Beranda / Romansa / Desahan di Kamar Pembantu / Bab 4. Dua Ratus Juta

Share

Bab 4. Dua Ratus Juta

Penulis: Davian
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-13 11:22:40

Indira tercekat, ketika ia melihat dengan jelas siapa yang berdiri tak jauh darinya. "Tuan Bara?" gumamnya pelan. Seakan tak percaya kalau ada Bara di sini.

"Jangan ikut campur, kalau tidak mau babak belur!"

Bara tersenyum tipis, ia memandang ketiga pria bertubuh besar itu dengan remeh. Kemudian berkata tanpa rasa takut. "Kalian yang akan babak belur, kalau berurusan dengan saya!"

"Kamu nantangin kita hah!"

Kedua pria itu mendekati Bara dengan emosi, sementara satu pria lainnya masih memegang tangan Indira dengan kuat. Akhirnya terjadi perkelahian yang melibatkan baku hantam di sana. Dengan mudahnya, hanya dengan hitungan detik, Bara berhasil melumpuhkan keduanya. Mereka yang semula menantangnya, kini terkapar di atas aspal dengan ringisan kesakitan yang keluar dari bibir mereka.

"A-ampun ...jangan pukuli kami lagi."

"Sudah cukup, ini sakit sekali," kata pria berkepala plontos itu sambil memegang perutnya yang terasa sakit seperti diremas-remas. Akibat ulah Bara.

"Saya kan sudah bilang, kalian akan babak belur."

Tatapan Bara pun mengarah pada Indira dan satu orang pria yang masih bersamanya. Seakan mengerti arti tatapan dingin Bara, lelaki berkumis itu pun melepaskan Indira.

"Saya nggak ngapa-ngapain dia, Bos! Tenang!" ujar pria berkumis itu ketakutan sambil merentangkan kedua tangannya ke atas, pertanda kalau dia menyerah.

Mereka bertiga pun melarikan diri dari sana dengan langkah terseok-seok. Meninggalkan Bara dan Indira yang masih berada di jalanan sepi itu.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Bara seraya melihat Indira dengan tatapan datarnya seperti biasa. Seakan tak ada simpati maupun empati di sana. Tapi, lelaki itu sudah menolong Indira.

"Saya tidak apa-apa, Tuan. Terima kasih."

"Kenapa kamu masih ada di sini? Bukannya kamu mau pergi?"

"Saya—"

Belum sempat Indira menjelaskan, hujan deras sudah mengguyur mereka berdua dan jalanan sekitaran sana.

Bara pun berjalan mendekati mobil mewahnya, kemudian berseru pada Indira. "Masuk!"

"A-apa?"

Tatapan Bara seakan menjadi jawaban untuk Indira, kalau ia tidak boleh membantah. Dengan ragu, Indira membawa tas besarnya yang sudah basah kuyup itu, berjalan ke dalam mobil. Indira masuk ke kursi penumpang yang ada dibelakang kursi kemudi. Hal itu membuat Bara mendelik sinis.

"Saya bukan supir kamu."

"I-iya Tuan?"

"Duduk di depan!" titah Bara dengan dingin.

"Baik, Tuan." Indira mengangguk dan menuruti perintah tuannya. Ia pindah ke tempat duduk yang ada disamping Bara.

Tanpa bicara sepatah katapun, Bara melajukan mobilnya, mengendarai mobil tersebut membelah jalanan yang saat ini diguyur hujan deras.

"Tu-tuan, kita mau ke mana?"

Akhirnya Indira memberanikan diri untuk bicara lebih dulu. Setelah hening cukup lama di sana.

"Rumah saya."

"Kenapa ke rumah Tuan?" tanya wanita itu lagi.

Bara berdesis, lalu berkata sinis. "Bisa diam tidak?"

Namun, Indira tidak bisa diam sebab hatinya diliputi oleh kegelisahan. Pikirannya bertanya-tanya, ke mana Bara akan membawanya. "Saya berterima kasih kepada Tuaan yang sudah menyelamatkan saya. Tapi, lebih baik saya turun di sini saja, Tuan."

"Kita akan ke rumah saya."

"Kenapa ke rumah anda, Tuan? Saya—"

Bibir Indira langsung bungkam mana kala ia melihat tatapan Bara yang tajam padanya. Indira pun tidak bertanya lagi.

Tanpa terasa waktu pun berlalu, mereka sudah sampai di rumah mewah Bara dan istrinya. Indira dan Bara yang basah kuyup, keluar dari mobil.

"Apa aku harus masuk ke rumah ini lagi? Tapi—" Indira menggigit bibirnya sendiri, merasa ragu untuk melangkah. Tubuhnya yang menggigil itu masih terdiam di dekat mobil Bara.

"Apa saya harus menyeretmu masuk ke dalam?" ucap Bara sarkas. "Ya, terserah kamu lah. Kalau kamu mau mati kedinginan disitu." Bara membalikkan badannya dan memilih melangkah masuk ke dalam rumah.

"Maafkan saya, Tuan."

Sesampainya di dalam rumah, Bara langsung berbicara dengan Indira. "Bersihkan tubuh kamu. Setelah itu temui saya di ruang kerja. Ada yang ingin saya bicarakan."

Apa lagi yang akan dibicarakan Bara dengannya? Bukannya pembicaraan mereka sudah selesai tadi pagi?

"Iya Tuan." Indira hanya bisa menjawab dengan patuh.

Bara pergi ke lantai atas, menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya yang basah. Sedangkan Indira, ia pergi menemui Tuti dan dua pelayan lainnya di rumah itu. Mereka heran, karena Indira kembali bersama Bara. Namun, Indira hanya menjawab kalau ia kebetulan bertemu dengan Bara di jalan saat hujan.

Mereka tidak berkomentar lagi, meskipun mereka heran karena Bara membantu Indira. Biasanya Bara tidak akan pernah membiarkan wanita lain duduk di mobilnya. Kecuali ibunya dan istrinya.

"Indira. Tadi saya mendapatkan telepon dari bapak kamu di kampung."

Indira terdiam dan tampak terkejut mendengar ucapan Tuti. "Bapak saya, Mbok?"

"Iya. Dia bilang, kalau ada hal penting yang ingin dibicarakan sama kamu. Coba kamu telpon balik bapak kamu. Sepertinya penting."

Tuti menyodorkan ponselnya untuk dipinjamkan pada Indira. Sebab, Indira tak punya ponsel dan satu-satunya penghubung antara ia dan keluarganya dikampung adalah Tuti.

"Halo Pak."

"Halo Nak. Ini kamu?"

"Iya Pak, ini Indira."

"Ndok, untung kamu telpon balik bapak. Tadi bapak bingung banget."

Suara bapaknya terdengar gelisah, bercampur panik dan membuat Indira ikutan panik.

"Ada apa Pak? Bapak, ibu sama adik-adik Indi baik-baik aja kan?" tanya Indira.

"Ndak, Nak. Ndak baik-baik aja. Ibu kamu ... tadi muntah darah lagi."

Indira tercengang mendengar penuturan bapaknya tentang keadaan sang ibu yang memang sering sakit-sakitan. "A-apa? Terus gimana ibu, pak? Udah dibawa ke rumah sakit?"

"Belum Nak. Maafin bapak ...tapi bapak nggak punya uang, Nak. Kata dokter, ibumu harus segera di operasi. Belum lagi adik-adikmu ...spp sekolahnya ada yang belum dibayar, nak."

"Ibu butuh berapa buat operasi, Pak?"

"Kata dokternya 200 juta. Kita butuh uangnya paling telat besok, Nak. Baru bapak bisa bawa ibumu ke rumah sakit."

Jantung Indira seakan tercabut dari raga, ketika mendengar jawaban dari bapaknya. Uang 200 juta? Dari mana dia dapat uang sebanyak itu?

Meminjam 200 juta? Rasanya tak mungkin ada orang yang percaya dengan untuk meminjamkannya uang sebanyak itu.

Di tengah pikirannya yang berkecamuk, ia harus berbicara dengan Bara di ruang kerjanya.

"Kamu sudah datang?"

Indira masih terdiam, tidak menjawab apa-apa. Pikirannya masih berada ditempat lain. "Gimana keadaan Ibu? Aku harus cepat-cepat dapat uangnya." Itulah kata-kata yang memenuhi pikirannya.

"Hey, kamu—"

"Tuan, uang yang tadi Tuan mau berikan pada saya. Saya mau!"

Tanpa pikir panjang, Indira mengatakannya dengan lantang. Bara sampai terkejut mendengarnya. "Apa?"

"Apa uangnya di sana ada 200 juta, Tuan? Tolong berikan pada saya. Ah ...maksud saya, Tuan bisa pinjamkan pada saya uangnya. Nanti saya ganti!"

Lebih baik meminjam daripada meminta cuma-cuma.

"Jadi kamu mau?"

"Iya Tuan. Saya akan melakukan apapun yang Tuan mau, kalau Tuan mau meminjamkan uang itu."

"Jadi kamu mau 200 juta?" tanya Bara lagi.

Indira mengangguk dengan mantap. Sepertinya meminta tolong pada Bara adalah jalan satu-satunya. "Iya Tuan. Tolong pinjamkan pada saya."

"Tu-tuan ..."

Kedua mata Indira tercekat ketika melihat Bara sudah ada dihadapannya. Padahal tadi Bara ada di depan meja kerjanya.

Lelaki itu kini menatapnya dengan dingin.

"Tetaplah bekerja di sini, sampai saya memastikan ... kamu benar-benar mengandung atau tidak."

"Mengandung? Siapa yang mengandung, Bara?!"

Suara yang ada di dekat pintu itu, sontak saja membuat Indira dan Bara tercengang. Wajah mereka pucat.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 7. Harus Tahu Diri

    Tanpa mempedulikan istrinya yang akan mengomel seperti biasa, Bara melangkah pergi dari sana. Ia harus sarapan dan segera ke kantor. Sebelum ke kantor, ia juga harus mengantar Celine ke sekolah."Kenapa Bella tidak minta maaf sama aku? Setelah dia meninggalkanku begitu saja malam itu, tanpa pamit."Lelaki itu rupanya masih kesal, karena teringat pertengkaran mereka terakhir kali. Di mana Bella sangat keras kepala, meski dilarang pergi oleh Bara, wanita itu tetap pergi meninggalkannya."Sial! Kenapa sekarang aku malah ingat kejadian malam itu?" Bara mengumpat, karena ia malah ingat kejadian malam panas bersama pembantu cantik di rumahnya, beberapa hari lalu.Ketika Bara sampai di lantai bawah, ia melihat pemandangan yang kurang menyenangkan dan etis menurutnya. Indira yang sedang duduk di kursi meja makan dan bersampingan dengan Celine. Hal yang tak seharusnya dilakukan pembantu."Apa yang kamu lakukan?"Sontak saja Indira terperanjat melihat sosok Bara sudah ada dibelakangnya. Suara l

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 6. Salah Paham!

    Bara dan Indira terkejut melihat kedatangan seorang wanita cantik berambut panjang dan bertubuh proposional yang menatap mereka dengan sepasang mata birunya membara."Wanita jalang! Beraninya kamu menggoda suamiku!" bentak wanita itu seraya menarik rambut Indira dengan kasar. Sehingga Indira menjauh dari Bara."Aakkh. Tolong lepaskan saya. Sa-sakit..." Indira meringis kesakitan, ketika merasakan tarikan kuat pada rambutnya yang dicepol itu. Seakan-akan rambutnya akan copot dari kepalanya detik itu juga.Cepol rambut Indira lepas dan membuat rambut panjangnya yang berwarna hitam tergerai."Berani ya kamu menggoda suami saya, hah?" sentak Bella emosi, tanpa melepaskan tangannya dari rambut Indira."Nyo-nyonya salah paham. Sa-saya tidak—aaakhh.""Sayang, kamu salah paham." Bara memegang tangan Bella dan berusaha menghentikan istrinya itu.Bella menatapnya tajam. "Salah paham apa? Jelas-jelas kamu pelukan sama dia, Bara! Kamu ada main sama wanita jalang ini, kan?" sungutnya."Lepaskan dia

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 5. Wanita Jalang

    Sontak saja wajah Bara dan Indira memucat, usai mereka mendengar suara yang ada di depan pintu.Mereka lebih terkejut lagi saat melihat seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan tersebut dan tiba-tiba wanita itu berada di tengah-tengah mereka."Apa sudah mulai ada kabar baik, Bar? Apa mantu mamih sudah mengandung?" tanya Mayang seraya menatap ke arah putranya. Dengan tatapan berbinar-binar yang penuh dengan harapan.Bara buru-buru menepis pertanyaan dari Mayang. Sebelum wanita itu kembali berharap akan datangnya seorang cucu darinya dan Bella. "Tidak Mih. Bukan begitu."Kemudian tatapan Mayang tertuju tajam ke arah Indira. Seorang wanita asing yang sedang bersama dengan putranya, di dalam ruangan yang tertutup."Dan kamu—siapa? Kenapa kamu bisa bersama dengan anak saya di sini?" tanyanya dengan nada yang datar.Sebelum Bara menjawabnya. Indira menjawab lebih dulu pertanyaan dari Mayang. "Sa-saya pembantu baru di rumah ini, Nyonya. Nama saya Indira.""Oh ... jadi kamu pembantu b

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 4. Dua Ratus Juta

    Indira tercekat, ketika ia melihat dengan jelas siapa yang berdiri tak jauh darinya. "Tuan Bara?" gumamnya pelan. Seakan tak percaya kalau ada Bara di sini."Jangan ikut campur, kalau tidak mau babak belur!"Bara tersenyum tipis, ia memandang ketiga pria bertubuh besar itu dengan remeh. Kemudian berkata tanpa rasa takut. "Kalian yang akan babak belur, kalau berurusan dengan saya!""Kamu nantangin kita hah!"Kedua pria itu mendekati Bara dengan emosi, sementara satu pria lainnya masih memegang tangan Indira dengan kuat. Akhirnya terjadi perkelahian yang melibatkan baku hantam di sana. Dengan mudahnya, hanya dengan hitungan detik, Bara berhasil melumpuhkan keduanya. Mereka yang semula menantangnya, kini terkapar di atas aspal dengan ringisan kesakitan yang keluar dari bibir mereka."A-ampun ...jangan pukuli kami lagi.""Sudah cukup, ini sakit sekali," kata pria berkepala plontos itu sambil memegang perutnya yang terasa sakit seperti diremas-remas. Akibat ulah Bara."Saya kan sudah bilan

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 3. Kamu wanita semalam?

    Indira terdiam membeku, mendengar kata-kata perintah dari Bara untuk mengangkat kepalanya. Suara Bara malah membuatnya teringat kejadian semalam. Bahkan rasa sakit karena kegiatan semalam saja, masih belum hilang. "Aku tidak boleh mengangkat kepalaku," gumam Indira dalam hatinya. "Kamu tuli?!" Suara Bara terdengar meninggi. Pertanda bahwa perintahnya tak boleh dibantah. Tuti langsung menyenggol lengan Indira, kemudian berbisik, "Indira, Tuan bicara sama kamu. Cepat lakukan apa yang dia katakan!" Dengan ragu, Indira mendongakkan kepalanya perlahan-lahan. Hingga akhirnya sepasang matanya yang berwarna coklat muda itu bertemu dengan sepasang mata berwarna abu-abu milik Bara. "Siapa namamu?" tanya Bara. Indira menjawab terbata-bata."Na-nama saya Indira, Tu-tuan." Terjawab sudah pertanyaan Bara pagi ini, ketika ia mendengar suara Indira. Kilatan ingatan semalam yang samar-samar mulai muncul di kepalanya. "Tu-tuan, tolong le-lepaskan saya. Saya bukan nyonya Bella. Saya Indira, Tuan.

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 2. Darah di seprai

    Bara terlelap dalam damai setelah percintaan panasnya dengan Indira. Sementara wanita itu, ia kembali ke kamarnya dengan perasaan hancur. Ia berjalan masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya yang masih memakai pakaian lengkap dengan air yang mengalir."Aku sudah kotor, a-aku kotor, ibu ...," lirih Indira seraya menggaruk-garuk tubuhnya dengan frustasi. "Aku kotor ...""Aku tidak bisa menjaga diriku. Aku gagal menjaganya."Tak pernah Indira duga, di hari pertamanya bekerja, ia harus mengalami kejadian mengerikan ini. Akan tetapi, ia tidak bisa terus terpuruk seperti ini. Semuanya sudah terjadi.Meski tubuhnya sakit, seperti terasa remuk. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dosa yang sudah ia lakukan. "Aku harus resign dari sini. Aku nggak bisa bekerja di rumah ini lagi. Aku harus pergi," gumam Indira disela-sela isak tangisnya yang terdengar pilu, menggema di kamar mandi itu."Indira. Kamu kemana? Saya nyariin kamu dari tadi."Indira terkejut, manakala ia mendapati Tuti, k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status