LOGINSontak saja wajah Bara dan Indira memucat, usai mereka mendengar suara yang ada di depan pintu.
Mereka lebih terkejut lagi saat melihat seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan tersebut dan tiba-tiba wanita itu berada di tengah-tengah mereka. "Apa sudah mulai ada kabar baik, Bar? Apa mantu mamih sudah mengandung?" tanya Mayang seraya menatap ke arah putranya. Dengan tatapan berbinar-binar yang penuh dengan harapan. Bara buru-buru menepis pertanyaan dari Mayang. Sebelum wanita itu kembali berharap akan datangnya seorang cucu darinya dan Bella. "Tidak Mih. Bukan begitu." Kemudian tatapan Mayang tertuju tajam ke arah Indira. Seorang wanita asing yang sedang bersama dengan putranya, di dalam ruangan yang tertutup. "Dan kamu—siapa? Kenapa kamu bisa bersama dengan anak saya di sini?" tanyanya dengan nada yang datar. Sebelum Bara menjawabnya. Indira menjawab lebih dulu pertanyaan dari Mayang. "Sa-saya pembantu baru di rumah ini, Nyonya. Nama saya Indira." "Oh ... jadi kamu pembantu baru yang menggantikan mbok Yeni, ya?" Indira menganggukkan kepalanya. "Lantas kenapa kamu ada di sini? Berduaan sama anak saya lagi?" Mayang tampak curiga. "Mamih jangan salah paham. Aku sama Indira cuma membicarakan masalah pekerjaan. Karena dia pembantu baru di rumah ini." Bara menjelaskannya dengan tenang. Guna menghilangkan kecurigaan ibunya. "Terus tadi ada kata mengandung? Mengandung apa, Bara?" "Aku bilang sama Indira, kalau dia harus memasak, masakan yang mengandung protein, biar sehat gitu, Mih." Mayang tidak bertanya lagi setelahnya. Ia pun menyuruh Indira untuk bekerja dengan baik, jangan sampai membuat Bara menyesal sudah menerima Indira di sini. "Ya sudah. Kamu keluar. Lakukan pekerjaan kamu, atau istirahat sana!" ujar Mayang. "Baik, Nyonya." Indira melirik ke arah Bara sebelum ia pergi dari ruangan ini. Bara juga mengisyaratkan pada Indira, kalau mereka akan bicara lagi nanti. Setelah Indira pergi, hanya tinggal Bara dan mamihnya yang ada di dalam ruangan tersebut. "Ada apa malam-malam mamih datang kemari?" tanya Bara. "Mami ke sini tadinya mau ketemu sama Bella. Tapi kata mbok Tuti ...Bella keluar negeri lagi, ya?" Bara menghela napasnya berat, wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Gimana kalian mau punya anak kalau Bella terus keluar negeri? Dia punya niat punya anak gak sih? Sudah 10 tahun kalian menikah. Apa kalian tidak mau memberikan mamih cucu?" "Usiamu juga sudah mau kepala empat. Orang-orang seumuran kamu sudah punya dua atau tiga anak, Bara!" Omelan dari Mayang memang sudah biasa Bara dengar. Namun, kali ini Bara merasakan hatinya berdenyut sakit. Bukan ia yang tidak mau punya anak dan memberikan ibunya seorang cucu. Tapi Bella, istrinya belum mau hamil dan selalu mengatakan belum siap. Bella takut kalau bentuk tubuhnya akan berubah, takut kalau karirnya akan redup jika ia hamil. "Apa jangan-jangan Bella tidak mau memberikan Mamih, cucu?" Pertanyaan sang ibu sontak saja membuat Bara tercengang. "Bukan begitu ,Mih." "Bener bukan begitu?" tanya Mayang tak percaya. "Bella bukan nggak mau, dia cuma mau menunda saja, Mih." Bara tak tahu harus bicara apalagi untuk meyakinkan ibunya. Ia tau, apa yang dikatakannya terdengar seperti pembelaan. Ia tak mau Bella disalahkan. "Kalau misalkan Bella tidak mau memberikan kamu anak. Lebih baik kamu cari wanita lain saja yang mau mengandung anakmu." Kedua mata Bara memerah, ia pun berkata dengan lantang. "Mih! Aku tidak akan pernah mencari wanita lain!" "Percuma cantik, berpendidikan, terkenal, tapi dia tidak mau menjadi seorang ibu, tidak mau menjadi ibu rumah tangga dan seorang istri yang penurut. Ternyata semua itu tidak cukup." Mayang tampak menunjukkan kekecewaannya kali ini. Ia tidak menutupinya lagi. "Kalau Mamih datang ke sini cuma untuk membicarakan Bella. Lebih baik Mamih pulang!" ujar Bara sambil menahan emosinya agar tidak meledak-ledak. Mayang menghela napasnya gusar. "Mamih ke sini bukan hanya membicarakan Bella. Tapi mamih mau titip Celine sama kamu dan Bella, untuk tinggal di rumah ini sementara waktu." "Celine? Kenapa?" Celine adalah gadis kecil berusia 8 tahun, keponakan Bara dari kakak sepupu Bara. Celine sudah kehilangan ibunya sejak bayi. "Iya. Radit lagi ada urusan bisnis di Amerika. Dia gak bisa bawa Celine ke sana, karena Celine kan sekolah di sini. Jadi Mamih minta sama kamu dan Bella untuk mengurusnya dulu sampai dia kembali." "Bella nggak akan setuju, Mih." Bara mendengus, tak setuju dengan keputusan ibunya. "Mamih yang akan bilang sama Bella, nanti. Lagian sekalian kamu dan Bella latihan belajar ngasuh anak." Keputusan Mayang tak bisa diganggu gugat. Bara tak bisa menolaknya. Namun, ia memikirkan bagaimana reaksi Bella saat pulang nanti? Bella tak suka anak kecil, bahkan secara terang-terangan Bella selalu menyebut kalau anak kecil itu merepotkan, menyebalkan. *** "Wah, hebat banget kakak bisa sulap! Celine mau diajarin juga sama kakak, hehe." Gadis kecil dengan rambut kepang dua itu tampak tersenyum senang sambil bertepuk tangan, setelah melihat aksi sulap sederhana Indira. "Bisa dong. Nanti kakak ajarin sulap ya," jawab Indira sambil tersenyum lembut. Mayang dan Bara melihat mereka saat turun dari lantai dua. Bibir Mayang tersenyum kala melihat senyuman di bibir Celine. "Jarang sekali melihat Celine tersenyum, bahkan tertawa seperti itu." Bara terdiam dan membenarkan ucapan ibunya. Celine, anak itu adalah anak pendiam, tapi usil, namun ia bukan anak ceria seperti anak-anak pada umumnya. Akan tetapi, bersama Indira, gadis kecil itu tertawa. Bahkan, pengasuh yang selama ini mengasuh Celine, tidak tahan dengan sikap Celine yang usil. "Pekerjakan dia sebagai pengasuh Celine saja, Bar. Mamih yakin dia akan cocok." Bara hanya menganggukkan kepalanya, tidak membantah ibunya. Lantas, ibu dan anak itu pun mendekat ke arah Indira dan Celine. Indira buru-buru berdiri dan menundukkan kepalanya. "Tolong jaga cucu saya ya, Indira. Saya percayakan dia sama kamu." "I-iya Nyonya?" Indira terlihat bingung dengan kata-kata Mayang. "Mulai hari ini tugasmu tidak hanya mengurus lantai dua, tapi menjadi pengasuh Celine. Keponakan saya." Bara memperjelas ucapan ibunya. Sehingga Indira langsung mengerti apa tugasnya. Sejak saat itu, Indira menjadi pengasuh Celine sekaligus mengurus lantai dua. Indira juga sudah mengirimkan uang kepada bapaknya intuk biaya operasi ibunya di kampung. Ia merasa berterima kasih pada Bara atas pertolongan lelaki itu. Maka ia pun rela tidak digaji dan melupakan apa yang terjadi malam itu, demi membalas budi pada Bara. "Indira. Celine mana? Apa dia sudah siap?" tanya Bara pada Indira yang sedang membantu Tuti menyiapkan sarapan di atas meja. "Sudah Tuan. Non Celine sudah mandi, berpakaian. Saya akan memanggilnya." "Oke. Suruh dia sarapan." Indira menganggukkan kepalanya dan melangkah pergi ke kamar Celine. Namun, tiba-tiba saja ia merasa kepalanya pusing. "Indira!" Bara melihat Indira hampir jatuh, dengan sigap ia menopang tubuh Indira. Sehingga posisi mereka seperti berpelukan. "Terima kasih Tuan." "DASAR WANITA JALANG KURANG AJAR!" Teriakan itu sontak saja membuat Indira dan Bara tercengang. Bersambung...Langit malam itu tampak suram, redup tanpa bintang. Jalan kampung yang mereka lalui masih becek, air hujan belum benar-benar surut. Bara berjalan di sisi kanan, sementara Andi, remaja berusia enam belas tahun itu, berjalan di kiri sambil menendang-nendang kerikil yang tergenang lumpur. Suara jangkrik bercampur desah angin malam membuat suasana terasa lebih sepi.Andi sesekali menatap Bara dengan ragu, tapi kemudian mulai berbicara. “Pak, maaf ya kalau di rumah tadi agak berantakan. Kami memang nggak punya banyak barang. Kak Indira bilang, rumah kecil tapi hati harus luas.”Bara tersenyum tipis. “Kamu mirip kakakmu kalau bicara.”Andi terkekeh kecil. “Kata Ibu juga begitu, Pak. Tapi Ibu sekarang udah gak ada. Kalau nggak ada Kak Indira, entah gimana nasib kami.”Bara mengerutkan kening. “Hem, ibu kalian sakit-sakitan? Sudah lama?”Langkah Andi terhenti sejenak. Ia menatap ke depan, ke arah jalan gelap yang hanya diterangi satu lampu jalan yang berkedip. “Sudah lama banget, Pak. Sejak B
Bara sontak berdiri dari kursinya. Cangkir kopi di tangannya hampir jatuh ketika mendengar suara Elin yang memanggil dari dalam rumah. Dadanya berdetak cepat.“Dia... dia sudah sadar?” Bara memastikan dengan suara tercekat.“Iya, Kak. Tapi kelihatannya Kakak dia masih lemah,” jawab Elin cepat, lalu berlari lagi ke dalam rumah.Andi menatap Bara sejenak sebelum tersenyum tipis. “Ayo, Pak. Kakak pasti mau lihat Bapak.”Dengan langkah ragu, Bara mengikuti Andi masuk ke dalam rumah sederhana itu. Di dalam kamar, ia melihat Indira masih terbaring dengan kedua matanya yang terbuka, wajahnya tampak pucat dan ia ditemani oleh Risa, adiknya yang paling kecil.“Tuan Bara...” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Bara menghampiri pelan, menahan napasnya agar tidak terdengar gemetar. “Iya, Indira. Aku di sini.”Indira tersenyum samar. Tidak ada jawaban darinya. Namun, tangannya menyentuh perutnya sendiri."Kamu cuma butuh istirahat. Nanti begitu kita kembali ke kota, kamu harus diperiksa."Indi
Ucapan itu membuat dada Bella serasa diremas.Jantungnya seakan berhenti berdetak.Mayang menatapnya dingin, lalu berjalan menuju tangga. Namun sebelum naik, ia menoleh. “Dan satu hal lagi. Kalau kamu masih punya harga diri, berhentilah hidup dengan topeng bahagia. Bara bukan lelaki bodoh, cepat atau lambat, dia akan tahu siapa kamu sebenarnya. Oh iya ... jangan salahkan anakku kalau dia mencari kehangatan di luar sana."Lagi-lagi Mayang menekankan kata itu yang membuat Bella terperangah. 'Mencari kehangatan?' Tidak! Bara tak akan melakukan itu. Bara cinta mati padanya.Langkah kaki Mayang menjauh, meninggalkan Bella yang berdiri terpaku di tengah ruang tamu yang tiba-tiba terasa begitu sunyi.Tas-tas belanja itu tergeletak di lantai, dan di antara isak tangisnya, Bella berbisik lirih, “Bara… pulanglah malam ini. Tolong jangan biarin aku ngerasa kalau kamu mencari kehangatan di luar sana."Namun, malam justru semakin pekat. Bara masih bersama dengan Indira di desa, menunggu wanita itu
Bara panik. Jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat ketika tubuh Indira terkulai lemas di pelukannya. Wajah pucat gadis itu semakin membuat darahnya berdesir cepat. Ia menepuk pipi Indira perlahan.“Indira! Hei… buka matamu!” suaranya serak, penuh nada cemas yang tak mampu ia sembunyikan lagi.Namun, Indira tak juga bergerak. Kedua matanya terpejam rapat, napasnya tersengal pelan. Bara segera menggendong tubuh mungil itu, berlari ke ruang tengah dengan langkah besar dan terburu.“Radit! Celine! Tolong!” serunya lantang.Celine yang sedang berbincang dengan adik-adik Indira langsung melonjak kaget. “Kak Indi?! Astaga!”Radit ikut berdiri, mendekat dengan cepat. “Apa yang terjadi, Bara?”“Dia pingsan,” jawab Bara cepat, suaranya berat. “Cepat, di mana kamar tidurnya?”Elin dan Risa yang ketakutan menunjuk ke arah sebuah pintu kecil di sisi kiri ruang tamu. “Di sana, Kak… di kamar Ibu.”Tanpa banyak bicara, Bara melangkah masuk ke kamar yang ditunjuk. Kamar itu sempit dan sederhana,ha
Air mata Indira kini tertahan. Ia ingin bicara dan menjawab pertanyaan Bara, tapi bibirnya malah gemetar. Semua kata tertelan di tenggorokan, kala ia melihat Bara berdiri dihadapannya. Ia terkejut melihat kedatangan Bara, Celine dan Radit ke rumahnya.Celine pun mendekat dan memeluknya. “Kak Indi… kami semua khawatir sama kak Indi. Apalagi Om Bara."Bara menatap luka di pelipis Indira, memandang wajah lelahnya, lalu ke arah foto mendiang ibunya yang masih terpajang di dinding rumah tua itu."Apa yang terjadi selama dia di sini? Setahuku tak ada luka itu sebelum dia pergi." Pertanyaan itu hanya Bara simpan dalam hati. Ia takut dianggap terlalu peduli pada pelayannya sendiri."Hai Non Celine. Apa kabar?" tanya Indira seraya memasang senyum palsunya."Aku baik," ucap Celine. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Eh—tapi nggak baik-baik aja karena kak Indi lama pulangnya!""Indira, maaf kalau kedatangan kami kemari mengagetkan kamu. Kami ke sini hanya ingin melihat keadaan kamu k
Bara terpaku. Kata-kata Radit seolah menggema tanpa henti di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Ia menatap kosong ke arah meja kerjanya yang penuh berkas, namun pikirannya melayang jauh, pada wajah Bella, ke setiap senyum dan tatapan lembut istrinya yang dulu membuatnya yakin telah menemukan rumah.Namun, sekarang… benarkah Bella sanggup mengkhianatinya seperti itu? Bella sangat mencintainya dan ia tahu itu.Suara Radit kembali terdengar di ujung telepon, pelan tapi tegas.“Bar, aku nggak ngomong sembarangan. Aku lihat langsung di lampu merah. Aku nggak tahu mereka udah sejauh apa, tapi…”Ia terhenti sejenak, seolah ragu melanjutkan. “Sepertinya mereka udah deket banget. Terlalu deket untuk sekadar hubungan kerja. Aku sangat yakin mereka berciuman."Bara menutup mata, mencoba menahan diri agar tidak langsung meledak.“Enggak,” katanya pelan tapi penuh penolakan. “Bella nggak seperti itu. Dia nggak mungkin selingkuh. Aku kenal dia, Radit.”Namun, kalimat itu terdengar rapuh bahka







