Share

Bab 2 Virus Cinta

Seperti biasa setelah sholat subuh, aku bergegas ke dapur menyiapkan sarapan, lalu mengerjakan pekerjaan rumah layaknya pembantu.

Setelah selesai memasak dan menatanya di meja makan, aku membersihkan peralatan masak lalu memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Begitulah yang setiap hari aku lakukan. Namun aku melakukannya dengan ikhlas, dengan niat ibadah. Meskipun tak pernah dianggap begitu.

Jarum jam menunjukankan angka kurang sepuluh menit jam tujuh pagi. Sedang asyik berkutat dengan sapu, menyapu halaman depan, teriakkan lantang Ibu membuat jantungku berdegup dua kali lebih cepat, aku kaget. Dengan langkah tertatih kuhampiri meja makan yang sudah duduk dua orang wanita berbeda usia layaknya nyonya besar yang minta di layani.

"Iya Bu, ada apa?" tanyaku basa–basi, padahal aku sudah tau kenapa ibu mertua memanggilku. Apalagi kalau bukan minta dilayani layaknya ratu.

"Mana sarapannya. Ibu sama Iren sudah lapar," ucap Ibu mertua sinis.

"Itu ... sudah Mila siapin di atas meja, Bu," jawabku pelan, sembari tangan menunjuk makanan di atas meja yang tertutup tudung saji.

Mata Ibu melotot padaku. "Sendokin dong nasinya ke piring," ucapnya dengan nada ketus.

Aku menghembuskan nafas pendek, dan langsung menyendokkan nasi putih ke dalam piring, tanpa menjawab. Jika ditanggapi pasti semakin panjang, dan ujung-ujungnya berakhir dengan caci maki dan pasti akulah yang salah.

"Sudah, Bu. Silahkan ambil, Ibu mau pake apa,"

"Ibu mau pake ayam goreng sama capcay. Sayang, kamu mau pake apa?" ucap Ibu sinis padaku, namun lembut pada Iren. Aku segera mengambil apa yang kedua wanita itu inginkan, tanpa protes. Meskipun hatiku sakit, tapi aku yakin sabar akan melindungi hatiku.

Di rumah Ibu, memang terbiasa sarapan pakai makanan berat. Karena katanya, jika hanya sarapan nasi goreng atau roti, tahannya hanya sebentar, jika makan nasi bisa tahan sampai makan siang.

"Mbak ... aku tuh biasanya minum susu kalau pagi." Dengan sombongnya Iren berucap, spontan aku melirik air putih di depannya. Dasar tamu minim akhlak! Jika saja bisa, ingin rasanya kuolesi sambal, bibir tipisnya yang merah menyala kerana polesan gincu itu. Betul-betul tidak punya sopan santun sebagai tamu.

"Cepat bikinin Iren susu! Habis itu langsung panggil Hasan sarapan." Iren mengangkat kedua sudut bibirnya, menatapku aneh. Merasa menang mungkin.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tamu Ibu yang serasa nyonya itu. Segera berlalu ke dapur, agar tak semakin terpancing emosi.

Saat akan membuatkan Iren susu, tercetus sebuah ide di kepala. Kutarik sebelah ujung bibir. Kayaknya mengerjai Iren tidak terlalu berlebihan, untuk tamu tak berakhlak seperti dia.

"Selamat minum susu, Ren! Kupastikan, kamu akan menikmatinya," ucap hati kecilku. Tentu aku melakukannya secara rapi. Tidak ada yang akan menyangka jika Iren akan terkana virus cinta dariku. Anggap saja ini sebagai ucapan selamat datang.

Kubawa susu yang sudah kuberi virus cinta itu ke meja makan. Saat sampai di pintu pembatas, kulihat Mas Hasan sudah duduk bergabung dengan Ibu dan Iren di sana. Pria itu menyendok makanan ke piringnya sambil melirik Iren dengan senyuman manis. Ketiganya ngobrol sambil sesekali tertawa.

Aku bisa melihat ada yang beda dari cara Mas Hasan memandang Iren. hampir enam tahun menikah belum pernah sekalipun laki-laki itu menatapku seperti itu. Bahkan setelah kehadiran Zulfa putri kami, pria itu tetap bersikap acuh.

"Nih ... susunya, Ren!" Kuletakkan gelas di atas meja, dengan sedikit kasar, dan berlalu menuju kamar Zulfa dengan hati dongkol. Dongkol melihat sikap tamu yang minim akhlak, sok berasa nyonya. Dongkol dengan lirikan Mas Hasan yang seharusnya untuk, tapi dia berikan pada Iren. Semua bercampur di dalam dada.

"Eh ... pelan-pelan, Mila! Kamu itu ya, benar-benar tidak punya sopan sama tamu." Ucapan Ibu menghentikan langkahku yang hampir sampai ke kamar Zulfa. Kubalikkan badan menghadap kembali ke meja makan.

"Maaf, Bu."

"Maaf, maaf! Minta maaf sama Iren," bentak ibu dengan tatapan tajam.

Kutelan amarah. "Maaf, Ren," ucapku dengan gigi bertaut. Iren mengangkat kedua bahunya. Mataku melirik Mas Hasan, pria itu hanya diam tanpa membelaku. Ah ... tinggi sekali anganku ini, mana mungkin laki-laki itu mau membelaku, bahkan mengalihkan pandanganya saja seperti enggan. Dia asyik dengan suapan ke mulutnya saja.

"Lihat tuh, San. Memang nggak punya sopan santu istri kamu itu." Mas Hasan menatapku sejenak, lalu kembali menatap piring tanpa suara.

Hurf!

Betul-betul melelahkan. Tak apalah ... di saat aku tak sanggup lagi bertahan, maka aku akan pergi.

"Maaf, Bu. Permisi." Ku teruskan langkah kaki yang sempat terhenti, meninggalkan ketiganya menikmati sarapan. Bertemu Zulfa lebih baik daripada tetap di sini, melihat mereka yang bak sebuah keluarga.

"Assalamu'alaikum, Cantik," salamku saat masuk sempurna ke dalam kamar dan menutup pintu kembali.

"Waalaikumsalam, Bunda," jawab Zulfa dengan suara khas anak baru bangun tidur.

"Sudah bangun, Sayang. Ayo ... mandi dulu," ucapku seraya melangkah mendekati tempati tidur. Tadi Zulfa sudah bangun sholat subuh, tapi gadisku itu tidur lagi setelah sholat. Masih ngantuk katanya.

"Bentar bunda." Gadis kecilku itu menguap sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Meskipun hadirku tidak terlihat oleh Mas Hasan, suamiku, tapi Zulfa adalah pemberian terbaik dari pria itu selama pernikahan kami.

Semua rasa bisa terobati dengan bersama Zulfa. Putriku itu, bak malaikat putih tak bersayap yang di kirim Tuhan untuk jadi teman hidupku.

Bersamanya, semua hal terasa indah. Gadisku itu ibarat sahabat yang selalu mengerti diri ini.

"Ayo, Bunda ... katanya mandi," ucap Zulfa manja, seraya merentangkan kedua tangannya.

"Ayo, Sayang." Ku sambut uluran tangannya, lalu menggendong dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Untunglah di rumah ini, masing-masing kamar memiliki kamar mandi sendiri. Jadi, aku bisa menghindar dari bertemu dan melihat apa yang terjadi di luar sana.

Selesai memandikan Zulfa, aku memakaikan putriku baju. Anakku terlihat cantik dengan gamis merah mudah yang melekat di tubuh kecilnya. Sedari kecil, ku biasakan putriku memakai gamis, agar dia mengenal pakaiannya sejak dini. Jadi, jika sudah dewasa, dia sudah terbiasa menutup apa yang tidak layak ditatap oleh yang bukan muhrimnya.

"Wah, anak bunda sudah cantik. Ayo, kita sarapan dulu, baru berangkat ke toko." Ku ajak anakku sarapan sebelum ke toko roti.

Aku memang memiliki toko roti yang ku rintis empat tahun lalu, dengan modal tabunganku sewaktu masih gadis, tapi Ibu dan Mas Hasan taunya aku berkerja di sana. Bukan pemilik toko. Biarlah ... biar mereka taunya begitu. Toh cerita juga tidak ada gunanya. Mereka tidak pernah bertanya dan mungkin tidak mau tahu.

"Ayo, Bunda." Aku dan Zulfa keluar dari kamar menunju meja makan dengan bergandengan tangan. Begitulah aku dan Zulfa, sangat mesra sekali. Hubungan batin antara kami sangat lekat, saling membutuhkan. Berbanding terbalik dengan Mas Hasan. Pria itu tak pernah mau mendekatkan diri dengan putrinya, meskipun Zulfa selalu mencoba, tapi selalu saja dicuekin.

Meja makan sudah sepi, entah kemana ketiga orang itu pergi. Mas Hasan mungkin sudah berangkat ke kantor. Kedua wanita beda usia itu entah kemana.

"Kita makan dulu ya, Sayang. Zulfa mau makan pake apa?" tanyaku seraya menarik kursi untuk Zulfa duduk. Anakku itu menjatuhkan badannya di atas kursi meja makan.

"Ufa makan pakai ayam goreng aja, Bunda," ucap Zulfa. Jari kecilnya menunjuk ayam goreng di atas meja. Kuambil sepotong ayam goreng ke piring, lalu mulai menyuapi Zulfa. Sesekali aku menyuapi diriku sendiri.

Setelah selesai makan, aku membawa piring bekas ku dan Zulfa makan ke wastafel, lalu mencucinya. Di dalam wastafel, piring bekas Mas Hasan, dan Ibu mertua serta tamunya sudah bertumpuk.

Kucuci semua piring yang bertumpuk di wastafel dan menyusunnya di atas rak piring. Jika tidak aku melakukan sekarang, pasti saat kembali dari toko nanti sore, piring-piring ini masih tetap di dalam wastafel. Menungguku untuk membersihkannya. Kerana memang, akulah yang selalu mencuci dan mengerjakan semua pekerjaan rumah.

"Ayo, Sayang." Kuangkat tubuh kecil Zulfa dari atas kursi dan menurunkannya ke lantai. "Ayo, kita ke toko sekarang, Nak," ucapku setelah putriku berdiri sempurna. Gadis kecilku itu menganggukkan kepalanya.

Aku mengambil tasku dan Zulfa di atas meja, memakaikan tas ke bahunya, lalu menggandeng tangan anakku menuntunnya ke luar.

"Salim sama Nenek, Sayang," suruhku pada Zulfa, saat sampai di ruang tamu. Ternyata Ibu dan Iren sedang duduk sambil mengobrol di sana. Dengan ragu Zulfa menyeret kakinya mendekati kedua wanita itu.

"Nek, salim," ucap Zulfa seraya mengulurkan tangannya. Dengan ogah-ogahan, Ibu dari suamiku itu mengulurkan tangannya pada Zulfa. Tanpa menoleh, dan terus saja bicara dengan Iren.

"Ibu, Mila berangkat dulu. Assalamu'alaikum," ucapku tapi tak mengulurkan tangan untuk menyalami Ibu. Percuma, seringkali aku melakukan itu, tapi Ibu tak pernah mau menanggapi, selalu saja bersikap cuek.

"Hem," jawabnya tapi tetap tak mengalihkan pandangan dari Iren. Hatiku rasanya gerimis, mendapat perlakuan seperti itu. Meski dulu Ibu sering melakukannya, tapi rasa yang sekarang berbeda karena Ibu melakukannya di depan orang lain. Terlebih itu adalah wanita yang sepertinya menyukai Mas Hasan, suamiku.

Kulangkahkan kaki menuju pintu utama dengan menggandeng tangan Zulfa. Sesekali putri kecilku itu menoleh pada neneknya. Mungkin ia bertanya-tanya dalam hati. Kenapa neneknya bisa sedekat itu dengan orang asing, sementara dia dan Ibunya selalu diabaikan. Entahlah.

"Sayang, ayo." Ku ajak Zulfa saat melihat ojek online pesananku sudah di depan pagar.

"Bunda, Tante tadi itu siapa? Kenapa nginap di rumah kita? Nenek juga kayaknya sayang sama Tante itu." Aku menatap pilu anakku. Raut wajahnya penuh tanda–tanya.

"Tante itu tamunya Nenek. Dia tinggal di rumah kita sementara waktu kok, Sayang. Tantenya lagi ada musibah, dan tentu Nenek harus baik sama Tante itu. 'Kan kita harus baik pada tamu," ucapku seraya mengelus kepala Zulfa yang tertutup jilbab instan.

"Tapi, kenapa kalau sama Bunda, Nenek selalu teriak marah-marah." Pertanyaan Zulfa, membuat segumpal daging di dalam dada, bagai di siram air garam. Perih! Namum berusaha kutahan.

"Nggak, Sayang. Nenek nggak marah-marah kok sama Bunda. Nenek hanya kasih tau, suara Nenek 'kan memang kencang, jadi Zulfa harus ngerti ya. Ya, sudah ngobrolnya nanti di sambung di toko lagi ya.

Kang ojek perlahan menjalankan motornya membelah jalanan menuju toko. Di dalam perjalanan hati berperang dengan pikiran. Hati merasakan sakit yang teramat dalam, namun pikiran berkata baik-baik saja.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
cerita nya kog ngawur ini, masa selalu perempuan dibuat bodoh dan bego ... rasanya hal mustahil
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status