Share

Bab 2 Virus Cinta

Author: Fatmah Ain
last update Last Updated: 2022-06-26 06:43:14

Seperti biasa setelah sholat subuh, aku bergegas ke dapur menyiapkan sarapan, lalu mengerjakan pekerjaan rumah layaknya pembantu.

Setelah selesai memasak dan menatanya di meja makan, aku membersihkan peralatan masak lalu memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Begitulah yang setiap hari aku lakukan. Namun aku melakukannya dengan ikhlas, dengan niat ibadah. Meskipun tak pernah dianggap begitu.

Jarum jam menunjukankan angka kurang sepuluh menit jam tujuh pagi. Sedang asyik berkutat dengan sapu, menyapu halaman depan, teriakkan lantang Ibu membuat jantungku berdegup dua kali lebih cepat, aku kaget. Dengan langkah tertatih kuhampiri meja makan yang sudah duduk dua orang wanita berbeda usia layaknya nyonya besar yang minta di layani.

"Iya Bu, ada apa?" tanyaku basa–basi, padahal aku sudah tau kenapa ibu mertua memanggilku. Apalagi kalau bukan minta dilayani layaknya ratu.

"Mana sarapannya. Ibu sama Iren sudah lapar," ucap Ibu mertua sinis.

"Itu ... sudah Mila siapin di atas meja, Bu," jawabku pelan, sembari tangan menunjuk makanan di atas meja yang tertutup tudung saji.

Mata Ibu melotot padaku. "Sendokin dong nasinya ke piring," ucapnya dengan nada ketus.

Aku menghembuskan nafas pendek, dan langsung menyendokkan nasi putih ke dalam piring, tanpa menjawab. Jika ditanggapi pasti semakin panjang, dan ujung-ujungnya berakhir dengan caci maki dan pasti akulah yang salah.

"Sudah, Bu. Silahkan ambil, Ibu mau pake apa,"

"Ibu mau pake ayam goreng sama capcay. Sayang, kamu mau pake apa?" ucap Ibu sinis padaku, namun lembut pada Iren. Aku segera mengambil apa yang kedua wanita itu inginkan, tanpa protes. Meskipun hatiku sakit, tapi aku yakin sabar akan melindungi hatiku.

Di rumah Ibu, memang terbiasa sarapan pakai makanan berat. Karena katanya, jika hanya sarapan nasi goreng atau roti, tahannya hanya sebentar, jika makan nasi bisa tahan sampai makan siang.

"Mbak ... aku tuh biasanya minum susu kalau pagi." Dengan sombongnya Iren berucap, spontan aku melirik air putih di depannya. Dasar tamu minim akhlak! Jika saja bisa, ingin rasanya kuolesi sambal, bibir tipisnya yang merah menyala kerana polesan gincu itu. Betul-betul tidak punya sopan santun sebagai tamu.

"Cepat bikinin Iren susu! Habis itu langsung panggil Hasan sarapan." Iren mengangkat kedua sudut bibirnya, menatapku aneh. Merasa menang mungkin.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tamu Ibu yang serasa nyonya itu. Segera berlalu ke dapur, agar tak semakin terpancing emosi.

Saat akan membuatkan Iren susu, tercetus sebuah ide di kepala. Kutarik sebelah ujung bibir. Kayaknya mengerjai Iren tidak terlalu berlebihan, untuk tamu tak berakhlak seperti dia.

"Selamat minum susu, Ren! Kupastikan, kamu akan menikmatinya," ucap hati kecilku. Tentu aku melakukannya secara rapi. Tidak ada yang akan menyangka jika Iren akan terkana virus cinta dariku. Anggap saja ini sebagai ucapan selamat datang.

Kubawa susu yang sudah kuberi virus cinta itu ke meja makan. Saat sampai di pintu pembatas, kulihat Mas Hasan sudah duduk bergabung dengan Ibu dan Iren di sana. Pria itu menyendok makanan ke piringnya sambil melirik Iren dengan senyuman manis. Ketiganya ngobrol sambil sesekali tertawa.

Aku bisa melihat ada yang beda dari cara Mas Hasan memandang Iren. hampir enam tahun menikah belum pernah sekalipun laki-laki itu menatapku seperti itu. Bahkan setelah kehadiran Zulfa putri kami, pria itu tetap bersikap acuh.

"Nih ... susunya, Ren!" Kuletakkan gelas di atas meja, dengan sedikit kasar, dan berlalu menuju kamar Zulfa dengan hati dongkol. Dongkol melihat sikap tamu yang minim akhlak, sok berasa nyonya. Dongkol dengan lirikan Mas Hasan yang seharusnya untuk, tapi dia berikan pada Iren. Semua bercampur di dalam dada.

"Eh ... pelan-pelan, Mila! Kamu itu ya, benar-benar tidak punya sopan sama tamu." Ucapan Ibu menghentikan langkahku yang hampir sampai ke kamar Zulfa. Kubalikkan badan menghadap kembali ke meja makan.

"Maaf, Bu."

"Maaf, maaf! Minta maaf sama Iren," bentak ibu dengan tatapan tajam.

Kutelan amarah. "Maaf, Ren," ucapku dengan gigi bertaut. Iren mengangkat kedua bahunya. Mataku melirik Mas Hasan, pria itu hanya diam tanpa membelaku. Ah ... tinggi sekali anganku ini, mana mungkin laki-laki itu mau membelaku, bahkan mengalihkan pandanganya saja seperti enggan. Dia asyik dengan suapan ke mulutnya saja.

"Lihat tuh, San. Memang nggak punya sopan santu istri kamu itu." Mas Hasan menatapku sejenak, lalu kembali menatap piring tanpa suara.

Hurf!

Betul-betul melelahkan. Tak apalah ... di saat aku tak sanggup lagi bertahan, maka aku akan pergi.

"Maaf, Bu. Permisi." Ku teruskan langkah kaki yang sempat terhenti, meninggalkan ketiganya menikmati sarapan. Bertemu Zulfa lebih baik daripada tetap di sini, melihat mereka yang bak sebuah keluarga.

"Assalamu'alaikum, Cantik," salamku saat masuk sempurna ke dalam kamar dan menutup pintu kembali.

"Waalaikumsalam, Bunda," jawab Zulfa dengan suara khas anak baru bangun tidur.

"Sudah bangun, Sayang. Ayo ... mandi dulu," ucapku seraya melangkah mendekati tempati tidur. Tadi Zulfa sudah bangun sholat subuh, tapi gadisku itu tidur lagi setelah sholat. Masih ngantuk katanya.

"Bentar bunda." Gadis kecilku itu menguap sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Meskipun hadirku tidak terlihat oleh Mas Hasan, suamiku, tapi Zulfa adalah pemberian terbaik dari pria itu selama pernikahan kami.

Semua rasa bisa terobati dengan bersama Zulfa. Putriku itu, bak malaikat putih tak bersayap yang di kirim Tuhan untuk jadi teman hidupku.

Bersamanya, semua hal terasa indah. Gadisku itu ibarat sahabat yang selalu mengerti diri ini.

"Ayo, Bunda ... katanya mandi," ucap Zulfa manja, seraya merentangkan kedua tangannya.

"Ayo, Sayang." Ku sambut uluran tangannya, lalu menggendong dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Untunglah di rumah ini, masing-masing kamar memiliki kamar mandi sendiri. Jadi, aku bisa menghindar dari bertemu dan melihat apa yang terjadi di luar sana.

Selesai memandikan Zulfa, aku memakaikan putriku baju. Anakku terlihat cantik dengan gamis merah mudah yang melekat di tubuh kecilnya. Sedari kecil, ku biasakan putriku memakai gamis, agar dia mengenal pakaiannya sejak dini. Jadi, jika sudah dewasa, dia sudah terbiasa menutup apa yang tidak layak ditatap oleh yang bukan muhrimnya.

"Wah, anak bunda sudah cantik. Ayo, kita sarapan dulu, baru berangkat ke toko." Ku ajak anakku sarapan sebelum ke toko roti.

Aku memang memiliki toko roti yang ku rintis empat tahun lalu, dengan modal tabunganku sewaktu masih gadis, tapi Ibu dan Mas Hasan taunya aku berkerja di sana. Bukan pemilik toko. Biarlah ... biar mereka taunya begitu. Toh cerita juga tidak ada gunanya. Mereka tidak pernah bertanya dan mungkin tidak mau tahu.

"Ayo, Bunda." Aku dan Zulfa keluar dari kamar menunju meja makan dengan bergandengan tangan. Begitulah aku dan Zulfa, sangat mesra sekali. Hubungan batin antara kami sangat lekat, saling membutuhkan. Berbanding terbalik dengan Mas Hasan. Pria itu tak pernah mau mendekatkan diri dengan putrinya, meskipun Zulfa selalu mencoba, tapi selalu saja dicuekin.

Meja makan sudah sepi, entah kemana ketiga orang itu pergi. Mas Hasan mungkin sudah berangkat ke kantor. Kedua wanita beda usia itu entah kemana.

"Kita makan dulu ya, Sayang. Zulfa mau makan pake apa?" tanyaku seraya menarik kursi untuk Zulfa duduk. Anakku itu menjatuhkan badannya di atas kursi meja makan.

"Ufa makan pakai ayam goreng aja, Bunda," ucap Zulfa. Jari kecilnya menunjuk ayam goreng di atas meja. Kuambil sepotong ayam goreng ke piring, lalu mulai menyuapi Zulfa. Sesekali aku menyuapi diriku sendiri.

Setelah selesai makan, aku membawa piring bekas ku dan Zulfa makan ke wastafel, lalu mencucinya. Di dalam wastafel, piring bekas Mas Hasan, dan Ibu mertua serta tamunya sudah bertumpuk.

Kucuci semua piring yang bertumpuk di wastafel dan menyusunnya di atas rak piring. Jika tidak aku melakukan sekarang, pasti saat kembali dari toko nanti sore, piring-piring ini masih tetap di dalam wastafel. Menungguku untuk membersihkannya. Kerana memang, akulah yang selalu mencuci dan mengerjakan semua pekerjaan rumah.

"Ayo, Sayang." Kuangkat tubuh kecil Zulfa dari atas kursi dan menurunkannya ke lantai. "Ayo, kita ke toko sekarang, Nak," ucapku setelah putriku berdiri sempurna. Gadis kecilku itu menganggukkan kepalanya.

Aku mengambil tasku dan Zulfa di atas meja, memakaikan tas ke bahunya, lalu menggandeng tangan anakku menuntunnya ke luar.

"Salim sama Nenek, Sayang," suruhku pada Zulfa, saat sampai di ruang tamu. Ternyata Ibu dan Iren sedang duduk sambil mengobrol di sana. Dengan ragu Zulfa menyeret kakinya mendekati kedua wanita itu.

"Nek, salim," ucap Zulfa seraya mengulurkan tangannya. Dengan ogah-ogahan, Ibu dari suamiku itu mengulurkan tangannya pada Zulfa. Tanpa menoleh, dan terus saja bicara dengan Iren.

"Ibu, Mila berangkat dulu. Assalamu'alaikum," ucapku tapi tak mengulurkan tangan untuk menyalami Ibu. Percuma, seringkali aku melakukan itu, tapi Ibu tak pernah mau menanggapi, selalu saja bersikap cuek.

"Hem," jawabnya tapi tetap tak mengalihkan pandangan dari Iren. Hatiku rasanya gerimis, mendapat perlakuan seperti itu. Meski dulu Ibu sering melakukannya, tapi rasa yang sekarang berbeda karena Ibu melakukannya di depan orang lain. Terlebih itu adalah wanita yang sepertinya menyukai Mas Hasan, suamiku.

Kulangkahkan kaki menuju pintu utama dengan menggandeng tangan Zulfa. Sesekali putri kecilku itu menoleh pada neneknya. Mungkin ia bertanya-tanya dalam hati. Kenapa neneknya bisa sedekat itu dengan orang asing, sementara dia dan Ibunya selalu diabaikan. Entahlah.

"Sayang, ayo." Ku ajak Zulfa saat melihat ojek online pesananku sudah di depan pagar.

"Bunda, Tante tadi itu siapa? Kenapa nginap di rumah kita? Nenek juga kayaknya sayang sama Tante itu." Aku menatap pilu anakku. Raut wajahnya penuh tanda–tanya.

"Tante itu tamunya Nenek. Dia tinggal di rumah kita sementara waktu kok, Sayang. Tantenya lagi ada musibah, dan tentu Nenek harus baik sama Tante itu. 'Kan kita harus baik pada tamu," ucapku seraya mengelus kepala Zulfa yang tertutup jilbab instan.

"Tapi, kenapa kalau sama Bunda, Nenek selalu teriak marah-marah." Pertanyaan Zulfa, membuat segumpal daging di dalam dada, bagai di siram air garam. Perih! Namum berusaha kutahan.

"Nggak, Sayang. Nenek nggak marah-marah kok sama Bunda. Nenek hanya kasih tau, suara Nenek 'kan memang kencang, jadi Zulfa harus ngerti ya. Ya, sudah ngobrolnya nanti di sambung di toko lagi ya.

Kang ojek perlahan menjalankan motornya membelah jalanan menuju toko. Di dalam perjalanan hati berperang dengan pikiran. Hati merasakan sakit yang teramat dalam, namun pikiran berkata baik-baik saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
cerita nya kog ngawur ini, masa selalu perempuan dibuat bodoh dan bego ... rasanya hal mustahil
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 89 Tingkah Aneh Pak Reva

    Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 88 Meminta Bantuan Maya

    Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 87 Wanita Dari Masa Lalu

    "Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 86 What! Aku Harus Tinggal Di sini?

    Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 85 Membungkam Mulut Iren

    "Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 84 Akan Kuambil Kembali Semuanya

    "Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status