Share

Bab 53. Menghantam

Penulis: Davian
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-06 22:19:16

Indira mengepalkan tangannya pelan, mencoba mengusir rasa pening yang terus menusuk kepalanya. Di halte kecil itu, ia duduk dengan posisi membungkuk, tangan memeluk tasnya erat. Ia menunduk dalam-dalam, berusaha menyembunyikan wajahnya yang masih merah dan basah.

Ia tahu. Cepat atau lambat, hal ini akan terjadi.

Bara tidak pernah menjanjikan hubungan. Tidak pernah mengatakan ia akan memilih. Indira hanya menggenggam secuil harapan dari kalimat Bara semalam: “Aku akan bertanggung jawab.”

Bertanggung jawab atas bayi itu,bukan dirinya.

Ia berulang kali mencoba menelan kenyataan itu, tapi hatinya tetap sakit. Ia tidak membenci Bara. Ia tidak menyalahkannya. Justru ia menyalahkan dirinya sendiri—karena mencintai lelaki yang sudah punya istri.

“Aku bodoh…” batinnya lirih.

Tapi ketakutan terbesar Indira bukanlah ditinggalkan.

Ucapan Bella, ucapan itu seperti belati yang masih tertancap di benaknya.

“…akan segera aku bereskan.”

Indira menggigil, memeluk perutnya yang belum terlihat. Bayi itu
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (9)
goodnovel comment avatar
Yuliani Padaunan
makin seru aja, lanjut ya...
goodnovel comment avatar
Davian
Terima kasih kakak
goodnovel comment avatar
Pipit Pipit
seru aja nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 77. Tidak Akan Bertemu

    Panggilan masuk dari Dewa membuat Indira tersenyum kecil. Sudah hampir enam tahun, pria itu selalu konsisten menanyakan kabar anak-anaknya. Bukan sekadar basa-basi, tapi perhatian yang tulus dan tidak memaksa.“Assalamualaikum, Indira,” suara Dewa terdengar hangat di seberang sana.“Waalaikumsalam, Mas. Gimana kabarnya?” tanya Indira sambil duduk di tepi ranjang.“Aku baik. Aku mau nanya… Nathan sama Nala gimana? Kesehatan mereka?”Indira menghela napas lega. “Baik. Nala sempat kecapekan kemarin, tapi sekarang sudah stabil. Nathan seperti biasa, dia bicara seperti orang dewasa,” ujarnya sambil tersenyum.Dewa ikut tertawa kecil. “Syukurlah. Oh iya… kamu ingat kan? Minggu depan ulang tahun mereka yang ke enam.”Indira terdiam sejenak. Jantungnya berdenyut pelan. “Aku sadar. Bahkan sudah aku tandai di kalender. Kamu selalu ingat ulang tahun mereka ya, Mas?" “Aku cuma mau ingetin, dan aku sudah anggap mereka seperti anakkku sendiri. Dan… ya, aku mau bilang terima kasih juga, Dir. Kamu k

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 76. Setelah 6 Tahun

    "Nala! Jangan lari-lari, nanti dimarahin Mama! Diem disini, Nala!" ujar seorang anak laki-laki berparas tampan, hidung mancung, kepada seorang anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua. Anak perempuan itu berlari-lari di tengah rumah."Mama kan ndak ada. Mama ndak akan marah."Anak perempuan itu tersenyum santai sambil berlari-lari lagi dan memainkan bonekanya. Ia terlihat manis, menggemaskan, ceria. Berbeda dengan anak laki-laki yang lebih kalem dan santai duduk di atas sofa sambil memegang buku.Ia tampak sakit kepala melihat saudara kembarnya terus berlari-lari. Nathan, ia adalah nama anak laki-laki itu dan Nala adalah saudarinya."Nanti kamu kecapean, kambuh lagi, gimana Nala? Jangan bandel deh!" tegur Nathan pada saudarinya."Gak akan!" tegas Nala dengan bibir mencebik dan lidah menjulur keluar, mengejek saudaranya.Nathan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya udah. Terserah kamu deh. Bandel emang.""Nathan ndak asyik, ndak suka main sama Nathan," kata Nala sebal."Nala juga

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 75. Bahagia Di Atas Derita

    Tangisan Indira menggema di ruang sidang itu. Suaranya serak, dadanya naik turun menahan amarah dan putus asa yang bertumpuk menjadi satu. Namun hukum tak bekerja dengan air mata, apalagi dugaan tanpa bukti. Hakim mengetuk palu dengan wajah datar, seolah keputusan itu hanyalah formalitas belaka.Para terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman sesuai peran mereka. Dua di antaranya mendapat hukuman mati. Sisanya penjara seumur hidup. Ruang sidang riuh sesaat, lalu sunyi kembali. Tepuk tangan tak ada. Kepuasan pun nihil, sebab dalangnya tidak tertangkap. Bahkan dokter yang akan mengaborsinya juga hilang entah kemana. Bebas dari hukuman. Indira berdiri terpaku. Tangannya dingin. Lututnya gemetar.“Bukan itu… bukan itu yang aku mau…” lirihnya nyaris tak terdengar. "Belum cukup." Mereka memang dihukum. Tapi dalangnya bebas. Bella, wanita yang berada di balik semua kebiadaban itu, tak tersentuh sedikit pun. Namanya juga tidak disebut. Keadilan terasa pincang.Dewa menggenggam tangan Indira erat s

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 74. Lolos ...

    "Maumu apa Bella?" tanya Mayang pada akhirnya pasrah. Ia harus menjaga rahasia ini. Kalau Bara sampai tahu, ia terlibat dengan semua ini. Bara pasti akan membencinya.Bella tersenyum miring. "Bantu aku Ma. Ya, anggap saja simbiosis mutualisme. Mama bantu aku, aku bantu Mama.""Jangan berbelit-belit! Ngomong aja mau kamu apa, hah?" sentaknya emosi."Orang-orang suruhanku yang membakar adik-adik Indira dan menculiknya. Jangan biarkan mereka sampai menyebut namaku, Ma.""Bagaimana bisa saya melakukan itu, Bella?" tanya Mayang bingung.Bella mengendikkan kedua bahunya sambil tersenyum penuh arti. Senyuman yang tak dimengerti oleh Mayang. "Mama punya koneksi polisi kan? Mama tinggal bungkam saja mulutnya. Dengan uang atau apapun. Yang penting kita selamat, Ma."Benar, Mayang memang punya koneksi yang cukup dekat ke kepolisian. Namun, jika ia menggunakan koneksi tersebut, maka mungkin saudara mendiang suaminya akan mengetahui hal ini."Mama gak bisa bantu aku? Kalau gitu Bara—""Oke. Saya a

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 73. Gerimis Duka

    Indira berdiri tegak, meski lututnya bergetar hebat. Tangannya masih menahan pergelangan Bu Mayang di udara. Sentuhan itu dingin, bukan karena lemah—melainkan karena kemarahan yang dipaksa terkunci.“Cukup,” ulang Indira, suaranya serak namun tegas. “Jangan pernah sentuh saya lagi.”Mayang tertawa kecil, sinis. “Berani sekali kamu, ya? Pembantu sepertimu berani melawan?”Indira menatap wanita paruh baya itu lurus-lurus. Untuk pertama kalinya, tidak ada rasa takut. Tidak ada tunduk. Yang ada hanya luka yang sudah terlalu penuh untuk ditahan.“Saya memang miskin,” ucap Indira pelan, tiap katanya seperti disayatkan satu per satu. “Saya memang pembantu. Tapi saya bukan pembunuh. Dan saya bukan sampah seperti yang Ibu katakan.”“Kurang ajar!” Bu Mayang meronta, tapi Indira sudah melepaskan tangannya.Bara melangkah maju. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras. “Indira, jangan kurang ajar sama mama saya.”Indira menoleh. Tatapan mereka bertemu—tatapan yang dulu penuh harap, kini hanya menyisa

  • Desahan di Kamar Pembantu   Bab 72. Hancur dan Terluka

    "Mas ... tolong bilang kalau ini nggak bener. A-aku pasti cuma mimpi kan? Adik-adikku, mereka masih ada, kan?" tanya Indira dengan buliran air mata yang tak mau berhenti mengalir dari kedua bola matanya. Ia menatap Dewa yang masih duduk di sampingnya.Dewa tidak langsung menjawab, tapi saat raut wajahnya berubah pucat dan matanya yang berkaca-kaca. Indira merasakan sesak "Indira, maafin aku ya?"Indira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak. Andi, Elin, Risa. Mereka pasti masih hidup. Mereka nggak mungkin ninggalin aku, Mas. Ini mimpi, pasti."Tampaknya Indira masih tidak percaya dengan hal yang baru saja menimpanya. Padahal dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat ketiga adiknya terbakar dan tidak bernapas. Akan tetapi, Indira tidak bisa menerima kenyatannya."Indira, kamu harus kuat. Aku tahu ini berat, tapi—""MAS DEWA BOHONG! MAS DEWA JANGAN BICARA BEGITU! ADIK-ADIKKU BAIK-BAIK AJA! MEREKA PASTI LAGI NUNGGU AKU PULANG SEKARANG!" jerit Indira histeris.Dadanya terasa amat sesak, s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status