainya dulu, baru bisa memberikan hasil yang sempurna. Bagiku membuat kue atau roti bukan hanya profesi tetapi juga sebuah hobi."Bu, ini bisa di oven sekarang? tanya Ningsi. Kuamati roti sobek yang berada di dalam pengembang. "Kayaknya sudah bisa, Ning. Sudah kembang itu," balasku seraya tangan menari bersama adonan. Hari ini kami hurus berkerja ektra, karena banyak pesanan untuk besok. Berkerja dalam canda sungguh membuat waktu cepat berputar, hingga tak terasa hari sudah menjelang sore. Kulirik jam yang tergantung di dinding. Sudah jam empat sore, sudah waktunya aku dan Zulfa pulang. Karena jika terlambat, pasti Ibu akan mengomel panjang. Untuk saat ini, aku tidak mau membuat Ibu marah, karena wanita yang
Setelah melaksanakan sholat isya', aku mengajak Zulfa ke luar kamar untuk makan malam. Sedari tadi, anakku itu sudah mengadu lapar, tapi sudah kebiasaan kami makan setelah sholat isya'."Bunda, Zulfa lapar," ucap putriku memegangi perutnya."Sabar ya, Nak. Bentar lagi isya'. Habis sholat baru kita makan." Ku elus rambut panjang Zulfa. Bukannya tak mau mengajaknya sekarang, tapi saat ini pasti Ibu dan Mas Hasan lagi makan malam, bahkan, mungkin Iren bersama mereka di sana. Daripada terjadi hal yang tidak enak, apalagi saat ini ada orang lain di rumah, lebih baik aku mengalah. Memang seperti ini juga 'kan sebelumnya."Yuk! Sayang, kita makan. Katanya lapar," ajakku pada Zulfa setelah melipat sejadah dan mukenah. Putriku hanya mengangguk tanpa suara. Aku dan Zulfa menuju meja makan setelah menutup pintu. Di meja makan sudah tidak ada siapapun, tapi jejak makan mereka masih tertinggal di sana. Kutarik kursi dan menyuruh Zulfa duduk, lalu melangkah ke wastafel, mataku melirik tumpukan pir
Setelah kejadian malam itu, sikap Iren semakin menjadi-jadi. Kerana mendapat pembelaan dari Ibu, wanita itu merasa seperti di atas angin. Bersikap seenaknya saja, tak seperti tamu, tapi pemilik rumah. Sebenarnya, aku sudah muak dengan semua tingkahnya, tapi masih kutahan. Wanita itu pasti dibela Ibu, jika kami berselisih. Jadi menghindar adalah opsi terbaik saat ini. Bak kata pepatah, mengalah untuk menang. Jam empat subuh aku terbangun dari tidur. Melirik ke samping, hatiku pilu mendapati hanya tidur sendiri di sini. Namun itu sudah biasa bagiku. Bukan sekali ini saja Mas Hasan tidak tidur di sini. Laki-laki itu bahkan memiliki kamar pribadinya sendiri. Hanya sesekali saja, jika dia mau berhubungan barulah akan tidur di kamar ini bersamaku. Sesuka hati, jika ingin maka pria itu akan datang, jika tidak, ya ... beginilah. Baju dan barang pribadinya juga hanya sedikit yang di simpan di kamar ini.Namun sejak kedatangan Iren, Mas Hasan tidak lagi pernah masuk ke kamar ini. Dia bah
"Ngapain kalian di sini! Nguping?" Aku tersentak mendengar bentakan Ibu. Kelamaan bengong membuatku tak menyadari jika pintu sudah terbuka lebar."Ng–nggak kok, Bu. Mila sama Zulfa mau pamit ke toko," ucapku tergagap. Degup jantung belum juga reda akibat kaget karena bentakan Ibu."Ya sudah, sana pergi." Ibu mengibaskan tangannya. "Zulfa pergi dulu ya, Nek," pamit Zulfa mengulurkan tangannya. Namun Ibu hanya menatap tangan kecil putriku tanpa berniat menyambut. Kutelan cairan dalam mulut. Meski seringkali mendapat perlakuan seperti ini, tapi anakku tak pernah berhenti untuk mencoba. Berharap, suatu saat nanti, hati neneknya akan luluh."Hem." Ibu hanya berdeham, tanpa menatap putriku."Kasian kamu, Nak," batinku berteriak. Sakit! Perih! Ya Allah anakku.Kepalaku terangkat menatap Ibu dan juga Iren. Jika dilihat dari pakaian mereka yang sudah rapi, sepertinya kedua wanita beda usia itu mau keluar. Keduanya nampak serasi, seperti Ibu dan anak. Hatiku lagi-lagi berandai-andai. Seandain
Tanpa canggung Iren menggandeng mesra tangan Mas Hasan. Sepertinya sudah biasa mereka melakukan itu, terlihat dari cara mereka melakukannya. "Kok, ada Nenek sama Tante Iren juga, Bun?" tanya Zulfa. Putriku itu menatap Ayahnya dari kejauhan dengan tatapan yang ... entahlah. Mungkin itu adalah tatapan iri, atau bahkan tatapan kecewa. Selama ini, gadis kecilku itu tak pernah mendapatkan haknya. Jalan bersama Ayahnya, seperti yang sedang ia saksikan di depan mata sekarang. Aku mengambil ponsel tanpa menjawab pertanyaan Zulfa. Tangan ini lincah memainkan benda persegi empat di tangan. Memotret, siapa tau bisa berguna suatu saat nanti. "Ayo bunda." Zulfa menarik tanganku, mendekat pada Mas Hasan. Tubuh serasa melayang mendapat perlakuan spontan dari anakku."Ayah," panggil Zulfa setelah berada tepat di belakang Ayahnya. Mas Hasan kaget setelah membalikkan badannya. Pria itu langsung melepas gandengan tangan Iren. Wajahnya menegang ketika mata kami saling bertemu. Kulihat Iren cembe
Hatiku hancur mendengar suara pria yang bersama Iren di dalam sana. Sungguh tidak menyangka, laki-laki yang mengucap janji di depan Allah dan Ayahku itu tidak punya harga diri sama sekali. Pria beristri masuk ke kamar tamu ibunya, apakah masih punya harga diri?Aku tidak menyangka Mas Hasan berani berbuat seperti ini. Berduan dengan wanita yang tidak halal baginya. Pria dna wanita dewasa berduan di dalam ruang tertutup, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Astagfirullah! Aku mengusap dadaku yang terasa sesek. Apa yang Mas Hasan lakukan di kamar Iren? Apa tadi, dia panggil Iren? Sayang? Siapa sebenarnya Iren ini? Bermacam pertanyaan menyinggahi pikiranku. Terbesit pikiran kotor, jangan-jangan di dalam sana mereka melakukan? Astagfirullah, aku beristigfar berulangkali untuk menenangkan hati."Hehehe ... Mas geli. Kamu ini, aku mau terkencing. Lepas!" Kutarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan. Mengaturnya emosi agar akal tetap waras. Mengumpulkan kesadaran agar tidak bertidak
Tak terasa air mata jatuh tanpa bisa di ku cegah lagi. Aku bisa terlihat kuat dan bersikap biasa saja di hadapan Ibu dan Mas Hasan, tapi sebenarnya aku sangat rapuh dan terpuruk. Hampir enam tahun menikah, walaupun pernikahan tanpa di dasari cinta, tapi bohong jika aku bilang tidak mencintai suamiku. Tanpa bisa di cegah, cinta itu tumbuh dan semakin mekar menguasai hati semenjak kehadiran Zulfa. Namun tidak dengan Mas Hasan. Kehadiran putriku pun tidak dapat mencairkan bongkahan es yang membekukan hati pria yang menghalalkanku di depan Ayah dan juga Tuhan itu. Dan sekarang, dia menambah daftar perbuatannya yang membuatku sakit dengan menghadirkan Iren di antara kami. Meskipun aku tidak tahu siapa Iren, dan apa hubungan mereka, tapi panggilan Sayangnya tadi, bisa kupastikan ada hubungan manis antara meraka berdua. "Aku bisa terima dengan semua perlakuanmu selama ini, Mas. Aku mohon jangan berkhianat. Karena, aku tidak bisa menerimanya. Aku bisa memaafkan apapun kecuali pengkhiana
Pikiran berkelana pada kejadian tadi siang di mall, dan percakapan antara Iren dan Mas Hasan. Apa maksud Iren berterus terang padaku. Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka berdua. Sejak kapan mereka saling mengenal, kenapa terlihat begitu akrab sekali."Nanti dulu, apa seharian ini Mas Hasan tidak ke kantor." Aku mengingat sesuatu. Tidak biasanya pria pulang awal sebelum jam kerja berakhir. "Apa seharian ini Mas Hasan di rumah," batinku. Kugelengkan kepala mengusir rasa curiga, tapi rasa itu tetap memaksa masuk.Kejadian sewaktu aku melihat Mas Hasan keluar dari kamar Iren, dan kejadian di mall tadi, mengganggu pikiran. Seperti film berputar silih berganti di kelopak mata. Aku butuh penjelasan, ingin bertanya tapi takut malah akan memicu pertengkaran. Selain hanya curiga, aku juga belum punya bukti yang kuat tentang apa hubungan mereka. Bisa-bisa nanti malah kesalahan berbalik menyerangku. Mas Hasan bisa saja berkelit, dengan alasan di suruh Ibu. Apalagi sikap Ibu yang terlalu