LOGINIndira tercekat, ketika ia melihat dengan jelas siapa yang berdiri tak jauh darinya. "Tuan Bara?" gumamnya pelan. Seakan tak percaya kalau ada Bara di sini.
"Jangan ikut campur, kalau tidak mau babak belur!" Bara tersenyum tipis, ia memandang ketiga pria bertubuh besar itu dengan remeh. Kemudian berkata tanpa rasa takut. "Kalian yang akan babak belur, kalau berurusan dengan saya!" "Kamu nantangin kita hah!" Kedua pria itu mendekati Bara dengan emosi, sementara satu pria lainnya masih memegang tangan Indira dengan kuat. Akhirnya terjadi perkelahian yang melibatkan baku hantam di sana. Dengan mudahnya, hanya dengan hitungan detik, Bara berhasil melumpuhkan keduanya. Mereka yang semula menantangnya, kini terkapar di atas aspal dengan ringisan kesakitan yang keluar dari bibir mereka. "A-ampun ...jangan pukuli kami lagi." "Sudah cukup, ini sakit sekali," kata pria berkepala plontos itu sambil memegang perutnya yang terasa sakit seperti diremas-remas. Akibat ulah Bara. "Saya kan sudah bilang, kalian akan babak belur." Tatapan Bara pun mengarah pada Indira dan satu orang pria yang masih bersamanya. Seakan mengerti arti tatapan dingin Bara, lelaki berkumis itu pun melepaskan Indira. "Saya nggak ngapa-ngapain dia, Bos! Tenang!" ujar pria berkumis itu ketakutan sambil merentangkan kedua tangannya ke atas, pertanda kalau dia menyerah. Mereka bertiga pun melarikan diri dari sana dengan langkah terseok-seok. Meninggalkan Bara dan Indira yang masih berada di jalanan sepi itu. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Bara seraya melihat Indira dengan tatapan datarnya seperti biasa. Seakan tak ada simpati maupun empati di sana. Tapi, lelaki itu sudah menolong Indira. "Saya tidak apa-apa, Tuan. Terima kasih." "Kenapa kamu masih ada di sini? Bukannya kamu mau pergi?" "Saya—" Belum sempat Indira menjelaskan, hujan deras sudah mengguyur mereka berdua dan jalanan sekitaran sana. Bara pun berjalan mendekati mobil mewahnya, kemudian berseru pada Indira. "Masuk!" "A-apa?" Tatapan Bara seakan menjadi jawaban untuk Indira, kalau ia tidak boleh membantah. Dengan ragu, Indira membawa tas besarnya yang sudah basah kuyup itu, berjalan ke dalam mobil. Indira masuk ke kursi penumpang yang ada dibelakang kursi kemudi. Hal itu membuat Bara mendelik sinis. "Saya bukan supir kamu." "I-iya Tuan?" "Duduk di depan!" titah Bara dengan dingin. "Baik, Tuan." Indira mengangguk dan menuruti perintah tuannya. Ia pindah ke tempat duduk yang ada disamping Bara. Tanpa bicara sepatah katapun, Bara melajukan mobilnya, mengendarai mobil tersebut membelah jalanan yang saat ini diguyur hujan deras. "Tu-tuan, kita mau ke mana?" Akhirnya Indira memberanikan diri untuk bicara lebih dulu. Setelah hening cukup lama di sana. "Rumah saya." "Kenapa ke rumah Tuan?" tanya wanita itu lagi. Bara berdesis, lalu berkata sinis. "Bisa diam tidak?" Namun, Indira tidak bisa diam sebab hatinya diliputi oleh kegelisahan. Pikirannya bertanya-tanya, ke mana Bara akan membawanya. "Saya berterima kasih kepada Tuaan yang sudah menyelamatkan saya. Tapi, lebih baik saya turun di sini saja, Tuan." "Kita akan ke rumah saya." "Kenapa ke rumah anda, Tuan? Saya—" Bibir Indira langsung bungkam mana kala ia melihat tatapan Bara yang tajam padanya. Indira pun tidak bertanya lagi. Tanpa terasa waktu pun berlalu, mereka sudah sampai di rumah mewah Bara dan istrinya. Indira dan Bara yang basah kuyup, keluar dari mobil. "Apa aku harus masuk ke rumah ini lagi? Tapi—" Indira menggigit bibirnya sendiri, merasa ragu untuk melangkah. Tubuhnya yang menggigil itu masih terdiam di dekat mobil Bara. "Apa saya harus menyeretmu masuk ke dalam?" ucap Bara sarkas. "Ya, terserah kamu lah. Kalau kamu mau mati kedinginan disitu." Bara membalikkan badannya dan memilih melangkah masuk ke dalam rumah. "Maafkan saya, Tuan." Sesampainya di dalam rumah, Bara langsung berbicara dengan Indira. "Bersihkan tubuh kamu. Setelah itu temui saya di ruang kerja. Ada yang ingin saya bicarakan." Apa lagi yang akan dibicarakan Bara dengannya? Bukannya pembicaraan mereka sudah selesai tadi pagi? "Iya Tuan." Indira hanya bisa menjawab dengan patuh. Bara pergi ke lantai atas, menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya yang basah. Sedangkan Indira, ia pergi menemui Tuti dan dua pelayan lainnya di rumah itu. Mereka heran, karena Indira kembali bersama Bara. Namun, Indira hanya menjawab kalau ia kebetulan bertemu dengan Bara di jalan saat hujan. Mereka tidak berkomentar lagi, meskipun mereka heran karena Bara membantu Indira. Biasanya Bara tidak akan pernah membiarkan wanita lain duduk di mobilnya. Kecuali ibunya dan istrinya. "Indira. Tadi saya mendapatkan telepon dari bapak kamu di kampung." Indira terdiam dan tampak terkejut mendengar ucapan Tuti. "Bapak saya, Mbok?" "Iya. Dia bilang, kalau ada hal penting yang ingin dibicarakan sama kamu. Coba kamu telpon balik bapak kamu. Sepertinya penting." Tuti menyodorkan ponselnya untuk dipinjamkan pada Indira. Sebab, Indira tak punya ponsel dan satu-satunya penghubung antara ia dan keluarganya dikampung adalah Tuti. "Halo Pak." "Halo Nak. Ini kamu?" "Iya Pak, ini Indira." "Ndok, untung kamu telpon balik bapak. Tadi bapak bingung banget." Suara bapaknya terdengar gelisah, bercampur panik dan membuat Indira ikutan panik. "Ada apa Pak? Bapak, ibu sama adik-adik Indi baik-baik aja kan?" tanya Indira. "Ndak, Nak. Ndak baik-baik aja. Ibu kamu ... tadi muntah darah lagi." Indira tercengang mendengar penuturan bapaknya tentang keadaan sang ibu yang memang sering sakit-sakitan. "A-apa? Terus gimana ibu, pak? Udah dibawa ke rumah sakit?" "Belum Nak. Maafin bapak ...tapi bapak nggak punya uang, Nak. Kata dokter, ibumu harus segera di operasi. Belum lagi adik-adikmu ...spp sekolahnya ada yang belum dibayar, nak." "Ibu butuh berapa buat operasi, Pak?" "Kata dokternya 200 juta. Kita butuh uangnya paling telat besok, Nak. Baru bapak bisa bawa ibumu ke rumah sakit." Jantung Indira seakan tercabut dari raga, ketika mendengar jawaban dari bapaknya. Uang 200 juta? Dari mana dia dapat uang sebanyak itu? Meminjam 200 juta? Rasanya tak mungkin ada orang yang percaya dengan untuk meminjamkannya uang sebanyak itu. Di tengah pikirannya yang berkecamuk, ia harus berbicara dengan Bara di ruang kerjanya. "Kamu sudah datang?" Indira masih terdiam, tidak menjawab apa-apa. Pikirannya masih berada ditempat lain. "Gimana keadaan Ibu? Aku harus cepat-cepat dapat uangnya." Itulah kata-kata yang memenuhi pikirannya. "Hey, kamu—" "Tuan, uang yang tadi Tuan mau berikan pada saya. Saya mau!" Tanpa pikir panjang, Indira mengatakannya dengan lantang. Bara sampai terkejut mendengarnya. "Apa?" "Apa uangnya di sana ada 200 juta, Tuan? Tolong berikan pada saya. Ah ...maksud saya, Tuan bisa pinjamkan pada saya uangnya. Nanti saya ganti!" Lebih baik meminjam daripada meminta cuma-cuma. "Jadi kamu mau?" "Iya Tuan. Saya akan melakukan apapun yang Tuan mau, kalau Tuan mau meminjamkan uang itu." "Jadi kamu mau 200 juta?" tanya Bara lagi. Indira mengangguk dengan mantap. Sepertinya meminta tolong pada Bara adalah jalan satu-satunya. "Iya Tuan. Tolong pinjamkan pada saya." "Tu-tuan ..." Kedua mata Indira tercekat ketika melihat Bara sudah ada dihadapannya. Padahal tadi Bara ada di depan meja kerjanya. Lelaki itu kini menatapnya dengan dingin. "Tetaplah bekerja di sini, sampai saya memastikan ... kamu benar-benar mengandung atau tidak." "Mengandung? Siapa yang mengandung, Bara?!" Suara yang ada di dekat pintu itu, sontak saja membuat Indira dan Bara tercengang. Wajah mereka pucat. Bersambung...Langit malam itu tampak suram, redup tanpa bintang. Jalan kampung yang mereka lalui masih becek, air hujan belum benar-benar surut. Bara berjalan di sisi kanan, sementara Andi, remaja berusia enam belas tahun itu, berjalan di kiri sambil menendang-nendang kerikil yang tergenang lumpur. Suara jangkrik bercampur desah angin malam membuat suasana terasa lebih sepi.Andi sesekali menatap Bara dengan ragu, tapi kemudian mulai berbicara. “Pak, maaf ya kalau di rumah tadi agak berantakan. Kami memang nggak punya banyak barang. Kak Indira bilang, rumah kecil tapi hati harus luas.”Bara tersenyum tipis. “Kamu mirip kakakmu kalau bicara.”Andi terkekeh kecil. “Kata Ibu juga begitu, Pak. Tapi Ibu sekarang udah gak ada. Kalau nggak ada Kak Indira, entah gimana nasib kami.”Bara mengerutkan kening. “Hem, ibu kalian sakit-sakitan? Sudah lama?”Langkah Andi terhenti sejenak. Ia menatap ke depan, ke arah jalan gelap yang hanya diterangi satu lampu jalan yang berkedip. “Sudah lama banget, Pak. Sejak B
Bara sontak berdiri dari kursinya. Cangkir kopi di tangannya hampir jatuh ketika mendengar suara Elin yang memanggil dari dalam rumah. Dadanya berdetak cepat.“Dia... dia sudah sadar?” Bara memastikan dengan suara tercekat.“Iya, Kak. Tapi kelihatannya Kakak dia masih lemah,” jawab Elin cepat, lalu berlari lagi ke dalam rumah.Andi menatap Bara sejenak sebelum tersenyum tipis. “Ayo, Pak. Kakak pasti mau lihat Bapak.”Dengan langkah ragu, Bara mengikuti Andi masuk ke dalam rumah sederhana itu. Di dalam kamar, ia melihat Indira masih terbaring dengan kedua matanya yang terbuka, wajahnya tampak pucat dan ia ditemani oleh Risa, adiknya yang paling kecil.“Tuan Bara...” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Bara menghampiri pelan, menahan napasnya agar tidak terdengar gemetar. “Iya, Indira. Aku di sini.”Indira tersenyum samar. Tidak ada jawaban darinya. Namun, tangannya menyentuh perutnya sendiri."Kamu cuma butuh istirahat. Nanti begitu kita kembali ke kota, kamu harus diperiksa."Indi
Ucapan itu membuat dada Bella serasa diremas.Jantungnya seakan berhenti berdetak.Mayang menatapnya dingin, lalu berjalan menuju tangga. Namun sebelum naik, ia menoleh. “Dan satu hal lagi. Kalau kamu masih punya harga diri, berhentilah hidup dengan topeng bahagia. Bara bukan lelaki bodoh, cepat atau lambat, dia akan tahu siapa kamu sebenarnya. Oh iya ... jangan salahkan anakku kalau dia mencari kehangatan di luar sana."Lagi-lagi Mayang menekankan kata itu yang membuat Bella terperangah. 'Mencari kehangatan?' Tidak! Bara tak akan melakukan itu. Bara cinta mati padanya.Langkah kaki Mayang menjauh, meninggalkan Bella yang berdiri terpaku di tengah ruang tamu yang tiba-tiba terasa begitu sunyi.Tas-tas belanja itu tergeletak di lantai, dan di antara isak tangisnya, Bella berbisik lirih, “Bara… pulanglah malam ini. Tolong jangan biarin aku ngerasa kalau kamu mencari kehangatan di luar sana."Namun, malam justru semakin pekat. Bara masih bersama dengan Indira di desa, menunggu wanita itu
Bara panik. Jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat ketika tubuh Indira terkulai lemas di pelukannya. Wajah pucat gadis itu semakin membuat darahnya berdesir cepat. Ia menepuk pipi Indira perlahan.“Indira! Hei… buka matamu!” suaranya serak, penuh nada cemas yang tak mampu ia sembunyikan lagi.Namun, Indira tak juga bergerak. Kedua matanya terpejam rapat, napasnya tersengal pelan. Bara segera menggendong tubuh mungil itu, berlari ke ruang tengah dengan langkah besar dan terburu.“Radit! Celine! Tolong!” serunya lantang.Celine yang sedang berbincang dengan adik-adik Indira langsung melonjak kaget. “Kak Indi?! Astaga!”Radit ikut berdiri, mendekat dengan cepat. “Apa yang terjadi, Bara?”“Dia pingsan,” jawab Bara cepat, suaranya berat. “Cepat, di mana kamar tidurnya?”Elin dan Risa yang ketakutan menunjuk ke arah sebuah pintu kecil di sisi kiri ruang tamu. “Di sana, Kak… di kamar Ibu.”Tanpa banyak bicara, Bara melangkah masuk ke kamar yang ditunjuk. Kamar itu sempit dan sederhana,ha
Air mata Indira kini tertahan. Ia ingin bicara dan menjawab pertanyaan Bara, tapi bibirnya malah gemetar. Semua kata tertelan di tenggorokan, kala ia melihat Bara berdiri dihadapannya. Ia terkejut melihat kedatangan Bara, Celine dan Radit ke rumahnya.Celine pun mendekat dan memeluknya. “Kak Indi… kami semua khawatir sama kak Indi. Apalagi Om Bara."Bara menatap luka di pelipis Indira, memandang wajah lelahnya, lalu ke arah foto mendiang ibunya yang masih terpajang di dinding rumah tua itu."Apa yang terjadi selama dia di sini? Setahuku tak ada luka itu sebelum dia pergi." Pertanyaan itu hanya Bara simpan dalam hati. Ia takut dianggap terlalu peduli pada pelayannya sendiri."Hai Non Celine. Apa kabar?" tanya Indira seraya memasang senyum palsunya."Aku baik," ucap Celine. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Eh—tapi nggak baik-baik aja karena kak Indi lama pulangnya!""Indira, maaf kalau kedatangan kami kemari mengagetkan kamu. Kami ke sini hanya ingin melihat keadaan kamu k
Bara terpaku. Kata-kata Radit seolah menggema tanpa henti di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Ia menatap kosong ke arah meja kerjanya yang penuh berkas, namun pikirannya melayang jauh, pada wajah Bella, ke setiap senyum dan tatapan lembut istrinya yang dulu membuatnya yakin telah menemukan rumah.Namun, sekarang… benarkah Bella sanggup mengkhianatinya seperti itu? Bella sangat mencintainya dan ia tahu itu.Suara Radit kembali terdengar di ujung telepon, pelan tapi tegas.“Bar, aku nggak ngomong sembarangan. Aku lihat langsung di lampu merah. Aku nggak tahu mereka udah sejauh apa, tapi…”Ia terhenti sejenak, seolah ragu melanjutkan. “Sepertinya mereka udah deket banget. Terlalu deket untuk sekadar hubungan kerja. Aku sangat yakin mereka berciuman."Bara menutup mata, mencoba menahan diri agar tidak langsung meledak.“Enggak,” katanya pelan tapi penuh penolakan. “Bella nggak seperti itu. Dia nggak mungkin selingkuh. Aku kenal dia, Radit.”Namun, kalimat itu terdengar rapuh bahka







